RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 28 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Delapan)


Debaran Delapan
Fake Smile
Devon terbengong melihat Nero nongol begitu saja di depan pintu rumahnya. Anak muda itu mengenakan seragam dengan dasi yang dilonggarkan dan baju dikeluarkan. Kedua lengan seragam kemejanya digulung sampai siku dan salah satu tangannya terkepal ke atas, hendak mengetuk pintu yang baru saja dibuka Devon.
“’Sup,” Nero mengubah kepalanya menjadi lambaian ceria.
Devon menunggu jeda. “What the hell are you doing here?”
Nero nyengir lebar, tapi tidak menjawab dan malah bertanya, “What time is it?”
“Hell if I know!” Devon menggerutu, melangkah keluar rumah dan mereka bersama-sama menuju sekolah. “How do you know where I live?”
“I asked President,” jawabnya santai.
Devon mengangguk kecil. “Oh, I see—wait—President? You mean, Vion?”
“Yeah.”
“The Pretty Boy?” Devon terkejut.
Nero menaikan alisnya dan menjawab sambil terbahak. “Yeah. Him. What’s with that sudden shock?”
Devon geleng-geleng kepala. “Nothing. How do you know him?”
“Let see…we have a little chit chat,” Nero menjawab. “He’s not that bad.”
“Yeah. Try me. I hate him.”
“I like him.”
Devon menaikan alisnya dan menatap wajah tenang tanpa ekspresi milik Nero.
Kemarin, Devon masih menduga-duga apakah dia benar-benar berbicara dengan Nero dan ragu apakah Nero akan mengenalinya lagi. Sebenarnya, selama beberapa hari sejak Nero memasuki sekolah mereka, ada banyak rumor beredar mengenai betapa menyenangkannya anak muda yang ada di sampingnya saat ini, dan Devon muak dengan rumor itu. Apalagi rumor itu beredar ganas seakan-akan dia pujaan setiap penghuni sekolah.
Siang itu Devon hanya kebetulan melihat Nero, yang melintasi rumput hijau menuju Bukit Hijau dan Pohon Hantu, dari balik jendela koridor sekolah. Dia memang tidak pernah melihat Nero dari dekat dan hanya melihat pemuda itu bersama kerumunan fansnya yang selalu mengekor di belakang. Tapi, entah mengapa, ada atau tidak adanya fans, aura Nero memang lain sendiri.
Begitu Nero berjalan sendirian, dengan tangan di atas kepala dan wajahnya mengadah ke langit, Devon tahu kenapa para penghuni sekolah mengagumi Nero. That guy is really eye-catching and charismatic. Tanggapan itu muncul begitu saja dalam pikiran Devon. Sambil memakan rotinya, Devon sesekali melihat Bukit Hijau dan semakin penasaran begitu mengetahui bahwa anak muda itu tidak bergerak di tempat dan akhirnya memutuskan untuk mendatanginya.
Setelah mengenal Nero—well, bagaimana mengatakannya, ya—rumor itu memang benar. Nero cukup menyenangkan dan menghibur sekali.
Hanya saja, Devon merasa, ada sesuatu dalam setiap tawa itu. Devon tak ingin menduga-duga karena dia belum mengenal Nero dengan baik. Mungkin saja Nero sering tertawa santai seperti itu—menertawakan orang lebih tepatnya. Tapi tak bisa dipungkiri, kadang-kadang Devon merasa ada nada dalam tawa Devon yang—entahlah—tidak pas.
“Nero?”
“Hmm?”
“I hate it.”
“Hate what?”
“I don’t know. Maybe those fake smiles of yours.”
Nero mengerjap kebingungan. Mereka saling tatap beberapa detik sampai kemudian Nero terbahak lagi, terpingkal-pingkal geli memegangi perutnya. Devon menaikan alis, terheran dengan reaksi yang diberikan Nero.
“You meanie,” Nero merangkulnya, masih terbahak. Tangannya menepuk-nepuk bahu Devon dengan akrab. “You look through me, Devon. I’m impressed and it’s only for two days. Wow!”
Devon mengerjap bingung. Nero mengakui hal itu begitu saja dengan santai. Ada apa dengan anak ini sebenarnya? Apakah otaknya sudah tidak terpakai lagi? Devon menatap Nero dengan dahi mengerut, bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari pengakuan tanpa bantahan itu. Tapi Nero semakin tersenyum lebar.
“Why the hell would you care anyway?” Nero terbahak lagi.
“Bastard,” Devon mencubit pipi Nero keras-keras. “I told you I hate those fake smiles.”
“Ow ow ow,” Nero meringis saat Devon melepas cubitannya. Bekas cubitan Devon memerah di pipinya sedikit. “Please, stop moping.” Nero geleng-geleng kepala mengelus-elus pipinya.
Devon sedikit merasa kasihan.
