Debaran Tujuh
Balkon Curhat
Kali
ini bukan hanya mimpi buruk. Tapi juga neraka. Niken kehabisan kata-kata dan
kemampuannya untuk menentang dunia begitu mengetahui bahwa Nero dan Devon
berteman. Orang berandal memang hanya bisa berteman dengan orang berandal.
Sepertinya istilah itu benar dalam hal ini.
Niken
tak habis pikir bagaimana mungkin mereka berdua bisa saling mengenal. Gundah
gulana, Niken mondar-mandir di kamarnya dengan tidak tenang. Jika Nero berteman
dengan Devon, itu artinya sudah ada dua kubu yang bersatu untuk melawanku. Ini
diluar perkiraanku.
Devon
biasanya tidak pernah berteman dengan siapapun. Tapi kenapa dia bisa berteman
dengan Nero sih? Itu bisa saja terjadi. Devon juga murid baru di sekolah ini.
Dan mereka berdua sama-sama pindahan dari luar negeri. Wajar saja mereka
berteman cepat. Mereka seperti merasakan nasib yang sama. Tapi baru saja
beberapa jam mereka saling mengenal, Nero berhasil membuat Devon lepas dari
hukumannya. Bagaimana nanti jika mereka semakin berteman? Bisa-bisa suatu hari
nanti mereka membuat murid-murid melakukan aksi menentang peraturan sekolah.
Aku
menggigit kuku-kuku jariku dengan cemas. Aku harus memikirkan sesuatu untuk
menghentikan masalah ini. Tanpa sadar, aku melihat jendela kamar Nero. Jendela
Nero terbuka seperti biasa dengan gorden yang sengaja disibakan, menunjukan
kondisi kamarnya yang rapi.
Walau
aku tidak ingin mengakuinya, Nero ternyata punya kamar yang bagus dan selera
yang luar biasa. Aku hanya dapat melihat sedikit dari sudut ini. Tapi aku bisa
melihat kalau tempat tidurnya yang ada di sudut kiri selalu rapi dengan seprai
berwarna biru yang halus sekali. Di depan sana—tepat di bawah tangga—ada
televisi besar dengan bantal-bantal besar dan juga karpet lembut. Nero ada di
sana, membaca buku tebal sambil tiduran.
Sialan.
Kenapa aku tak bisa mengalihkan pandanganku setiap kali cowok menyebalkan itu
ada di kamar itu sih? Aku selalu penasaran mengenai apa saja yang dia lakukan.
Sudah tiga hari cowok itu ada di sana dan melakukan aktifitas yang sama secara
rutin.
Sepulang
sekolah dia mengganti pakaiannya dengan kaos ringan—hal yang sebisa mungkin
kuhindari karena Nero, entah sengaja atau tidak, selalu lewat di jendela itu
setiap kali dia berganti pakaian—setelah itu keluar sebentar begitu mendengar
panggilan Ageha dari bawah dan masuk lagi, kemudian tiduran seharian sambil
membaca buku. Sore harinya dia keluar lagi, membawa Ageha bermain di taman—yang
entah kenapa selalu aku lihat di balkon. Malamnya Nero kembali lagi ke kamar,
mandi—aku biasanya menutup jendelaku setelah pukul tujuh karena tak mau
melihatnya seperti waktu itu—dan turun lagi untuk makan malam. Saat dia kembali
lagi, Nero kembali lagi ke depan televisinya dan tidur sambil membaca buku.
Malamnya, dia menutup jendela kamarnya dan mematikan lampu untuk tidur.
Untunglah aku tak punya kesempatan melihatnya menutup jendela.
Tuh
kan? Aku benar-benar hapal apa yang dia lakukan!
Aku
memerhatikan Nero sekali lagi dan menganga cepat mengetahui buku apa yang dia
baca. Majalahku!!!
“Hey
kau!” aku meraung di jendelaku.
Nero
menurunkan majalah itu dan menoleh sebentar padaku.
“Kembalikan
majalahku!” kataku cepat.
Cowok
menyebalkan itu mengerutkan dahinya, kemudian tertawa mengejek. “Ambil saja
sendiri,” dia balas berteriak dari tempatnya.
Gigiku
gemertakan. “Itu punyaku!”
