Kenangan Satu
Gerbang
Kematian
Begitu
aku mati, meninggalkan tubuhku begitu saja, aku melihat hanya ada satu tubuh
saja yang menangisiku di sisi tempat tidur, di ruangan putih rumah sakit itu.
Rohku terasa ringan dan—sudah pasti—tembus pandang. Tidak nyata. Tidak ada
seorang pun yang bisa melihatku, aku yakin sekali mengenai hal itu.
Namun,
aku ingin sekali melihat gadis yang menangisi tubuhku itu dapat melihatku. Aku ingin,
dari sekian banyak kemungkinan yang sia-sia, dia dapat mendengar suaraku.
Tapi
aku sendiri juga memang tidak bisa bersuara. Aku hanya berdiri di sana, di
samping tubuhku, sambil memandangi tubuhku yang tidak bernyawa lagi, bersama
dengan seorang gadis yang masih menangis.
Hatiku
terasa sakit begitu mengetahui bahwa aku tak bisa bersamanya lagi dan yang
lebih menyakitkan lagi bahwa aku tak bisa menghiburnya di saat sedih seperti
ini. Bahwa karena akulah dia bersedih dan mengeluarkan air matanya yang tidak
pernah ingin kulihat. Hukuman itu terasa begitu mengerikan, bahkan untuk diriku
sendiri.
Seandainya
saja ada keajaiban.
Sebuah
sinar sedikit demi sedikit muncul, menerangi kami. Tapi, hanya aku yang melihat
sinar itu, karena gadis itu sama sekali tidak mengadah walau sinar itu semakin
terang dan terang, menyelimuti kami dalam lautan sinar. Aku menutup kedua
matanya dengan kedua tanganku dan hanya melihat sedikit sewaktu pintu kamar
terbuka dan seseorang masuk….
Lalu,
sinar itu hilang begitu saja, menampakan sebuah gerbang emas megah tinggi
mencapai awan yang panjangnya juga sampai tidak tampak.
Aku
terkejut melihat ke sekelilingku.
Di
tempat ini hanya ada lautan awan berwarna putih, begitu juga sinar-sinar putih
yang sangat berbeda dengan warna putih yang pernah aku lihat, begitu cantik,
begitu menenangkan, begitu bersinar, dan begitu kuat.
“Aku
ada dimana?” gumamku keheranan.
“Kau
ada di Gerbang Kematian. Gerbang perbatasan antara dunia hidup dan mati.”
Aku
terkejut mendengar ada suara merdu yang lembut menjawabku. Saat aku berpaling,
aku mendapati seorang lelaki tinggi yang wajahnya begitu bersinar mendatangiku
dan tersenyum ramah.
Dalam
sekejap, aku gemetar. Mungkinkah dia Tuhan?
“Aku
bukan Tuhan,” katanya lagi pelan dan aku semakin takut. Ini gila. Aku berhadapan
dengan seseorang yang bisa membaca pikiran!
“Ka—kau
siapa? Aku dimana?”
Laki-laki
bersinar itu masih tersenyum. Dia mengulurkan tangannya yang dibalut oleh jubah
lembut yang bersinar seperti wajahnya.
“Mari
ikut aku. Aku akan mengantarkanmu ke tempatmu yang seharusnya.”
Tempatku
yang seharusnya? Apakah Neraka? Aku bertanya-tanya dalam hati. Selama ini sudah
banyak cerita manusia mengenai neraka dan surga. Dan ini pertama kalinya bagiku
mati. Mungkinkan orang ini adalah orang yang diceritakan dalam banyak
kisah-kisah fiktif itu? seorang malaikat kematian?
Aku
melirik tangannya yang menunggu dengan sabar. Dia masih tersenyum di sana,
menungguku untuk memutuskan.
