RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 05 Februari 2013

Derren dan Rai Eps 7


7.
Siapa Pelakunya
 “Dimana Derren?” kata Rai melihat kesekelilingnya. Tidak ada siapapun selain mereka berdua di ruangan itu.
“Tidur.”
“Tumben.”
“Terpaksa. Kalau tidak dia akan merintih kesakitan.”
“Maksudmu?”
“Tulang tangan kanannya retak ketika mencoba menolongmu. Tangannya dihantam pintu belakang mobil oleh salah satu penculikmu. Tapi tenang saja, kau tidak perlu cemas,” Deva buru-buru menjelaskan ketika melihat wajah cemas Rai. “Dia baik-baik saja dan tidak menyalahkanmu. Kejadian kali ini termasuk tanggung jawabnya. Jadi dia tidak ingin melibatkanmu sampai kau celaka.” Deva melanjutkan lagi ketika kerutan di dahi Rai semakin dalam. “Jangan khawatir, Rai. Derren anak yang kuat. Itu cuma luka kecil. Sudah diobati dan diberi obat penghilang rasa sakit oleh dokter. Tidak lama lagi dia pasti sembuh.”
“Begitu,” kata Rai pelan. Dia merasa tidak enak pada Derren. “Aku mau melihat keadaannya.” Rai bangkit dari atas tidur dan berjalan ke kamar Derren. Deva ikut-ikutan dengan kursi rodanya. Ketika sampai di depan pintu putih kamar Derren, Rai dan Deva terbengong ketika mereka membuka pintu.
Kamar Derren masih tidak berubah, masih serba putih dan berantakan dengan buku. Yang berubah hanyalah Derren. Dia duduk di dekat jendela dengan perban yang menggantung di lehernya, tangan kirinya bergerak lincah di atas keyboard komputer, sedangkan di telinga tertempel earphone; samar-samar terdengar musik mellow di ruangan itu.
“Sandra Marya Azuha, tiga puluh sembilan tahu. Kalau tidak salah dia bekerja di Rumah Sakit Ibu dan Anak Santa Louisa,” kata Derren pada seseorang di monitor. “Aku yakin ini ulah pelaku utama. Sebelumnya juga ada anak yang hendak diculik, tapi kami berhasil mematahkan serangan mereka.”
“Apa karena itu tangamu jadi begitu?” kata suara di dalam monitor.
“Tidak. Tanganku begini karena aku yang ceroboh, Agen Mike,” kata Derren memperbaiki letak earphone-nya. “Aku minta tolong untuk melacak Sandra Marya. Aku salah duga. Tidak kusangka kalau pelaku mengincarnya.”
“Akan kuusahakan.”
“Terima kasih.”
Derren memutuskan hubungan, lalu melepaskan earphone-nya. Belum lagi dia selesai memperbaiki perban tangannya yang melorot, sudah ada laporan masuk. Kali ini suara perempuan.
“J-EN BOARDLY 00569 JPN 11344. Apa kabar, Hosea?”
“J? Kupikir kau tak sudi lagi melihat wajahku,” kata Derren memakai kembali earphone-nya. “Kabarku tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk juga.”
“Aku tidak mau melihat Astyn tampak lebih hebat di matamu. Jadi kupastikan untuk mengesampingkan rasa cemburuku dan memutuskan untuk membantumu.”
Deva dan Rai segera duduk mengapit Derren. Mereka kelihatan tertarik sekali pada J. Kisah cinta Derren dimulai. Dia diperebutkan oleh dua orang wanita cantik: J dan Astyn.
“Aku sangat berterima kasih kau mau membantuku. Tapi kesalahpahaman ini harus diluruskan. Aku tidak menyukai gadis manapun sampai saat ini,” kata Derren mengambil kertas yang berserakan di lantai. “Aku tidak mau membuat kau berharap terlalu jauh padaku, tapi sebaiknya kau mencari pria baik yang lain,” tambahnya lagi membaca kertas-kertas itu dengan sikap tidak peduli. “Sekarang aku lebih berkonsentrasi pada penyelidikan penting dan tidak berminat pada urusan lain.”
Deva, Rai dan J menatapnya dengan tajam. Menurut Rai, Derren benar-benar mirip dengan Daris, tapi sikapnya yang serba tidak peduli dengan orang yang berbicara dengannya itu agak keterlaluan.
