9.
Analisis Derren
Daris masuk ke
ruangan khusus diantar oleh dua orang sipir. Tiba-tiba saja ada telepon dari
seseorang untuknya, padahal ini sudah tengah malam. Orang-orang seperti dia
mendapat dispensasi khusus mengenai segala aspek yang berhubungan dengan kasus,
soalnya dia belum terbukti bersalah.
“Halo?” Daris
mengangkat telepon yang terletak di meja.
“Daris Harryawan,
berhentilah bersifat keras kepala,” Daris mendengar suara yang aneh. Suara yang
dimodifikasi dengan alat.
“Aku tidak
bersalah,” kata Daris tenang.
“Putramu Derren ada
ditanganku. Kalau kau masih keras kepala, akan kukirim mayatnya padamu ditambah
dengan mayat Sandra, cintamu itu.”
Daris menelan
ludah. “Apa kau mencoba mengancamku?”
“Aku tidak
mengancam. Aku memerintahmu. Kuberi kau waktu sampai pengadilan besok. Jika kau
tidak mengaku bersalah maka aku akan membunuh mereka berdua. Pikirkan dan
silakan pilih sendiri. Nyawa Putramu atau penjara. Tentunya kau orang yang
tidak bisa membohongi perasaan di hatimu kan?”
Air mata Daris
menetes.
***
“Holmes...
Holmes...”
Deva mendengar
suara di dekat telinganya.
“Holmes bangun. Ini
sudah tengah hari.”
Deva membuka
matanya yang terasa berat dan melihat sosok kabur berpakaian putih. Deva
mengucek matanya dan menjernihkan penglihatannya. Dia melihat Derren.
“Derren? Astaga!
Kau dari mana saja?” Deva terduduk. Kondisi Derren masih sama seperti kemarin
malam. “Kau baik-baik saja kan? Tidak luka kan? Kata Rai kau diculik! Aku panik
setengah mati! Si—siapa mereka?” pandangan Deva teralih melihat dua pemuda di
belakang Derren.
“Mereka...”
“Kami pengawal
pribadi Hosea Derren Harryawan yang diperintahkan Agen Mike Gregor untuk menjaganya. Namaku Jermy Nicolen dan yang
disampingku ini Ello Koyja,” kata yang berwajah cantik. “Dan kamu, sahabat
Hosea Derren Harryawan, siapa namamu?”
“Deva ‘Sherlock
Holmes’,” jawab Deva. Dia menatap Derren dengan tatapan meminta penjelasan.
“Derren, apa maksudnya ini?”
“Mereka suruhan Agen
Mike yang ditugaskan untuk menculikku agar tidak melakukan tindakan yang bodoh,
tapi yang kena masalah justru Rai. Dia diculik kan?”
“Dari mana kau
tahu?”
“Rai tidak ada
disini saja sudah membuktikan analisisku.”
“Kalau boleh aku
tahu Hosea Derren Harryawan, siapa itu Rai?” tanya Ello dengan suaranya yang
berat dan serak.
“Rai Azusha, orang
yang punya wajah mirip denganku,” jawab Derren. “Kalau sudah seperti ini, jika
dugaanku benar, pelakunya sudah bertindak.”
“Maksudmu?”
Derren mengambil remote
dan menghidupkan televisi yang memunculkan berita hari ini. Deva
mengerutkan dahinya melihat isi berita itu.
“Daris Harryawan
mengaku menggelapkan keuntungan Crystal Pertam Group. Hal ini merupakan sesuatu
yang tidak disangka oleh pihak pengadilan. Daris Harryawan akan dikenai hukuman
penjara selama sembilan tahun. Pihak kepolisian masih akan menyelidiki keberadaan uang yang menjadi
bukti kesalahan Daris.”
“Mustahil...” gumam
Deva. “Ayahmu kan tak salah apapun!”
“Ya, kecuali si
Pelaku bilang kalau aku ada ditangannya,” kata Derren. Dia hendak mematikan
layar televisi ketika muncul berita lain.
“Berita terbaru.
Reporter kami baru saja mendapatkan berita bahwa Daris Harryawan yang sudah
dikenai hukuman penjara, melarikan diri dari mobil kepolisian saat menuju ke
kantor kepolisian pusat. Diduga aksi tersebut sudah direncakan dengan sempurna
oleh Daris dan Pemegang Saham Rahasia yang tidak terima mengenai keputusan
Pengadilan dan—”
“Hosea!” Jermy
menangkap tubuh Derren yang hampir jatuh. Derren memegang jeket Jermy, tangannya
gemetaran. “Kau tidak apa-apa?”
