RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 24 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tujuh)


Debaran Tujuh
Balkon Curhat
Kali ini bukan hanya mimpi buruk. Tapi juga neraka. Niken kehabisan kata-kata dan kemampuannya untuk menentang dunia begitu mengetahui bahwa Nero dan Devon berteman. Orang berandal memang hanya bisa berteman dengan orang berandal. Sepertinya istilah itu benar dalam hal ini.
Niken tak habis pikir bagaimana mungkin mereka berdua bisa saling mengenal. Gundah gulana, Niken mondar-mandir di kamarnya dengan tidak tenang. Jika Nero berteman dengan Devon, itu artinya sudah ada dua kubu yang bersatu untuk melawanku. Ini diluar perkiraanku.
Devon biasanya tidak pernah berteman dengan siapapun. Tapi kenapa dia bisa berteman dengan Nero sih? Itu bisa saja terjadi. Devon juga murid baru di sekolah ini. Dan mereka berdua sama-sama pindahan dari luar negeri. Wajar saja mereka berteman cepat. Mereka seperti merasakan nasib yang sama. Tapi baru saja beberapa jam mereka saling mengenal, Nero berhasil membuat Devon lepas dari hukumannya. Bagaimana nanti jika mereka semakin berteman? Bisa-bisa suatu hari nanti mereka membuat murid-murid melakukan aksi menentang peraturan sekolah.
Aku menggigit kuku-kuku jariku dengan cemas. Aku harus memikirkan sesuatu untuk menghentikan masalah ini. Tanpa sadar, aku melihat jendela kamar Nero. Jendela Nero terbuka seperti biasa dengan gorden yang sengaja disibakan, menunjukan kondisi kamarnya yang rapi.
Walau aku tidak ingin mengakuinya, Nero ternyata punya kamar yang bagus dan selera yang luar biasa. Aku hanya dapat melihat sedikit dari sudut ini. Tapi aku bisa melihat kalau tempat tidurnya yang ada di sudut kiri selalu rapi dengan seprai berwarna biru yang halus sekali. Di depan sana—tepat di bawah tangga—ada televisi besar dengan bantal-bantal besar dan juga karpet lembut. Nero ada di sana, membaca buku tebal sambil tiduran.
Sialan. Kenapa aku tak bisa mengalihkan pandanganku setiap kali cowok menyebalkan itu ada di kamar itu sih? Aku selalu penasaran mengenai apa saja yang dia lakukan. Sudah tiga hari cowok itu ada di sana dan melakukan aktifitas yang sama secara rutin.
Sepulang sekolah dia mengganti pakaiannya dengan kaos ringan—hal yang sebisa mungkin kuhindari karena Nero, entah sengaja atau tidak, selalu lewat di jendela itu setiap kali dia berganti pakaian—setelah itu keluar sebentar begitu mendengar panggilan Ageha dari bawah dan masuk lagi, kemudian tiduran seharian sambil membaca buku. Sore harinya dia keluar lagi, membawa Ageha bermain di taman—yang entah kenapa selalu aku lihat di balkon. Malamnya Nero kembali lagi ke kamar, mandi—aku biasanya menutup jendelaku setelah pukul tujuh karena tak mau melihatnya seperti waktu itu—dan turun lagi untuk makan malam. Saat dia kembali lagi, Nero kembali lagi ke depan televisinya dan tidur sambil membaca buku. Malamnya, dia menutup jendela kamarnya dan mematikan lampu untuk tidur. Untunglah aku tak punya kesempatan melihatnya menutup jendela.
Tuh kan? Aku benar-benar hapal apa yang dia lakukan!
Aku memerhatikan Nero sekali lagi dan menganga cepat mengetahui buku apa yang dia baca. Majalahku!!!
“Hey kau!” aku meraung di jendelaku.
Nero menurunkan majalah itu dan menoleh sebentar padaku.
“Kembalikan majalahku!” kataku cepat.
Cowok menyebalkan itu mengerutkan dahinya, kemudian tertawa mengejek. “Ambil saja sendiri,” dia balas berteriak dari tempatnya.
Gigiku gemertakan. “Itu punyaku!”
