Amour
Café Special Edition
MENU
1
Midnight
Café
Malam
itu untuk pertama kalinya anak-anak Amour membahas hal-hal yang tidak perlu:
mereka membahas mengenai hantu dan segala bentuk hal-hal lain yang gaib dan
tidak nyata. Dengan entengnya mereka memulai pembicaraan itu dalam acara minum teh
kami.
Semua
biang kerok masalah ini adalah Kevin.
“Hantu
itu ada,” dia memulai, membantah Ariel yang menyatakan bahwa hantu itu tak ada.
“Hantu
itu tak ada,” Ariel membalas dari
kubunya.
“Hantu
itu ada,” Kevin bertahan dengan pendapatnya.
“Dan
dari mana Bos tahu bahwa hantu itu ada?” Ariel menantangnya.
Gobloknya,
Kevin malah menjawab, “Tidak tahu. Hanya feeling
saja. Instingku selalu benar.”
“Sayang
sekali, bahwa kita tak memerlukan insting sama sekali. Kita memerlukan bukti
ilmiah. Sesuatu yang nyata,” kata Ariel.
“Tapi
hantu dan segala hal gaib itu tak memerlukan logika karena mereka sendiri tidak
kelihatan. Bagaimana kau sendiri mengatakan bahwa angin itu ada? Kau hanya
perlu merasakannya kan? Sama seperti hantu, kau hanya perlu merasakannya.” Kevin
menjelaskan dengan cukup mantap, membuat Hazel yang ada duduk di sampingnya
mengangguk-angguk kecil.
Ariel
mendengus. “Angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara. Apa Bos tak
pernah belajar konsep fisika sewaktu SMA?”
Andai
saja aku tak tahu siapa Ariel, aku tentunya akan sakit hati dengan pernyataan
barusan. Tapi dia adalah Ariel, si Juara Satu seluruh angkatan Merah Putih—bahkan
Kian tak bisa menandingi kemampuannya dalam berdebat. Begitu Kevin menyentuh
konsep pengetahuan, Ariel langsung menyemburkan segala sesuatu mengenai sains
pada Kevin.
“Aku
yakin bahwa hantu itu ada,” Hazel tiba-tiba bicara.
“Terimakasih,
Hazel,” Kevin menepuk-nepuk bahunya dengan bangga. “Nah kan? Aku dapat satu
orang yang menyatakan bahwa hantu itu ada.”
“Apa
ini? Kita kan tak menanyakan pendapat mereka,” tukas Ariel jengkel.
“Hazel
itu seorang seniman. Tentu saja dia akan mengatakan bahwa hantu itu ada. Dia itu
selalu berimajinasi.” Felix membalas dari tempat duduknya setelah meletakan pudding caramel-nya. “Aku, sebagai
seorang ilmuwan berada di sisi Ariel. Aku tak percaya bahwa hantu itu ada. Jika
seorang calon dokter mempercayai hantu itu ada, maka aku akan ditertawakan oleh
seluruh pasienku.”
“Aku
juga berada di kubu A-ri-el.” Kian menyahut dari tempatnya.
“Tiga
lawan dua. Hantu itu tak ada.” Ariel tersenyum puas.
“Eit,
tunggu dulu. Masih ada satu orang lagi yang belum mengeluarkan pendapat.” Kevin
mengangkat tangannya.
Dan
mereka semua melirikku yang sedari tadi hanya mendengarkan.
“A-lex,
kau pasti tak percaya bahwa hantu itu ada kan?” kata Kian.
“Hantu
ada, Kian. Kau jangan menodai pilihannya,” kata Kevin.
“Kaulah
yang menyuntikan hal-hal bodoh ke otaknya, Kevin.” Felix membalas jengkel. “Alex,
hantu itu tak ada.”
“Biarkan
dia memilih,” kata Ariel.
“Ah,
tapi Alex akan masuk kubu kami. Aku yakin,” Hazel tersenyum tenang.
Mereka
kembali menatapku dengan tatapan menusuk yang siap menerima keputusanku. Haruskah
aku melakukan hal bodoh begini di malamku yang menyenangkan? Oleh sebab itu,
dengan tenang aku meletakan cangkir susu coklatku dan mengangguk pelan.
“Hantu
itu ada,” ucapku.
“Tuh
kan!” Kevin tertawa senang. Dia menatapku seperti melihat seorang pahlawan yang
muncul di saat perang sedang berlangsung heroik. “Tiga lawan tiga. Kita seimbang!
