RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 14 Februari 2013

Derren dan Rai (Eps 10 - End)


10.
Akhir Yang Mengecewakan
Langit-langit bolong seketika. Derren dan Dirsa masih berkutat untuk memperebutkan pistol itu. Pistol itu turun dan sekarang ada ditengah-tengah mereka. Tak berapa lama kemudian terdengar suara tembakan.
Suasana hening seketika. Jantung Daris, Rai dan Sandra serasa membeku. Mereka mengintip dari tempat persembunyian masing-masing. Ada tetesan darah berjatuhan ke atas lantai.
Siapa... siapa yang kena tembak...? batin Rai. Derren atau...
Derren mundur perlahan. Tangannya memegangi perutnya. Ada rembesan darah yang melumuri pakaian putihnya. Dia jatuh.
“Tidak! Derren!” Daris berteriak. Dia keluar dari tempat persembuyiannya dan segera kearah Derren. Dirsa tersenyum penuh kemenangan. “Derren! Derren bangun!” air mata Daris berlinang ketika melihat wajah Derren yang pucat. “Nak, jangan mati. Kau tidak boleh meninggalkan Ayah. Tidak boleh!”
“Ayah... aku...,” suara Derren melemah.
“Kau akan baik-baik saja. Ayah janji.”
“Bagaimana, Pak Presidir? Kau akan melihat Putramu mati secara perlahan-lahan!” kata Dirsa penuh kemenangan. Dia tertawa seperti orang gila.
“Putraku tidak salah apapun! Kalau kau begitu dendam padaku, jangan lampiaskan pada Putraku!” Daris berang. “Kau pengecut! Kau pengecut! Kau boleh membunuhku asal jangan melibatkan keluargaku!”
“Baik. Kalau begitu kubunuh juga kau,” Dirsa menarik pelatuknya.
PRAAANK
Seseorang masuk dari jendela dan menerjang Dirsa. Pistol ditangan Dirsa jatuh. Orang itu, dengan sigap, mengunci tangan Dirsa dan memborgol tangannya.
“Apa-apaan ini?” Dirsa berkutat. Dia berteriak marah. “Siapa kau?”
“Jermy Nicolen, Polisi sekaligus pengawal pribadi Hosea Derren Harryawan,” kata Jermy. Seseorang yang lain masuk, kali ini Ello. “Kau ditangkap atas tuduhan penculikan, pencobaan pembunuhan, penipuan, pembunuhan, korupsi dan entah apa lagi. Kelihatannya kau harus betah di penjara dalam waktu lama. Dasar penjahat.”
Ello melihat keadaan Derren yang tidak sadarkan diri.
“Dia harus dibawa ke rumah sakit,” gumam Ello. “Jermy, kau urus di sini. Aku akan membawa Hosea Derren ke rumah sakit,” kata Ello menggendong Derren. “Doktor Daris, ikut aku. Kalian juga,” tambahnya pada Sandra dan Rai.
Rai, Sandra dan Daris mengikuti Ello yang berlari sambil menggendong Derren. Langkahnya cepat dan panjang. Sulit dikejar. Kondisi Derren kelihatan lemah sekali. Dia bahkan tidak bergerak sedikitpun. Ketika mereka sudah keluar dari ruangan itu, sudah ada helikopter yang terparkir di lapangan, berpuluh-puluh pasukan berseragam yang menodongkan pistol pada anak buah Dirsa dan mobil-mobil polisi. Baling-baling helikopter itu masih berputar.
“Kalian berdua masuk ke mobil sana. Aku dan Doktor Daris akan mengantar Derren dengan helikopter!” Ello berteriak diantara bunyi baling-baling yang berisik.
Sandra menarik Rai menuju mobil polisi. Rai melihat Daris dan Ello membawa Derren ke dalam helikopter.
“Apa kondisi Derren akan baik-baik saja?” Rai bertanya pada Sandra.
Sandra menggeleng, wajahnya pucat. “Kita doakan saja.”
Beberapa mobil TNI tiba-tiba masuk dan mengeluarkan berpuluh-puluh pasukan berpakaian seragam dan membawa senjata. Mereka masuk secara bergilir dan menyergap pengawal-pengawal Dirsa yang masih tersisa.
“Sebaiknya Anda segera masuk!” salah seorang anggota kepolisian memaksa Sandra dan Rai masuk ke mobil polisi. “Sangat berbahaya berada di luar.”
