Debaran Enam
Bukit Hijau
Sekolah
ini benar-benar sekolah terbaik yang dipilihkan Matt pada Nero dan Nero
benar-benar puas dengan sekolah itu. Selain dekat dari rumah, mudah dijangkau,
tidak mengeluarkan uang dan tidak mengakibatkan polusi, juga memberikan suguhan
menggiurkan berupa perbukitan hijau luas yang luar biasa cantik.
Dalam
sekejap Nero jatuh cinta dengan tempat itu.
Tempat
itu cocok sekali dijadikan sebagai lokasi tidur siang. Tidak lebih.
Dan
karena tak ada seorang pun bersedia menemaninya—juga karena tak ada yang
seorang pun yang mendatangi tempat itu—maka perbukitan itu menjadi tempat
paling tepat baginya untuk melarikan diri dari para cewek sok imut yang
kecentilan. Cewek-cewek itu mengerubutinya, bertanya terus-terusan mengenai
dirinya dan tidak mau melepasnya andai saja Nero tak buru-buru berkata bahwa
dia ingin pergi ke toilet.
Nero
berjalan sendirian, melintasi rumput hijau menuju bukit rendah yang ditumbuhi
pohon beringin besar pada puncaknya. Matahari siang bersinar begitu terik,
membuatnya terpaksa menyipitkan mata sementara salah satu tangannya diangkat
menutupi wajahnya.
Jam
makan siang berlangsung selama satu jam, setelah itu masih ada dua les lagi
sebelum bel sekolah berakhir untuk pulang. Nero biasanya makan siang bersama
Ageha, jadi waktu senggang ini lebih baik dihabiskan untuk hal yang lebih
berguna: tidur.
Sesampainya
di bawah pohon itu, Nero segera membaringkan tubuhnya di atas rumput. Akar
pohon besar yang meliuk-liuk rapat di rumput dijadikannya sebagai sandaran
kepala.
Berbeda
sekali dengan panas siang hari, di bawah naungan pohon beringin benar-benar
sangat sejuk. Daun-daun yang tumbuh merapat di ranting pohon itu menghalangi
sinar matahari yang masuk. Dan nuansanya teduh dan menenangkan.
Nero
tersenyum kecil. Kenyamanan seperti ini terasa tidak asing, seperti di bawah
pohon maple yang daunnya berguguran di Jerman pada saat bulan September.
Baru
saja Nero merebahkan tubuhnya, matanya segera mengantuk dan tak lama kemudian,
dia pun tertidur.
***The Flower Boy Next Door***
“Hey.”
Terdengar
suara seseorang yang sangat asing.
“Hey, you. Wake up.”
Kali
ini bagian pinggir kepala Nero seakan membentur sesuatu yang keras. Dengan
malas Nero membuka matanya sedikit, melihat bayangan hitam dari seseorang.
“Wake up, Dude. How long did you
plan to sleep?”
Ini
pertama kalinya ada seseorang yang berbicara padanya menggunakan bahasa
Inggris. Sekarang Nero melihat ada sinar keemasan yang muncul dari bayangan
itu. Nero menggosok matanya, mencoba memperjelas penglihatannya.
“Ah, so the rumor’s true. Not bad.”
Sosok
itu sekarang lebih jelas. Seorang siswa laki-laki berdiri di sampingnya. Dia
berambut pirang, tinggi, dan tengah menunduk melihatnya dengan raut wajah
datar.
“You are being impolite to have
youw own foot to somebody’s head, especially when that someone was sleeping and
you ever didn’t know who he is,” kata Nero dan kembali
menutup matanya.
“Me Devon. You Nero. Now, we know
each other.”
Nero
membuka matanya kembali dan menaikan alisnya. “And what do you want, Devon?”
“The bell is ringing in ten
minutes.”
“How nice you walked over here just
to wake me up with your stinky shoes.”
“Oh, come on. I was wondering why
you laying here with nobody’s around.” Devon menjawab bosan. “I thought you are a ghost.”
“No ghost at noon.”
Devon
nyengir lebar. Tampak bangga.“True. So
then I figured out maybe you just got faint or maybe it was just a rotten
body.”
Ada
sesuatu dalam diri Devon yang—mau tak mau—membuat Nero menyukainya.
“Or it’s just a sleeping man with
‘NO DISTURB’ sign?” sahut Nero lagi.
“Well, excuse me. I didn’t read any
sign here,” kata Devon sambil memasukan kedua
lengannya ke saku celananya. “Time to
leave. Bye, Nero. Feel free to sleep.”