“Kau melemparnya kemari. Jadi jangan menyesal,” balas Nero.
Tanganku mencengkram jendela. “KEMBALIKAN KATAKU!”
Nero menatapku selama beberapa detik. Lalu dia menghela napas. Apakah cowok itu menyesal? Mungkin saja begitu karena Nero segera bangkit dari tempatnya dan berjalan ke arah jendela dengan malas, membawa majalahku.
“Berikan padaku,” tanganku mengadah melewati jendela.
“Minggir dari sana,” kata Nero sambil tersenyum kecil.
Aku curiga. “Apakah kau berniat melempar majalahku?”
“Minggir saja dari sana,” seringainya semakin lebar. “Kau akan tahu nanti, Niken.”
Aku tidak suka caranya tersenyum. Dia pasti merencanakan sesuatu. Tapi, aku tak akan tahu apa jika aku sendiri tak melihat. Baiklah, aku akan lihat apa maunya. Aku mundur dua langkah, memberikannya sedikit ruang. Mungkin saja dia hendak melempar kembali majalah itu ke arahku dengan mempertimbangkan jarak yang dibutuhkannya.
Tapi, dugaanku ternyata salah besar.
Nero menaikan kakinya ke sisi jendelanya dan memanjat. Kaki panjangnya menjulur begitu saja, menyebrangi tembok yang menghalangi jendela kami berdua, dan segera masuk ke kamarku setelah melewati jendelaku. Dia melompat pelan dan tersenyum sementara aku menganga bengong melihat tingkahnya barusan.
“Halo, maaf menganggu. Ah, kamar yang bagus,” kata Nero mengamati kamarku. Salah satu tangannya menggaruk-garuk dagunya. Pandangan matanya penuh minat.
“Keluar dari kamarku!”
“Aku kan baru datang,” kata Nero enteng, menyingkirkanku dengan mudah, dan dia mengelilingi kamarku dengan penuh perhatian.
“Apa maksudmu masuk ke kamarku dengan cara begitu? Kau akan kulaporkan karena melewati wilayah pribadi orang.”
“Silakan saja. Aku juga akan melapor karena kau selalu mengintipku diam-diam.”
Aku benar-benar tercekik dengan jawabannya. Cowok ini benar-benar menyebalkan! Bagaimana mungkin dia masih membahas masalah mengerikan itu? Aku tak ingin lagi mengingat adegan itu! Walau… yeah, walau hal itu tidak seburuk dugaanku.
Tapi, aku menggerutu, tetap saja salah.
“Ini balkon yang bagus. Wah, kau bisa melihat tamanku dari sini?” Nero melangkah mendekati balkon. Tanpa disuruh, cowok itu duduk di kursi putih yang sudah kusediakan di sana. Aku biasanya menghabiskan waktu sore hariku di sana sambil membaca buku.
“Jika anggota keluargaku tahu—”
“Katakan saja bahwa kau mengundangku ke kamarmu,” kata Nero enteng.
“Mereka tak akan percaya,” tukasku jengkel. “Tidak boleh ada cowok yang mendatangi kamar seorang cewek.”
“Memangnya kenapa? Aku kan tidak bermaksud menodaimu,” lagi-lagi dia mengucapkan bantahan yang membuatku bungkam. Darimana sih Nero mempelajari kata-kata itu? Dia kan belum lagi tinggal di Indonesia. Apa dia mempelajari bahasa baru itu dari Devon?
“Majalahmu,” dia mengulurkan majalah yang dia bawa-bawa. Dengan segera aku merampas majalah itu. Majalah itu jadi tidak begitu penting begitu mengetahui bahwa majalah yang saat ini di tanganku menyebabkan cowok menyebalkan ini ada di balkon kamarku.
“Sayang sekali balkonku tak ada di samping balkon kamarmu,” desah Nero.
“Aku tak pernah berharap sebalkon denganmu.”
“Mhm. Tapi akan lebih praktis jika kita mengobrol di balkon daripada aku masuk melewati jendeka kamarmu yang sempit,” gumam Nero.