Rai melihat kearah luar jendela. Ada banyak wartawan datang dan reporter yang meliput disekitar mereka. Pengawal-pengawal Dirsa yang berhasil ditangkap keluar dengan tangan terangkat ke atas dan dimasukan ke dalam mobil besar. Hiruk pikuk wartawan semakin menjadi ketika Jermy menggiring Dirsa ke dalam mobil polisi.
“Minggir! Minggir kataku!” Jermy berteriak.
Satuan keamanan membatasi para wartawan dan reporter untuk memberi jalan bagi Jermy dan Dirsa.
“Bertanyanya nanti saja! Masih ada yang harus diurus!” Jermy menutup pintu mobil dan memerintahkan salah seorang polisi mengawal Dirsa. Jermy harus bersusah payah menghindari para reporter dan wartawan itu agar dapat menemui Rai dan Sandra.
“Hari ini sibuk sekali. Para wartawan itu seperti lebah yang berdengung di telingaku,” komentar Jermy menyeka keringatnya, “Aku dapat kabar dari Ello kalau mereka sudah sampai di rumah sakit terdekat. Sekarang Derren sedang dioperasi dan kondisinya kritis. Dia kehilangan banyak darah.”
“Apa?” kata Rai dan Sandra bersamaan.
“Tenang saja. Ello itu pintar. Dia mengajak Doktor Daris, jadi Doktor Daris bisa melakukan transfusi darah. Sekarang kita hanya bisa berdoa agar Derren baik-baik saja,” kata Jermy lagi.
“Apa kami bisa bertemu dengan Derren?” kata Rai ragu.
“Ya, tentu saja. Tapi kalian harus menunggu sebentar lagi. Para wartawan dan reporter itu bisa curiga kalau ada mobil polisi yang meninggalkan TKP saat kondisi begini. Nanti mereka malah mengikuti kalian. Mohon bersabar.”
Rai dan Sandra menurut. Dengan perasan takut dan shock, mereka menunggu apa yang akan terjadi pada kondisi Derren. Semoga Derren tidak apa-apa. Setelah menunggu selama setengah jam—yang rasanya seperti seabad—Jermy datang dan berkata kalau mereka sudah boleh pergi dari TKP.
Mobil mereka dan tiga mobil truk lain mengikuti dari belakang. Hanya saja mobil mereka berbelok ke kanan—menuju rumah sakit—sementara mobil-mobil di belakang mereka lurus terus—menuju Kepolisian Pusat.
Rai dan Sandra segera keluar dari dalam mobil dan berlari menemui Daris. Mereka melewati lorong panjang rumah sakit dan rasanya selalu bertubrukan dengan pasien atau perawat atau malah dokter. Sudah ada Deva, Mike dan Ello yang menemani Daris di depan sebuah pintu yang menyala merah.
“Bagaimana dengan Derren?” Sandra bertanya.
Daris diam seperti patung dan tidak menjawab.
“Kritis. Dari tadi suster keluar masuk mengambil kantong darah entah sudah berapa kantong. Kelihatannya Derren banyak mengeluarkan darah,” jawab Deva dengan wajah pucat.
Sandra menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Paman, “ Rai buka mulut. “Aku yakin Derren akan baik-baik saja.”
“Ya. Pasti begitu,” gumam Daris.
Sebenarnya Rai tadi ingin memanggil Daris dengan sebutan Papa tapi yang keluar justru kata Paman.
“Pa—Paman,” Rai mencoba lagi.
“Jangan memaksakan sebutan Paman untukku. Kau punya hak memanggilku dengan sebutan Papa. Walau bagaimanapun, kau itu anak kandungku,” kata Daris menatap mata Rai dalam-dalam. “Aku sama sekali tidak keberatan.”
Deva menatap Rai dan Daris secara bergantian. Bingung. Mereka ayah dan anak?
“Daris, kurasa aku harus memberitahumu satu hal. Mungkin kau belum tahu. Aku tak tahu apakah Ayahmu sudah mengatakan hal ini atau belum, tapi Derren tahu satu hal yang kau tak tahu,” Mike tiba-tiba bicara.
Daris mengerutkan dahinya. “Apa yang mau kau bilang?”
“Derren punya saudara kembar.”
Daris seperti tersengat listrik. Deva menganga. Rai melotot. Ello dan Sandra terbengong.