Alex, kau benar-benar tepat memilih kubuku. Kau akan mendapat kenaikan gaji.”
“Kita
lupa satu hal. Alex seorang cewek. Tentu saja dia akan menyatakan bahwa hantu
itu ada.” Felix melipat tangan dengan sok. “Ada atau tidak adanya pilihannya
sama sekali tidak membuktikan bahwa hantu itu ada.”
Hantu
itu ada. Aku ingin sekali mengatakan hal itu pada mereka. Tapi aku memilih
diam. Jika aku mengatakan bahwa hantu itu ada karena aku sendiri dapat melihat
mereka, maka aku akan ditertawakan oleh mereka. Terutama Felix. Aku bisa
menduga perkataan sadis apa yang akan dia lontarkan padaku.
Kian
mengerutkan dahinya padaku lalu geleng-geleng kepala.
“Hantu
itu tak ada, A-Lex,” katanya.
“Hantu
itu ada. Kian, jangan mengatakan apa-apa lagi atau akan memotong gajimu bulan
ini!” kata Kevin.
Dan
pembicaraan mengenai hantu selesai pada malam itu. Hanya saja dampaknya tidak
selesai begitu saja. Hari-hari berikutnya, mereka masih saja berdebat soal
hantu itu ada atau tidak, bahkan saat bekerja. Begitu Felix memasuki dapur, dia
akan menggerecoki Hazel, mengatakan bahwa hantu itu tak ada dan Hazel membalas
santai bahwa hantu itu ada.
Ariel
dan Kevin juga melakukan hal yang sama setiap kali Kevin keluar dari kantornya
dan mendatangi café. Kian? Tak perlu ditanya lagi. Dia menatapku seolah-olah
aku gila dan tak waras. Lalu dia merasa kasihan apakah aku perlu diberikan
pengobatan khusus ke pskiatrik terdekat.
Rupanya,
pembicaraan mengenai adanya hantu atau tidak sampai ke telinga pengunjung kami.
Mereka juga ikut-ikutan memberikan pendapat. Bahkan ada yang mengaku pernah
kerasukan segala. Akhirnya, café kami sedikit melenceng dari konsep yang sudah
dirancang sebelumnya dari Amour Cafe menjadi Ghost Café. Tapi sama seperti dua
pendapat itu, pengunjung lain juga mengatakan bahwa tidak ada hantu—kebanyaka
dari mereka adalah para pria. Maka, terbentuklah jurang antara adanya hantu dan
tidak. Masalahnya, pengunjung jadi lebih membicarakan masalah ini daripada
masalah percintaan mereka.
Karena
masalahnya semakin besar, Kevin melihat bahwa pengunjung kami mengalami
penurunan karena masalah ada hantu dan tidak ini. Ini disebabkan para wanita—yang
percaya bahwa hantu itu ada—memilih untuk mendiamkan kekasihnya—yang menyatakan
bahwa hantu itu tak ada. Lalu dia pun mengambil tindakan untuk memperbaharui
suasana café.
“Halloween?”
Kami
semua terkejut mendengar rancangan Kevin yang tiba-tiba ini.
“Ini
bukan karena masalah adanya hantu dan tidak itu kan?” Ariel mengangkat
tangannya. “Aku tetap tak percaya bahwa hantu itu ada. Hantu itu tak ada.”
Dua
sekutunya—Felix dan Kian—mengangguk dari belakang punggungnya.
“Hantu
itu ada,” Kevin keras kepala. “Tapi tenang saja, kita tidak membicarakan
masalah itu. Aku ingin kita mengganti suasana. Karena pelanggan kita berantem
hanya gara-gara masalah ini, aku ingin memberikan kejutan suasana Romantic
Halloween.”
“Ini
bulan Maret. Halloween dilaksanakan bulan Oktober.” Kian mengangkat tangannya.
“Benar.
Oleh sebab itu kita tidak mengambil peran Scary Halloween.” Kevin mengangguk
setuju.
“Kau
berniat membuat konsep apa? Apa perlu kita mendekor ulang café?” Felix bertanya
keheranan.
“Alex
yang akan mengeluarkan konsepnya.”
“Ha?
Aku?” aku yang mendengarkan dari sebelah Hazel melongo bengong. Kenapa jadi aku
yang kena? Aku kan tak tahu apa-apa soal masalah ini.