Tapi,
jika aku memang hendak dibawa ke neraka, tempat ini tidak cocok dijadikan
neraka. Aku melihat sekeliling lagi dengan penuh perhatian. Aku seperti berada
di sorga. Di ketinggian yang aku tak tahu berapa.
Dalam
sekejap aku menyerah. Toh aku sudah mati. Dan segala perbuatanku akan terbayar
hari ini. Segala perbuatanku sewaktu aku masih hidup akan menjadi penentu
rohku. Aku jadi takut pada diriku sendiri dan kehidupanku dulu. Apakah aku
sudah cukup banyak berbuat kebaikan sehingga nanti, sewaktu pengadilan
tertinggi, rohku bisa singgah di sorga?
Tanpa
ragu lagi, aku memegang tangannya.
Dan
dalam detik itu juga, kami berpindah begitu cepat, dan tiba di depan gerbang
emas itu.
Aku
melepas tanganku.
“Kau
dapat bertanya padanya mengenai jalan yang akan kau tempuh,” dia menunjuk
seseorang yang berdiri di depan pintu gerbang emas itu. Saat aku melihat orang
itu dengan seksama, orang bersinar itu sudah menghilang begitu saja.
Pasrah,
aku pun melangkah perlahan menuju pria berjubah yang tinggi itu. Sambil menelan
ludah, aku mendatanginya.
Semakin
dekat, aku semakin dapat melihat wajahnya—yang juga tak kalah bersinar
dibandingkan pria yang satunya—yang tampan luar biasa, tapi tampak ramah dan
tersenyum menenangkan. Dia memegang sebuah buku tebal bersampul indah keemasan.
Dengan jubah panjang putih yang tertutupi awan putih.
Aku
penasaran apakah dibalik jubah itu ada kaki atau tidak. Atau apakah orang ini
terbang atau berdiri sama seperti dirinya.
“Alfa
Franscope?” dia berbicara dan mengetahui namaku bahkan sebelum aku membuka
mulutku.
Aku
mengangguk kaku, mengagumi orang itu. Apakah dia juga mampu membaca pikiran? Namun,
sebelum aku bisa mencerna apa yang terjadi, buku yang dipegang orang itu terbuka
begitu saja dan lembaran-lembarannya membolak-balik begitu saja dengan
sendirinya, seperti sihir. Dan namaku muncul di lembaran itu, seolah-olah buku
itu tahu apa yang dia cari.
“Alfa
Franscope, tujuh belas tahun, meninggal pada Februari hari ke tujuh belas,”
orang itu membaca catatan itu. “Penyebab kematian jatuh dari jurang dengan
tulang rusuk patah dan sempat tidak sadarkan diri sebentar. Lokasi kematian:
kamar rumah sakit bangsal lima.”
Buku
itu benar-benar tahu segalanya.
Aku
mengangguk lagi. Tak mampu berkata apapun. Aku yakin bahwa seluruh catatan
kehidupanku ada di buku itu. Buku itu pastilah buku kehidupan.
Lembaran
itu berbalik lagi dengan sendirinya. Mungkinkah orang ini seorang telekinesis?
Aku
menunggu lagi dengan was-was sewaktu pria pemegang catatan kehidupan itu
membaca.
“Alfa
Franscope,” katanya lagi. “Kau belum menyelesaikan seluruh urusanmu di Bumi. Masih
ada orang yang belum menerima kematianmu. Jadi, kembalilah ke Bumi dan
selesaikan urusanmu.”
Hah?
Aku terbengong. Dan sebelum aku bisa mencerna apa yang terjadi, orang itu
mengangkat tangannya, buku itu tertutup keras dan awan yang ada di bawah kakiku
terbuka begitu saja.
Aku
jatuh masih dengan penuh keterkejutan dan melihat langit mengecil sedikit demi
sedikit….
1 komentar:
Kaaaaakk~
Baru dua episode nih? Bisa penasaraaaan dong >_<
okeh, capcuss baca dulu ^^~ *terbang
Posting Komentar