“Apa?” kata Daris memecahkan kesunyian. “Kau—”
“Aku merawat saudara kembar Derren. Derren cuma tahu kalau saudara kembarnya meninggal, tapi dia masih hidup. Ayahmu mengira kalau saudara kembar Derren sudah meninggal, tapi nyawanya masih bisa diselamatkan. Dia kakak Derren, namanya Joshea. Dia mirip seperti Derren.” Kata Mike lagi.
Daris bangkit. “Kau bohong...”
“Aku tidak bohong. Jermy dan Ello adalah saksinya, mereka sudah melihat anak itu. Anak yang bertolak belakang dengan Derren karena dibesarkan olehku.”
“Bagaimana caranya saudara kembar Derren ada padamu?” kata Daris tidak percaya. “Bagaimana mungkin Ayahku tidak menceritakan hal ini?”
“Kau ingat saat Derren lahir? Kau tidak datang dan Elliana meneleponmu untuk menanyakan nama anaknya?” kata Mike lagi.
“Ya, aku ingat,” kata Daris dengan suara gemetar.
“Kondisi Joshea menurun secara drastis seiring dengan menurunnya kondisi Elliana. Awalnya Ayahmu membawa Joshea ke rumahmu dan menyerahkan Derren padaku. Ayahmu bilang, kau mungkin tidak akan menerima kalau kau punya anak kembar. Tapi kau membuang Joshea ke panti asuhan. Saat itu hujan, kondisi Joshea yang buruk semakin buruk karena hal itu. Dia mengalami kesulitan bernapas dan kritis. Ayahmu mengira kalau mustahil menyelamatkan Joshea lalu dia meminta Derren padaku.” Mike menatap mata Daris.
“Awalnya aku tidak memberikannya karena aku ragu. Tapi Elliana mencintaimu dan aku menjadi yakin kalau kau bisa menjaga Derren. Derren kuberikan, tapi Ayahmu tidak kembali lagi untuk melihat kondisi Joshea. Ayahmu pikir Joshea sudah meniggal. Kau sama dengannya, itu sebabnya dia bilang pada Derren kalau saudara kembarnya sudah meninggal di saat-saat terakhirnya. Tapi Joshea bisa selamat. Kau tidak tahu kan perjuangan anak itu sekeras apa?”
Daris gemetaran.
“Ya, Daris. Kau menyakiti semua orang. Kau menyakiti perasaan Derren dan tanpa sadar kau menyakiti Putramu yang satu lagi. Aku belum menceritakan ini pada Derren karena takut dia akan terluka. Tapi dia sudah terlalu banyak tahu, entah apakah dia tahu hal ini atau tidak.”
“Aku ingin bertemu Joshea,” kata Daris pelan.
Mike tersenyum. “Sayang sekali, Daris. Joshea tidak mau.”
Daris mengerutkan dahinya.
“Sudah kukatakan Joshea berbeda dengan Hosea,” kata Mike lagi. “Hosea sangat mudah memaafkan orang, Joshea tidak. Joshea tidak secerdas Hosea, tapi temannya melebihi Hosea. Aku sudah bertanya terlebih dahulu mengenai hal ini padanya dan dia bilang kalau dia tak mau bertemu denganmu, karena baginya hanya aku Ayahnya. Bukan siapa-siapa.”
Daris menunduk bersalah. “Mungkin ini hukuman Tuhan untukku sampai anakku sama sekali tidak mau melihatku.”
Mike tersenyum dan menepuk bahu Daris. “Aku akan membujuk Joshea lagi. Kau jadilah Ayah yang baik untuk Derren. Derren adalah anak yang terbaik yang sudah diberikan Tuhan padamu.”
“Aku tidak akan menyia-nyiakan Derren lagi.”
***
Derren membuka matanya secara perlahan. Pandangannya masih kabur dan kelopak matanya terasa berat. Derren dapat melihat langit-langit dan jarum infus yang tergantung, seketika itu pula otaknya bekerja.
Di rumah sakit... ternyata aku tidak jadi mati...
Derren menggerakan tangannya. Rasa sakit di perutnya masih berdenyut-denyut. Derren menggerakan kepalanya sedikit dan melihat Daris yang tertidur disisi tempat tidurnya.
“Ayah?” gumam Derren. Suaranya serak dan kerongkongannnya terasa kering. Derren mengangkat tangannya dan mengusap-usap kepala Daris. Seketika itu pula Daris bangun.
“Derren? Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?” kata Daris cemas.
“Sudah tak apa-apa,” kata Derren lemah. “Ayah menjagaiku?”