“Derren, kau
baik-baik saja?” Deva ikut-ikutan. Deva khawatir melihat wajah Derren
yang pucat pasi menatap layar televisi.
“Ini diluar
dugaan,” gumam Derren. “Dirsa akan membunuh Ayahku.”
“Apa? Dirsa?” ulang
Deva tidak percaya. “Jadi pelakunya Dirsa?”
Derren berpikir
cepat. “Aku punya rencana. Jermy dan Ello akan ikut aku dan kau disini untuk
menunggu sinyal dariku,” kata Derren dengan suara bergetar.
“Kenapa aku harus
menunggu? Aku mau ikut!” Deva bersikeras.
“Tidak! Kau tetap
disini dan menunggu sinyal dariku untuk mengirim bukti pada polisi! Kau
satu-satunya orang yang bisa mengoperasikan komputer dengan baik sehingga bisa masuk
ke data rahasia polisi!” kata Derren tegas.
Deva terdiam.
“Lalu apa yang akan
kau lakukan?” kata Jermy.
“Kembali ke rencana
awalku,” jawab Derren.
“Kau pikir kami
akan menyetujui rencana gila yang akan mengantarkan nyawamu pada Tuhan?” kata
Jermy pedas. “Kau mau kuborgol lagi?”
“Ya, kau akan
setuju karena kali ini aku butuh bantuan kalian disaat terakhir,” kata Derren
tersenyum kecil. “Ini pertarungan hidup dan mati untuk sebuah bukti. Ada banyak
musuh disana.”
“Tapi—”
Jermy terdiam
ketika Ello mengangkat tangannya untuk menyuruh Jermy diam.
“Masalah ini tidak
akan selesai kalau Hosea Derren diam saja,” kata Ello. Dia menatap mata Derren
yang kelihatan sangat pasti dengan kemampuannya. Tidak ada rasa ragu dari
kata-katanya. “Lakukan yang ingin kau lakukan.”
Derren mengangguk.
“Kali ini aku pasti
menang.”
Derren akan
mempertaruhkan nyawanya untuk nyawa tiga orang, ah bukan tapi empat orang. Dia
tidak akan mau kalah kalau ada nyawa sebanyak itu yang akan bisa dia
selamatkan.
Ibu, mungkin aku
akan menyusulmu.
***
Rai menatap Daris
dan Sandra secara bergilir. Ketika dia dipaksa
masuk ke dalam ruangan gelap ini. Dia melihat kedua orang ini sudah ada. Mereka
tidak bicara satu sama lain. Tapi Rai yakin kalau mereka saling mengenal.
Beberapa kali Rai memergoki Daris mencuri pandang pada Sandra, begitu juga
sebaliknya.
“Kalian saling
kenal?” tanya Rai setelah sunyi beberapa saat. Daris dan Sandra saling pandang
tapi mereka tidak menjawab pertanyaan Rai. “Tolong jawab pertanyaanku!”
“Rai—”
“Kami masih terikat
hubungan pernikahan sampai saat ini,” Daris menjawab sebelum Sandra mengalihkan
pembicaraan.
“Apa?” kata Rai
tidak percaya. Kata-kata itu serasa berdengung di telinganya.
“Aku Ayahmu, jika
Sandra tidak menikah lagi dengan orang lain tentunya,” lanjut Daris sambil
menghela napas.
Rai seakan berhenti
bernapas, untuk beberapa saat rasanya otaknya berhenti bekerja. Tadi dia bilang
apa?
“Aku—a-apa
maksudnya?” Rai bingung. Dia berbicara dengan nada gugup. “Anda sedang bercanda
kan? Anda—tunggu—aku tidak mengerti.”
“Ibumu
meninggalkanku setelah tiga bulan pernikahan kami.”
“Daris!”
“Aku harus
menceritakannya!” kata Daris tegas. “Aku ingin menyelesaikan semua masalah ini!
Dari dulu aku bertanya-tanya kenapa kau meninggalkanku! Dan kau bahkan tidak
memberitahuku soal kandunganmu!”