“Kau
melemparnya kemari. Jadi jangan menyesal,” balas Nero.
Tanganku
mencengkram jendela. “KEMBALIKAN KATAKU!”
Nero
menatapku selama beberapa detik. Lalu dia menghela napas. Apakah cowok itu
menyesal? Mungkin saja begitu karena Nero segera bangkit dari tempatnya dan
berjalan ke arah jendela dengan malas, membawa majalahku.
“Berikan
padaku,” tanganku mengadah melewati jendela.
“Minggir
dari sana,” kata Nero sambil tersenyum kecil.
Aku
curiga. “Apakah kau berniat melempar majalahku?”
“Minggir
saja dari sana,” seringainya semakin lebar. “Kau akan tahu nanti, Niken.”
Aku
tidak suka caranya tersenyum. Dia pasti merencanakan sesuatu. Tapi, aku tak
akan tahu apa jika aku sendiri tak melihat. Baiklah, aku akan lihat apa maunya.
Aku mundur dua langkah, memberikannya sedikit ruang. Mungkin saja dia hendak
melempar kembali majalah itu ke arahku dengan mempertimbangkan jarak yang
dibutuhkannya.
Tapi,
dugaanku ternyata salah besar.
Nero
menaikan kakinya ke sisi jendelanya dan memanjat. Kaki panjangnya menjulur
begitu saja, menyebrangi tembok yang menghalangi jendela kami berdua, dan
segera masuk ke kamarku setelah melewati jendelaku. Dia melompat pelan dan
tersenyum sementara aku menganga bengong melihat tingkahnya barusan.
“Halo,
maaf menganggu. Ah, kamar yang bagus,” kata Nero mengamati kamarku. Salah satu
tangannya menggaruk-garuk dagunya. Pandangan matanya penuh minat.
“Keluar
dari kamarku!”
“Aku
kan baru datang,” kata Nero enteng, menyingkirkanku dengan mudah, dan dia
mengelilingi kamarku dengan penuh perhatian.
“Apa
maksudmu masuk ke kamarku dengan cara begitu? Kau akan kulaporkan karena
melewati wilayah pribadi orang.”
“Silakan
saja. Aku juga akan melapor karena kau selalu mengintipku diam-diam.”
Aku
benar-benar tercekik dengan jawabannya. Cowok ini benar-benar menyebalkan!
Bagaimana mungkin dia masih membahas masalah mengerikan itu? Aku tak ingin lagi
mengingat adegan itu! Walau… yeah, walau hal itu tidak seburuk dugaanku.
Tapi,
aku menggerutu, tetap saja salah.
“Ini
balkon yang bagus. Wah, kau bisa melihat tamanku dari sini?” Nero melangkah
mendekati balkon. Tanpa disuruh, cowok itu duduk di kursi putih yang sudah
kusediakan di sana. Aku biasanya menghabiskan waktu sore hariku di sana sambil
membaca buku.
“Jika
anggota keluargaku tahu—”
“Katakan
saja bahwa kau mengundangku ke kamarmu,” kata Nero enteng.
“Mereka
tak akan percaya,” tukasku jengkel. “Tidak boleh ada cowok yang mendatangi
kamar seorang cewek.”
“Memangnya
kenapa? Aku kan tidak bermaksud menodaimu,” lagi-lagi dia mengucapkan bantahan
yang membuatku bungkam. Darimana sih Nero mempelajari kata-kata itu? Dia kan
belum lagi tinggal di Indonesia. Apa dia mempelajari bahasa baru itu dari
Devon?
“Majalahmu,”
dia mengulurkan majalah yang dia bawa-bawa. Dengan segera aku merampas majalah
itu. Majalah itu jadi tidak begitu penting begitu mengetahui bahwa majalah yang
saat ini di tanganku menyebabkan cowok menyebalkan ini ada di balkon kamarku.
“Sayang
sekali balkonku tak ada di samping balkon kamarmu,” desah Nero.
“Aku
tak pernah berharap sebalkon denganmu.”
“Mhm.
Tapi akan lebih praktis jika kita mengobrol di balkon daripada aku masuk
melewati jendeka kamarmu yang sempit,” gumam Nero.
“Aku
bahkan tak ingin mengobrol denganmu. Ataupun melihatmu saat ini. Sekarang,
keluar dari kamarku!” seruku jengkel.