“Tentu saja, kau Putraku. Tunggu, aku panggilkan Dokter untuk memeriksamu. Tahan disini ya?” kata Daris beranjak pergi. Beberapa menit kemudian dia datang dengan Dokter dan Perawat.
“Bagaimana?” tanya Daris ketika Dokter meletakan stetoskop ke dada Derren. “Anakku baik-baik saja kan?”
“Anda tenang saja, Tuan Daris. Anak Anda sudah melewati masa kritisnya. Sekarang dia hanya butuh cukup istirahat untuk penyembuhan lebih lanjut,” kata Dokter itu sambil tersenyum.
“Sudah berapa lama aku koma?” kata Derren. Dokter manatap Daris seakan bertanya apakah diijinkan menjawab pertanyaan Derren atau tidak. “Lebih dari seminggu ya?”
“Sekitar dua belas hari,” jawab Dokter ketika melihat anggukan Daris.
“Kalau begitu Ayah sudah bebas dari segala tuduhan kan?” kata Derren menatap Daris.
“Jangan membahas itu dulu. Kau butuh istirahat,” kata Daris menyudahi perkataan Derren.
“Bagaimana dengan Rai dan Ibunya? Apa mereka baik-baik saja? Lalu apakah Dirsa sudah ditangkap?”
“Anak Muda, kau butuh istirahat!” kata Daris jengkel.
“Aku akan istirahat kalau Ayah mau cerita!” Derren balas berteriak.
“Keras kepala!” gerutu Daris. “Baiklah kalau menurutmu cerita itu adalah dongeng sebelum tidur. Aku akan bercerita. Sikapmu itu mirip dengan Ibumu.”
Derren hanya mendengar samar-samar kalau Daris dinyatakan bebas dari segala tuduhan mengingat bukti-bukti yang ada justru mengarah pada Dirsa. Pihak pengadilan meminta maaf secara penuh dan mengembalikan nama baik Daris. Dirsa dituntut penjara dengan banyak pasal dan tuduhan yang melilitnya. Lalu mengenai Derren dan Rai... Derren tidak mendengarkan karena dia sudah tertidur.
“Derren, senang rasanya melihatmu masih hidup, Sobat!” Deva—yang hari ini tidak memakai kursi roda—memeluk Derren dengan senang.
“Lepaskan aku, Holmes. Bekas lukaku belum sembuh!” Derren mentah-mentah melepaskan pelukan Deva. “Mana Rai?”
“Di luar. Dia malu bertemu denganmu,” kata Deva menunjuk sosok gelap di luar jendela. “Katanya sebagai Abang, dia sama sekali tak bisa melindungimu.”
“Itu perkataan bodoh,” gumam Derren. “Rai, cepat masuk! Buat apa kau datang kemari kalau tidak menemuiku?” kata Derren.
Rai memunculkan kepalanya dari balik pintu.
“Yah... baiklah...” kata Rai. Dia masuk bersama-sama dengan Sandra.
“Kau baik-baik saja?” kata Derren.
“Harusnya aku yang tanya begitu kan?” kata Rai. Derren tersenyum. Rai mencubit pipi Derren. Gemas. “Huh! Aku sebal melihat wajah santaimu itu! Kenapa kau menyimpan semua sendirian hah? Dasar bodoh! Kalau kau mati aku juga akan mati! Bodoh! Idiot!”
Derren memegang kedua pipinya yang merah. Sakit sekali cubitan Rai.
“Jangan lakukan itu lagi. Kau mengerti?” kata Rai lagi. “Mulai sekarang aku yang akan menjagamu karena aku ini Abangmu! Jadi dengarkan apa yang akan kukatakan!”
“Aku tidak mau,” kata Derren cuek mengambil iPodnya.
“Kenapa?” Rai merampas iPod Derren dengan kesal. Dia tahu kalau sifat cuek Derren mulai kumat lagi.
“Setiap kali mendengarkanmu pasti akan kacau,” tukas Derren. “Kembalikan iPodku. Lebih baik mendengarkan musik daripada omelanmu.”
Rai mencubit pipi Derren lagi.
“Sakit tahu!” gerutu Derren mengusap-usap pipinya. “Lalu, apakah kalian berdua akan tinggal bersama kami lagi?”
Sandra menelan ludah. Daris—yang sedang makan disudut ruangan—tersedak. Rai menarik napas. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Derren akan bertanya langsung.