“Hmph.
Hahahaha.”
Nero
terbahak. Dengan cepat dia bangkit dan menyusul Devon menuruni bukit. Walau
belum mengenalnya, Nero merasa bahwa Devon orang yang menarik dan
menyenangkan—dalam aspek tertentu.
“Dude, which class you are?”
tanya Nero.
“Grade 2 class 3.:
“Grade 2 class 5—class 1, ASAP.”
“Do you intend to enter that worst
class?” Devon keheranan.
“Why not.”
“Man, I don’t get you.”
Nero
terbahak lagi. Bahasa santai Devon benar-benar menghiburnya.
Mereka
bercakap-cakap lagi saat memasuki gedung sekolah. Mengobrol dengan Devon, walau
hanya sebentar saja mengingatkan Nero akan teman-teman dekatnya sewaktu belum
ada di tempat ini. Seakan-akan Devon dan dirinya berteman sudah sangat lama
sehingga pembicaraan mereka mengalir begitu saja. Begitu mereka melewati
koridor yang dipenuhi siswa, Nero memerhatikan bahwa masing-masing siswa
memandangi mereka bedua dengan keheranan.
“Don’t mind them,”
kata Devon pelan.
“I don’t.”
Nero setuju sambil mengangguk.
“Well, then, bye.”
Devon berjalan meninggalkannya.
Nero
melambai kecil dan masuk ke kelasnya.
Di
kelasnya, setiap pasang mata menatapnya keheranan, seperti melihat seorang
penyakit kusta yang tiba-tiba sembuh dengan kulit bersih tanpa luka. Sepertinya
sesuatu yang ajaib telah terjadi. Nero menaikan alisnya dan masuk ke kelasnya
sambil bertanya-tanya apa yang telah terjadi dalam hati.
“Nero,”
akhirnya ada juga cowok yang menegurnya. Si Ketua Kelas, Bram, mendatanginya
dengan ekspresi kekaguman. “Itu tadi Devon kan?”
“Memangnya
kenapa?” Nero balik bertanya.
“Kau
berbicara padanya?” katanya keheranan.
“Dia
kan tidak bisu,” ucap Nero lagi.
Bram
terdiam sejenak, berpikir, lalu mengangguk. “Devon bukan jenis orang yang suka
berbicara pada orang lain terlebih dahulu. Dia berandal!” kata terakhir begitu
sangat histeris. “Dia… dia terlambat setiap hari. Dia bahkan berani menentang
Niken!”
Aha.
Itu baru kabar bagus. Alasan Nero menyukai Devon karena mereka memiliki bau
yang sama. Bukankah itu semakin menarik?
“Lalu?”
kata Nero lagi pura-pura tak tahu arah pembicaraan ini.
Bram
tampak kebingungan harus menjelaskan padanya.
“Dengar,
Bram. Aku suka padanya. Jadi kau tak perlu repot-repot menjelaskan apapun
padaku,” kata Nero pelan. “Anyway,
silakan kembali ke tempat dudukmu. Bel sudah berdering. Pak Julian akan marah
besar melihatmu berdiri di depan mejaku.”
Bram
hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi dia pada akhirnya memilih tutup mulut dan
kembali ke mejanya.
Pak
Julian masuk kelas. Kedua tangannya penuh dengan buku dan lembaran-lembaran
soal yang entah untuk apa. Dia kemudian menelusuri pandangannya ke seluruh
ruangan. Dan saat dia melihat Nero, dia tersenyum.
“Nero,
kemari sebentar,” katanya.
Nero
bangkit dari tempatnya dan mendatangi meja guru. Pak Julian memberikan beberapa
lembaran itu padanya.
“Apa
ini, Pak?” Nero bertanya keheranan.
“Kamu
masuk di pertengahan semester. Saya tidak tahu kemampuan kamu sampai mana. Saya
ingin menguji kamu. Namun, karena kamu memang sudah lama tinggal di luar negeri,
saya yakin saya tak perlu takut kamu ketinggalan pelajaran bahasa Inggris. Hanya
saja, bagi sekolah, mereka membutuhkan bukti.”
Nero
melirik soal ujian itu dan kembali melirik Pak Julian.
“Tidak
sulit kan?” kata Pak Julian sambil tersenyum.
“Tidak.”
Nero menggeleng. “Apakah ini akan membuat saya masuk kelas 1?”