“Aku bahkan tak ingin mengobrol denganmu. Ataupun melihatmu saat ini. Sekarang, keluar dari kamarku!” seruku jengkel.
Nero tidak mendengarkan. Anak muda itu menatap ke bawah, ke arah taman hijaunya. Pandangan matanya menerawang. Untuk sejenak, aku merasa bahwa Nero semakin tampan dengan posisi wajahnya yang menyamping. Angin lembut menerbangkan rambutnya sedikit. Dan aku bahkan bisa melihat bahwa bulu matanya ternyata panjang juga.
“Aku tahu aku tampan, Niken,” gumamnya tiba-tiba.
“Aku tidak melihatmu!” kataku berbohong.
“Aaah, masa?” dan dia tidak percaya. Saat dia berpaling dan menatapku sungguh-sungguh, jantungku berdetak semakin tidak karuan.
Oh, tidak… oh, tidak… kenapa dia begitu tampan sekali dengan eskpresi itu?
“Kenapa kau suka Vion?”
Dan berhentilah detakan jantungku seketika.
“Apa?” kataku.
“Kenapa kau suka pada Vion, Niken?” ulangnya dengan nada sabar.
Ini bukan masalah yang ingin kudiskusikan dengannya. Tapi entah mengapa jawabanku keluar begitu saja dari mulutku. “Karena dia baik hati, sopan, menyenangkan, pintar dan berada di dekatnya membuat orang bahagia. Guru-guru menyukai sikapnya yang penuh tanggung jawab dan berpendirian teguh. Dia juga laki-laki punya prinsip. Taat pada peraturan sekolah, juga selalu rapi datang ke sekolah. Tidak sepertimu. Dia lebih baik beratus kali lipat darimu.”
Yang mengherankan Nero mengangguk-angguk. Entah itu tanggapan setuju atau tidak. Aku juga tidak mengerti.
“Hmmm. Masuk akal kau suka padanya. Kalian berdua adalah dua orang manusia yang terlalu lama tinggal di desa.”
Sialan. “Apa maksudmu?” aku tersinggung sekali di sini. Kak Vion adalah sosok yang mengagumkan. Beraninya kau mengatainya begitu di depanku!
“Kau dan Vion seperti dua orang yang tinggal dalam stoples. Kalian itu acar,” kata Nero lagi. “Tampilan luar begitu cantik. Tapi dalamnya begitu asam. Tsk tsk tsk. Kalian berdua pasti tak pernah bersenang-senang.” Dia geleng-geleng kepala, merasa kasihan.
“Kami bersenang-senang. Cara kami bersenang-senang berbeda dengan cara kalian!” belaku.
“Dengan apa? Membuat siswa lain tersiksa dengan talak terlambat?” Nero menaikan alisnya. “Atau mengerjakan seluruh tugas sekolah dan mendapat nilai tinggi? Selalu bersikap sopan dan ramah untuk menjilat guru? Atau mungkin hanya membaca buku sepanjang hari?”
Aku tak bisa membalasnya karena sebagian yang dia katakan memang benar.
“Kalian berdua membosankan sekali,” Nero, lagi-lagi, geleng-geleng kepala. “Bagi kalian hidup hanya hitam-putih. Tidak berwarna. Aku kasihan melihat kalian yang tak pernah bersenang-senang padahal masih muda.”
Suaraku kembali. “Aku tak membutuhkan ceramah dari orang yang datang terlambat!”
“Dan apakah Vion menyadari perasaanmu padanya?” pertanyaan itu menohokku. “Jika dari sudut pandangku, sih, Vion sama sekali tidak melihatmu sebagai cewek tapi sebagai Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa. Kasihan amat sih. Dia tampaknya tidak tertarik padamu.”
Perkataannya semakin menusuk dan menusuk.
“Dan kau juga tidak menunjukan perasaan itu padanya, melainkan hanya melihatnya dari jauh. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, Niken. Apa kau bangga dengan posisimu saat ini?”
“Cukup!” aku berteriak jengkel, menarik bajunya dengan ganas. “Kalau kau bicara lagi. Aku akan mendorongmu dari balkon sampai tewas!”
“Ini lantai dua. Aku tak akan tewas. Mungkin hanya patah kaki,” kata Nero lagi dengan enteng.
