RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 14 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Empat)


Debaran Empat
Jendela Lempar
Lucu.
Itulah kata yang mampu diungkapkan Nero saat teman-teman baru sekelasnya memintanya mendeskripsikan bagaimana perasaannya menghadapi Nenek Lampir Koordinator Kedisiplinan Siswa. Jadi tidak heran kalau beberapa orang menganggapnya sakit jiwa. Bahkan, kata sederhana itu menyebar cepat ke penjuru sekolah.
Nero merupakan satu-satunya siswa yang tak takut pada Niken si Nenek Lampir dan memberikan nilai “lucu” untuk tingkah Niken.
Yang benar saja! Lucu? LUCU?
Siapa yang tidak kenal Niken di sekolah itu? Selain gadis itu begitu pintar—yang tidak pernah mengijinkan seorang pun mengambil gelar “Ranking 1”-nya pada siapapun, gadis itu juga anggota Osis. Dia seorang Ketua Kedisiplinan Siswa. Sebuah jabatan paling agung—melebihi jabatan Ketua Osis sendiri—karena jika bukan  jabatan ini maka akan berpuluh-puluh murid yang datang terlambat dan akan ada berpuluh-puluh juga yang tak bisa ujian.
Jabatan itu mampu membuat setiap siswa diam tak berkutik. Apalagi jika diberi talak oleh Niken sendiri, si Ratu Iblis.
Tapi Nero hanya tertawa saja mendengar informasi itu. Baginya informasi itu tak lebih dari sekadar iklan yang numpang lewat dalam acara sinetron.
Anak Muda itu bertingkah santai, tertawa tiap kali dia digoda oleh teman-teman cewek mengenai betapa tampan wajahnya, dan tersenyum geli saat teman-teman cowok juga memuji soal jam tangan barunya itu. Menurutnya, pujian seperti itu tidak terlalu menarik minatnya. Dia sudah sering mendapatkan pujian, jadi berapapun banyaknya pujian yang dia dapat saat ini tak akan memengaruhi apapun dalam kehidupannya.
Para Guru yang segera menyadari keberadaannya juga ikut-ikutan menjadi perhatian. Di hari pertamanya, Kepsek dengan sengaja menggiringnya sendiri untuk memerlihatkan seluruh isi sekolah padanya dengan dua orang guru sebagai pendampingnya. Kedua guru itu adalah Pak Alfon—si guru Muda Science dan Pak Julian—si guru Idola yang mengajar bahasa Inggris.
Saat mereka berempat beriringan mengelilingi sekolah saat istirahat siang, para siswa tak hentinya melirik ke arah mereka.
Itu dikarenakan mereka berempat tampak seperti boyband yang lewat dengan aura berkilau yang membuat cewek-cewek menganga.
Kepsek sekolah itu sendiri masih muda. Namanya Pak Owen, berusia 32 tahun dan duda dari dua orang anak yang masih kecil. Dia tampan, tinggi, berambut hitam, berkaca mata bening, dan tampil dengan dandanan rapi yang menyihir setiap guru wanita setiap kali dia lewat.
Keempat orang itu bercakap-cakap normal. Dan karena Nero sendiri tampak santai menanggapi mereka, maka ketiga orang itu juga bersikap santai pada murid yang lainnya.
“Pak Julian akan menjadi wali kelasmu,” Pak Owen menjelaskan saat mereka melewati koridor panjang menuju ruang audiovisual. “Kamu bisa menanyakan apapun padanya. Dia dengan senang hati membantumu.”
Pak Julian yang ada di belakang Pak Alfon hanya tersenyum kecil saat Nero meliriknya.
“Pak Alfon sendiri mengajar seluruh pelajaran science di kelasmu, Nero,” lanjut Pak Owen lagi. “Dia juga penasehat dari ekstrakulikuler Pramuka.”
Pak Alfon tidak memberikan ekspresi berarti, malah dengan sengaja pemuda berusia dua puluh lima tahun itu memutar bola matanya pertanda bosan.
