Debaran Delapan
Fake Smile
Devon
terbengong melihat Nero nongol begitu saja di depan pintu rumahnya. Anak muda
itu mengenakan seragam dengan dasi yang dilonggarkan dan baju dikeluarkan.
Kedua lengan seragam kemejanya digulung sampai siku dan salah satu tangannya
terkepal ke atas, hendak mengetuk pintu yang baru saja dibuka Devon.
“’Sup,”
Nero mengubah kepalanya menjadi lambaian ceria.
Devon
menunggu jeda. “What the hell are you
doing here?”
Nero
nyengir lebar, tapi tidak menjawab dan malah bertanya, “What time is it?”
“Hell if I know!”
Devon menggerutu, melangkah keluar rumah dan mereka bersama-sama menuju
sekolah. “How do you know where I live?”
“I asked President,”
jawabnya santai.
Devon
mengangguk kecil. “Oh, I
see—wait—President? You mean, Vion?”
“Yeah.”
“The Pretty Boy?” Devon
terkejut.
Nero
menaikan alisnya dan menjawab sambil terbahak. “Yeah. Him. What’s with that sudden shock?”
Devon
geleng-geleng kepala. “Nothing. How do
you know him?”
“Let see…we have a little chit
chat,” Nero menjawab. “He’s
not that bad.”
“Yeah. Try me. I hate him.”
“I like him.”
Devon
menaikan alisnya dan menatap wajah tenang tanpa ekspresi milik Nero.
Kemarin,
Devon masih menduga-duga apakah dia benar-benar berbicara dengan Nero dan ragu
apakah Nero akan mengenalinya lagi. Sebenarnya, selama beberapa hari sejak Nero
memasuki sekolah mereka, ada banyak rumor beredar mengenai betapa
menyenangkannya anak muda yang ada di sampingnya saat ini, dan Devon muak
dengan rumor itu. Apalagi rumor itu beredar ganas seakan-akan dia pujaan setiap
penghuni sekolah.
Siang
itu Devon hanya kebetulan melihat Nero, yang melintasi rumput hijau menuju
Bukit Hijau dan Pohon Hantu, dari balik jendela koridor sekolah. Dia memang
tidak pernah melihat Nero dari dekat dan hanya melihat pemuda itu bersama
kerumunan fansnya yang selalu mengekor di belakang. Tapi, entah mengapa, ada
atau tidak adanya fans, aura Nero memang lain sendiri.
Begitu
Nero berjalan sendirian, dengan tangan di atas kepala dan wajahnya mengadah ke
langit, Devon tahu kenapa para penghuni sekolah mengagumi Nero. That guy is really eye-catching and
charismatic. Tanggapan itu muncul begitu saja dalam pikiran Devon. Sambil
memakan rotinya, Devon sesekali melihat Bukit Hijau dan semakin penasaran
begitu mengetahui bahwa anak muda itu tidak bergerak di tempat dan akhirnya
memutuskan untuk mendatanginya.
Setelah
mengenal Nero—well, bagaimana
mengatakannya, ya—rumor itu memang benar. Nero cukup menyenangkan dan menghibur
sekali.
Hanya
saja, Devon merasa, ada sesuatu dalam setiap tawa itu. Devon tak ingin
menduga-duga karena dia belum mengenal Nero dengan baik. Mungkin saja Nero
sering tertawa santai seperti itu—menertawakan orang lebih tepatnya. Tapi tak
bisa dipungkiri, kadang-kadang Devon merasa ada nada dalam tawa Devon
yang—entahlah—tidak pas.
“Nero?”
“Hmm?”
“I hate it.”
“Hate what?”
“I don’t know. Maybe those fake
smiles of yours.”
Nero
mengerjap kebingungan. Mereka saling tatap beberapa detik sampai kemudian Nero
terbahak lagi, terpingkal-pingkal geli memegangi perutnya. Devon menaikan alis,
terheran dengan reaksi yang diberikan Nero.
“You meanie,”
Nero merangkulnya, masih terbahak. Tangannya menepuk-nepuk bahu Devon dengan
akrab. “You look through me, Devon. I’m
impressed and it’s only for two days. Wow!”
Devon
mengerjap bingung. Nero mengakui hal itu begitu saja dengan santai. Ada apa
dengan anak ini sebenarnya? Apakah otaknya sudah tidak terpakai lagi? Devon
menatap Nero dengan dahi mengerut, bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari
pengakuan tanpa bantahan itu. Tapi Nero semakin tersenyum lebar.
“Why the hell would you care
anyway?” Nero terbahak lagi.
“Bastard,”
Devon mencubit pipi Nero keras-keras. “I
told you I hate those fake smiles.”
“Ow ow ow,”
Nero meringis saat Devon melepas cubitannya. Bekas cubitan Devon memerah di
pipinya sedikit. “Please, stop moping.”
Nero geleng-geleng kepala mengelus-elus pipinya.
Devon
sedikit merasa kasihan.