“Aku sama sekali tidak keberatan menambah dua orang lagi di rumah besar kami,” kata Derren memain-mainkan iPod-nya.
Sandra tersenyum. Sepertinya dia sudah menyusun kata-kata di kepalanya untuk menjawab Derren. “Derren,” dia memulai. “Aku berterima kasih karena kau berlapang dada untuk menerima kami. Tapi aku tidak bisa. Ada beberapa luka yang tidak dapat disembuhkan semudah itu. Namun, jika Rai ingin merasakan kehangatan Daris sebagai Papanya, aku tidak keberatan dan tidak melarangnya untuk tinggal di rumah itu.”
Derren ganti menatap Rai, meminta jawaban.
“Ah, gimana ya?” Rai gelagapan. Dia sama sekali belum siap menjawab pertanyaan Derren. “Sebenarnya aku sangat senang kau jadi saudaraku. Aku juga sangat senang Paman Daris—eh, maksudku Papa—mengakuiku. Tapi—”
“Jangan diteruskan. Kalau pakai tapi, ujung-ujungnya pasti jelek,” kata Derren memakai earphone-nya.
“Kebiasaanmu yang satu ini jelek sekali!” Rai kembali menarik earphone Derren. “Dengarkan aku sampai aku selesai!” katanya jengkel.
“Aku tak mau dengar kalau kabar jelek,” kata Derren cuek.
“Walau bagaimanapun aku adalah abangmu. Bagiku sosok Mama sudah cukup sama sepertimu yang hanya butuh Papa. Aku tak bisa mengambil semuanya, Derren. Aku tak mau membagi kasih sayangku dari Mama.”
Derren menatap lantai. Rai semakin merasa bersalah. Kelihatannya kata-kata Rai barusan melukai perasaan Derren.
“Baiklah aku mengerti,” Derren mengangkat bahu dengan tidak peduli. “Tapi kau tidak boleh menolak kalau sekolahmu dibiayai Ayah dan sisa saham Ayah akan diberikan padamu ya?” katanya lagi.
“Apa?” kata Rai, Deva dan Sandra kaget.
“Jawab saja ‘iya’! Aku tak butuh kata ‘apa’!” tandas Derren.
“I, iya baiklah,” kata Rai bingung.
“Ayah, kelihatannya hanya aku yang ikut Ayah,” kata Derren merebahkan tubuhnya ke bantal lagi.
“Apa maksudnya?” kata Deva yang akhirnya buka mulut.
“Ayah dan aku akan pindah ke Swiss akhir semester ini,” jawab Derren.
“Apa?” lagi-lagi mereka dikagetkan dengan kabar ini. “Kenapa harus pindah?”
“Derren mendapat beasiswa untuk sekolah disana,” jawab Daris tenang. Dia kembali meminum airnya. “Dan dia memutuskan ke sana untuk meraih impiannya.”
“Apa? Impian? Impian yang mana?” Deva menatap Rai dengan penuh tanda tanya. “Kau punya impian juga, ternyata.”
“Dia ingin jadi Detektif Internasional. Untuk meraih itu, kemampuannya harus lebih dari ini. Aku tak bisa melarangnya, yang bisa kulakukan saat ini hanya mendukungnya,” kata Daris.
Derren tersenyum padanya.
***
Dua bulan kemudian
Deva, Derren dan Rai tidur di atas rumput halaman di belakang rumah Derren sambil melihat langit malam penuh bintang. Selain angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut mereka secara perlahan, tidak ada yang ada hal lain yang terdengar—suara jangkrik pun tidak.
“Besok kau akan berangkat, ya? Kau begitu ingin jadi Detektif Internasional? Itu kan sulit,” kata Deva tiba-tiba mengusik kesunyian yang damai itu.
“Sesulit apapun pasti kutempuh. Pasti,” gumam Derren.
“Kapan kau akan kembali?” tanya Rai.
“Entahlah,” jawab Derren singat.
“Kalau kau pulang setelah sepuluh tahun, aku pasti sudah jadi dokter yang hebat,” kata Rai pelan. “Kau tunggu saja.”
“Oh, jadi cita-citamu jadi Dokter ya? Holmes?” Derren menoleh pada Deva yang ada disisi kirinya.
“Kalau kau pulang setelah sepuluh tahun... hum... aku akan jadi teknisi handal,” jawab Deva penuh keyakinan.
“Kupikir kau akan mengikuti jejakku jadi detektif, eh maksudku, Sherlock Holmes betulan,” kata Derren.