“Sewaktu
mendekor Amour dengan konsep cinta, Alex sudah memberikan konsep yang luar
biasa. Ada saran Alex?” Kevin bertanya sambil tersenyum penuh perhitungan.
“Erm…
labu?” aku menggumam pelan dan bertanya-tanya sendiri kenapa justru kata itu
yang keluar duluan.
“Kenapa
dengan labu?” Felix mengerutkan dahi.
“Labu
merupakan properti yang biasa digunakan dalam Halloween kan? Kita pakai labu. Hanya
saja, jangan dengan bentuk yang seram. Tapi lebih cantik. Mungkin kita bisa
mewarnai labu menjadi berwarna-warni—mungkin pink?”
“Pink?”
mereka terkejut.
“Ya.
Warna Halloween kan biasaya oranye dan hitam. Tapi karena kita hanya mengambil
konsep Halloween dan memberikan suasana romantis saja, kita tak perlu mengambil
warna-warna gelap, tapi warna-warna mencolok dan manis-manis: pink, putih, biru
terang, merah dan kuning. Kita juga bisa memakai kostum Halloween dengan versi
berbeda untuk mengganti suasana café.”
“Aku
suka bagian kostum. Teruskan.” Kevin menatapku dengan berbinar.
“Kita
bisa memakai kostum dari tokoh-tokoh dongeng terkenal dengan lebih bergaya saat
ini. Misalnya vampire atau penyihir gaul,” aku meneruskan dengan ragu,
membayangkan cowok-cowok yang ada di hadapanku ini memakai kostum Halloween. Uuugh,
entah kenapa aku jadi ikutan bersemangat dan tak sabar melihat mereka dalam
kostum.
“Ide
bagus. Aku akan jadi mumi,” Hazel menepuk kepalaku.
Aku
balas nyengir padanya. Merasakan dia menepuk kepalaku dengan ringan serasa
memberiku energi baru untuk meneruskan, mengeluarkan imajinasiku.
“Kita
bisa menutup langit-langit dengan terpal hitam untuk sementara dan menggantinya
dengan hiasanyaberupa bintang-bintang yang bersinar perlahan. Lukisannya juga
bisa kita singkirkan untuk sementara dan kita ganti menjadi permainan trick or treat.”
“Eh,
sepertinya menarik.” Felix menggosok dagunya penuh minat.
“Kita
memberikan kantong-kantong hitam di lima tempat yang pas sekali dengan lukisan
yang dulu pernah kita buat. Di dalam kantong itu kita masukan
pertanyaan-pertanyaan yang wajib diambil oleh pengunjung jika dia memilih trick. Jika memilih treat, maka pengunjung yang membawa pasangan wajib melakukan
sesuatu yang dikatakan atau menjawab pertanyaan pasangannya. Karena ini
Halloween, maka kita bisa kejam sedikit kan? Kita bisa meminta mereka memeluk
orang yang mereka benci atau memeluk orang yang tidak ingin dia peluk.”
“Café
kita pasti akan meriah dengan rancanganmu ini, Alex.” Kevin mengedip penuh
perhatian. “Oke. Siapa yang setuju dengan konsep Alex?”
Mereka
semua mengangkat tangan dan semua orang tampak begitu bersemangat dengan
pembaharuan café ini.
“Kita
akan memulai konsep Alex dua minggu lagi dengan jangka waktu dua minggu pula. Oleh
sebab itu, dalam waktu satu bulan ini kita akan sibuk sekali. Aku yakin akan
banyak pengunjung yang penasaran dengan konsep kita. Karena itu waktu buka café
juga akan lebih lama: sampai jam satu malam. Siapa yang setuju?”
Tidak
ada yang setuju. Aku bisa memerkirakan apa yang ada di dalam pikiran kami semua
karena kami juga tidak senang dengan keputusan ini. Kami semua masih anak
sekolah yang punya kesibukan.
Hanya
saja Kevin pura-pura tak melihat dan dia mengambil keputusan sepihak.
“Baiklah,
mulai besok sampai satu bulan kemudian, aku mohon kerja sama kalian.”
Kami
benar-benar tamat hanya karena masalah adanya hantu dan tidak.
***Midnight Café***
Persiapan
menuju Romantic Halloween berlangsung gila-gilaan. Kami semua seakan terjebak
dengan ide gila Kevin. Setiap kali kami sibuk dengan perancangan konsep setelah
memulangkan pengunjung terakhir di pintu café kami sampai jam satu malam bahkan
lebih.
