10.
Akhir Yang Mengecewakan
Langit-langit bolong
seketika. Derren dan Dirsa masih berkutat untuk memperebutkan pistol itu.
Pistol itu turun dan sekarang ada ditengah-tengah mereka. Tak berapa lama
kemudian terdengar suara tembakan.
Suasana hening
seketika. Jantung Daris, Rai dan Sandra serasa membeku. Mereka mengintip dari
tempat persembunyian masing-masing. Ada tetesan darah berjatuhan ke atas
lantai.
Siapa... siapa yang
kena tembak...? batin Rai. Derren atau...
Derren mundur
perlahan. Tangannya memegangi perutnya. Ada rembesan darah yang melumuri pakaian
putihnya. Dia jatuh.
“Tidak! Derren!”
Daris berteriak. Dia keluar dari tempat persembuyiannya dan segera kearah
Derren. Dirsa tersenyum penuh kemenangan. “Derren! Derren bangun!” air mata
Daris berlinang ketika melihat wajah Derren yang pucat. “Nak, jangan mati. Kau
tidak boleh meninggalkan Ayah. Tidak boleh!”
“Ayah... aku...,”
suara Derren melemah.
“Kau akan baik-baik
saja. Ayah janji.”
“Bagaimana, Pak
Presidir? Kau akan melihat Putramu mati secara perlahan-lahan!” kata Dirsa
penuh kemenangan. Dia tertawa seperti orang gila.
“Putraku tidak
salah apapun! Kalau kau begitu dendam padaku, jangan lampiaskan pada Putraku!”
Daris berang. “Kau pengecut! Kau pengecut! Kau boleh membunuhku asal jangan
melibatkan keluargaku!”
“Baik. Kalau begitu
kubunuh juga kau,” Dirsa menarik pelatuknya.
PRAAANK
Seseorang masuk
dari jendela dan menerjang Dirsa. Pistol ditangan Dirsa jatuh. Orang itu,
dengan sigap, mengunci tangan Dirsa dan memborgol tangannya.
“Apa-apaan ini?”
Dirsa berkutat. Dia berteriak marah. “Siapa kau?”
“Jermy Nicolen,
Polisi sekaligus pengawal pribadi Hosea Derren Harryawan,” kata Jermy.
Seseorang yang lain masuk, kali ini Ello. “Kau ditangkap atas tuduhan
penculikan, pencobaan pembunuhan, penipuan, pembunuhan, korupsi dan entah apa
lagi. Kelihatannya kau harus betah di penjara dalam waktu lama. Dasar
penjahat.”
Ello melihat
keadaan Derren yang tidak sadarkan diri.
“Dia harus dibawa
ke rumah sakit,” gumam Ello. “Jermy, kau urus di sini. Aku akan membawa Hosea Derren ke rumah sakit,” kata
Ello menggendong Derren. “Doktor Daris, ikut aku. Kalian juga,” tambahnya pada
Sandra dan Rai.
Rai, Sandra dan
Daris mengikuti Ello yang berlari sambil menggendong Derren. Langkahnya cepat
dan panjang. Sulit dikejar. Kondisi Derren kelihatan lemah sekali. Dia bahkan
tidak bergerak sedikitpun. Ketika mereka sudah keluar dari ruangan itu, sudah
ada helikopter yang terparkir di lapangan, berpuluh-puluh pasukan berseragam
yang menodongkan pistol pada anak buah Dirsa dan mobil-mobil polisi.
Baling-baling helikopter itu masih berputar.
“Kalian berdua
masuk ke mobil sana. Aku dan Doktor Daris akan mengantar Derren dengan
helikopter!” Ello berteriak diantara bunyi baling-baling yang berisik.
Sandra menarik Rai
menuju mobil polisi. Rai melihat Daris dan Ello membawa Derren ke dalam helikopter.
“Apa kondisi Derren
akan baik-baik saja?” Rai bertanya pada Sandra.
Sandra menggeleng,
wajahnya pucat. “Kita doakan saja.”
Beberapa mobil TNI
tiba-tiba masuk dan mengeluarkan berpuluh-puluh pasukan berpakaian seragam dan
membawa senjata. Mereka masuk secara bergilir dan menyergap pengawal-pengawal
Dirsa yang masih tersisa.
“Sebaiknya Anda
segera masuk!” salah seorang anggota kepolisian memaksa Sandra dan Rai masuk ke
mobil polisi. “Sangat berbahaya berada di luar.”
Rai melihat kearah
luar jendela. Ada banyak wartawan datang dan reporter yang meliput disekitar
mereka. Pengawal-pengawal Dirsa yang berhasil ditangkap keluar dengan tangan
terangkat ke atas dan dimasukan ke dalam mobil besar. Hiruk pikuk wartawan
semakin menjadi ketika Jermy menggiring Dirsa ke dalam mobil polisi.
“Minggir! Minggir
kataku!” Jermy berteriak.
Satuan keamanan
membatasi para wartawan dan reporter untuk memberi jalan bagi Jermy dan Dirsa.
“Bertanyanya nanti
saja! Masih ada yang harus diurus!” Jermy menutup pintu mobil dan memerintahkan
salah seorang polisi mengawal Dirsa. Jermy harus bersusah payah menghindari
para reporter dan wartawan itu agar dapat menemui Rai dan Sandra.
“Hari ini sibuk
sekali. Para wartawan itu seperti lebah yang berdengung di telingaku,” komentar
Jermy menyeka keringatnya, “Aku dapat kabar dari Ello kalau mereka sudah sampai
di rumah sakit terdekat. Sekarang Derren sedang dioperasi dan kondisinya
kritis. Dia kehilangan banyak darah.”
“Apa?” kata Rai dan
Sandra bersamaan.
“Tenang saja. Ello
itu pintar. Dia mengajak Doktor Daris, jadi Doktor Daris bisa melakukan
transfusi darah. Sekarang kita hanya bisa berdoa agar Derren baik-baik saja,”
kata Jermy lagi.
“Apa kami bisa
bertemu dengan Derren?” kata Rai ragu.
“Ya, tentu saja.
Tapi kalian harus menunggu sebentar lagi. Para wartawan dan reporter itu bisa
curiga kalau ada mobil polisi yang meninggalkan TKP saat kondisi begini. Nanti
mereka malah mengikuti kalian. Mohon bersabar.”
Rai dan Sandra
menurut. Dengan perasan takut dan shock, mereka
menunggu apa yang akan terjadi pada kondisi Derren. Semoga Derren tidak
apa-apa. Setelah menunggu selama setengah jam—yang rasanya seperti seabad—Jermy
datang dan berkata kalau mereka sudah boleh pergi dari TKP.
Mobil mereka dan
tiga mobil truk lain mengikuti dari belakang. Hanya saja mobil mereka berbelok
ke kanan—menuju rumah sakit—sementara mobil-mobil di belakang mereka lurus
terus—menuju Kepolisian Pusat.
Rai dan Sandra
segera keluar dari dalam mobil dan berlari menemui Daris. Mereka melewati
lorong panjang rumah sakit dan rasanya selalu bertubrukan dengan pasien atau
perawat atau malah dokter. Sudah ada Deva, Mike dan Ello yang menemani Daris di
depan sebuah pintu yang menyala merah.
“Bagaimana dengan
Derren?” Sandra bertanya.
Daris diam seperti
patung dan tidak menjawab.
“Kritis. Dari tadi
suster keluar masuk mengambil kantong darah entah sudah berapa kantong.
Kelihatannya Derren banyak mengeluarkan darah,” jawab Deva dengan wajah pucat.
Sandra menutup
mulutnya dengan kedua tangannya.
“Paman, “ Rai buka
mulut. “Aku yakin Derren akan baik-baik saja.”
“Ya. Pasti begitu,”
gumam Daris.
Sebenarnya Rai tadi
ingin memanggil Daris dengan sebutan Papa tapi yang keluar justru kata Paman.
“Pa—Paman,” Rai
mencoba lagi.
“Jangan memaksakan
sebutan Paman untukku. Kau punya hak memanggilku dengan sebutan Papa. Walau
bagaimanapun, kau itu anak kandungku,” kata Daris menatap mata Rai dalam-dalam.
“Aku sama sekali tidak keberatan.”
Deva menatap Rai
dan Daris secara bergantian. Bingung. Mereka ayah dan anak?
“Daris, kurasa aku
harus memberitahumu satu hal. Mungkin kau belum tahu. Aku tak tahu apakah
Ayahmu sudah mengatakan hal ini atau belum, tapi Derren tahu satu hal yang kau
tak tahu,” Mike tiba-tiba bicara.
Daris mengerutkan
dahinya. “Apa yang mau kau bilang?”
“Derren punya
saudara kembar.”
Daris seperti
tersengat listrik. Deva menganga. Rai melotot. Ello dan Sandra terbengong.
“Apa?” kata Daris
memecahkan kesunyian. “Kau—”
“Aku merawat
saudara kembar Derren. Derren cuma tahu kalau saudara kembarnya meninggal, tapi
dia masih hidup. Ayahmu mengira kalau saudara kembar Derren sudah meninggal,
tapi nyawanya masih bisa diselamatkan. Dia kakak Derren, namanya Joshea. Dia
mirip seperti Derren.” Kata Mike lagi.
Daris bangkit. “Kau
bohong...”
“Aku tidak bohong.
Jermy dan Ello adalah saksinya, mereka sudah melihat anak itu. Anak yang
bertolak belakang dengan Derren karena dibesarkan olehku.”
“Bagaimana caranya
saudara kembar Derren ada padamu?” kata Daris tidak percaya. “Bagaimana mungkin
Ayahku tidak menceritakan hal ini?”
“Kau ingat saat
Derren lahir? Kau tidak datang dan Elliana meneleponmu untuk menanyakan nama
anaknya?” kata Mike lagi.
“Ya, aku ingat,”
kata Daris dengan suara gemetar.
“Kondisi Joshea
menurun secara drastis seiring dengan menurunnya kondisi Elliana. Awalnya
Ayahmu membawa Joshea ke rumahmu dan menyerahkan Derren padaku. Ayahmu bilang,
kau mungkin tidak akan menerima kalau kau punya anak kembar. Tapi kau membuang
Joshea ke panti asuhan. Saat itu hujan, kondisi Joshea yang buruk semakin buruk
karena hal itu. Dia mengalami kesulitan bernapas dan kritis. Ayahmu mengira
kalau mustahil menyelamatkan Joshea lalu dia meminta Derren padaku.” Mike
menatap mata Daris.
“Awalnya aku tidak
memberikannya karena aku ragu. Tapi Elliana mencintaimu dan aku menjadi yakin
kalau kau bisa menjaga Derren. Derren kuberikan, tapi Ayahmu tidak kembali lagi
untuk melihat kondisi Joshea. Ayahmu pikir Joshea sudah meniggal. Kau sama
dengannya, itu sebabnya dia bilang pada Derren kalau saudara kembarnya sudah
meninggal di
saat-saat terakhirnya. Tapi Joshea bisa selamat. Kau
tidak tahu kan perjuangan anak itu sekeras apa?”
Daris gemetaran.
“Ya, Daris. Kau
menyakiti semua orang. Kau menyakiti perasaan Derren dan tanpa sadar kau
menyakiti Putramu yang satu lagi. Aku belum menceritakan ini pada Derren karena
takut dia akan terluka. Tapi dia sudah terlalu banyak tahu, entah apakah dia
tahu hal ini atau tidak.”
“Aku ingin bertemu
Joshea,” kata Daris pelan.
Mike tersenyum.
“Sayang sekali, Daris. Joshea tidak mau.”
Daris mengerutkan
dahinya.
“Sudah kukatakan
Joshea berbeda dengan Hosea,” kata Mike lagi. “Hosea sangat mudah memaafkan
orang, Joshea tidak. Joshea tidak secerdas Hosea, tapi temannya melebihi Hosea.
Aku sudah bertanya terlebih dahulu mengenai hal ini padanya dan dia bilang
kalau dia tak mau bertemu denganmu, karena baginya hanya aku Ayahnya. Bukan
siapa-siapa.”
Daris menunduk
bersalah. “Mungkin ini hukuman Tuhan untukku sampai anakku sama sekali tidak
mau melihatku.”
Mike tersenyum dan
menepuk bahu Daris. “Aku akan membujuk Joshea lagi. Kau jadilah Ayah yang baik
untuk Derren. Derren adalah anak yang terbaik yang sudah diberikan Tuhan
padamu.”
“Aku tidak akan
menyia-nyiakan Derren lagi.”
***
Derren membuka
matanya secara perlahan. Pandangannya masih kabur dan kelopak matanya terasa
berat. Derren dapat melihat langit-langit dan jarum infus yang tergantung,
seketika itu pula otaknya bekerja.
Di rumah sakit...
ternyata aku tidak jadi mati...
Derren menggerakan
tangannya. Rasa sakit di perutnya masih berdenyut-denyut. Derren menggerakan
kepalanya sedikit dan melihat Daris yang tertidur disisi tempat tidurnya.
“Ayah?” gumam
Derren. Suaranya serak dan kerongkongannnya terasa kering. Derren mengangkat
tangannya dan mengusap-usap kepala Daris. Seketika itu pula Daris bangun.
“Derren? Kau sudah
sadar? Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?” kata Daris cemas.
“Sudah tak
apa-apa,” kata Derren lemah. “Ayah menjagaiku?”
“Tentu saja, kau
Putraku. Tunggu, aku panggilkan Dokter untuk memeriksamu. Tahan disini ya?”
kata Daris beranjak pergi. Beberapa menit kemudian dia datang dengan Dokter dan
Perawat.
“Bagaimana?” tanya
Daris ketika Dokter meletakan stetoskop ke dada Derren. “Anakku baik-baik saja
kan?”
“Anda tenang saja,
Tuan Daris. Anak Anda sudah melewati masa kritisnya. Sekarang dia hanya butuh
cukup istirahat untuk penyembuhan lebih lanjut,” kata Dokter itu sambil
tersenyum.
“Sudah berapa lama
aku koma?” kata Derren. Dokter manatap Daris seakan bertanya apakah diijinkan
menjawab pertanyaan Derren atau tidak. “Lebih dari seminggu ya?”
“Sekitar dua belas
hari,” jawab Dokter ketika melihat anggukan Daris.
“Kalau begitu Ayah
sudah bebas dari segala tuduhan kan?” kata Derren menatap Daris.
“Jangan membahas
itu dulu. Kau butuh istirahat,” kata Daris menyudahi perkataan Derren.
“Bagaimana dengan Rai dan Ibunya? Apa mereka baik-baik saja? Lalu apakah Dirsa
sudah ditangkap?”
“Anak Muda, kau
butuh istirahat!” kata Daris jengkel.
“Aku akan istirahat
kalau Ayah mau cerita!” Derren balas berteriak.
“Keras kepala!”
gerutu Daris. “Baiklah kalau menurutmu cerita itu adalah dongeng sebelum tidur.
Aku akan bercerita. Sikapmu itu mirip dengan Ibumu.”
Derren hanya
mendengar samar-samar kalau Daris dinyatakan bebas dari segala tuduhan
mengingat bukti-bukti yang ada justru mengarah pada Dirsa. Pihak pengadilan
meminta maaf secara penuh dan mengembalikan nama baik Daris. Dirsa dituntut
penjara dengan banyak pasal dan tuduhan yang melilitnya. Lalu mengenai Derren
dan Rai... Derren tidak mendengarkan karena dia sudah tertidur.
“Derren, senang
rasanya melihatmu masih hidup, Sobat!” Deva—yang hari ini tidak memakai kursi
roda—memeluk Derren dengan senang.
“Lepaskan aku,
Holmes. Bekas lukaku belum sembuh!” Derren mentah-mentah melepaskan pelukan
Deva. “Mana Rai?”
“Di luar. Dia malu
bertemu denganmu,” kata Deva menunjuk sosok gelap di luar jendela. “Katanya
sebagai Abang, dia sama sekali tak bisa melindungimu.”
“Itu perkataan
bodoh,” gumam Derren. “Rai, cepat masuk! Buat apa kau datang kemari kalau tidak
menemuiku?” kata Derren.
Rai memunculkan
kepalanya dari balik pintu.
“Yah... baiklah...”
kata Rai. Dia masuk bersama-sama dengan Sandra.
“Kau baik-baik
saja?” kata
Derren.
“Harusnya aku yang
tanya begitu kan?” kata Rai. Derren tersenyum. Rai mencubit pipi Derren. Gemas.
“Huh! Aku sebal melihat wajah santaimu itu! Kenapa kau menyimpan semua
sendirian hah? Dasar bodoh! Kalau kau mati aku juga akan mati! Bodoh! Idiot!”
Derren memegang
kedua pipinya yang merah. Sakit sekali cubitan Rai.
“Jangan lakukan itu
lagi. Kau mengerti?” kata Rai lagi. “Mulai sekarang aku yang akan menjagamu
karena aku ini Abangmu! Jadi dengarkan apa yang akan kukatakan!”
“Aku tidak mau,”
kata Derren cuek mengambil iPodnya.
“Kenapa?” Rai
merampas iPod Derren dengan kesal. Dia tahu kalau sifat cuek Derren mulai kumat lagi.
“Setiap kali
mendengarkanmu pasti akan kacau,” tukas Derren. “Kembalikan iPodku. Lebih baik
mendengarkan musik daripada omelanmu.”
Rai mencubit pipi
Derren lagi.
“Sakit tahu!”
gerutu Derren mengusap-usap pipinya. “Lalu, apakah kalian berdua akan tinggal
bersama kami lagi?”
Sandra menelan
ludah. Daris—yang sedang makan disudut ruangan—tersedak. Rai menarik napas.
Mereka sama sekali tidak menyangka kalau Derren akan bertanya langsung.
“Aku sama sekali
tidak keberatan menambah dua orang lagi di rumah besar kami,” kata Derren
memain-mainkan iPod-nya.
Sandra tersenyum.
Sepertinya dia sudah menyusun kata-kata di kepalanya untuk menjawab Derren.
“Derren,” dia memulai. “Aku berterima kasih karena kau berlapang dada untuk
menerima kami. Tapi aku tidak bisa. Ada beberapa luka yang tidak dapat
disembuhkan semudah itu. Namun, jika Rai ingin merasakan kehangatan Daris
sebagai Papanya, aku tidak keberatan dan tidak melarangnya untuk tinggal di
rumah itu.”
Derren ganti
menatap Rai, meminta jawaban.
“Ah, gimana ya?”
Rai gelagapan. Dia sama sekali belum siap menjawab pertanyaan Derren.
“Sebenarnya aku sangat senang kau jadi saudaraku. Aku juga sangat senang Paman
Daris—eh, maksudku Papa—mengakuiku. Tapi—”
“Jangan diteruskan.
Kalau pakai tapi, ujung-ujungnya pasti jelek,” kata Derren memakai earphone-nya.
“Kebiasaanmu yang
satu ini jelek sekali!” Rai kembali menarik earphone Derren. “Dengarkan
aku sampai aku selesai!” katanya jengkel.
“Aku tak mau dengar
kalau kabar jelek,” kata Derren cuek.
“Walau bagaimanapun
aku adalah abangmu. Bagiku sosok Mama sudah cukup sama sepertimu yang hanya
butuh Papa. Aku tak bisa mengambil semuanya, Derren. Aku tak mau membagi kasih
sayangku dari Mama.”
Derren menatap
lantai. Rai semakin merasa bersalah. Kelihatannya kata-kata Rai barusan melukai
perasaan Derren.
“Baiklah aku
mengerti,” Derren mengangkat bahu dengan tidak peduli. “Tapi kau tidak boleh
menolak kalau sekolahmu dibiayai Ayah dan sisa saham Ayah akan diberikan padamu
ya?” katanya lagi.
“Apa?” kata Rai,
Deva dan Sandra kaget.
“Jawab saja ‘iya’!
Aku tak butuh kata ‘apa’!” tandas Derren.
“I, iya baiklah,”
kata Rai bingung.
“Ayah, kelihatannya
hanya aku yang ikut Ayah,” kata Derren merebahkan tubuhnya ke bantal lagi.
“Apa maksudnya?”
kata Deva yang akhirnya buka mulut.
“Ayah dan aku akan
pindah ke Swiss akhir semester ini,” jawab Derren.
“Apa?” lagi-lagi
mereka dikagetkan dengan kabar ini. “Kenapa harus pindah?”
“Derren mendapat
beasiswa untuk sekolah disana,” jawab Daris tenang. Dia kembali meminum airnya.
“Dan dia memutuskan ke sana untuk meraih impiannya.”
“Apa? Impian?
Impian yang mana?” Deva menatap Rai dengan penuh tanda tanya. “Kau punya impian
juga, ternyata.”
“Dia ingin jadi
Detektif Internasional. Untuk meraih itu, kemampuannya harus lebih dari ini.
Aku tak bisa melarangnya, yang bisa kulakukan saat ini hanya mendukungnya,”
kata Daris.
Derren tersenyum
padanya.
***
Dua bulan kemudian
Deva, Derren dan
Rai tidur di atas rumput halaman di belakang rumah Derren sambil melihat langit
malam penuh bintang. Selain angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut mereka
secara perlahan, tidak ada yang ada hal lain yang terdengar—suara jangkrik pun
tidak.
“Besok kau akan
berangkat, ya? Kau begitu ingin jadi Detektif Internasional? Itu kan sulit,”
kata Deva tiba-tiba mengusik kesunyian yang damai itu.
“Sesulit apapun
pasti kutempuh. Pasti,” gumam Derren.
“Kapan kau akan
kembali?” tanya Rai.
“Entahlah,” jawab
Derren singat.
“Kalau kau pulang
setelah sepuluh tahun, aku pasti sudah jadi dokter yang hebat,” kata Rai pelan.
“Kau tunggu saja.”
“Oh, jadi
cita-citamu jadi Dokter ya? Holmes?” Derren menoleh pada Deva yang ada disisi
kirinya.
“Kalau kau pulang
setelah sepuluh tahun... hum... aku akan jadi teknisi handal,” jawab Deva penuh
keyakinan.
“Kupikir kau akan
mengikuti jejakku jadi detektif, eh maksudku, Sherlock Holmes betulan,” kata
Derren.
“Sori, deh, aku
lebih suka mempunyai dua kerjaan sekaligus,” kata Deva sambil terkekeh.
Derren mengangkat
kedua tangannya ke atas langit. Sambil tersenyum dia bilang, “Kalau begitu aku
akan pulang dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Dan aku pasti bisa menemukan
kalian dimanapun berada saat masa itu tiba.”
Deva, Rai dan
Sandra mengantar kepergian Derren dan Daris keesokan harinya di bandara. Tidak
ada air mata kecuali senyum kebahagiaan dan lambaian tangan.
***
Enam tahun kemudian
“Hosea!”
Rai berbalik sambil
mengecak pinggang. Dia menaikan kacamatanya ketika gadis cantik itu berlari
mengejarnya. “Berapa kali harus kukatakan kalau aku bukan Hosea? Aku Rai!”
serunya jengkel.
“Maaf, aku kangen
sama Hosea, sih. Lagian kalau kau pakai kacamata begitu jadi makin mirip
Hosea,” kata Astyn merangkul tangan Rai dengan senang. Rai mengerutu sambil
memperbaiki letak kacamatanya yang melorot lagi.
“Kau ini kan
pacarku bukan pacarnya Derren!”
“Iya, iya, Pak
Dokter,” Astyn manggut-manggut. “Jangan marah-marah begitu, dong. Hari ini
masih ada kelas?”
“Ya, ada praktek.
Maaf tidak bisa mengantarmu pulang.”
“Tak apa kok. Kau
kan sedang belajar dengan gigih untuk menyelesaikan janjimu pada Hosea.
Bagaimana dengan Deva?”
“Deva sih sudah
bekerja menjadi teknisi otomotif sejak sebulan lalu. Dia benar-benar gila bisa
menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam waktu lima tahun.”
“Kabar Hosea
gimana?”
“Entahlah,” Rai
kembali menggerutu. “Sejak pindah ke Swiss, dia tidak memberi kabar. Tak ada
surat, tak ada telepon bahkan Papa juga tak beri kabar mengenai keberadaan
mereka sekarang. Jangan-jangan mereka sudah mati.”
“Dia benar-benar
menyebalkan, ya,” Deva tiba-tiba muncul untuk mengikuti pembicaraan mereka
berdia. Bikin kaget saja. “Si Adikmu itu. Oh, halo. Lama tak jumpa ya?”
“Deva, kau tak
kerja?” kata Astyn heran.
“Aku bosan makanya
aku bolos,” jawab Deva.
Deva sekarang
memiliki body ideal, wajahnya juga lebih imut-imut. Dia tidak suka lagi
duduk di atas kursi roda melainkan di atas mobil mewah. Deva lagi suka-sukanya
dengan mobil—terutama mobil-mobil mahal yang berkelas.
“Kalau sudah
seperti itu kau bisa dipecat loh.”
“Tinggal cari aja
perusahaan yang baru.” Timpal Deva enteng.
Astyn, Rai dan Deva
mengerutkan dahi saat ada suara yang tiba-tiba mengikuti perkataan mereka.
Mereka bertiga menoleh ke belakang dan melihat ada tiga sosok sama tinggi di
belakang mereka. Sosok paling kiri berwajah cantik dengan rambut bergaya
harajuku panjang yang diikat. Di sebelah paling kanan memiliki otot besar dan
berwajah sangar. Yang ada ditengah-tengah mereka berwajah tampan dengan kulit
pucat dan ikat kepala putih melilit di kepalanya. Rambut hitamnya berantakan
sekali.
“Jermy Nicolen,
Ello Koyja dan... kau?” Rai bertanya pada sosok yang ada di tengah.
“Kau lupa padaku
ya? Memangnya kita tidak kelihatan mirip, Rai?”
Rai memperhatikan
postur tubuh cowok itu. Cowok itu lebih tinggi sekitar lima senti darinya.
Tubuhnya lebih oke dan atletis. Rambut hitam legamnya pendek dan sedikit
mencuat karena ikat kepala di dahinya. Wajahnya yang tampan, suaranya yang
tenang dan dalam.
Siapa ya? Rai berpikir.
Namun ketika Rai
melihat tatapan dingin mata biru itu, Rai tercengang. “Derren...?” katanya
ragu.
“Ah, akhirnya ingat
juga. Apa kabar? Aku sudah jadi Detektif In—”
Rai memeluk Derren.
“Selamat datang,
Derren.”
***
TAMAT
Medan,
Minggu, 2 Agustus 2009
0 komentar:
Posting Komentar