“Aku tidak akan menyerah, Hosea karena hanya akulah yang lebih mengenalmu lebih dari siapapun. Aku tidak perlu walau kau memperalatku. Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
Rai benar-benar salut pada J yang mencintai Derren dengan tulus. Apalagi jika diperhatikan lebih teliti. Wajah J lebih cantik daripada Astyn, mungil sekali. Mata hitamnya yang bulat dan polos menatap Derren dengan lugu.
“J,” gumam Derren—sepertinya Derren tergugah dengan perasaan J—“Bisakah kau menyelidiki latar belakang semua anggota direksi Crystal Pertama Group? Soalnya kami sudah diserang.” Sepertinya Derren memang tidak punya perasaan seperti itu.
“Serahkan padaku. Itu masalah mudah,” kata J menunjukan jempolnya. “Baiklah, aku beraksi sekarang. Sampai jumpa!”
Layar monitor menjadi gelap seketika. Derren menggaruk-garuk kepalanya dan membuat rambutnya jadi makin terlihat berantakan. “Rai, bagaimana keadaan Ayah? Apa dia baik-baik saja?” Derren akhirnya mengalihkan pandangannya pada Rai.
“Ya, bahkan sangat baik sekali,” kata Rai menatap Derren yang kembali mengalihkan pandangannya pada kertas-kertas. “Kau merindukannya juga kan?” Derren tidak menanggapi. Kesunyian itu membuat Rai menceritakan kejadian saat menemui Daris tadi siang. Deva berhenti makan es krim dan Derren menopang dagunya ketika Rai menyelesaikan ceritanya.
“Dia sudah cerita, Derren. Apa tidak sebaiknya kau mengatakan hal yang terjadi hari ini? Kejadian itu diluar dugaan. Tidak ada yang menyalahkanmu,” kata Deva hati-hati sambil melirik Rai takut-takut.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” kata Rai heran. Firasat buruk.
“Ayo, katakan!” Deva mendesak Derren. “Cepat atau lambat dia juga harus tahu kan? Kau tidak mungkin menyimpan masalah ini selamanya!”
Derren menatap Deva. Sebal.
Rai menatap Deva dan Derren secara bergantian. Menunggu penjelasan.
“Rai, sebelumnya aku minta maaf, tapi kejadian ini benar-benar diluar dugaanku,” kata Derren sibuk dengan kertasnya. Rai tidak tahu alasan Derren bersikap begitu karena tidak berani menatap matanya atau karena sibuk dengan bacaannya? Sambil menghela napas dan memperbaiki kacamatanya yang melorot, Derren menyelesaikan kalimat yang tadi dia tahan. “Ibumu diculik oleh pelaku utama kasus Ayah.”
Rai merasakan kalau otaknya macet; telinganya berdengung; badannya terasa lemas. Tidak mungkin! batinnya menjerit. Bohong! Dia pasti bohong!
“Kemungkinan besar Pelaku sudah lama mengintaimu dan mencuri kesempatan ketika kita lengah. Jujur saja kami tidak—”
“Lalu bagaimana dengan Mama?” Rai memutuskan perkataan Deva. Dia marah pada Derren dan Deva. “Mamaku tidka ada kaitannya dengan masalah ini! Apa kalian berdua mau bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu pada Mamaku?”
“Tenangkan dirimu, Rai,” kata Deva yang agak ketakutan melihat Rai yang tiba-tiba menjadi histeris. “Kami juga tidak menyangka kalau pelaku akan menculik Mamamu. Sampai saat ini kami yakin kalau Mamamu dalam keadaan baik. Kami juga sudah mengerahkan beberapa penyidik untuk mencari Mamamu.”
“Aku tetap tidak percaya dengan apa yang kalian lakukan!” Rai berteriak. Suaranya membuat ruangan itu bergema. “Derren, sebaiknya kau mengatakan pembelaan atau aku akan membunuhmu!” kata Rai lagi dengan berang. Tapi Derren diam saja. Dia masih tetap tenang membaca berkasnya seakan tidak terjadi apapun, dan hal itu membuat Rai semakin marah.