“Kalau begitu aku akan menusukmu saja. Setelah kau mati aku juga akan menyusulmu delapan puluh tahun kemudian,” bisikku ganas.
Dia masih tidak takut, malah berkata, “Kau benar-benar yakin bisa hidup selama itu ya?”
Aku benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran cowok itu.
“Begini saja, Niken. Bagaimana jika aku membantumu mendapatkan Vion?”
Genggamanku terlepas begitu saja sementara aku melongo lagi. “Apa katamu?”
“Kataku,” kata Nero lagi dengan nada sabar, merapikan bajunya yang kusut. “Aku akan membantumu mendapatkan Vion.”
Aku mengerjap, terlalu bingung. “Dan kenapa kau ingin membantuku?”
Kepala Nero miring sedikit, matanya yang bulat melihatku seperti anak kecil, dan dia menjawab polos, “Karena aku kasihan padamu.”
“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Aku bisa mendapatkan Kak Vion dengan usahaku sendiri. Aku tak butuh bantuanmu!” kataku jengkel. Aku tak butuh bantuan dari Dewa Terkutuk seperti dirinya. Belum mengenalnya saja, aku sudah tahu rencana apa yang ada di dalam pikiran Nero. Aku tak tahu lagi apa yang akan kulakukan untuk menghadapinya jika aku benar-benar menerima tawarannya—mesti menggiurkan.
Tapi Nero masih keras kepala. Anak muda itu mengangguk-angguk pelan sok penting. “Aku akan membantumu, Niken. Karena aku tahu kau tak bisa melakukannya.”
Tanganku terkepal. “Aku bisa melakukannya!”
“Kau tak bisa.”
“Bisa!”
“Tidak.”
“Aku bilang bisa!”
“Aku yakinkan kau tak bisa.”
“Apa kau menantangku?” emosiku naik karena Nero masih saja berbicara dengan nada tenang dan tidak terpengaruh dengan intonasi suaraku. Dia masih duduk di kursi, melipat kedua kakinya dengan santai dan salah satu tangannya merapikan sudut-sudut rambutnya yang berada dekat telinga.
Pemuda itu nyengir lebar. “Ya. Aku menantangmu,” katanya. “Kau tak bisa mendapatkan Vion walau kau berusaha sendiri dalam hmmm… berapa tahun?”
“Satu tahun!”
“Ya. Satu tahun,” ada kebanggaan dan pelecehan dalam suara Nero yang membuatku ingin meninjunya. “Tapi aku yakinkan kau, dengan bantuanku, Vion akan tergila-gila padamu dalam waktu… hm…”
Lagi-lagi aku mencengkram bajunya, menggeram jengkel dan melotot marah padanya. Wajah Nero masih saja tenang, tidak terganggu sedikit pun, malah tampak senang sekali karena berhasil membuatku marah.
Aku membenci pemuda ini. Aku benar-benar membencinya!
“Begini saja, Niken, kau buktikan saja perkataanmu,” Nero memegang tanganku yang memegang bajunya. Hanya dalam sepersekian detik, aku bisa merasakan kulitnya yang menyentuh langsung kulit tanganku, dan respon itu mengalir begitu cepat ke seluruh tubuhku, ke tiap tetesan darah dan selku, membuat pikiran dan kemarahanku hilang begitu saja.
Wajahku tak bisa kembali normal karena begitu terkejut merasakan kelembutan dan kehangatan tangan Nero. Ada sesuatu dalam genggaman itu yang aku masih bingung artinya untuk apa. Tapi aku tak merasa keberatan sedikitpun dia menyentuhku. Karena walau jantungku berdetak gila-gilaan saat ini, aku merasa—anehnya—aman dan damai.
“Jika kau tak bisa mendapatkan Vion dalam waktu… hmmm… sampai aku masuk kelas unggulan karena berhasil mendepakmu dari ranking satu selama tiga kali berturut-turut, maka kau harus menerima bantuanku. Bagaimana?”
Kesadaranku kembali. Tanganku dengan cepat menepis tangannya.
