7.
Siapa Pelakunya
“Dimana Derren?” kata Rai melihat
kesekelilingnya. Tidak ada siapapun selain mereka berdua di ruangan itu.
“Tidur.”
“Tumben.”
“Terpaksa. Kalau
tidak dia akan merintih kesakitan.”
“Maksudmu?”
“Tulang tangan
kanannya retak ketika mencoba menolongmu. Tangannya dihantam pintu belakang
mobil oleh salah satu penculikmu. Tapi tenang saja, kau tidak perlu cemas,”
Deva buru-buru menjelaskan ketika melihat wajah cemas Rai. “Dia baik-baik saja
dan tidak menyalahkanmu. Kejadian kali ini termasuk tanggung jawabnya. Jadi dia
tidak ingin melibatkanmu sampai kau celaka.” Deva melanjutkan lagi ketika
kerutan di dahi Rai semakin dalam. “Jangan khawatir, Rai. Derren anak yang
kuat. Itu cuma luka kecil. Sudah diobati dan diberi obat penghilang rasa sakit
oleh dokter. Tidak lama lagi dia pasti sembuh.”
“Begitu,” kata Rai
pelan. Dia merasa tidak enak pada Derren. “Aku mau melihat keadaannya.” Rai
bangkit dari atas tidur dan berjalan ke kamar Derren. Deva ikut-ikutan dengan
kursi rodanya. Ketika sampai di depan pintu putih kamar Derren, Rai dan Deva
terbengong ketika mereka membuka pintu.
Kamar Derren masih
tidak berubah, masih serba putih dan berantakan dengan buku. Yang berubah
hanyalah Derren. Dia duduk di dekat jendela dengan perban yang menggantung di
lehernya, tangan kirinya bergerak lincah di atas keyboard komputer,
sedangkan di telinga tertempel earphone; samar-samar terdengar musik mellow
di ruangan itu.
“Sandra Marya
Azuha, tiga puluh sembilan tahu. Kalau tidak salah dia bekerja di Rumah Sakit Ibu dan Anak Santa Louisa,” kata Derren pada
seseorang di monitor. “Aku yakin ini ulah pelaku utama. Sebelumnya juga ada
anak yang hendak diculik, tapi kami berhasil mematahkan serangan mereka.”
“Apa karena itu
tangamu jadi begitu?” kata suara di dalam monitor.
“Tidak. Tanganku
begini karena aku yang ceroboh, Agen Mike,” kata Derren memperbaiki letak earphone-nya.
“Aku minta tolong untuk melacak Sandra Marya. Aku salah duga. Tidak kusangka
kalau pelaku mengincarnya.”
“Akan kuusahakan.”
“Terima kasih.”
Derren memutuskan
hubungan, lalu melepaskan earphone-nya. Belum lagi dia selesai
memperbaiki perban tangannya yang melorot, sudah ada laporan masuk. Kali ini suara perempuan.
“J-EN BOARDLY 00569
JPN 11344. Apa kabar, Hosea?”
“J? Kupikir kau tak
sudi lagi melihat wajahku,” kata Derren memakai kembali earphone-nya. “Kabarku tidak terlalu
baik dan tidak terlalu buruk juga.”
“Aku tidak mau melihat Astyn tampak lebih hebat di matamu. Jadi
kupastikan untuk mengesampingkan rasa cemburuku dan memutuskan untuk
membantumu.”
Deva dan Rai segera
duduk mengapit Derren. Mereka kelihatan tertarik sekali pada J. Kisah cinta
Derren dimulai. Dia diperebutkan oleh dua orang wanita cantik: J dan Astyn.
“Aku sangat
berterima kasih kau mau membantuku. Tapi kesalahpahaman ini harus diluruskan.
Aku tidak menyukai gadis manapun sampai saat ini,” kata Derren mengambil kertas
yang berserakan di lantai. “Aku tidak mau membuat kau berharap terlalu jauh
padaku, tapi sebaiknya kau mencari pria baik yang lain,” tambahnya lagi membaca
kertas-kertas itu dengan sikap tidak peduli. “Sekarang aku lebih berkonsentrasi
pada penyelidikan penting dan tidak berminat pada urusan lain.”
Deva, Rai dan J
menatapnya dengan tajam. Menurut Rai, Derren benar-benar mirip dengan Daris,
tapi sikapnya yang serba tidak peduli dengan orang yang berbicara dengannya itu
agak keterlaluan.