Nero
tidak mendengarkan. Anak muda itu menatap ke bawah, ke arah taman hijaunya.
Pandangan matanya menerawang. Untuk sejenak, aku merasa bahwa Nero semakin
tampan dengan posisi wajahnya yang menyamping. Angin lembut menerbangkan
rambutnya sedikit. Dan aku bahkan bisa melihat bahwa bulu matanya ternyata
panjang juga.
“Aku
tahu aku tampan, Niken,” gumamnya tiba-tiba.
“Aku
tidak melihatmu!” kataku berbohong.
“Aaah,
masa?” dan dia tidak percaya. Saat dia berpaling dan menatapku sungguh-sungguh,
jantungku berdetak semakin tidak karuan.
Oh,
tidak… oh, tidak… kenapa dia begitu tampan sekali dengan eskpresi itu?
“Kenapa
kau suka Vion?”
Dan
berhentilah detakan jantungku seketika.
“Apa?”
kataku.
“Kenapa
kau suka pada Vion, Niken?” ulangnya dengan nada sabar.
Ini
bukan masalah yang ingin kudiskusikan dengannya. Tapi entah mengapa jawabanku
keluar begitu saja dari mulutku. “Karena dia baik hati, sopan, menyenangkan, pintar
dan berada di dekatnya membuat orang bahagia. Guru-guru menyukai sikapnya yang
penuh tanggung jawab dan berpendirian teguh. Dia juga laki-laki punya prinsip.
Taat pada peraturan sekolah, juga selalu rapi datang ke sekolah. Tidak
sepertimu. Dia lebih baik beratus kali lipat darimu.”
Yang
mengherankan Nero mengangguk-angguk. Entah itu tanggapan setuju atau tidak. Aku
juga tidak mengerti.
“Hmmm.
Masuk akal kau suka padanya. Kalian berdua adalah dua orang manusia yang
terlalu lama tinggal di desa.”
Sialan.
“Apa maksudmu?” aku tersinggung sekali di sini. Kak Vion adalah sosok yang
mengagumkan. Beraninya kau mengatainya begitu di depanku!
“Kau
dan Vion seperti dua orang yang tinggal dalam stoples. Kalian itu acar,” kata
Nero lagi. “Tampilan luar begitu cantik. Tapi dalamnya begitu asam. Tsk tsk
tsk. Kalian berdua pasti tak pernah bersenang-senang.” Dia geleng-geleng
kepala, merasa kasihan.
“Kami
bersenang-senang. Cara kami bersenang-senang berbeda dengan cara kalian!”
belaku.
“Dengan
apa? Membuat siswa lain tersiksa dengan talak terlambat?” Nero menaikan
alisnya. “Atau mengerjakan seluruh tugas sekolah dan mendapat nilai tinggi?
Selalu bersikap sopan dan ramah untuk menjilat guru? Atau mungkin hanya membaca
buku sepanjang hari?”
Aku
tak bisa membalasnya karena sebagian yang dia katakan memang benar.
“Kalian
berdua membosankan sekali,” Nero, lagi-lagi, geleng-geleng kepala. “Bagi kalian
hidup hanya hitam-putih. Tidak berwarna. Aku kasihan melihat kalian yang tak
pernah bersenang-senang padahal masih muda.”
Suaraku
kembali. “Aku tak membutuhkan ceramah dari orang yang datang terlambat!”
“Dan
apakah Vion menyadari perasaanmu padanya?” pertanyaan itu menohokku. “Jika dari
sudut pandangku, sih, Vion sama sekali tidak melihatmu sebagai cewek tapi
sebagai Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa. Kasihan amat sih. Dia tampaknya
tidak tertarik padamu.”
Perkataannya
semakin menusuk dan menusuk.
“Dan
kau juga tidak menunjukan perasaan itu padanya, melainkan hanya melihatnya dari
jauh. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, Niken. Apa kau bangga dengan posisimu
saat ini?”
“Cukup!”
aku berteriak jengkel, menarik bajunya dengan ganas. “Kalau kau bicara lagi.
Aku akan mendorongmu dari balkon sampai tewas!”
“Ini
lantai dua. Aku tak akan tewas. Mungkin hanya patah kaki,” kata Nero lagi dengan
enteng.