Untunglah
Mama tidak terlalu memersalahkan masalah ini karena Kevin sudah memberitahukan
masalah ini pada Mama jauh-jauh hari dan berjanji akan bertanggung jawab pada
kepulanganku dengan selamat sampai pintu rumah. Secara rutin mereka mengantarku
pulang apabila jam dinding sudah mencapai pukul dua belas.
Hanya
saja, malam terakhir persiapan menuju Romantic Halloween benar-benar repot. Setelah
selesai mempersiapkan segalanya. Kami masih harus mengepak ulang seluruh barang
dan memeriksa kembali barang-barang untuk yang terakhir kalinya.
Lalu,
sesuatu terjadi dan malam itu menjadi malam yang tak mungkin dilupakan bagi
seluruh anggota Amour termasuk aku sendiri.
Malam
terakhir itu, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat setelah berhasil
mengorganisir semuanya. Tampilan café kami juga sudah berbeda dengan
langit-langit gelap penuh bintang seperti diluar angkasa, tampak seperti lautan
bintang yang membinging manusia yang berada dalam kegelapan menuju sebuah
kehidupan yang bersinar. Kantong-kantong hitam berisi trick juga sudah kami
sediakan dan tergantung di beberapa tempat. Labu-labu rencananya akan
dikeluarkan besok saat café kami akan buka, sebagai sebuah kejutan. Tulisan “Romantic
Halloween” juga sudah ditulis indah oleh Hazel dan tinggal digantung saja.
Saat
aku sedang mengambil gelas, aku melihat di luar ada seorang anak kecil tengah
menangis sendirian. Wajah anak itu cantik jelita, berambut panjang dan
mengenakan gaun indah yang manis sekali.
Karena
aku takut bahwa aku bisa saja melihat “sesuatu”, aku pun menarik-narik baju
Hazel yang duduk di sampingku.
“Hmm?
Apa, Lex?” Hazel menatapku keheranan.
“Ada
orang di luar ya?” aku berbisik pelan, takut yang lain mendengar suaraku dan
mengataiku gila.
Hazel
melihat arah pandangku, melewati jendela transparan café kami dan menembus
pemandangan di luar. Di gerbang café kami itu memang ada seorang anak kecil
yang menangis. Apakah Hazel melihatnya?
“Ya.
Anak itu kan? Yang menangis di depan gerbang?” kata Hazel.
Ternyata
anak itu bukan hantu! Hazel bisa melihatnya bahkan bisa mendeskripsikan dengan
baik lokasi anak itu.
“Menurutmu
dia menangis karena apa?” aku bertanya penasaran.
“Entahlah.
Kenapa kita tidak tanya saja?” Hazel menatap mataku dengan tenang. “Mungkin
saja anak itu tersesat.”
“Kalian
bisik-bisik apa?” Kian melirik dengan tidak senang begitu melihat kami.
“Ngga
ada apa-apa. Kami keluar sebentar ya. Mau mengambil sesuatu. Ayo, Alex,” Hazel
menarik tanganku dengan cepat.
“Ada
barang yang ketinggalan?” Felix mengulang keheranan.
Tapi
kami sama sekali tak mengatakan apapun karena Hazel dan aku sudah keluar dari café
dan mendatangi anak itu. Anak kecil itu masih di sana, menangis dan berulang
kali menghapus air matanya.
“Dik,”
Hazel menyapa anak kecil itu sambil memegang lembut pundaknya. “Kenapa ada di
sini?” dia bertanya lembut.
Hazel
dapat menyentuh anak itu! Aku merasa lega dua kali lipat. Itu artinya anak itu
manusia.
Wajah
anak kecil itu mengadah. Terkejut melihat kami berdua. Matanya basah karena air
mata dan berkilat-kilat cantik. “Aku lapar, Kakak,” katanya terisak-isak.
“Dimana
orang tuamu?” aku bertanya penasaran.
“Mama
pergi, nggak tahu kemana,” jawabnya terisak.
Hazel
mengangkat tangan, menghentikanku yang hendak kembali bertanya. “Kakak punya
makanan. Mau makan di dalam?” tanyanya lagi.
“Benarkah?”
anak itu tampak bahagia.
Hazel
mengangguk lagi. “Yuk.”