“Aku tidak akan
menyerah, Hosea karena hanya akulah yang lebih mengenalmu lebih dari siapapun.
Aku tidak perlu walau kau memperalatku. Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk
membantumu?”
Rai benar-benar
salut pada J yang mencintai Derren dengan tulus. Apalagi jika diperhatikan
lebih teliti. Wajah J lebih cantik daripada Astyn, mungil sekali. Mata hitamnya
yang bulat dan polos menatap Derren dengan lugu.
“J,” gumam
Derren—sepertinya Derren tergugah dengan perasaan J—“Bisakah kau menyelidiki
latar belakang semua anggota direksi Crystal Pertama Group? Soalnya kami sudah
diserang.” Sepertinya Derren memang tidak punya perasaan seperti itu.
“Serahkan padaku.
Itu masalah mudah,” kata J menunjukan jempolnya. “Baiklah, aku beraksi
sekarang. Sampai jumpa!”
Layar monitor
menjadi gelap seketika. Derren menggaruk-garuk kepalanya dan membuat rambutnya
jadi makin terlihat berantakan. “Rai, bagaimana keadaan Ayah? Apa dia baik-baik
saja?” Derren akhirnya mengalihkan pandangannya pada Rai.
“Ya, bahkan sangat
baik sekali,” kata Rai menatap Derren yang kembali mengalihkan pandangannya
pada kertas-kertas. “Kau merindukannya juga kan?” Derren tidak menanggapi.
Kesunyian itu membuat Rai menceritakan kejadian saat menemui Daris tadi siang.
Deva berhenti makan es krim dan Derren menopang dagunya ketika Rai
menyelesaikan ceritanya.
“Dia sudah cerita,
Derren. Apa tidak sebaiknya kau mengatakan hal yang terjadi hari ini? Kejadian
itu diluar dugaan. Tidak ada yang menyalahkanmu,” kata Deva hati-hati sambil
melirik Rai takut-takut.
“Ada apa? Apa yang
terjadi?” kata Rai heran. Firasat buruk.
“Ayo, katakan!”
Deva mendesak Derren. “Cepat atau lambat dia juga harus tahu kan? Kau tidak
mungkin menyimpan masalah ini selamanya!”
Derren menatap
Deva. Sebal.
Rai menatap Deva
dan Derren secara bergantian. Menunggu penjelasan.
“Rai, sebelumnya
aku minta maaf, tapi kejadian ini benar-benar diluar dugaanku,” kata Derren
sibuk dengan kertasnya. Rai tidak tahu alasan Derren bersikap begitu karena
tidak berani menatap matanya atau karena sibuk dengan bacaannya? Sambil
menghela napas dan memperbaiki kacamatanya yang melorot, Derren menyelesaikan
kalimat yang tadi dia tahan. “Ibumu diculik oleh pelaku utama kasus Ayah.”
Rai merasakan kalau
otaknya macet; telinganya berdengung; badannya terasa lemas. Tidak mungkin!
batinnya menjerit. Bohong! Dia pasti bohong!
“Kemungkinan besar
Pelaku sudah lama mengintaimu dan mencuri kesempatan ketika kita lengah. Jujur
saja kami tidak—”
“Lalu bagaimana
dengan Mama?” Rai memutuskan perkataan Deva. Dia marah pada Derren dan Deva.
“Mamaku tidka ada kaitannya dengan masalah ini! Apa kalian berdua mau
bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Mamaku?”
“Tenangkan dirimu,
Rai,” kata Deva yang agak ketakutan melihat Rai yang tiba-tiba menjadi
histeris. “Kami juga tidak menyangka kalau pelaku akan menculik Mamamu. Sampai
saat ini kami yakin kalau Mamamu dalam keadaan baik. Kami juga sudah
mengerahkan beberapa penyidik untuk mencari Mamamu.”
“Aku tetap tidak
percaya dengan apa yang kalian lakukan!” Rai berteriak. Suaranya membuat
ruangan itu bergema. “Derren, sebaiknya kau mengatakan pembelaan atau aku akan
membunuhmu!” kata Rai lagi dengan berang. Tapi Derren diam saja. Dia masih
tetap tenang membaca berkasnya seakan tidak terjadi apapun, dan hal itu membuat
Rai semakin marah.