Sandra membuka
mulutnya, menutup, lalu membukanya dan menutupnya kembali. Sandra menatap Rai
kemudian pada Daris.
“Mama benar-benar
menikahi dia?” kata Rai tidak percaya. “Dia Papaku?” tuntut Rai lagi. “Ma,
jawab pertanyaanku! Aku butuh penjelasan!”
Mata Sandra
berkaca-kaca. Namun, dia tetap mengangguk.
Rai lemas. “Lalu
kenapa Mama tidak pernah cerita? Kenapa? Apa Mama tahu kalau aku mencari sosok
Papa selama ini?”
“Rai, ini tidak
semudah yang kau pikirkan.”
“Mungkin bagi Mama
tidak mudah. Lalu bagaimana denganku?”
“Rai, Mama tidak
bermaksud begitu. Mama tahu kalau kau amat butuh seorang Papa. Mama ingin
sekali menceritakannya. Hanya saja Mama takut. Mama takut kau membenci Daris
dan Derren,” kata Sandra. Air matanya berlinang, membasahi pipinya. “Ini
salahku.”
“Kau ini ngomong
apa? Kau tidak salah apapun!” kata Daris.
“Salahku Daris!”
teriak Sandra. “Aku tahu kau dan Elliana saling mencintai tapi aku pura-pura
tidak mengetahuinya! Aku malah meminta Elliana membantuku agar kau mencintaiku.
Aku yang salah. Kalau saja aku tidak melakukan hal itu. Mungkin saat ini
Elliana masih hidup. Mungkin dia bisa hidup bahagia denganmu dan Derren!”
“Hentikan, Sandra!
Jangan membahas Elliana,” kata Daris frustasi. Dia menutup telinganya. Dia
kelihatan sakit.
“Tolong jelaskan!
Aku masih belum mengerti apa yang terjadi! Siapa itu Elliana?” kata Rai sebal.
Dia butuh penjelasan. Penjelasan yang spesifik. Saat ini dia haus informasi.
Dia tidak ingin jadi orang yang tidak tahu apapun. Dia benci perasaan itu.
“Elliana itu Mama
Derren,” jawab Sandra terisak.
“Mama Derren?” Rai mengulang. “Maksudnya dia menikah dua kali?” Rai
menunjuk Daris dengan heran.
“Sopanlah pada Papamu, Rai!” kata Sandra memukul tangan Rai.
“Aku masih belum mengerti apapun!” kata Rai bolak balik. “Aku—Derren—dia
bilang kalau Anda tidak mencintai Mamanya!”
“Aku menikah dengan Sandra sekitar tujuh belas tahun yang lalu,” kata Daris
menjelaskan dengan nada tenang. “Hanya saja tiga bulan setelah pernikahan itu
dia meninggalkan aku. Kemudian terjadi sesuatu yang tidak terduga. Waktu itu
aku mabuk dan frustasi dan tanpa sadar—pokoknya saat itu, aku sudah bersama
Elliana. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menikahi Elliana. Itu pernikahan
yang amat menyakiti Elliana—walau aku sangat mencintainya sejak dulu. Aku
merasa kalau dia sama sekali tidak mau menikah denganku. Aku pikir dia cuma
terpaksa menikah denganku karena kejadian itu. Karena kesalahanku dia tidak
jadi menikah dengan Mike Gregor.”
Agen Mike adalah
sahabat karib Ibu. Mereka mantan kekasih
Itu kata-kata
Derren dulu. Rai ingat betul semua perkataan Derren.
“Daris, Elliana
mencintaimu!” kata Sandra. “Hanya saja—dia orang yang baik. Karena dia tidak
mau merusak pernikahan kita, maka dia memilih untuk menikah dengan orang lain
untuk menunjukan kalau dia baik-baik saja!”
“Itu masalahnya,
Sandra! Aku baru sadar hal itu ketika dia meninggal. Aku baru sadar ketika
dia—aku tidak sadar dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan! Aku kacau!”
kata Daris. Tubuhnya gemetaran. “Aku tidak bisa menerima kematiannya. Dia
bahkan masih sempat bertanya padaku siapa nama anak yang telah dilahirkannya
sebelum meninggal. Aku masih ingat suaranya yang lemah itu. Aku menyiksanya
sampai dia mati!”
“Anak kita
laki-laki.”
“Oh, lalu?”