Nero tersenyum lagi. “Terimakasih sudah menjelaskan seluruh isi sekolah pada saya, Pak. Sekarang saya yakin bahwa saya tidak akan tersesat menuju kelas saya. Lima menit lagi bel akan berdering, saya tak ingin terlambat di kelas Pak Alfon. Lagipula, Pak Alfon dan Pak Julian juga harus menyiapkan pelajaran mereka.”
Teguran langsung yang begitu halus. Pak Owen mengerjap sesaat, kemudian buru-buru minta maaf dan memersilakan ketiganya untuk pamit.
Pak Alfon menepuk-nepuk bahu Nero dan bergumam, “Lumayan juga, Anak Muda. Aku juga sudah bosan mendengar ceramahnya.” Setelah itu dia berlalu bersama dengan Pak Julian.
Hari pertama Nero di sekolah berjalan lancar. Dia mendapatkan banyak teman baru. Hal ini bukan menjadi sesuatu yang baru juga padanya karena memang setiap tahun, dia dan keluarganya memang sering berpindah tempat, jadi tidak sulit baginya untuk beradaptasi.
Ageha melompat memeluknya saat dia membuka pintu rumah depan. Adik kecilnya yang manis dan super lucu itu tertawa riang saat dia mengangkat tubuh kecil itu ke udara. Lima bulan lagi, Ageha akan masuk sekolah dasar. Kebersamaan mereka akan banyak berkurang, jadi Nero tak ingin melepas momen-momen indah bermain bersama Ageha.
“Abang, lapar,” kata Ageha.
Alis Nero menaik. “Memangnya Adinda belum makan apapun?”
“Nggak mau makan kalo nggak sama Abang.”
Nero terenyum lalu mengangkat Ageha tinggi-tinggi, membuat gadis kecil dan mungil itu tertawa-tawa gembira. Melihat Ageha bisa tertawa seperti ini membuat Nero merasa sangat puas sebagai seorang Abang.
“Abang ganti baju dulu ya, baru kita makan siang bareng,” ucap Nero sembari meletakan Ageha kembali menjejak bumi.
“Janji?” kata Ageha.
“Janji,” kata Nero sambil mengangguk.
Ageha bersorak gembira dan berlari masuk ke dalam rumah, berteriak-teriak pada pembantu untuk segera menyiapkan makanan karena dia sudah sangat lapar. Nero hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah lucu adiknya.
Dia pun segera menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua, tempat dia bisa menghabiskan waktunya dengan tenang walau hanya beberapa menit.
Sewaktu Nero hendak menutup pintu kamarnya, dia mendengar suara Niken dari seberang. Mungkin gadis itu baru pulang.
Sejujurnya Nero juga sedikit terkejut melihat Nike nada di sekolah yang didaftarkan oleh asisten Papanya. Apalagi penampilan gadis itu benar-benar di luar dugaan Nero. Dia bahkan sempat tak mengenali gadis itu andai saja Niken tidak memelototinya dengan aura neraka karena kejadian kemarin.
Penampilan Niken di sekolah dan di rumah benar-benar berbeda. Jika di sekolah gadis itu mengikat rambut halusnya dengan ikatan kepang bergaya gadis desa, menggunakan kacamata besar yang melorot di hidungnya. Kaos kaki hitamnya panjang, nyaris mengenai roknya yang juga panjang. Berbeda sekali dengan celana pendek, tato di kaki dan kaos kebesaran.
Jika penampilannya seperti itu, bagaimana Vion bisa tertarik padanya?
Kasihan gadis itu, dia benar-benar tak tahu bagaimana menangani seorang cowok dengan baik. Apalagi yang seperti dirinya.
Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, wajar saja jika mereka satu sekolah karena sekolah itu adalah satu-satunya sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Dan Papanya tahu betul bahwa dia lebih suka berjalan kaki ke sekolah, jadi mustahil bagi Papanya untuk memilih sekolah yang jauh.
Setelah tas sandangnya terletak dengan aman di meja belajarnya, Nero menyebrangi ruangan sambil melepas seragam sekolahnya dan mengambil kaos dari lemari yang ada dekat dengan pintu kamar mandi. Begitu dia menjejalkan kepalanya melewati kaos, dia mendengar pekikan kaget.
Nero tersenyum kecil begitu mengenali suara itu.