“Aku sudah cukup
melihat tingkahmu yang cuek itu, Derren! Aku membantumu bukan untuk
membahayakan nyawa Mamaku! Lihat saja, jika terjadi sesuatu pada Mama-ku, akan
kupastikan kalau kau menyesal seumur hidup!”
Rai bangkit dari
tempatnya dengan tangan terkepal. Rai hampir memegang engsel pintu dan berniat
pergi ketika Derren tiba-tiba berbicara.
“Ibumu ada
hubungannya dengan masalah ini.”
“Apa?” Rai berbalik
dengan tidak percaya. “Tidak mungkin!”
“Cobalah berpikir
dari tempat si Pelaku,” kata Derren lagi. “Sang Pemegang Saham Terbesar Crystal
Pertama Group, yaitu Derren Putra Daris, tiba-tiba menghilang. Jika jadi si
Pelaku yang menginginkan saham, dia pasti akan uring-uringan dan menghalalkan
segala cara untuk menemukan aku. Lalu, entah kenapa, dia bertemu denganmu
dan—jika melihat keadaan—Ibumu. Pelaku tahu kalau kalian dekat, apalagi kau
bersedia tinggal di rumahnya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil kesimpulan
untuk menculik Ibumu, dengan begitu posisimu akan tersudut sehingga mau tak mau
akan muncul dengan sendirinya.”
“Kalau begitu Dirsa
jadi tersangka utama,” kata Deva seakan menangkap perkataan Derren.
“Belum tentu
begitu,” kata Derren. “Kita harus ingat kalau Pelaku Utama tidak mau turun
tangan. Dia menyuruh orang untuk melakukan penculikan. Siapapun bisa jadi
tersangka.”
“Jadi siapa yang
kau curigai selain Dirsa?” kata Deva lagi.
“Anggota Direksi,
khususnya orang yang pernah melihat wajahku secara langsung.”
Deva menelan ludah
ketika Derren berani mengambil kesimpulan seperti itu. Deva melirik ke arah Rai
yang masih diam terpaku. Rai yang sadar dipandangi Deva segera meraih kenop
pintu.
“Mau tak mau kau
harus terlibat dalam penyelidikan, Rai jika kau mau menolong Ibumu,” kata
Derren membalikan lembaran kertasnya.
“Aku tahu. Aku
keluar untuk menenangkan diri,” kata Rai membanting pintu. Deva melonjak kaget.
Kesunyian yang terasa di kamar Derren malah memperdengarkan alunan musik jazz
dari iPod Derren.
“Setelah ini apa
yang akan kau lakukan, Derren?’
“Menunggu putusan
pengadilan.”
***
“Jadi, Tuan Daris
Harryawan, dimanakah Anda berada pada pukul tujuh belas bulan sembilan?” tanya
Hakim dengan suara yang bisa didengar oleh semua orang di dalam ruang
pengadilan.
Para wartawan
mencatat cepat setiap perkataan dan kejadian yang terjadi hari ini. Beberapa
kali terdengar suara ceklak-ceklik. Ada yang berbisik.
“Seperti yang
sudah saya jawab di pegadilan sebelumnya dan sebelumnya lagi, saya berada
di Spanyol untuk membicarakan kerja sama perusahaan-perusahaan besar di masa
yang akan datang,” jawab Daris bosan. Ini kedua belas kalinya dia ditanya hal
yang sama.
“Lalu, bagaimana
caranya sidik jari Anda tertempel pada pisau yang diduga sebagai alat
pembunuhan?” tanya Hakim lagi.
“Seperti yang
sudah saya jawab di pengadilan sebelumnya dan sebelumnya lagi, saya tidak
tahu. Bukankah tugas Anda dan satuan penyidik dibawah Anda untuk menyelidiki
masalah tersebut?” kata Daris kalem.
Sang Hakim
memperbaiki posisi duduknya. Ini merupakan pengadilan ketiga dalam kasus Daris
dan sang Hakim sudah capek berhadapan dengan Daris. Daris terlalu berwibawa.
Tidak ada cela dari jawabannya. Dia malah ragu apakah Daris itu bersalah atau
tidak.
“Dapatkah Anda
memberitahu publik alasan Anda menyerahkan saham Anda pada seseorang yang sudah
Anda tunjuk?” tanya salah seorang Jaksa Penuntut.