“Kau ingin memberi
dia nama?”
“Aku tidak peduli
kau memberi dia nama Hosea atau Derren atau yang lain. Terserah!”
Rai benar-benar
tidak mempercayai pendengarannya.
“Aku menyesal,”
Daris terisak. “Aku menyakiti Elliana. Dia wanita yang baik. Aku juga tidak
datang ke pemakamannya. Aku tidak mau melihat mayatnya. Lalu, Derren—ketika dia
dibawa pulang—”
Daris berhenti. Dia
masih bisa mengingat hari itu. Tangisan Derren yang memenuhi seluruh ruangan
rumahnya ketika dia dibawa di depan rumahnya.
“Tangisannya
membuatku gila! Aku dihantui rasa bersalah! Aku tak mau anak itu merasakan hal
yang sama! Aku merasa kotor dan hina, jadi kuputuskan dia agar dibawa ke panti
asuhan. Dia akan mendapat banyak kebahagiaan daripada memiliki Ayah yang sama
sekali tidak mau menerimanya bahkan tidak mau melihatnya lahir!”
Daris mengambil
napas. Wajahnya kacau. “Ayahku membawanya pulang. Dia membentakku. Dia marah
besar. Aku tahu kalau aku salah. Tapi aku tidak bisa mengatakan perasaanku. Dan
perbuatanku membuat rasa bersalahku semakin besar.” Daris menarik rambutnya.
“Derren tidak pernah kurawat—dia selalu dirawat oleh pengasuh yang banyak. Aku
tidak mau menyentuhnya karena bagiku menyentuhnya sama saja dengan membuatnya
jadi kotor. Aku tidak pantas jadi Ayahnya.”
Rai menelan
ludahnya. Dia mundur sampai merapat ke dinding. Dia merasa kalau keringatnya
juga bercucuran. Tangannya gemetaran.
Sandra kearah Daris
dan mengelus punggungnya. Dia menarik Daris ke dalam pelukannya. Tubuh keduanya
bergetar.
“Derren tahu
semuanya, Daris,” bisik Sandra.
Daris mengadah.
“Apa?”
“Dia tidak
menyalahkanmu,” kata Sandra tersenyum kecil. “Dia bilang kalau kau akan selalu
menjadi Ayahnya tidak peduli apapun yang terjadi. Dia mengerti Daris. Dia
mengerti apa yang kau rasakan. Jadi sebaiknya kau tidak menyalahkan diri
sendiri karena Derren menginginkan kau merasakan hal yang dia rasakan saat
ini.”
Air mata Daris
kembali menetes. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan kembali memeluk
Sandra.
Rai tersenyum
melihat adegan mengharukan itu. Ruangan itu jadi terasa hangat. Rai puas ketika
mengetahui kebenaran. Itu berarti dia dan Derren adalah saudara beda Mama.
Rai—entah kenapa—senang mendengar kenyataan itu. Derren adalah adiknya.
Kata-kata itu terus berulang dalam kepalanya. Adik. Derren adalah adiknya.
Pintu ruangan
tempat mereka dikurung terbuka. Mereka bertiga segera menoleh kearah suara itu.
Sekitar tiga orang bersenjata menodongkan pistol kearah mereka.
“Cepat berdiri.
Kalian akan dihadapkan pada Bos dan jangan banyak tanya.”
***
Dirsa kaget melihat
kemunculan Derren yang tiba-tiba. Awalnya dia tidak percaya karena dia yakin
kalau dia sudah menangkap Derren, tapi akhirnya dia tahu kalau dia beruntung.
Derren datang sendiri kehadapannya dengan sukarela. Dia tidak menyangka kalau
Derren punya saudara kembar.
“Saudara kembarku
sudah meninggal,” kata Derren tenang. Dia menerima teh yang ditawarkan Dirsa.
Dirsa kagum dengan
ketenangan Derren. “Kau yakin?”
“Tentu saja,” kata
Derren lagi. Dia menghirup tehnya.
“Kalau begitu siapa
anak laki-laki yang kuculik kemarin ya?” kata Daris sopan. Dia duduk di sofa
yang menghadapi Derren.
“Dia Rai, Kakakku,
dari Ibu yang berbeda dan masih darah daging Ayah,” kata Derren lagi meletakan
tehnya.