“Oh,
kamu ingin masuk kelas unggulan?” Guru yang satu ini memang mengherankan. Begitu
Nero bertanya, Pak Julian masih saja tersenyum walau dia tahu bahwa Nero akan meninggalkan
kelasnya. “Sayang sekali peraturannya sudah tetap. Kamu harus lulus tiga kali ujian
sekolah. Jika kamu bisa masuk tiga puluh besar, kamu bisa masuk ke kelas itu.”
Menunggu
selama enam minggu sungguh sangat membosankan.
“Baiklah,
Pak. Kalau begitu saya hanya perlu mengisi ini kan?”
“Silakan
kamu kerjakan dengan tenang.”
Nero
kembali ke tempat duduknya dengan sorotan tajam dari cewek-cewek. Mereka mungkin
baru mendengar pernyataan Nero hari ini, tapi mereka sama sekali tak menyangka bahwa
Nero benar-benar serius ingin masuk ke kelas 1.
Nero
tersenyum kecil. Pindah ke Indonesia tidak seburuk dugaannya.
***The Flower Boy Next Door***
Devon
menunggui Nero di depan pintu gerbang sekolah sambil melipat tangannya. Kepalanya
ditundukan. Dan matanya sedari tadi hanya menatap tanah tanpa berkedip. Murid-murid
yang mulai keluar dari sekolah meliriknya keheranan sebelum pada akhirnya memilih
pergi dan tidak mengusiknya.
“Niiiiiiken.”
Devon
mengadah mengenali suara Nero di kejauhan. Nero memang tengah menggoda Niken, sang
Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa—sang Ratu Iblis. Ada banyak rumor yang beredar
mengenai Nero sejak anak itu memasuki sekolah. Tapi Devon tak menyangka bahwa semua
rumor itu benar. Selain tampan, Nero rupanya tidak jaim seperti yang digosipkan
orang-orang.
“Apa?
Jangan menggangguku. Pergi sana!” kata Niken.
“Aku
kan cuma menyapa,” kata Nero lagi.
“Menyapa
apa—” dan perhatian Niken teralih padanya. “Kau, kenapa kau masih ada di sini?”
Devon
menaikan alisnya. “Memangnya kenapa? Ini kan jadwal pulang sekolah.”
“Kau
harus menyelesaikan masa hukumanmu,” kata Niken berapi-api. “Membuang seluruh sampah
kelas dua dan mengorganisir sampah sekolah bersama Pak Rus.”
Devon
lupa sama sekali mengenai hukumannya. Sialan.
Nero
mengedip-ngedip seperti balita usia lima tahun.
“Dan
kau juga,” Niken pun menarik dasi Nero. “Kau harus membantu Devon membersihkan semua
sampah itu.”
“Dan
kenapa aku harus melakukannya?” tanya Nero tenang.
“Karena
kau terlambat!” raung Niken marah.
Devon
melongo. Nero terlambat? Tapi tadi pagi Nero sama sekali tidak berada di gerbang
tuh.
“Kau
tak punya bukti,” kata Nero lagi kalem. “Aku bahkan tak menerima surat tilangmu.”
Untuk
pertama kalinya Devon melihat Niken tidak mampu membalas perkataan Nero. Gadis itu
mengepalkan tangannya dengan kesal sementara wajahnya memerah menahan amarah.
“Dan
kurasa Devon juga tak perlu melakukannya,” kata Nero sambil menepuk-nepuk bahu Devon
dengan bersahabat. “Karena Pak Rus mengatakan padaku setiap sampah biasanya di antar
pagi hari oleh Dinas Kebersihan Kota. Jadi tidak akan pernah ada sampah saat ini.”
Devon
terkejut. “Really?”
“Jadi,
Niken,” lanjut Nero lagi, “hukumanmu itu sama sekali tak berlaku bagi Devon.”
Oooh,
ini benar-benar pukulan telak bagi seorang Koordinator Kedisiplinan Siswa karena
tidak mampu membalas perkataan anak buahnya.
Nero
tersenyum manis dan seakan tidak membuat kesalahan, dia berkata, “Beginilah jika
kau lengah menghadapi jenius sepertiku.”
“Awas
kau nanti!” raung Niken.
Nero
terbahak menghadapi kemarahan Niken. “Sebaiknya kau yang harus hati-hati, Niken
karena aku akan mendepakmu dari posisi pertama.”
Setelah
itu Nero menarik Devon mengikutinya, meninggalkan Niken yang masih bungkam tak bisa
membalasnya.
“That’s
cool.”
“Thank
you.”
Nero
baru saja menyelamatkannya dari hukuman. Devon pasti akan membalas budinya.
0 komentar:
Posting Komentar