“Aku sudah cukup melihat tingkahmu yang cuek itu, Derren! Aku membantumu bukan untuk membahayakan nyawa Mamaku! Lihat saja, jika terjadi sesuatu pada Mama-ku, akan kupastikan kalau kau menyesal seumur hidup!”
Rai bangkit dari tempatnya dengan tangan terkepal. Rai hampir memegang engsel pintu dan berniat pergi ketika Derren tiba-tiba berbicara.
“Ibumu ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Apa?” Rai berbalik dengan tidak percaya. “Tidak mungkin!”
“Cobalah berpikir dari tempat si Pelaku,” kata Derren lagi. “Sang Pemegang Saham Terbesar Crystal Pertama Group, yaitu Derren Putra Daris, tiba-tiba menghilang. Jika jadi si Pelaku yang menginginkan saham, dia pasti akan uring-uringan dan menghalalkan segala cara untuk menemukan aku. Lalu, entah kenapa, dia bertemu denganmu dan—jika melihat keadaan—Ibumu. Pelaku tahu kalau kalian dekat, apalagi kau bersedia tinggal di rumahnya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil kesimpulan untuk menculik Ibumu, dengan begitu posisimu akan tersudut sehingga mau tak mau akan muncul dengan sendirinya.”
“Kalau begitu Dirsa jadi tersangka utama,” kata Deva seakan menangkap perkataan Derren.
“Belum tentu begitu,” kata Derren. “Kita harus ingat kalau Pelaku Utama tidak mau turun tangan. Dia menyuruh orang untuk melakukan penculikan. Siapapun bisa jadi tersangka.”
“Jadi siapa yang kau curigai selain Dirsa?” kata Deva lagi.
“Anggota Direksi, khususnya orang yang pernah melihat wajahku secara langsung.”
Deva menelan ludah ketika Derren berani mengambil kesimpulan seperti itu. Deva melirik ke arah Rai yang masih diam terpaku. Rai yang sadar dipandangi Deva segera meraih kenop pintu.
“Mau tak mau kau harus terlibat dalam penyelidikan, Rai jika kau mau menolong Ibumu,” kata Derren membalikan lembaran kertasnya.
“Aku tahu. Aku keluar untuk menenangkan diri,” kata Rai membanting pintu. Deva melonjak kaget. Kesunyian yang terasa di kamar Derren malah memperdengarkan alunan musik jazz dari iPod Derren.
“Setelah ini apa yang akan kau lakukan, Derren?’
“Menunggu putusan pengadilan.”
***
“Jadi, Tuan Daris Harryawan, dimanakah Anda berada pada pukul tujuh belas bulan sembilan?” tanya Hakim dengan suara yang bisa didengar oleh semua orang di dalam ruang pengadilan.
Para wartawan mencatat cepat setiap perkataan dan kejadian yang terjadi hari ini. Beberapa kali terdengar suara ceklak-ceklik. Ada yang berbisik.
Seperti yang sudah saya jawab di pegadilan sebelumnya dan sebelumnya lagi, saya berada di Spanyol untuk membicarakan kerja sama perusahaan-perusahaan besar di masa yang akan datang,” jawab Daris bosan. Ini kedua belas kalinya dia ditanya hal yang sama.
“Lalu, bagaimana caranya sidik jari Anda tertempel pada pisau yang diduga sebagai alat pembunuhan?” tanya Hakim lagi.
Seperti yang sudah saya jawab di pengadilan sebelumnya dan sebelumnya lagi, saya tidak tahu. Bukankah tugas Anda dan satuan penyidik dibawah Anda untuk menyelidiki masalah tersebut?” kata Daris kalem.
Sang Hakim memperbaiki posisi duduknya. Ini merupakan pengadilan ketiga dalam kasus Daris dan sang Hakim sudah capek berhadapan dengan Daris. Daris terlalu berwibawa. Tidak ada cela dari jawabannya. Dia malah ragu apakah Daris itu bersalah atau tidak.
“Dapatkah Anda memberitahu publik alasan Anda menyerahkan saham Anda pada seseorang yang sudah Anda tunjuk?” tanya salah seorang Jaksa Penuntut.