“Kalau
begitu aku akan menusukmu saja. Setelah kau mati aku juga akan menyusulmu
delapan puluh tahun kemudian,” bisikku ganas.
Dia
masih tidak takut, malah berkata, “Kau benar-benar yakin bisa hidup selama itu
ya?”
Aku
benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran cowok itu.
“Begini
saja, Niken. Bagaimana jika aku membantumu mendapatkan Vion?”
Genggamanku
terlepas begitu saja sementara aku melongo lagi. “Apa katamu?”
“Kataku,”
kata Nero lagi dengan nada sabar, merapikan bajunya yang kusut. “Aku akan
membantumu mendapatkan Vion.”
Aku
mengerjap, terlalu bingung. “Dan kenapa kau ingin membantuku?”
Kepala
Nero miring sedikit, matanya yang bulat melihatku seperti anak kecil, dan dia
menjawab polos, “Karena aku kasihan padamu.”
“Aku
tak butuh rasa kasihanmu! Aku bisa mendapatkan Kak Vion dengan usahaku sendiri.
Aku tak butuh bantuanmu!” kataku jengkel. Aku tak butuh bantuan dari Dewa
Terkutuk seperti dirinya. Belum mengenalnya saja, aku sudah tahu rencana apa
yang ada di dalam pikiran Nero. Aku tak tahu lagi apa yang akan kulakukan untuk
menghadapinya jika aku benar-benar menerima tawarannya—mesti menggiurkan.
Tapi
Nero masih keras kepala. Anak muda itu mengangguk-angguk pelan sok penting.
“Aku akan membantumu, Niken. Karena aku tahu kau tak bisa melakukannya.”
Tanganku
terkepal. “Aku bisa melakukannya!”
“Kau
tak bisa.”
“Bisa!”
“Tidak.”
“Aku
bilang bisa!”
“Aku
yakinkan kau tak bisa.”
“Apa
kau menantangku?” emosiku naik karena Nero masih saja berbicara dengan nada
tenang dan tidak terpengaruh dengan intonasi suaraku. Dia masih duduk di kursi,
melipat kedua kakinya dengan santai dan salah satu tangannya merapikan
sudut-sudut rambutnya yang berada dekat telinga.
Pemuda
itu nyengir lebar. “Ya. Aku menantangmu,” katanya. “Kau tak bisa mendapatkan
Vion walau kau berusaha sendiri dalam hmmm… berapa tahun?”
“Satu
tahun!”
“Ya.
Satu tahun,” ada kebanggaan dan pelecehan dalam suara Nero yang membuatku ingin
meninjunya. “Tapi aku yakinkan kau, dengan bantuanku, Vion akan tergila-gila
padamu dalam waktu… hm…”
Lagi-lagi
aku mencengkram bajunya, menggeram jengkel dan melotot marah padanya. Wajah
Nero masih saja tenang, tidak terganggu sedikit pun, malah tampak senang sekali
karena berhasil membuatku marah.
Aku
membenci pemuda ini. Aku benar-benar membencinya!
“Begini
saja, Niken, kau buktikan saja perkataanmu,” Nero memegang tanganku yang
memegang bajunya. Hanya dalam sepersekian detik, aku bisa merasakan kulitnya
yang menyentuh langsung kulit tanganku, dan respon itu mengalir begitu cepat ke
seluruh tubuhku, ke tiap tetesan darah dan selku, membuat pikiran dan
kemarahanku hilang begitu saja.
Wajahku
tak bisa kembali normal karena begitu terkejut merasakan kelembutan dan
kehangatan tangan Nero. Ada sesuatu dalam genggaman itu yang aku masih bingung
artinya untuk apa. Tapi aku tak merasa keberatan sedikitpun dia menyentuhku.
Karena walau jantungku berdetak gila-gilaan saat ini, aku merasa—anehnya—aman
dan damai.
“Jika
kau tak bisa mendapatkan Vion dalam waktu… hmmm… sampai aku masuk kelas
unggulan karena berhasil mendepakmu dari ranking satu selama tiga kali
berturut-turut, maka kau harus menerima bantuanku. Bagaimana?”
Kesadaranku
kembali. Tanganku dengan cepat menepis tangannya.
“Kau
tak akan bisa mendepakku,” aku berbisik ganas.