“Ah, begitu
rupanya,” kata Dirsa menepuk tangannya. “Aku heran kenapa kau mau datang dengan
sukarela kemari tanpa penjagaan dan sangat tenang. Apa kau tak takut kalau kau
kuracuni, Derren?”
“Tidak,” kata
Derren lagi. “Karena aku tahu sebelum aku memberikan aset saham itu, kau tidak
akan mengapa-apakan aku. Lagipula Dirsa, aku ingin kau melepaskan tiga orang
yang kau sandera itu. Aku sudah datang jadi kau tidak perlu membuat mereka
menderita lagi.”
“Kenapa kau bisa
bersikap setenang ini, Derren?” kata Dirsa sedikit memiringkan kepalanya.
“Karena kau belum
menujukan taringmu jadi aku masih bisa tenang. Aku akan mati kan? Jadi buat apa
panik segala.”
Dirsa bertepuk
tangan sambil geleng-geleng kepala. “Kau benar-benar Tuan Muda kebanggaan
Daris. Daris pasti bangga padamu.”
“Ceritakan padaku
satu hal, Dirsa,” kata Derren lagi. “Kenapa kau begitu ngotot untuk memilki
aset saham Crystal? Padahal kalau kau menunggu, kau juga bisa jadi Presidir di
Crystal. Tentunya kau tahu kalau semua orang bisa jadi Presidir di Crystal
kerena yang ditunjuk di Crystal adalah orang yang memiliki kemampuan, bukan
begitu?”
“Yah... aku punya
alasan tersendiri,” kata Dirsa lagi.
“Misalnya mengubah
kembali nama Crystal Pertama Group menjadi Limit Circle Corporation?” kata
Derren lagi dengan senyuman kecil di bibirnya.
Senyuman di wajah
Dirsa hilang, tapi hanya sepersekian detik karena wajahnya kembali dipenuhi
senyuman. “Kira-kira begitu. Dari mana kau tahu, Derren?”
“Aku cuma mencari
dari data rahasia Crystal Pertama Group saja. Masih banyak penyidik yang mau
membantuku. Apalagi urusan kematian Nico yang pada kenyataan kau sendiri yang
melakukannya, bukan Ayah. Iya kan?”
Wajah Dirsa kembali
menunjukan kekagetan. “Sepertinya aku meremehkanmu ya? Sejauh mana kau tahu
tentang kasus Ayahmu, Derren?”
“Sangat jauh dan
dalam,” kata Derren lagi. “Kalau tidak aku tidak mungkin ada disini dengan
sukarela kan?”
“Baiklah, Derren,
sebentar lagi aku akan mendengar semua kata-katamu setelah keluarga besarmu
datang, kau tak keberatan kan?” kata
Daris lagi.
“Tentu,” kata
Derren ramah.
Dirsa bangkit dari
tempatnya. Dia berjalan ke balik meja kerjanya dan mengambil sesuatu keluar
dari dalam laci. Sebuah pistol.
“Aku tidak akan
lari,” kata Derren meneguk tehnya ketika Dirsa menodongkan pistol perak itu
padanya.
“Kau tidak akan
lari tapi kau bisa sangat berbahaya jika menyerang, apalagi kau bisa beladiri,”
kata Dirsa enteng. “Ayo berdiri, Derren.”
Derren meletakan
tehnya kembali dan bangkit. Dia mengawasi gerakan pistol dan tangan Dirsa.
Kelihatannya Dirsa bisa menembak, cara dia memegang pistol sangat mantap.
Derren mengikuti gerakan Dirsa untuk mendekat tepat saat pintu di ruangan itu
terbuka.
Daris, Rai dan
Sandra memasuki ruangan itu.
“Dirsa?” gumam
Daris tidak percaya. Ada kekagetan dalam dirinya ketika melihat pistol di
tangan Dirsa yang ditodongkan pada Derren.
“Benar, Pak
Presidir, akulah yang menjebakmu,” kata Dirsa terkekeh. “Putra Tersayangmu ini
sudah tahu kalau aku Pelakunya dan dengan sukarela datang kesini. Dia tahu kalau
aku mau tak mau akan membunuh juga,” Dirsa geleng-geleng kepala. “Dia anak
pintar, sayang kurang cerdas.”