“Kau tak akan bisa mendepakku,” aku berbisik ganas.
“Aku bisa,” katanya tenang.
“Tidak bisa!”
“Bisa.”
Dia benar-benar menjengkelkan. Aku muak dengan ekspresi tenang wajahnya, bahkan senyumnya yang menyebalkan itu. Kilauan matanya yang jenaka juga seakan mengonfrontasiku akan kebenaran yang dia katakan.
Dia begitu berani dan percaya diri. Benar-benar musuh yang menyusahkan!
“Aku tak akan pernah membiarkanmu mendepakku.”
“Benar,” dia mengangguk sok suci lagi. “Tapi aku bisa.”
Aku ingin sekali menghentikan pembicaraan ini.
“Oleh sebab itu, kau mau menerima tantanganku mengenai Vion?” Nero melipat tangannya.
Dengan cepat aku menganalisa keadaan. Si Brengsek ini, seberapa besar pun rasa percaya diri dan keberaniannya, tidak akan bisa mendepakku dari juara satu. Dia mungkin bisa masuk kelas unggulan, tapi tidak mungkin bisa mendepakku. Aku tak akan membiarkan dia melakukan hal itu. Dia harus tahu dengan siapa dia berhadapan!
Walau aku tak tahu apakah akan bisa mendapatkan Vion dalam waktu—yang mungkin saja enam minggu—dengan cara bagaimana, aku juga bisa memperkirakan waktu bahwa aku tak perlu meminta bantuan darinya mengenai Vion karena aku, sudah pasti, tak akan tersingkiran dari juara satu. Itu artinya aku punya waktu tak terbatas!
Aku melirik Nero. Pemuda itu duduk dengan tenang, tampil tampan dengan angin berhembus perlahan menerbangkan rambutnya, dan latar belakang taman membuatnya tampil seperti seorang dewa. Tatapannya menusuk, menunggu jawabanku.
Huh, dia tak tahu kalau aku sudah memenangkan pertarungan bahkan sebelum memulainya.
Deal. Aku akan mendapatkan Kak Vion dengan tanganku sendiri. Dan kalau aku tak berhasil mendapatkannya sampai kau berhasil mendepakku dari rangking satu dan masuk kelas unggulan, aku akan minta bantuanmu.” Aku berkata dengan cepat dan tepat, sesuai dengan keadaan yang tadi dia syaratkan.
Nero kembali tersenyum dan, lagi-lagi, aku tubuhku sendiri menegang melihatnya.
“Itu artinya enam minggu. Lama juga ya,” kata Nero.
“Kau tak akan pernah mendepakku dari juara satu. Dan itu artinya, selamanya aku tak akan minta bantuanmu.”
Seperti biasa, dia tidak mendengarkanku. “Enam minggu,” katanya tenang. “Jam berapa sekarang?”
Huh? “Apa?” aku bingung dengan pembicaraan yang tiba-tiba beralih.
“Jam berapa sekarang?” dia bertanya penuh kesabaran. Aku menyadari bahwa Nero sering mengulang kalimat yang sama setiap kali aku mengatakan “apa”, seolah-olah aku ini tuli, punya pendengaran terganggu, atau idiot yang tak mengerti.
Aku melihat sekeliling ruangan dan dia juga melakukan hal yang sama.
“Benar juga. Kau membanting satu-satunya benda yang menunjukan waktu di kamarmu,” katanya dan bangkit dari tempatnya. “Aku pulang dulu, Niken. Ageha pasti sudah menungguku.”
Aku hanya diam membisu begitu dia menuju jendela.
“Hei, lewat pintu!” seruku saat dia memanjat.
Kepalanya menoleh dan menunjukan ekspresi “Apa kau sudah gila?” padaku.
“Dan bagaimana caranya kau menjelaskan aku yang tiba-tiba nongol di kamarmu tanpa mengetuk pintu rumahmu?” dia bertanya.
Benar juga!
“Kau benar-benar lucu, Niken. Aku benar-benar suka padamu,” Nero terkekeh geli saat dia menghilang dari balik jendela.
Aku tak tahu apakah harus bahagia, marah atau tersinggung dengan ucapannya barusan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.