“Keberatan, Pak Hakim,” Pangacara Daris berdiri. “Pengadilan ini membicarakan tentang kasus kematian Tuan Nico, bukannya bisnis Crystal Per—”
“Seharusnya Anda tahu, Tuan Rudi, bukan rahasia umum jika Tuan Daris dijadikan tersangka utama penggelapan dari uang keuntungan Crystal Pertama Group sebesar empat puluh delapan koma tujuh milyar. Tentu saja tidak salah jika saya bertanya alasan penyerahan aset saham secara tiba-tiba pada Tuan Daris. Apalagi saat ini wajah dari Pemegang Saham itu masih rahasia. Bukankah jadi terlihat mencurigakan jika masalah ini disembunyikan terus-menerus? Kesannya Tuan Daris berniat ‘kabur’ dari segala tuduhan. Bukan begitu, Pak Hakim?”
“Yang dikatakan Jaksa Rafa memang benar. Keberatan ditolak,” kata Hakim. Pengacara Rudi, yang jengkel, perlahan-lahan duduk kembali. “Silakan dilanjutkan.”
Daris menghela napas panjang. Urusan pengadilan ini ternyata lebih runyam dari perkiraannya, apalagi ditambah dengan Jaksa sehebat Rafa, yang begitu menjunjung tinggi keadilan.
“Untuk menyelamatkan Crystal, saya harus menyerahkan saham saya pada orang yang sudah saya pilih. Orang pilihan itu, selain menududuki kursi tertinggi di Crystal, dia juga akan mengatur secara rahasia tentang keluar-masuknya laba-rugi Crystal, menyelidiki masalah lenyapnya keuntungan empat puluh delapan koma tujuh milyar milik Crystal, sehingga—seperti yang dikatakan Tuan Jaksa Penuntut, Rafa—akan membantu saya untuk kabur dari segala tuduhan. Terlepas dari itu, saya yakin kalau saya akan bebas karena saya yakin kalau saya sama sekali tidak bersalah.”
Pengadilan hari ini berlangsung selama dua jam dengan hasil yang seadanya. Daris digiring keluar, penjagaan untuknya begitu ketat dan tidak seorang pun wartawan yang diizinkan untuk bertanya. Lampu blitz dari kamera wartawan membuat mata Daris silau dan sulit untuk melihat ke depan—ini salah satu alasan dia membenci wartawan selain berita mengenai dirinya. Akhrinya, Daris sampai di arena parkir kosong yang sengaja diamankan polisi.
“Permisi, Pak Polisi.”
Para polisi yang menggiring Daris ke dalam mobil menoleh heran kearah pemuda berkursi roda. Dahi mereka mengerut, begitu juga dengan Daris. Daris mengenal anak itu, Derren pernah membawanya ke rumah sekitar dua tahun yang lalu. Namanya aneh dan membuat Daris melupakannya begitu saja.
“Bagaimana caranya kau bisa masuk arena ini?” kata salah seorang polisi.
“Saya minta tolong pada seseorang,” jawab Deva, kemudian dia menoleh pada Daris. “Bolehkah saya berbicara pada Tuan Daris?” ucapnya lagi.
“Tidak. Kalau ingin bicara dengannya di kantor polisi saja!”
Deva cemberut tapi dia kembali tersenyum.
“Baiklah,” kata Deva tenang. “Kalau saya tidak boleh berbicara padanya, tentunya Tuan Daris dapat berbicara dengan Pemegang Saham Terbesar Crystal Pertama Group kan?” kata Deva lagi.
Polisi-polisi itu seperti terpaku. Wajah mereka penuh kekagetan. Deva tersenyum melihat ekspresi mereka. Kena sasaran.
“Bapak-bapak Polisi pasti mengijinkan kan? Kalian pasti begitu penasaran melihat wajah Pemegang Saham itu sekarang. Soalnya Bapak-bapak Polisi akan menjadi orang pertama yang melihat wajah orang itu.” Deva melanjut.
Para polisi itu saling pandang.
“Baiklah, kami ijinkan tapi dengan sayarat hanya beberapa menit saja dan biarkan kami mendengar pembicaraan mereka. Kami curiga, jangan-jangan kalian merencanakan sesuatu untuk kabur,” kata salah seorang polisi, yang lain menyetujui sambil mengangguk.
Deva tersenyum lagi. Bujukannya ampuh. “Tidak masalah. Derren!” dia berteriak, membuat para polisi itu melonjak kaget.
Daris melihat kalau Derren keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memakai pakaian serba putih, begitu juga dengan sepatunya. Derren menunduk sedikit supaya wajahnya yang ditutupi putih tidak terlalu tampak.
“Apa kabar?” kata Derren dengan suara datarnya.
“Ah, hm... sekarang lebih baik,” jawab Daris menatap ujung topi putih Derren. Ada rasa rindu di hati Daris, tapi sayangnya dia tidak bisa melihat wajah Derren lebih jelas. “Kau masih saja memakai pakaian seperti itu,” komentar Daris, Derren mengangguk dalam diam.
“Bersabarlah. Secara garis besar aku sudah tahu kasusnya. Aku pasti akan mengeluarkanmu dari tempat itu,” kata Derren dalam suara pelan.
“Jangan memaksakan diri,” kata Daris menepuk bahu Derren. “Aku tak mau melihatmu sakit. Kau harus jaga kesehatanmu baik-baik.”
“Tidak mau,” kata Derren. “Aku tak bisa santai kalau masalah ini belum selesai.”
Air mata Daris jatuh. Namun Derren tidak melihatnya. Perlahan-lahan, Daris melangkah ke hadapan Derren. Dia memeluk Derren karena Derren tidak menolak. Lama sekali.
“Baiklah. Sudah cukup,” kata salah satu polisi memecahkan kesunyian beberapa detik itu.
Daris segera melepas pelukannya.
“Aku kembali,” kata Daris.
“Anggota Direksi jadi tersangka utama kasus ini,” kata Derren menatap mata Daris. “Persentase kemungkinannya tujuh puluh lima persen, sisanya adalah bukti yang pasti akan kudapat. Masalah Crystal tidak perlu dipikirkan. Kinerja kerja menaik sebanyak tiga puluh persen. Tenang-tenang saja di sana, biar aku yang urus semuanya.”
Daris tersenyum. “Jika kasus ini selesai, aku akan jujur pada perasaanku.” Daris naik ke mobil polisi. Dia masih melihat ke belakang sampai mobil berbelok.
“Derren, kau sudah tahu rencana selanjutnya?” kata Deva.
Derren mengangguk dalam diam.
“Jika diantara polisi-polisi itu ada yang tidak bisa menjaga rahasia, aku akan terkenal dalam beberapa hari ini. Ah, itu bisa membantu kita untuk masuk ke Crystal Pertama Group secara terang-terangan walaupun beresiko tinggi.”
***
Rai menguap ketika jam pelajaran sekolah berakhir. Sambil meregangkan tubuhnya yang kaku, Rai berjalan kearah parkiran sekolah dan mendapati kalau ban sepedanya sudah kempis. Rai mengumpat, pasti ulah teman-temannya.
“Sori, ya Rai. Tanganku gatal,” salah seorang dari kerumunan berandalan melambai pada Rai. Teman-teman berandalan itu tertawa.
Rai yang kesal setengah mati segera kearah kerumunan itu. Sejak seminggu yang lalu dia sudah pengen marah-marah dan berteriak pada seseorang dan sekarang adalah saat yang tepat. Mereka salah karena sudah membangunkan singa yang tidur.
“Madani, apa kau tak punya kerjaan lain selain merusak barang orang lain?” kata Rai dengan nada kesal. “Jangan buat aku marah!”
“Wah, bagaimana ya. Aku iseng sih. Mau berkelahi?”
“Boleh sa—”
“Tuan Muda Rai, selamat siang.”
Rai melonjak kaget melihat Rio sudah ada di sisinya dan membungkuk dengan rasa hormat padanya.
“P-Pak Rio, ada apa?’
“Tuan Muda Deva berinisiatif untuk menjemput Anda karena itu saya ada di sini. Jika Anda tidak keberatan, silakan masuk ke mobil.”
Rai melirik kearah mobil ford yang terparkir di seberang jalan. Tangan Deva melambai keluar jendela.
“Tapi saya harus bekerja,” Deva mengalihkan pandangannya. “Dan sepeda saya...”