“Salah. Bukan mau
tak mau, kau memang ingin membunuh Ayahku dan orang-orang yang berhubungan
dengannya: aku, Rai, Sandra dan Nona Ellena. Saat ini kau menyewa pembunuh
bayaran untuk membunuhnya di suatu tempat,” kata Derren.
“Wah, aku ingin
tahu Derren sampai sejauh mana analisismu, Hosea Derren.”
“Dirsa Lenon
Syaputra, Putra dari Presidir Perusahaan Besar Limit Circle Corporation, Vedo
Lenon Syaputra. Sekitar sepuluh tahun lalu, Limit Circle Corporation mengalami
penurunan drastis sehingga membuat perusahaan itu bangkrut dan Presidirnya
bunuh diri akibat stres. Alasannya adalah bahwa ada penjualan saham ilegal oleh
salah seorang direksi yang membuat fondasi Limit Circle mengalami kepincangan.
Disaat yang berbahaya itu, Vedo Lenon Syaputra melakukan investasi yang
menghabiskan seluruh aset untuk mengembalikan produktifitas Limit Circle Corporation.
Tapi sayang investasi itu gagal dan menghancurkan segalanya.”
Dirsa menurunkan
pistolnya lalu tersenyum sinis.
“Dari mana kau
dapat informasi itu?”
“Kan aku sudah
bilang, dari data rahasia Crystal Pertama Group. Kau membenci Crystal bukan
karena Ayah tapi karena separuh karyawan Crystal adalah mantan karyawan Circle.
Kau dendam pada Ayahku yang membeli aset Limit Circle dan menggantikan posisi
Vedo Lenon yang sudah didepak dari kursi Presidir dan mengubah nama Limit
Circle menjadi Crystal Pertama, iya kan?”
“Benar.”
“Kau semakin dendam
pada Ayahku karena kau melihat dia tidak menghargai keluarganya, soalnya tidak
ada kabar mengenai kami. Kau menyamakan Ayahku dengan Ibumu yang dulu pernah
meninggalkanmu, iya kan?”
“Itu juga benar.”
“Kau membunuh Nico
karena Nico dulunya adalah karyawan Ayahmu dan Nico-lah yang menjual saham
Limit Circle secara ilegal. Kau berniat melakukan hal yang sama pada Crystal,
hanya saja Nico tidak mau.”
“Ya. Waktu itu dia
bilang ‘aku sudah bertobat. Aku hidup dengan enak di Crystal’. Tanpa sadar aku
sudah membunuhnya.”
“Kau ingin membunuh
Nona Ellena karena Nona Ellena adalah anak tiri dari Ibumu yang dulu
meninggalkanmu.”
“Wah, kau juga tahu
sampai kesitu. Aku salut Derren.”
“Kau juga ingin
menghabisi nyawa kami, disini, untuk mendapatkan Crystal sehingga kau bisa
menjadi Presidir dan menghidupkan kembali Limit Circle.”
Dirsa tersenyum.
“Kau terlalu banyak tahu. Baklah, aku mengaku. Semua yang kau katakan itu
benar. Tapi dengan latar belakang seperti itu, aku tidak bisa dijadikan pelaku,
hanya tersangka, sama seperti pada direksi yang bermasalah. Kau tidak punya
bukti.”
Derren menatap
Dirsa dengan dingin.
“Nah, apa kira-kira
yang membuatmu yakin kalau aku bisa masuk penjara?”
“Dying Messagge
Nico,” kata Derren.
Dahi Dirsa
mengerut.
“Sudah kuduga kau
tak tahu apa-apa soal itu karena kepolisian Spanyol menyembunyikannya. Di situ
tertulis namamu dengan sangat jelas karena aku berhasil memecahkan kodenya,”
Derren mengeluarkan kertas dari balik jeket putihnya dan melempar kertas itu
pada Dirsa.
Dirsa membuka
kertas itu.
“Dalam kode itu ada
syarat 2/ itu artinya tarik garis dari sudut kiri bawah sampai sudut kanan
atas. Setelah itu coret setiap huruf kedua dan kelipatannya. Tidak jauh berbeda
juga dengan 2\, yaitu tarik garis dari sudut kanan bawah sampai ke sudut kiri
atas,” Derren melanjutkan dengan tenang. Ada senyuman tersungging di bibirnya.
“Untuk 2\ kita
mendapat D0ITRCSKA. D-I-R-S-A. Dirsa.”
Rai menganga. Dalam
hati memuji otak Derren.