“Keberatan, Pak
Hakim,” Pangacara Daris berdiri. “Pengadilan ini membicarakan tentang kasus
kematian Tuan Nico, bukannya bisnis Crystal Per—”
“Seharusnya Anda
tahu, Tuan Rudi, bukan rahasia umum jika Tuan Daris dijadikan tersangka utama
penggelapan dari uang keuntungan Crystal Pertama Group sebesar empat puluh
delapan koma tujuh milyar. Tentu saja tidak salah jika saya bertanya alasan
penyerahan aset saham secara tiba-tiba pada Tuan Daris. Apalagi saat ini wajah
dari Pemegang Saham itu masih rahasia. Bukankah jadi terlihat mencurigakan jika
masalah ini disembunyikan terus-menerus? Kesannya Tuan Daris berniat ‘kabur’
dari segala tuduhan. Bukan begitu, Pak Hakim?”
“Yang dikatakan
Jaksa Rafa memang benar. Keberatan ditolak,” kata Hakim. Pengacara Rudi, yang
jengkel, perlahan-lahan duduk kembali. “Silakan dilanjutkan.”
Daris menghela
napas panjang. Urusan pengadilan ini ternyata lebih runyam dari perkiraannya,
apalagi ditambah dengan Jaksa sehebat Rafa, yang begitu menjunjung tinggi
keadilan.
“Untuk
menyelamatkan Crystal, saya harus menyerahkan saham saya pada orang yang sudah
saya pilih. Orang pilihan itu, selain menududuki kursi tertinggi di Crystal,
dia juga akan mengatur secara rahasia tentang keluar-masuknya laba-rugi
Crystal, menyelidiki masalah lenyapnya keuntungan empat puluh delapan koma
tujuh milyar milik Crystal, sehingga—seperti yang dikatakan Tuan Jaksa
Penuntut, Rafa—akan membantu saya untuk kabur dari segala tuduhan.
Terlepas dari itu, saya yakin kalau saya akan bebas karena saya yakin kalau
saya sama sekali tidak bersalah.”
Pengadilan hari ini
berlangsung selama dua jam dengan hasil yang seadanya. Daris digiring keluar,
penjagaan untuknya begitu ketat dan tidak seorang pun wartawan yang diizinkan
untuk bertanya. Lampu blitz dari kamera wartawan membuat mata Daris silau dan
sulit untuk melihat ke depan—ini salah satu alasan dia membenci wartawan selain
berita mengenai dirinya. Akhrinya, Daris sampai di arena parkir kosong yang
sengaja diamankan polisi.
“Permisi, Pak
Polisi.”
Para polisi yang
menggiring Daris ke dalam mobil menoleh heran kearah pemuda berkursi roda. Dahi
mereka mengerut, begitu juga dengan Daris. Daris mengenal anak itu, Derren
pernah membawanya ke rumah sekitar dua tahun yang lalu. Namanya aneh dan
membuat Daris melupakannya begitu saja.
“Bagaimana caranya
kau bisa masuk arena ini?” kata salah seorang polisi.
“Saya minta tolong
pada seseorang,” jawab Deva, kemudian dia menoleh pada Daris. “Bolehkah saya
berbicara pada Tuan Daris?” ucapnya lagi.
“Tidak. Kalau ingin
bicara dengannya di kantor polisi saja!”
Deva cemberut tapi
dia kembali tersenyum.
“Baiklah,” kata
Deva tenang. “Kalau saya tidak boleh berbicara padanya, tentunya Tuan Daris
dapat berbicara dengan Pemegang Saham Terbesar Crystal Pertama Group kan?” kata
Deva lagi.
Polisi-polisi itu
seperti terpaku. Wajah mereka penuh kekagetan. Deva tersenyum melihat ekspresi
mereka. Kena sasaran.
“Bapak-bapak Polisi
pasti mengijinkan kan? Kalian pasti begitu penasaran melihat wajah Pemegang
Saham itu sekarang. Soalnya Bapak-bapak Polisi akan menjadi orang pertama yang
melihat wajah orang itu.” Deva melanjut.
Para polisi itu
saling pandang.
“Baiklah, kami
ijinkan tapi dengan sayarat hanya beberapa menit saja dan biarkan kami
mendengar pembicaraan mereka. Kami curiga, jangan-jangan kalian merencanakan
sesuatu untuk kabur,” kata salah seorang polisi, yang lain menyetujui sambil
mengangguk.