“Mengintip seperti biasa, Niken?” kata Nero tenang dan menurunkan kaosnya.
Niken berdiri di belakang jendela—tepat di seberang sana—yang terbuka lebar. Wajah gadis itu merah padam. Tapi kata-kata yang keluar sangat lancar.
“Enak saja!” katanya berapi-api. “Ini kamarku! Dan aku sedang membuka jendela kamarku saat kau lewat!”
Nero tersenyum geli, menikmati kegugupan Nikan dan ingin lebih menggoda gadis itu. “Kemarin juga begitu kan waktu aku sedang mandi?” balas Nero santai, berjalan beberapa langkah mendekati jendela dan semakin melihat dengan jelas wajah Niken yang memerah. Nero memerhatikan kalau Niken sedikit gemetaran di tempatnya berada.
Kasihan. Gadis itu benar-benar tak berpengalaman menangani cowok.
“Ah, ayolah, Niken, jujur saja. Katakan kau menikmati pemandangan indah tubuhku,” tapi entah kenapa Nero lebih suka menggoda gadis itu.
Sekarang wajahnya yang memerah sudah menyebar sampai ke telinganya. Gadis itu berusaha untuk tetap mempertahankan kakinya menghadapi Nero.
Ini benar-benar lucu sekali!
“Yang benar saja!” sembur gadis itu. “Aku tak akan pernah menikmati pemandangan dari tubuhku walau kau laki-laki terakhir yang tinggal di Bumi! Karena tak ada yang menarik dari tubuhmu itu tahu!”
Tawa Nero nyaris meledak. Baru kali ini dia melihat pembohong jujur!
“Tapi, tak bisa dipungkiri lagi, bahwa kau baru saja melihat tubuhku,” kata Nero lagi. “Dua kali. Kemarin dan sekarang. Ah, jangan-jangan kau juga mengintipku tadi pagi?”
Tangan gadis itu mengepal jengkel.
“Vion tak akan senang dengan hobi mengintipmu, Niken,” tambahnya lagi.
“Kau menyebalkan!” Niken meraung, mengejutkan Nero.
Dengan garang, tangan Niken mengambil benda terdekat dari jangkauan. Pengalaman telah mengajarkan Nero apa yang harus dilakukan. Begitu Niken mengambil jam weker dan melemparnya dengan ganas padanya, Nero menghindar dengan cepat.
“Ups,” kata Nero saat benda malang itu menghantam lantai kamarnya dan hancur berantakan, menyemburkan per, besi, skrup dan patahan jarun. “Sepertinya kau harus membeli jam weker baru kalau tak mau terlambat bangun.”
Niken mengambil benda lain lagi: vas bunga.
“Aku tak akan melemparnya jika jadi kau,” kata Nero sungguh-sungguh.
Tapi Niken tidak mendengarkan dan melempar vas itu sekuat tenaga ke arahnya. Bukannya menghindar, Nero malah menangkap benda itu.
“Fiuh, kau harus berterima kasih padaku,” kata Nero sembari meletakan vas itu ke tempat aman.
Gadis itu malah semakin ganas karena tak berhasil dua kali. Dia mengambil buku terdekat dan mengangkatnya tinggi-tinggi—
“Aku akan bilang pada Vion bahwa Niken pemarah.”
—dan berhenti di udara.
Nero tersenyum begitu Niken seketika membatu hanya karena dia mengungkit-ungkit soal Vion.
Heh, ternyata mudah sekali mengetahui kelemahan dari cewek, yang katanya, paling ganas di sekolahan. Buktinya, si Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa tak dapat membalasnya hanya karea satu kata: Vion.
Ini menggelikan sekali!
Tanpa sadar Nero tertawa melihat wajah kesal Niken.
“Kenapa tertawa?” gadis itu tampak tersinggung.
“Kau tak lihat wajahmu? Lucu! Benar-benar lucu!”
Gadis itu tampak seperti gunung merapi yang siap meletus. Hanya saja, tidak meletus sekarang.
“Awas kau besok!” gerutu Niken dan berbalik dengan langkah terhentak-hentak.
Ancaman Niken justu membuat Nero semakin terbahak.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.