“Lalu 2/ adalah
IOB8RGD2-, karena hurufnya cuma empat makanya dibuat tanda kurang. I-B-R-D. International
Bank for Reconstruction and Development. IBRD adalah organisasi yang memberikan
kredit kepada negara-negara anggota, terutama untuk memberi jaminan atas
kredit-kredit pada pihak lain. Disitulah kau menyimpan uang tersebut.”
Derren mengambil
jeda sejenak untuk menarik napas.
“Kode yang dibawah
merupakan password untuk membuka brankas uang tersebut. Jika dilihat dari
bentuk kodenya yang seperti kode statistik, kita cukup mengalikan setiap angka
dan menggabungkannya, sehingga menjadi XO586810364924 FR. FR adalah code name
untuk Prancis. Jadi, jika kita membuka kode XO5868103649 24FR, kita akan
menemukan nama Daris Lenon Syaputra sebagai pemilik brankas tersebut. Kecuali
kau bisa menjelaskan kenapa kau bisa memiliki uang yang memiliki jumlah yang
sama dengan keuntungan Crystal Pertama Group pada polisi. Atau menjelaskan
kenapa kau diam-diam memiliki tabungan di Prancis. Aku tidak tahu dari mana
Nico mengetahui tabunganmu, tapi yang pasti dia menyadari kalau kau akan
berkhianat cepat atau lambat dan dia memberitahu hal ini pada Ayah sehingga
Ayah bisa mengantisipasi masalah. Aku benar kan?”
“Harus kuakui kau
benar lagi. Tidak disangka kau lebih cerdas dari dugaanku.”
Derren tersenyum,
senyum kemenangan.
“Well,
walaupun kau tahu semuanya, kau tak akan bisa menjebloskanku ke penjara. Tidak
ada bukti. Dan aku akan membunuh kalian semua. Sayang sekali ya padahal kau
sudah tahu semuanya tapi kau tak bisa menangkapku.”
Derren masih
tersenyum. Melihat itu, Dirsa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. “Kau
merencanakan sesuatu,” gumam Dirsa menodongkan pistolnya lagi. “Cepat katakan
apa yang sudah kau perbuat!”
“Kau tahu kalau aku
sudah tahu kalau kau adalah pelakunya dan pernyataanmu barusan justru akan
membawamu ke penjara,” kata Derren dengan santai memasukan tangannya ke kantong
jeketnya dan mengeluarkan iPod miliknya. “Ini iPod kesayangan, bukan karena
musik yang dia berikan sangat enak di dengar serta tahan lama, tapi juga karena
bisa merekam selama lebih dari tiga jam.” Derren mengotak-atik iPodnya. “Aku
juga sudah memodifikasinya sedikit dengan beberapa sinyal terpancar. Aku sudah
merekam semua pernyataanmu dan mengirimkan rekaman itu pada temanku yang
menunggu sinyal dariku. Dia akan mengirimkan rekaman itu pada agen pilihanku
untuk mengambil segala bukti dan membawanya ke kantor polisi. Sayang sekali,
Dirsa. Kau kalah satu langkah.”
Dirsa menggertaka
giginya melihat senyuman di wajah Derren. “Brengsek...”
Dirsa menarik
pelatuknya dan menembak kearah Derren yang sigap menghindar. Sandra menjerit
panik.
“Lari!” Derren
berteriak. “Cepat!”
“Kalian tidak akan
semudah itu lari dari sini!” kata Dirsa naik pitam, menembak kearah Daris.
Nyaris saja. Peluru itu mengenai tembok.
Suasana menjadi
kacau dan tidak terkendali. Dirsa menembak secara membabi buta. Rai dan Sandra
bersembunyi di balik sofa. Daris ada dibalik meja yang dibalikan, sudah ada
tiga lubang bekas tembakan disana. Derren melompat ketika Dirsa lengah dan
memegangi Dirsa.
Dirsa berkutat.
Derren kewalahan dan mengambil ancang-ancang untuk menendang perut Dirsa. Tapi
dengan mudah Dirsa bangkit dan meninju Derren.
Derren menghapus
darah yang keluar dari bibirnya dan kembali menerjang Dirsa. Dia harus merebut
kembali pistol itu sebelum ada yang Dirsa tembak.
Dor dor
0 komentar:
Posting Komentar