“Sori, deh, aku lebih suka mempunyai dua kerjaan sekaligus,” kata Deva sambil terkekeh.
Derren mengangkat kedua tangannya ke atas langit. Sambil tersenyum dia bilang, “Kalau begitu aku akan pulang dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dan aku pasti bisa menemukan kalian dimanapun berada saat masa itu tiba.”
Deva, Rai dan Sandra mengantar kepergian Derren dan Daris keesokan harinya di bandara. Tidak ada air mata kecuali senyum kebahagiaan dan lambaian tangan.
***



Enam tahun kemudian
“Hosea!”
Rai berbalik sambil mengecak pinggang. Dia menaikan kacamatanya ketika gadis cantik itu berlari mengejarnya. “Berapa kali harus kukatakan kalau aku bukan Hosea? Aku Rai!” serunya jengkel.
“Maaf, aku kangen sama Hosea, sih. Lagian kalau kau pakai kacamata begitu jadi makin mirip Hosea,” kata Astyn merangkul tangan Rai dengan senang. Rai mengerutu sambil memperbaiki letak kacamatanya yang melorot lagi.
“Kau ini kan pacarku bukan pacarnya Derren!”
“Iya, iya, Pak Dokter,” Astyn manggut-manggut. “Jangan marah-marah begitu, dong. Hari ini masih ada kelas?”
“Ya, ada praktek. Maaf tidak bisa mengantarmu pulang.”
“Tak apa kok. Kau kan sedang belajar dengan gigih untuk menyelesaikan janjimu pada Hosea. Bagaimana dengan Deva?”
“Deva sih sudah bekerja menjadi teknisi otomotif sejak sebulan lalu. Dia benar-benar gila bisa menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam waktu lima tahun.”
“Kabar Hosea gimana?”
“Entahlah,” Rai kembali menggerutu. “Sejak pindah ke Swiss, dia tidak memberi kabar. Tak ada surat, tak ada telepon bahkan Papa juga tak beri kabar mengenai keberadaan mereka sekarang. Jangan-jangan mereka sudah mati.”
“Dia benar-benar menyebalkan, ya,” Deva tiba-tiba muncul untuk mengikuti pembicaraan mereka berdia. Bikin kaget saja. “Si Adikmu itu. Oh, halo. Lama tak jumpa ya?”
“Deva, kau tak kerja?” kata Astyn heran.
“Aku bosan makanya aku bolos,” jawab Deva.
Deva sekarang memiliki body ideal, wajahnya juga lebih imut-imut. Dia tidak suka lagi duduk di atas kursi roda melainkan di atas mobil mewah. Deva lagi suka-sukanya dengan mobil—terutama mobil-mobil mahal yang berkelas.
“Kalau sudah seperti itu kau bisa dipecat loh.”
“Tinggal cari aja perusahaan yang baru.” Timpal Deva enteng.
Astyn, Rai dan Deva mengerutkan dahi saat ada suara yang tiba-tiba mengikuti perkataan mereka. Mereka bertiga menoleh ke belakang dan melihat ada tiga sosok sama tinggi di belakang mereka. Sosok paling kiri berwajah cantik dengan rambut bergaya harajuku panjang yang diikat. Di sebelah paling kanan memiliki otot besar dan berwajah sangar. Yang ada ditengah-tengah mereka berwajah tampan dengan kulit pucat dan ikat kepala putih melilit di kepalanya. Rambut hitamnya berantakan sekali.
“Jermy Nicolen, Ello Koyja dan... kau?” Rai bertanya pada sosok yang ada di tengah.
“Kau lupa padaku ya? Memangnya kita tidak kelihatan mirip, Rai?”
Rai memperhatikan postur tubuh cowok itu. Cowok itu lebih tinggi sekitar lima senti darinya. Tubuhnya lebih oke dan atletis. Rambut hitam legamnya pendek dan sedikit mencuat karena ikat kepala di dahinya. Wajahnya yang tampan, suaranya yang tenang dan dalam.
Siapa ya? Rai berpikir.
Namun ketika Rai melihat tatapan dingin mata biru itu, Rai tercengang. “Derren...?” katanya ragu.
“Ah, akhirnya ingat juga. Apa kabar? Aku sudah jadi Detektif In—”
Rai memeluk Derren.
“Selamat datang, Derren.”
***
TAMAT

Medan, Minggu, 2 Agustus 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.