“Jangan khawatir Tuan Muda Rai, saya dan Tuan Deva sudah meminta ijin beberapa hari pada Bos Anda. Mengenai sepeda Anda, Tuan Muda Hosea sudah menyuruh orang suruhannya untuk membawa sepeda Anda kembali ke rumah.”
Rai melirik ke sekelilingnya. Sekarang teman-temannya melirik dengan penuh antusias. Ini pasti karena kedatangan kedua orang ini, Rai membatin, sekarang aku pasti dianggap luar biasa.
“Silakan, Tuan,” kata Rio lagi.
“Eh, iya,” Rai gugup. Dia mengikuti Rio dan masuk ke dalam mobil setelah pintu dibukakan untuknya oleh Rio. “Terima kasih, Pak Rio.”
“Kembali, Tuan.”
“Kenapa kau tiba-tiba datang?” kata Rai pada Deva.
“Lebih cepat menjemputmu daripada menunggu, apalagi sepedamu dalam keadaan tidak baik,” kata Deva cepat.
“Tapi kau kan bisa meneleponku!” protes Rai. “Gara-gara kau, aku bisa jadi terkenal. Aku tidak suka dipandangi mereka. Kau membuatku menarik perhatian terlalu banyak!”
“Apa salahnya jadi terkenal? Lagipula, aku ingin menunjukan koran hari ini pada Derren.”
“Koran?” ulang Rai bingung.
***
“Dugaanmu tepat, Derren. Diantara polisi-polisi itu pasti ada yangcerita pada wartawan,” sambil melemparkan koran ke atas meja, Deva duduk kembali di atas kursi rodanya.
Derren yang sedang makan es krim hanya manggut-manggut.
“Aku tidak menyangka bakal secepat ini,” ucap Derren mengambil koran itu dan membolak-baliknya.
“Derren, kenapa kau selalu melakukan hal yang berbahaya?” kata Rai dengan mata menyipit berbahaya. “Kau sudah bosan hidup ya?”
“Sejak awal kejadian ini memang berbahaya dan aku tidak mugkin minta pertolonganmu terus,” jawab Derren membaca koran yang berjudul “Pemegang Saham Ternyata Masih Remaja” dengan subjudul “Pertemuan Rahasia dengan Daris di Belakang Parkiran Pengadilan”.
“Judul yang terlalu menarik perhatian ya?” komentar Derren membalik halaman koran. “Pasti korannya banyak laku.”
“Dengan judul seperti itu Pelaku pasti tahu kalau kau masih remaja,” kata Rai tidak percaya kalau Derren masih bisa bersikap santai. “Ini menarik perhatian Pelaku! Resikonya sangat besar!”
“Kau lupa ya? Sejak awal Pelakunya sudah tahu kalau akulah Pemegang Saham. Itu sebabnya mereka menculik Ibumu,” komentar Derren lagi membaca artikelnya.
“Tapi tetap saja hal yang kau lakukan ini berbahaya!” timpal Rai lagi.
“Derren sengaja melakukan itu untuk membuat Pelaku memunculkan dirinya,” Deva angkat bicara. “Kalau Derren bergerak duluan untuk memancing Pelaku, maka Pelaku mungkin saja akan beraksi lagi dan itu bosa menjadi petunjuk bagi kita.”
Rai menatap Derren yang masih bersembunyi di balik koran.
“Pokoknya kalau ada apa-apa segera katakan padaku, Derren,” kata Rai mengetuk koran Derren. Derren memunculkan kepalanya dari balik koran dan tersenyum. “Aku tidak keberatan mati demi kau.”
“Tapi aku keberatan kau mati demi aku,” timpal Derren kembali membaca koran.
“J-EN BOARDLY 00569 JPN 11344”
Derren mengalihkan pandangannya dari koran dan melihat kearah laptop peraknya yang lampunya berkelap-kelip. Cepat-cepat dia bangkit dari sofa dan duduk di depan laptop miliknya.
“Disini Hosea WILDWARE 75403 INA 00726,” kata Derren memakai headphone-nya. “Bagaimana, J? Apa kau sudah mendapat datanya?”
“Kau ini tak suka basa-basi ya?” J menggerutu. Dia muncul dari bawah kolong meja. “Aku sudah dapat data yang kau minta. Sebentar aku kirim.”