Deva tersenyum
lagi. Bujukannya ampuh. “Tidak masalah. Derren!” dia berteriak, membuat para
polisi itu melonjak kaget.
Daris melihat kalau
Derren keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memakai pakaian serba putih,
begitu juga dengan sepatunya. Derren menunduk sedikit supaya wajahnya yang
ditutupi putih tidak terlalu tampak.
“Apa kabar?” kata
Derren dengan suara datarnya.
“Ah, hm... sekarang
lebih baik,” jawab Daris menatap ujung topi putih Derren. Ada rasa rindu di
hati Daris, tapi sayangnya dia tidak bisa melihat wajah Derren lebih jelas.
“Kau masih saja memakai pakaian seperti itu,” komentar Daris, Derren mengangguk
dalam diam.
“Bersabarlah.
Secara garis besar aku sudah tahu kasusnya. Aku pasti akan mengeluarkanmu dari
tempat itu,” kata Derren dalam suara pelan.
“Jangan memaksakan
diri,” kata Daris menepuk bahu Derren. “Aku tak mau melihatmu sakit. Kau harus
jaga kesehatanmu baik-baik.”
“Tidak mau,” kata
Derren. “Aku tak bisa santai kalau masalah ini belum selesai.”
Air mata Daris
jatuh. Namun Derren tidak melihatnya. Perlahan-lahan, Daris melangkah ke
hadapan Derren. Dia memeluk Derren karena Derren tidak menolak. Lama sekali.
“Baiklah. Sudah
cukup,” kata salah satu polisi memecahkan kesunyian beberapa detik itu.
Daris segera
melepas pelukannya.
“Aku kembali,” kata
Daris.
“Anggota Direksi
jadi tersangka utama kasus ini,” kata Derren menatap mata Daris. “Persentase
kemungkinannya tujuh puluh lima persen, sisanya adalah bukti yang pasti akan
kudapat. Masalah Crystal tidak perlu dipikirkan. Kinerja kerja menaik sebanyak tiga puluh persen.
Tenang-tenang saja di sana, biar aku yang
urus semuanya.”
Daris tersenyum.
“Jika kasus ini selesai, aku akan jujur pada perasaanku.” Daris naik ke mobil
polisi. Dia masih melihat ke belakang sampai mobil berbelok.
“Derren, kau sudah
tahu rencana selanjutnya?” kata Deva.
Derren mengangguk
dalam diam.
“Jika diantara
polisi-polisi itu ada yang tidak bisa menjaga rahasia, aku akan terkenal dalam
beberapa hari ini. Ah, itu bisa membantu kita untuk masuk ke Crystal Pertama
Group secara terang-terangan walaupun beresiko tinggi.”
***
Rai menguap ketika
jam pelajaran sekolah berakhir. Sambil meregangkan tubuhnya yang kaku, Rai
berjalan kearah parkiran sekolah dan mendapati kalau ban sepedanya sudah
kempis. Rai mengumpat, pasti ulah teman-temannya.
“Sori, ya Rai.
Tanganku gatal,” salah seorang dari kerumunan berandalan melambai pada Rai.
Teman-teman berandalan itu tertawa.
Rai yang kesal
setengah mati segera kearah kerumunan itu. Sejak seminggu yang lalu dia sudah
pengen marah-marah dan berteriak pada seseorang dan sekarang adalah saat yang
tepat. Mereka salah karena sudah membangunkan singa yang tidur.
“Madani, apa kau
tak punya kerjaan lain selain merusak barang orang lain?” kata Rai dengan nada
kesal. “Jangan buat aku marah!”
“Wah, bagaimana ya.
Aku iseng sih. Mau berkelahi?”
“Boleh sa—”
“Tuan Muda Rai,
selamat siang.”
Rai melonjak kaget
melihat Rio sudah ada di sisinya dan
membungkuk dengan rasa hormat padanya.
“P-Pak Rio, ada
apa?’
“Tuan Muda Deva
berinisiatif untuk menjemput Anda karena itu saya ada di sini. Jika Anda tidak keberatan, silakan masuk ke mobil.”
Rai melirik kearah
mobil ford yang terparkir di seberang jalan. Tangan Deva melambai keluar
jendela.
“Tapi saya harus
bekerja,” Deva mengalihkan pandangannya. “Dan sepeda saya...”