“Aku
bisa,” katanya tenang.
“Tidak
bisa!”
“Bisa.”
Dia
benar-benar menjengkelkan. Aku muak dengan ekspresi tenang wajahnya, bahkan
senyumnya yang menyebalkan itu. Kilauan matanya yang jenaka juga seakan
mengonfrontasiku akan kebenaran yang dia katakan.
Dia
begitu berani dan percaya diri. Benar-benar musuh yang menyusahkan!
“Aku
tak akan pernah membiarkanmu mendepakku.”
“Benar,”
dia mengangguk sok suci lagi. “Tapi aku bisa.”
Aku
ingin sekali menghentikan pembicaraan ini.
“Oleh
sebab itu, kau mau menerima tantanganku mengenai Vion?” Nero melipat tangannya.
Dengan
cepat aku menganalisa keadaan. Si Brengsek ini, seberapa besar pun rasa percaya
diri dan keberaniannya, tidak akan bisa mendepakku dari juara satu. Dia mungkin
bisa masuk kelas unggulan, tapi tidak mungkin bisa mendepakku. Aku tak akan
membiarkan dia melakukan hal itu. Dia harus tahu dengan siapa dia berhadapan!
Walau
aku tak tahu apakah akan bisa mendapatkan Vion dalam waktu—yang mungkin saja
enam minggu—dengan cara bagaimana, aku juga bisa memperkirakan waktu bahwa aku
tak perlu meminta bantuan darinya mengenai Vion karena aku, sudah pasti, tak
akan tersingkiran dari juara satu. Itu artinya aku punya waktu tak terbatas!
Aku
melirik Nero. Pemuda itu duduk dengan tenang, tampil tampan dengan angin
berhembus perlahan menerbangkan rambutnya, dan latar belakang taman membuatnya
tampil seperti seorang dewa. Tatapannya menusuk, menunggu jawabanku.
Huh,
dia tak tahu kalau aku sudah memenangkan pertarungan bahkan sebelum memulainya.
“Deal. Aku akan mendapatkan Kak Vion
dengan tanganku sendiri. Dan kalau aku tak berhasil mendapatkannya sampai kau
berhasil mendepakku dari rangking satu dan masuk kelas unggulan, aku akan minta
bantuanmu.” Aku berkata dengan cepat dan tepat, sesuai dengan keadaan yang tadi
dia syaratkan.
Nero
kembali tersenyum dan, lagi-lagi, aku tubuhku sendiri menegang melihatnya.
“Itu
artinya enam minggu. Lama juga ya,” kata Nero.
“Kau
tak akan pernah mendepakku dari juara satu. Dan itu artinya, selamanya aku tak
akan minta bantuanmu.”
Seperti
biasa, dia tidak mendengarkanku. “Enam minggu,” katanya tenang. “Jam berapa
sekarang?”
Huh?
“Apa?” aku bingung dengan pembicaraan yang tiba-tiba beralih.
“Jam
berapa sekarang?” dia bertanya penuh kesabaran. Aku menyadari bahwa Nero sering
mengulang kalimat yang sama setiap kali aku mengatakan “apa”, seolah-olah aku
ini tuli, punya pendengaran terganggu, atau idiot yang tak mengerti.
Aku
melihat sekeliling ruangan dan dia juga melakukan hal yang sama.
“Benar
juga. Kau membanting satu-satunya benda yang menunjukan waktu di kamarmu,”
katanya dan bangkit dari tempatnya. “Aku pulang dulu, Niken. Ageha pasti sudah
menungguku.”
Aku
hanya diam membisu begitu dia menuju jendela.
“Hei,
lewat pintu!” seruku saat dia memanjat.
Kepalanya
menoleh dan menunjukan ekspresi “Apa kau sudah gila?” padaku.
“Dan
bagaimana caranya kau menjelaskan aku yang tiba-tiba nongol di kamarmu tanpa
mengetuk pintu rumahmu?” dia bertanya.
Benar
juga!
“Kau
benar-benar lucu, Niken. Aku benar-benar suka padamu,” Nero terkekeh geli saat
dia menghilang dari balik jendela.
Aku
tak tahu apakah harus bahagia, marah atau tersinggung dengan ucapannya barusan.
0 komentar:
Posting Komentar