J mengotak-atik keyboard laptopnya setelah dia memasang flashdisc ke USB support miliknya. Derren menopang dagu sambil menunggu dengan tenang. Setelah beberapa menit, sudah ada amplop cokelat di monitor Derren.
“Terimakasih,” kata Derren. Amplop itu terbuka setelah diklik dua kali oleh Derren. Namun, data yang dikirim itu lenyap sebentar dan yang muncul justru wajah J. “Ada apa lagi?” kata Derren jengkel.
“Kebiasaan jelekmu tidak berubah ya?” kata J dengan raut wajah kesal. “Kau sama sekali tidak menghargai orang yang sudah membantumu!”
“Aku kan sudah bilang terimakasih!” timpal Derren. “Kau ingin aku mengatakannya berapa kali hah?”
“Setidaknya tanya kabarku! Kita ini teman sejak kecil dan kita sudah lama tidak bertemu! Tapi kau malah tidak peduli!” tuntut J lagi.
Kemarin kau bilang tidak peduli walau sudah kuperalat, batin Derren jengkel. “Baiklah. Apa kabar?”
“Eh, kabarku baik.”
“Sudah kan? Sekarang aku mau berpikir. Terimakasih atas bantuanmu. Daah,” Derren mengakhiri pembicaraan dengan cepat. Sebelum J menjawab, Derren sudah keluar dari list. Rai dan Deva yang tadi hanya menonton sekarang saling lirik.
“J pasti membencimu,” komentar Deva geleng-geleng kepala. “Kau terlalu cuek.”
“J lebih pantas mendapatkan cowok lain yang lebih baik dari aku,” kata Derren. Rai dan Deva kaget, tidak menyangka kalau jawaban itu akan muncul dari bibir Derren. “Aku tidak mau J terlalu berharap padaku.”
Rai ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Dia ingin bilang kalau Derren mirip sekali dengan Daris.
Suara mesin printer berbunyi dan mencetak berlembar-lembar kertas putih yang penuh tulisan yang kecil-kecil membuat perhatian mereka teralih. Rai melihat salah satu lembar kertas itu dan memberikan hasil yang lain pada Derren dan Deva.
“Data anggota direksi dan Pemegang Saham termasuk Ayah, baik di Crystal Pusat maupun cabang lain di luar negeri,” Derren memberitahu mereka sambil mematikan layar laptopnya.
“Luar biasa!” kata Deva takjub. “Data sebanyak ini bisa didapat J dalam waktu kurang dari dua mingu! Dia benar-benar hebat!”
Derren tidak mendengarkan, dia memilih kertas yang akan dia baca. Sesekali dia melirik ke arah kertas berisi kode yang belum dia pecahkan hingga saat ini. Rai memperhatikan Derren, kertas, lalu kearah koran di atas meja. Dia merasakan ada sesuatu yang ganjil tetapi tidak tahu apa.
“Kapan sidang keempat Papamu diadakan?” tiba-tiba Rai bertanya.
“Delapan belas Desember,” jawab Derren tanpa menghentikan pekerjaannya.
“Apa kau bisa menyelesaikan masalah ini sebelum sidang itu?” kata Rai. Derren dan Deva mengalihkan pandangan kepada Rai. “Aku merasa ada yang tidak beres.”
Derren mengepalkan tangannya. Dia tidak mengatakan apapun. Walaupun tidak tahu alasannya, tapi kau bisa merasakan masalah yang akan terjadi ya Rai, batin Derren.
“Kuusahakan,” gumam Derren. Rai dan Deva kelihatan senang.
“Jadi kau sudah tahu pelakunya?” kata Deva dengan semangat menggebu.
“Belum. Masih dugaan. Buat apa aku minta data dari J kalau aku sudah tahu pelakunya. Lagipula, aku ingin tahu motif dan latar belakang mereka mengincar Ayah,” gumam Derren kembali melihat keatas.
“Berarti tinggal sedikit lagi maka Pelakunya akan tertangkap! Aku sudah tidak sabar, kalau aku tahu pelakunya maka akan kuhabisi dia!” ungkap Deva geram. Rai hanya tertawa dan tidak seorang pun dari mereka yang memperhatikan Derren dan pekerjaannya.
Maafkan aku, tapi kurasa kerja sama dengan kalian cukup disini saja.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.