Hanya
saja, perasaan kasihan itu terbuang begitu saja saat Nero kembali tersenyum
lebar dan berkata, “Aaaw, what a cute
expression!” dengan nada menyebalkan sambil mencubit pipinya keras-keras,
membalas perbuatannya tadi dan kabur begitu saja sambil terbahak-bahak.
Crap! I should’ve known!
“Bastard, I’ll kill you!”
Nero
benar-benar tahu bagaimana membalasnya.
***The Flower Boy Next Door***
Fake smile,
Nero menopang dagunya dengan malas, sama sekali tidak berkonsentrasi pada apa
yang dijelaskan guru di depan sana. Pikirannya begitu sibuk mengulang perkataan
Devon. Kata-kata Devon sedikit mengganggunya.
Baru
dua hari dia mengenal Devon, tepatnya 20 jam, dan si pirang itu berhasil
membaca dirinya dengan begitu jelas seakan dirinya terbuat dari kaca tembus
pandang, lalu dengan blak-blakan mengatakannya. Haruskah Nero peduli pada
perkataan Devon?
Well,
bukan berarti Nero tidak peduli, hanya saja, segala sesuatu tidak semudah yang
dipikirkan semua orang.
“Nero.”
Tapi,
tak bisa dipungkiri bahwa ada percikan aneh yang timbul saat Devon
mengatakannya. Sesuatu yang, gilanya, kebahagiaan.
“Nero.”
Bukan
berarti Nero tidak suka dengan apa yang dia dapatkan saat ini. Dia begitu
bersyukur pada Tuhan—jika Dia ada—pada apa yang diberikan padanya saat ini.
Nero juga sama sekali tidak menyesal menjadi dirinya saat ini. Hanya saja,
segala sesuatu berjalan lancar, mengalir seperti air, begitu mudah—di tempat
yang salah.
“Mr.
Nero Daydreamer, don’t you dare spaced out at my class!”
Nero
mengerjap saat Pak Julian menimpuknya dengan buku. Laki-laki itu berdiri di
sampingnya, tampak tidak senang, tapi juga tak terlihat marah.
“You’re not cute at all, Julian,”
gumam Nero tanpa sadar.
Hening.
Oh, no!
Nero memaki dirinya begitu mengetahui apa yang baru saja dia lontarkan. Pak
Julian seperti kehilangan kemampuannya bicara dan wajahnya pucat seketika.
Dengan was-was Nero melirik teman-teman sekelasnya yang balas melihatnya dengan
melongo takjub.
“I’m sorry, Sir,”
Nero cepat-cepat meminta maaf sebelum keadaan tambah parah. “My mistakes. My tounge slipped out. Please
forgive me, Sir.”
Pak
Julian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia malah menatap Nero dalam-dalam
dan menilai. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Julian merasakan ada sesuatu yang
aneh dari Nero. Dengan hati-hati, dia mengeksplorasi wajah Nero, mencari
kebenaran dari ekspresi wajah anak muda itu. Tapi dia tak mengatakan menemukan
apa-apa.
“Stand up and read your text book
page 112.”
Nero
berdiri, membuka bukunya dan membaca.
Anak-anak
zaman sekarang benar-benar membutuhkan penanganan ekstra. Tapi Julian tidak
terlalu yakin bagaimana menangani Nero. Sejak pertama mengenal Nero, Julian
tahu bahwa akan ada “sesuatu” yang akan ditimbulkan anak itu, begitu pula
dengan hal yang disembunyikan Nero, entah apanya.
Seusai
pelajaran, Julian membereskan peralatannya lambat-lambat sementara seluruh
siswa sudah mulai berisik. Dari tempatnya, Julian dapat melihat Nero kembali
sibuk dengan dunianya sendiri: dengan wajah tanpa ekspresi, mata menerawang
melihat keluar jendela, dan salah satu tangan menopang dagunya. Apakah anak itu
punya masalah?
Tapi,
begitu teman-teman sekelasnya menegornya, wajah tanpa ekspresi itu menghilang,
berubah menjadi senyuman ceria penuh kebahagiaan.
Dahi
Julian mengerut dalam. Ada sesuatu yang mengganggu melihat ekspresi Nero yang
seperti itu. Setelah mengambil bukunya, dia melangkah keluar menuju ruang guru.
Saat dia masuk, Alfon sudah duduk di belakang meja kerjanya sambil meminum
kopi.
“Ada
apa dengan wajahmu?” Alfon bertanya menaikan alis.
“Nothing.”
Julian menjawab cepat, meletakan peralatannya ke atas meja.
“You sure?”
Alfon tidak percaya.
Julian
menghela napas. Alfon tak mungkin bisa dibohongi. “Fine. That was something happened.”
Alfon
meraih kopinya. “About what?”
tanyanya sambil menyesap kopinya.
“About Nero.”
“What’s with that kid?”
“Just… I don’t know either.”
Julian menghela napas. Tak tahu harus mulai darimana. Bisa saja kekhawatirannya
terlalu berlebihan mengenai Nero.
“Hmmm… He’s a weirdo, isn’t he?”
Alfon meletakkan cangkirnya. Julian melongo menatapnya. “What? You don’t think so?”