“Jangan khawatir
Tuan Muda Rai, saya dan Tuan Deva sudah meminta ijin beberapa hari pada Bos
Anda. Mengenai sepeda Anda, Tuan Muda Hosea sudah menyuruh orang suruhannya
untuk membawa sepeda Anda kembali ke rumah.”
Rai melirik ke
sekelilingnya. Sekarang teman-temannya melirik dengan penuh antusias. Ini
pasti karena kedatangan kedua orang ini, Rai membatin, sekarang aku
pasti dianggap luar biasa.
“Silakan, Tuan,”
kata Rio lagi.
“Eh, iya,” Rai
gugup. Dia mengikuti Rio dan masuk ke dalam mobil setelah pintu dibukakan
untuknya oleh Rio. “Terima kasih, Pak Rio.”
“Kembali, Tuan.”
“Kenapa kau
tiba-tiba datang?” kata Rai pada Deva.
“Lebih cepat
menjemputmu daripada menunggu, apalagi sepedamu dalam keadaan tidak baik,” kata
Deva cepat.
“Tapi kau kan bisa
meneleponku!” protes Rai. “Gara-gara kau, aku bisa jadi terkenal. Aku tidak
suka dipandangi mereka. Kau membuatku menarik perhatian terlalu banyak!”
“Apa salahnya jadi
terkenal? Lagipula, aku ingin menunjukan koran hari ini pada Derren.”
“Koran?” ulang Rai
bingung.
***
“Dugaanmu tepat,
Derren. Diantara polisi-polisi itu pasti ada yangcerita pada wartawan,” sambil
melemparkan koran ke atas meja, Deva duduk kembali di atas kursi rodanya.
Derren yang sedang
makan es krim hanya manggut-manggut.
“Aku tidak
menyangka bakal secepat ini,” ucap Derren mengambil koran itu dan
membolak-baliknya.
“Derren, kenapa kau
selalu melakukan hal yang berbahaya?” kata Rai dengan mata menyipit berbahaya.
“Kau sudah bosan hidup ya?”
“Sejak awal
kejadian ini memang berbahaya dan aku tidak mugkin minta pertolonganmu terus,”
jawab Derren membaca koran yang berjudul “Pemegang Saham Ternyata Masih Remaja”
dengan subjudul “Pertemuan Rahasia dengan Daris di Belakang Parkiran
Pengadilan”.
“Judul yang terlalu
menarik perhatian ya?” komentar Derren membalik halaman koran. “Pasti korannya
banyak laku.”
“Dengan judul
seperti itu Pelaku pasti tahu kalau kau masih remaja,” kata Rai tidak percaya
kalau Derren masih bisa bersikap santai. “Ini menarik perhatian Pelaku!
Resikonya sangat besar!”
“Kau lupa ya? Sejak
awal Pelakunya sudah tahu kalau akulah Pemegang Saham. Itu sebabnya mereka
menculik Ibumu,” komentar Derren lagi membaca artikelnya.
“Tapi tetap saja
hal yang kau lakukan ini berbahaya!” timpal Rai lagi.
“Derren sengaja
melakukan itu untuk membuat Pelaku memunculkan dirinya,” Deva angkat bicara.
“Kalau Derren bergerak duluan untuk memancing Pelaku, maka Pelaku mungkin saja
akan beraksi lagi dan itu bosa menjadi petunjuk bagi kita.”
Rai menatap Derren
yang masih bersembunyi di balik koran.
“Pokoknya kalau ada
apa-apa segera katakan padaku, Derren,” kata Rai mengetuk koran Derren. Derren
memunculkan kepalanya dari balik koran dan tersenyum. “Aku tidak keberatan mati
demi kau.”
“Tapi aku keberatan
kau mati demi aku,” timpal Derren kembali membaca koran.
“J-EN BOARDLY 00569
JPN 11344”
Derren mengalihkan
pandangannya dari koran dan melihat kearah laptop peraknya yang lampunya
berkelap-kelip. Cepat-cepat dia bangkit dari sofa dan duduk di depan laptop
miliknya.
“Disini Hosea
WILDWARE 75403 INA 00726,” kata Derren memakai headphone-nya.
“Bagaimana, J? Apa kau sudah mendapat datanya?”
“Kau ini tak suka
basa-basi ya?” J menggerutu. Dia muncul dari bawah kolong meja. “Aku sudah
dapat data yang kau minta. Sebentar aku kirim.”
J mengotak-atik keyboard laptopnya setelah dia memasang flashdisc
ke USB support miliknya. Derren menopang dagu sambil menunggu dengan
tenang. Setelah beberapa menit, sudah ada amplop cokelat di monitor Derren.
“Terimakasih,” kata
Derren. Amplop itu terbuka setelah diklik dua kali oleh Derren. Namun, data
yang dikirim itu lenyap sebentar dan yang muncul justru wajah J. “Ada apa
lagi?” kata Derren jengkel.
“Kebiasaan jelekmu
tidak berubah ya?” kata J dengan raut wajah kesal. “Kau sama sekali tidak
menghargai orang yang sudah membantumu!”
“Aku kan sudah
bilang terimakasih!” timpal Derren. “Kau ingin aku mengatakannya berapa kali
hah?”
“Setidaknya tanya
kabarku! Kita ini teman sejak kecil dan kita sudah lama tidak bertemu! Tapi kau
malah tidak peduli!” tuntut J lagi.
Kemarin kau bilang
tidak peduli walau sudah kuperalat, batin Derren jengkel. “Baiklah. Apa kabar?”
“Eh, kabarku baik.”
“Sudah kan?
Sekarang aku mau berpikir. Terimakasih atas bantuanmu. Daah,” Derren mengakhiri
pembicaraan dengan cepat. Sebelum J menjawab, Derren sudah keluar dari list.
Rai dan Deva yang tadi hanya menonton sekarang saling lirik.
“J pasti membencimu,”
komentar Deva geleng-geleng kepala. “Kau terlalu cuek.”
“J lebih pantas
mendapatkan cowok lain yang lebih baik dari aku,” kata Derren. Rai dan Deva
kaget, tidak menyangka kalau jawaban itu akan muncul dari bibir Derren. “Aku
tidak mau J terlalu berharap padaku.”
Rai ingin
mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Dia ingin bilang kalau Derren mirip sekali
dengan Daris.
Suara mesin printer berbunyi dan mencetak
berlembar-lembar kertas putih yang penuh tulisan yang kecil-kecil membuat
perhatian mereka teralih. Rai melihat salah satu lembar kertas itu dan
memberikan hasil yang lain pada Derren dan Deva.
“Data anggota
direksi dan Pemegang Saham termasuk Ayah, baik di Crystal Pusat maupun cabang lain di luar negeri,” Derren memberitahu
mereka sambil mematikan layar laptopnya.
“Luar biasa!” kata
Deva takjub. “Data sebanyak ini bisa didapat J dalam waktu kurang dari dua
mingu! Dia benar-benar hebat!”
Derren tidak
mendengarkan, dia memilih kertas yang akan dia baca. Sesekali dia melirik ke
arah kertas berisi kode yang belum dia pecahkan hingga saat ini. Rai
memperhatikan Derren, kertas, lalu kearah koran di atas meja. Dia merasakan ada
sesuatu yang ganjil tetapi tidak tahu apa.
“Kapan sidang
keempat Papamu diadakan?” tiba-tiba Rai bertanya.
“Delapan belas
Desember,” jawab Derren tanpa menghentikan pekerjaannya.
“Apa kau bisa
menyelesaikan masalah ini sebelum sidang itu?” kata Rai. Derren dan Deva
mengalihkan pandangan kepada Rai. “Aku merasa ada yang tidak beres.”
Derren mengepalkan
tangannya. Dia tidak mengatakan apapun. Walaupun tidak tahu alasannya, tapi
kau bisa merasakan masalah yang akan terjadi ya Rai, batin Derren.
“Kuusahakan,” gumam
Derren. Rai dan Deva kelihatan senang.
“Jadi kau sudah
tahu pelakunya?” kata Deva dengan semangat menggebu.
“Belum. Masih
dugaan. Buat apa aku minta data dari J kalau aku sudah tahu pelakunya.
Lagipula, aku ingin tahu motif dan latar belakang mereka mengincar Ayah,” gumam
Derren kembali melihat keatas.
“Berarti tinggal
sedikit lagi maka Pelakunya akan tertangkap! Aku sudah tidak sabar, kalau aku
tahu pelakunya maka akan kuhabisi dia!” ungkap Deva geram. Rai hanya tertawa
dan tidak seorang pun dari mereka yang memperhatikan Derren dan pekerjaannya.
Maafkan aku, tapi
kurasa kerja sama dengan kalian cukup disini saja.
***
0 komentar:
Posting Komentar