Hanya saja, perasaan kasihan itu terbuang begitu saja saat Nero kembali tersenyum lebar dan berkata, “Aaaw, what a cute expression!” dengan nada menyebalkan sambil mencubit pipinya keras-keras, membalas perbuatannya tadi dan kabur begitu saja sambil terbahak-bahak.
Crap! I should’ve known!
“Bastard, I’ll kill you!”
Nero benar-benar tahu bagaimana membalasnya.
***The Flower Boy Next Door***
Fake smile, Nero menopang dagunya dengan malas, sama sekali tidak berkonsentrasi pada apa yang dijelaskan guru di depan sana. Pikirannya begitu sibuk mengulang perkataan Devon. Kata-kata Devon sedikit mengganggunya.
Baru dua hari dia mengenal Devon, tepatnya 20 jam, dan si pirang itu berhasil membaca dirinya dengan begitu jelas seakan dirinya terbuat dari kaca tembus pandang, lalu dengan blak-blakan mengatakannya. Haruskah Nero peduli pada perkataan Devon?
Well, bukan berarti Nero tidak peduli, hanya saja, segala sesuatu tidak semudah yang dipikirkan semua orang.
“Nero.”
Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa ada percikan aneh yang timbul saat Devon mengatakannya. Sesuatu yang, gilanya, kebahagiaan.
“Nero.”
Bukan berarti Nero tidak suka dengan apa yang dia dapatkan saat ini. Dia begitu bersyukur pada Tuhan—jika Dia ada—pada apa yang diberikan padanya saat ini. Nero juga sama sekali tidak menyesal menjadi dirinya saat ini. Hanya saja, segala sesuatu berjalan lancar, mengalir seperti air, begitu mudah—di tempat yang salah.
“Mr. Nero Daydreamer, don’t you dare spaced out at my class!”     
Nero mengerjap saat Pak Julian menimpuknya dengan buku. Laki-laki itu berdiri di sampingnya, tampak tidak senang, tapi juga tak terlihat marah.
“You’re not cute at all, Julian,” gumam Nero tanpa sadar.
Hening.
Oh, no! Nero memaki dirinya begitu mengetahui apa yang baru saja dia lontarkan. Pak Julian seperti kehilangan kemampuannya bicara dan wajahnya pucat seketika. Dengan was-was Nero melirik teman-teman sekelasnya yang balas melihatnya dengan melongo takjub.
“I’m sorry, Sir,” Nero cepat-cepat meminta maaf sebelum keadaan tambah parah. “My mistakes. My tounge slipped out. Please forgive me, Sir.”
Pak Julian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia malah menatap Nero dalam-dalam dan menilai. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Julian merasakan ada sesuatu yang aneh dari Nero. Dengan hati-hati, dia mengeksplorasi wajah Nero, mencari kebenaran dari ekspresi wajah anak muda itu. Tapi dia tak mengatakan menemukan apa-apa.
“Stand up and read your text book page 112.”
Nero berdiri, membuka bukunya dan membaca.
Anak-anak zaman sekarang benar-benar membutuhkan penanganan ekstra. Tapi Julian tidak terlalu yakin bagaimana menangani Nero. Sejak pertama mengenal Nero, Julian tahu bahwa akan ada “sesuatu” yang akan ditimbulkan anak itu, begitu pula dengan hal yang disembunyikan Nero, entah apanya.
Seusai pelajaran, Julian membereskan peralatannya lambat-lambat sementara seluruh siswa sudah mulai berisik. Dari tempatnya, Julian dapat melihat Nero kembali sibuk dengan dunianya sendiri: dengan wajah tanpa ekspresi, mata menerawang melihat keluar jendela, dan salah satu tangan menopang dagunya. Apakah anak itu punya masalah?
Tapi, begitu teman-teman sekelasnya menegornya, wajah tanpa ekspresi itu menghilang, berubah menjadi senyuman ceria penuh kebahagiaan.
Dahi Julian mengerut dalam. Ada sesuatu yang mengganggu melihat ekspresi Nero yang seperti itu. Setelah mengambil bukunya, dia melangkah keluar menuju ruang guru. Saat dia masuk, Alfon sudah duduk di belakang meja kerjanya sambil meminum kopi.
“Ada apa dengan wajahmu?” Alfon bertanya menaikan alis.
“Nothing.” Julian menjawab cepat, meletakan peralatannya ke atas meja.
“You sure?” Alfon tidak percaya.
Julian menghela napas. Alfon tak mungkin bisa dibohongi. “Fine. That was something happened.”
Alfon meraih kopinya. “About what?” tanyanya sambil menyesap kopinya.
“About Nero.”
“What’s with that kid?”
“Just… I don’t know either.” Julian menghela napas. Tak tahu harus mulai darimana. Bisa saja kekhawatirannya terlalu berlebihan mengenai Nero.
“Hmmm… He’s a weirdo, isn’t he?” Alfon meletakkan cangkirnya. Julian melongo menatapnya. “What? You don’t think so?”