“Like I said, I don’t know either,
Alfon.”
“Hmmm,”
Alfon manggut-manggut, masih dengan wajah cool
tanpa ekspresi. “Look, Julian, don’t do
unnecessary things. You're the one who always stick your nose into people's
business.”
“Shut up.”
Alfon
menurut dan diam sambil menyerumput kopinya. Julian berdiri, mengambil cangkir
dan menuang teh, lalu membawanya kembali ke meja kerja. Pikirannya mengenai
Nero masih mengganggunya dan itu menyebalkan. Saat dia mengangkat cangkirnya,
hendak meminum tehnya, tiba-tiba dia ingat satu pertanyaan.
“Is he doing well in your class?”
Julian bertanya penasaran, tidak jadi meminum tehnya.
“Like I said before, he is a
weirdo.”
“Thank you for the explanation. You
help me a lot.” Julian menggertakan gigi.
Alfon
menghela napas dan memijit-mijit dagunya. “He’s
calm, not much talking and spaced out a lot. I don’t know what he was thinking
and I don’t need to know but he’s, you know, kind of genius. I wondered maybe
he has studied at home.” Julian menatapnya dengan penuh perhatian penuh.
Mau tak mau Alfon mengeluarkan pendapatnya, yang dia sendiri juga terasa amat
aneh karena dia ucapkan dengan ragu, “People
around him don’t fit his space.”
“What?”
Julian mengerjap. “What do you mean?”
“I don’t know either, Julian.” Alfon
melipat tangannya dengan serius. “Sometimes
I feel that kid is lonely.”
Julian
terkejut lagi. “Huh? Lonely? With those
crowd around him, he still feels lonely? Why?”
“I don’t know, Julian. You try
figure it out. Don’t drag me along.” Alfon kembali menatap
meja kerjanya, mengambil berkas-berkas yang dia butuhkan.
“But he’ll be in your class.”
“Until that time comes, I’ll stay
my mind in peace. You go handle him alone without me.”
“Wah,
aku tak menyangka bahwa Pak Alfon ternyata begitu fasih menggunakan bahasa
Inggris.” Terdengar suara di dekat mereka. Kepala Sekolah, Owen, berdiri di
belakang mereka, sambil tersenyum ramah. “Hati-hati Pak Julian, Pak Alfon bisa
saja mengambil alih mata pelajaranmu jika kita kekurangan guru.”
Alfon
memutar bola matanya.
“Aku
harus mengingatkan kalian bahwa,” dia melirik para guru yang juga menatap
mereka dan mendengar perdebatan mereka berdua, “ehm… no gossip at school, will you?”
Alfon
memutar bola matanya lagi sambil berkata, “Fine”
dengan nada membosankan.
“Thanks God, there’s no one get
what you two guys babbling out just now. Please watch your words.”
Kepala Sekolah Owen menyeringai dengan aura neraka. Julian bisa merasakan
kemurkaan itu. Tapi Alfon pura-pura tak melihat dan memilih sibuk dengan
berkasnya.
“We’re sorry, Sir,”
kata Julian.
Owen
melirik Alfon. Julian menyodok Alfon.
“Sorry,”
kata Alfon tanpa melihatnya.
Owen
mengangguk kecil, lalu berlalu menuju kantornya.
“I don’t like him,”
gumam Julian.
“I hate him,”
Alfon mengangguk-angguk setuju. Setelah dia membereskan perlatannya, dia
menghabiskan kopinya dengan cepat.
“Where are you going?”
“Laboratory. I need a distance
space from you. You always ask something stupid,”
kata Alfon cepat.
“Meanie.”
“Don’t-stick-your-nose-into-people’s-business-and-don’t-drag-me-along.”
Suara Alfon mendesis mempertingatkan dengan nada tegas. Setelah itu dia keluar.
Alfon
berjalan cepat-cepat menuju laboratorium, dan saat dia melewati koridor panjang
yang sebagian besarnya merupakan jendela, dia melihat Nero berjalan sendirian
melewati Bukit Hijau.
“It suits him better. The lonely
posture.” Alfon bergumam, mengamati Nero.
Tapi
tak lama dia melihat seseorang mendatanginya: Devon.
Huh?
Alfon mengerutkan dahi. Keheranan.
Devon
mengejarnya dari belakang, menyerahkan sesuatu. Nero tertawa, menepuk-nepuk
bahu Devon sambil menunduk-nunduk memegangi perutnya karena begitu geli.
Oh. Not bad.
Alfon tersenyum. They are friend already.
Ternyata
bukan hanya Alfon yang menyadari hal itu karena sebagian siswa yang lewat juga
ikut-ikutan melihat keakraban Nero dan Devon.
“Itu
Devon kan? Yang di sebelah Nero?”
“Tentu
saja. Siapa lagi? Satu-satunya orang yang berambut pirang di sekolah ini ya
Devon.”
“Mereka
saling kenal?”
Dan
bisik-bisik terdengar sepanjang jalan Alfon menuju laboratorium.
***The Flower Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar