Debaran Empat
Jendela Lempar
Lucu.
Itulah
kata yang mampu diungkapkan Nero saat teman-teman baru sekelasnya memintanya
mendeskripsikan bagaimana perasaannya menghadapi Nenek Lampir Koordinator
Kedisiplinan Siswa. Jadi tidak heran kalau beberapa orang menganggapnya sakit
jiwa. Bahkan, kata sederhana itu menyebar cepat ke penjuru sekolah.
Nero
merupakan satu-satunya siswa yang tak takut pada Niken si Nenek Lampir dan
memberikan nilai “lucu” untuk tingkah Niken.
Yang
benar saja! Lucu? LUCU?
Siapa
yang tidak kenal Niken di sekolah itu? Selain gadis itu begitu pintar—yang
tidak pernah mengijinkan seorang pun mengambil gelar “Ranking 1”-nya pada
siapapun, gadis itu juga anggota Osis. Dia seorang Ketua Kedisiplinan Siswa.
Sebuah jabatan paling agung—melebihi jabatan Ketua Osis sendiri—karena jika
bukan jabatan ini maka akan
berpuluh-puluh murid yang datang terlambat dan akan ada berpuluh-puluh juga
yang tak bisa ujian.
Jabatan
itu mampu membuat setiap siswa diam tak berkutik. Apalagi jika diberi talak
oleh Niken sendiri, si Ratu Iblis.
Tapi
Nero hanya tertawa saja mendengar informasi itu. Baginya informasi itu tak
lebih dari sekadar iklan yang numpang lewat dalam acara sinetron.
Anak
Muda itu bertingkah santai, tertawa tiap kali dia digoda oleh teman-teman cewek
mengenai betapa tampan wajahnya, dan tersenyum geli saat teman-teman cowok juga
memuji soal jam tangan barunya itu. Menurutnya, pujian seperti itu tidak
terlalu menarik minatnya. Dia sudah sering mendapatkan pujian, jadi berapapun
banyaknya pujian yang dia dapat saat ini tak akan memengaruhi apapun dalam
kehidupannya.
Para
Guru yang segera menyadari keberadaannya juga ikut-ikutan menjadi perhatian. Di
hari pertamanya, Kepsek dengan sengaja menggiringnya sendiri untuk memerlihatkan
seluruh isi sekolah padanya dengan dua orang guru sebagai pendampingnya. Kedua
guru itu adalah Pak Alfon—si guru Muda Science dan Pak Julian—si guru Idola
yang mengajar bahasa Inggris.
Saat
mereka berempat beriringan mengelilingi sekolah saat istirahat siang, para
siswa tak hentinya melirik ke arah mereka.
Itu
dikarenakan mereka berempat tampak seperti boyband
yang lewat dengan aura berkilau yang membuat cewek-cewek menganga.
Kepsek
sekolah itu sendiri masih muda. Namanya Pak Owen, berusia 32 tahun dan duda
dari dua orang anak yang masih kecil. Dia tampan, tinggi, berambut hitam,
berkaca mata bening, dan tampil dengan dandanan rapi yang menyihir setiap guru
wanita setiap kali dia lewat.
Keempat
orang itu bercakap-cakap normal. Dan karena Nero sendiri tampak santai
menanggapi mereka, maka ketiga orang itu juga bersikap santai pada murid yang
lainnya.
“Pak
Julian akan menjadi wali kelasmu,” Pak Owen menjelaskan saat mereka melewati
koridor panjang menuju ruang audiovisual. “Kamu bisa menanyakan apapun padanya.
Dia dengan senang hati membantumu.”
Pak
Julian yang ada di belakang Pak Alfon hanya tersenyum kecil saat Nero
meliriknya.
“Pak
Alfon sendiri mengajar seluruh pelajaran science
di kelasmu, Nero,” lanjut Pak Owen lagi. “Dia juga penasehat dari ekstrakulikuler
Pramuka.”
Pak
Alfon tidak memberikan ekspresi berarti, malah dengan sengaja pemuda berusia
dua puluh lima tahun itu memutar bola matanya pertanda bosan.
Nero
tersenyum lagi. “Terimakasih sudah menjelaskan seluruh isi sekolah pada saya,
Pak. Sekarang saya yakin bahwa saya tidak akan tersesat menuju kelas saya. Lima
menit lagi bel akan berdering, saya tak ingin terlambat di kelas Pak Alfon.
Lagipula, Pak Alfon dan Pak Julian juga harus menyiapkan pelajaran mereka.”
Teguran
langsung yang begitu halus. Pak Owen mengerjap sesaat, kemudian buru-buru minta
maaf dan memersilakan ketiganya untuk pamit.
Pak
Alfon menepuk-nepuk bahu Nero dan bergumam, “Lumayan juga, Anak Muda. Aku juga
sudah bosan mendengar ceramahnya.” Setelah itu dia berlalu bersama dengan Pak
Julian.
Hari
pertama Nero di sekolah berjalan lancar. Dia mendapatkan banyak teman baru. Hal
ini bukan menjadi sesuatu yang baru juga padanya karena memang setiap tahun,
dia dan keluarganya memang sering berpindah tempat, jadi tidak sulit baginya
untuk beradaptasi.
Ageha
melompat memeluknya saat dia membuka pintu rumah depan. Adik kecilnya yang
manis dan super lucu itu tertawa riang saat dia mengangkat tubuh kecil itu ke
udara. Lima bulan lagi, Ageha akan masuk sekolah dasar. Kebersamaan mereka akan
banyak berkurang, jadi Nero tak ingin melepas momen-momen indah bermain bersama
Ageha.
“Abang,
lapar,” kata Ageha.
Alis
Nero menaik. “Memangnya Adinda belum makan apapun?”
“Nggak
mau makan kalo nggak sama Abang.”
Nero
terenyum lalu mengangkat Ageha tinggi-tinggi, membuat gadis kecil dan mungil
itu tertawa-tawa gembira. Melihat Ageha bisa tertawa seperti ini membuat Nero
merasa sangat puas sebagai seorang Abang.
“Abang
ganti baju dulu ya, baru kita makan siang bareng,” ucap Nero sembari meletakan
Ageha kembali menjejak bumi.
“Janji?”
kata Ageha.
“Janji,”
kata Nero sambil mengangguk.
Ageha
bersorak gembira dan berlari masuk ke dalam rumah, berteriak-teriak pada
pembantu untuk segera menyiapkan makanan karena dia sudah sangat lapar. Nero
hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu adiknya.
Dia
pun segera menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua, tempat dia bisa
menghabiskan waktunya dengan tenang walau hanya beberapa menit.
Sewaktu
Nero hendak menutup pintu kamarnya, dia mendengar suara Niken dari seberang.
Mungkin gadis itu baru pulang.
Sejujurnya
Nero juga sedikit terkejut melihat Nike nada di sekolah yang didaftarkan oleh
asisten Papanya. Apalagi penampilan gadis itu benar-benar di luar dugaan Nero.
Dia bahkan sempat tak mengenali gadis itu andai saja Niken tidak memelototinya
dengan aura neraka karena kejadian kemarin.
Penampilan
Niken di sekolah dan di rumah benar-benar berbeda. Jika di sekolah gadis itu
mengikat rambut halusnya dengan ikatan kepang bergaya gadis desa, menggunakan
kacamata besar yang melorot di hidungnya. Kaos kaki hitamnya panjang, nyaris
mengenai roknya yang juga panjang. Berbeda sekali dengan celana pendek, tato di
kaki dan kaos kebesaran.
Jika
penampilannya seperti itu, bagaimana Vion bisa tertarik padanya?
Kasihan
gadis itu, dia benar-benar tak tahu bagaimana menangani seorang cowok dengan
baik. Apalagi yang seperti dirinya.
Tapi,
setelah dipikir-pikir lagi, wajar saja jika mereka satu sekolah karena sekolah
itu adalah satu-satunya sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Dan Papanya
tahu betul bahwa dia lebih suka berjalan kaki ke sekolah, jadi mustahil bagi
Papanya untuk memilih sekolah yang jauh.
Setelah
tas sandangnya terletak dengan aman di meja belajarnya, Nero menyebrangi
ruangan sambil melepas seragam sekolahnya dan mengambil kaos dari lemari yang
ada dekat dengan pintu kamar mandi. Begitu dia menjejalkan kepalanya melewati
kaos, dia mendengar pekikan kaget.
Nero
tersenyum kecil begitu mengenali suara itu.
“Mengintip
seperti biasa, Niken?” kata Nero tenang dan menurunkan kaosnya.
Niken
berdiri di belakang jendela—tepat di seberang sana—yang terbuka lebar. Wajah
gadis itu merah padam. Tapi kata-kata yang keluar sangat lancar.
“Enak
saja!” katanya berapi-api. “Ini kamarku! Dan aku sedang membuka jendela kamarku
saat kau lewat!”
Nero
tersenyum geli, menikmati kegugupan Nikan dan ingin lebih menggoda gadis itu.
“Kemarin juga begitu kan waktu aku sedang mandi?” balas Nero santai, berjalan
beberapa langkah mendekati jendela dan semakin melihat dengan jelas wajah Niken
yang memerah. Nero memerhatikan kalau Niken sedikit gemetaran di tempatnya
berada.
Kasihan.
Gadis itu benar-benar tak berpengalaman menangani cowok.
“Ah,
ayolah, Niken, jujur saja. Katakan kau menikmati pemandangan indah tubuhku,”
tapi entah kenapa Nero lebih suka menggoda gadis itu.
Sekarang
wajahnya yang memerah sudah menyebar sampai ke telinganya. Gadis itu berusaha
untuk tetap mempertahankan kakinya menghadapi Nero.
Ini
benar-benar lucu sekali!
“Yang
benar saja!” sembur gadis itu. “Aku tak akan pernah menikmati pemandangan dari
tubuhku walau kau laki-laki terakhir yang tinggal di Bumi! Karena tak ada yang menarik
dari tubuhmu itu tahu!”
Tawa
Nero nyaris meledak. Baru kali ini dia melihat pembohong jujur!
“Tapi,
tak bisa dipungkiri lagi, bahwa kau baru saja melihat tubuhku,” kata Nero lagi.
“Dua kali. Kemarin dan sekarang. Ah, jangan-jangan kau juga mengintipku tadi pagi?”
Tangan
gadis itu mengepal jengkel.
“Vion
tak akan senang dengan hobi mengintipmu, Niken,” tambahnya lagi.
“Kau
menyebalkan!” Niken meraung, mengejutkan Nero.
Dengan
garang, tangan Niken mengambil benda terdekat dari jangkauan. Pengalaman telah mengajarkan
Nero apa yang harus dilakukan. Begitu Niken mengambil jam weker dan melemparnya
dengan ganas padanya, Nero menghindar dengan cepat.
“Ups,”
kata Nero saat benda malang itu menghantam lantai kamarnya dan hancur berantakan,
menyemburkan per, besi, skrup dan patahan jarun. “Sepertinya kau harus membeli jam
weker baru kalau tak mau terlambat bangun.”
Niken
mengambil benda lain lagi: vas bunga.
“Aku
tak akan melemparnya jika jadi kau,” kata Nero sungguh-sungguh.
Tapi
Niken tidak mendengarkan dan melempar vas itu sekuat tenaga ke arahnya. Bukannya
menghindar, Nero malah menangkap benda itu.
“Fiuh,
kau harus berterima kasih padaku,” kata Nero sembari meletakan vas itu ke tempat
aman.
Gadis
itu malah semakin ganas karena tak berhasil dua kali. Dia mengambil buku terdekat
dan mengangkatnya tinggi-tinggi—
“Aku
akan bilang pada Vion bahwa Niken pemarah.”
—dan
berhenti di udara.
Nero
tersenyum begitu Niken seketika membatu hanya karena dia mengungkit-ungkit soal
Vion.
Heh,
ternyata mudah sekali mengetahui kelemahan dari cewek, yang katanya, paling ganas
di sekolahan. Buktinya, si Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa tak dapat membalasnya
hanya karea satu kata: Vion.
Ini
menggelikan sekali!
Tanpa
sadar Nero tertawa melihat wajah kesal Niken.
“Kenapa
tertawa?” gadis itu tampak tersinggung.
“Kau
tak lihat wajahmu? Lucu! Benar-benar lucu!”
Gadis
itu tampak seperti gunung merapi yang siap meletus. Hanya saja, tidak meletus sekarang.
“Awas
kau besok!” gerutu Niken dan berbalik dengan langkah terhentak-hentak.
Ancaman
Niken justu membuat Nero semakin terbahak.
0 komentar:
Posting Komentar