“Like I said, I don’t know either, Alfon.”
“Hmmm,” Alfon manggut-manggut, masih dengan wajah cool tanpa ekspresi. “Look, Julian, don’t do unnecessary things. You're the one who always stick your nose into people's business.”
“Shut up.”
Alfon menurut dan diam sambil menyerumput kopinya. Julian berdiri, mengambil cangkir dan menuang teh, lalu membawanya kembali ke meja kerja. Pikirannya mengenai Nero masih mengganggunya dan itu menyebalkan. Saat dia mengangkat cangkirnya, hendak meminum tehnya, tiba-tiba dia ingat satu pertanyaan.
“Is he doing well in your class?” Julian bertanya penasaran, tidak jadi meminum tehnya.
“Like I said before, he is a weirdo.”
“Thank you for the explanation. You help me a lot.” Julian menggertakan gigi.
Alfon menghela napas dan memijit-mijit dagunya. “He’s calm, not much talking and spaced out a lot. I don’t know what he was thinking and I don’t need to know but he’s, you know, kind of genius. I wondered maybe he has studied at home.” Julian menatapnya dengan penuh perhatian penuh. Mau tak mau Alfon mengeluarkan pendapatnya, yang dia sendiri juga terasa amat aneh karena dia ucapkan dengan ragu, “People around him don’t fit his space.”
“What?” Julian mengerjap. “What do you mean?”
“I don’t know either, Julian.” Alfon melipat tangannya dengan serius. “Sometimes I feel that kid is lonely.”
Julian terkejut lagi. “Huh? Lonely? With those crowd around him, he still feels lonely? Why?”
“I don’t know, Julian. You try figure it out. Don’t drag me along.” Alfon kembali menatap meja kerjanya, mengambil berkas-berkas yang dia butuhkan.
“But he’ll be in your class.”
“Until that time comes, I’ll stay my mind in peace. You go handle him alone without me.”
“Wah, aku tak menyangka bahwa Pak Alfon ternyata begitu fasih menggunakan bahasa Inggris.” Terdengar suara di dekat mereka. Kepala Sekolah, Owen, berdiri di belakang mereka, sambil tersenyum ramah. “Hati-hati Pak Julian, Pak Alfon bisa saja mengambil alih mata pelajaranmu jika kita kekurangan guru.”
Alfon memutar bola matanya.
“Aku harus mengingatkan kalian bahwa,” dia melirik para guru yang juga menatap mereka dan mendengar perdebatan mereka berdua, “ehm… no gossip at school, will you?”
Alfon memutar bola matanya lagi sambil berkata, “Fine” dengan nada membosankan.
“Thanks God, there’s no one get what you two guys babbling out just now. Please watch your words.” Kepala Sekolah Owen menyeringai dengan aura neraka. Julian bisa merasakan kemurkaan itu. Tapi Alfon pura-pura tak melihat dan memilih sibuk dengan berkasnya.
“We’re sorry, Sir,” kata Julian.
Owen melirik Alfon. Julian menyodok Alfon.
“Sorry,” kata Alfon tanpa melihatnya.
Owen mengangguk kecil, lalu berlalu menuju kantornya.
“I don’t like him,” gumam Julian.
“I hate him,” Alfon mengangguk-angguk setuju. Setelah dia membereskan perlatannya, dia menghabiskan kopinya dengan cepat.
“Where are you going?”
“Laboratory. I need a distance space from you. You always ask something stupid,” kata Alfon cepat.
“Meanie.”
“Don’t-stick-your-nose-into-people’s-business-and-don’t-drag-me-along.” Suara Alfon mendesis mempertingatkan dengan nada tegas. Setelah itu dia keluar.
Alfon berjalan cepat-cepat menuju laboratorium, dan saat dia melewati koridor panjang yang sebagian besarnya merupakan jendela, dia melihat Nero berjalan sendirian melewati Bukit Hijau.
“It suits him better. The lonely posture.” Alfon bergumam, mengamati Nero.
Tapi tak lama dia melihat seseorang mendatanginya: Devon.
Huh? Alfon mengerutkan dahi. Keheranan.
Devon mengejarnya dari belakang, menyerahkan sesuatu. Nero tertawa, menepuk-nepuk bahu Devon sambil menunduk-nunduk memegangi perutnya karena begitu geli.
Oh. Not bad. Alfon tersenyum. They are friend already.
Ternyata bukan hanya Alfon yang menyadari hal itu karena sebagian siswa yang lewat juga ikut-ikutan melihat keakraban Nero dan Devon.
“Itu Devon kan? Yang di sebelah Nero?”
“Tentu saja. Siapa lagi? Satu-satunya orang yang berambut pirang di sekolah ini ya Devon.”
“Mereka saling kenal?”
Dan bisik-bisik terdengar sepanjang jalan Alfon menuju laboratorium.
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.