Aku
merasa beruntung berteman dengan orang sebaik Hazel. Dia benar-benar mengerti
bagaimana menangani seorang anak kecil. Hazel menggandeng tangan anak kecil itu,
menggiringnya dengan penuh kesabaran sementara kami memasuki café.
“Erm…”
Kevin melirik anak kecil yang ada dipegang Hazel. “Apa yang kalian bawa?”
Mereka
semua melirik kami dengan keheranan penuh tanda tanya.
“Anak
kecil ini lapar. Hazel akan menyiapkan makanannya. Tidak apa-apa kan jika kami
memberinya makanan gratis?” aku menjawab cepat, memohon dengan sungguh-sungguh.
“Anak
kecil?” Felix sedikit terkejut, melirik anak itu dengan keheranan. Dia menatap
Ariel yang memandangnya dengan pandangan melongo yang sama bingungnya. Kian sendiri
mengerjap, memelototi anak itu seakan tak pernah melihat seorang anak kecil
sebelumnya. Ada apa sih dengan mereka?
“Tidak
apa-apa, sih. Hanya saja,” Kevin menelan ludah. “kalian harus memulangkannya
dan eh, aku tak mau dia berkeliaran di caféku.”
“Aku
akan memulangkannya,” Hazel mengangguk pelan penuh pengertian. Dia lalu
menunduk kecil, memandang anak kecil itu dengan penuh cinta seperti melihat
seorang putri raja. “Dik, kau mau makan apa?”
“Steak!” anak itu berkata riang.
“Jika
begitu, mari Kakak antar ke tempat duduk,” kata Hazel lagi. Dia menggiring anak
itu ke tempat duduk, mendudukannya dengan pelan. “Kakak akan memasak dulu. Alex,
temani dia.”
“Oke.”
Hazel
pun menghilang ke dapur.
“Kita
sebaiknya menyingkir?” Kevin menggiring Felix, Ariel dan Kian yang sepertinya
kehilangan kesadaran menuju meja lain.
“Siapa
namamu adik kecil?” aku bertanya penasaran. Anak ini punya wajah yang cantik
jelita. Tentunya dia juga punya nama yang indah pula.
“Adline,”
jawabnya riang. Ah, namanya sama bagusnya dengan wajahnya.
“Adline?
Nama yang bagus.” Aku memujinya dengan kegirangan. “Kenapa kau ada di depan
gerbang?”
“Aku
tak tahu Kakak.” Dia menggeleng perlahan.
“Apakah
kau tersesat?” aku bertanya prihatin.
Adline
mengangguk pelan. “Sewaktu aku berjalan, hari sudah gelap. Aku berhenti karena
lapar.”
“Tenang
saja. Kak Hazel akan memberikanmu makanan enak.”
“Kak
Hazel?”
“Ya.
Kakak yang tampan tadi namanya Hazel?”
“Dia
orang baik.”
“Dia
memang orang baik.”
“A-Lex,”
suara Kian terdengar. Aku mengadah, melihat Kian yang berdiri di sampingku. Dia
memberikan tatapan keheranan pada anak itu. Anak itu gemetar melihatnya.
“Kau
menakutinya,” kataku jengkel, menyikut perutnya.
“Aduh,
kaulah yang menakutiku, A-Lex.” Kian memegang perutnya.
“Memangnya
kenapa?” aku bertanya keheranan.
Kian
menatap anak itu, lalu menatapku lagi. Untuk sejenak dia terdiam,
menimang-nimang. Berpikir terlebih dahulu sebelum bicara merupakan ciri
khasnya.
Hazel
muncul, menimpuk kepalanya. “Menyingkir dari hadapan Alex, Kian. Sekarang.”
Kian
menurut dan kembali ke tempat Kevin, Ariel dan Felix yang tengah menonton kami
dengan serius dan wajah pucat.
“Ini
steak-nya,” Hazel meletakan steak yang masih panas ke atas meja.
“Kakak
akan menemaniku makan?” kata Adline.
“Kami
berdua akan menemanimu makan,” kataku cepat dan menarik Hazel duduk
disampingku.
Kami
mengobrol ringan dengan anak itu. Bertanya hal-hal yang biasa dia lakukan. Sesekali
aku melirik ke arah kelompok Kevin. Mereka semua melihat kami dengan ketakutan
seolah kami virus menular. Tak mau dekat-dekat. Tapi jelas-jelas masih ingin
tahu apa yang terjadi karena mereka terus melotot dan mendengarkan.
“Ada
apa dengan mereka?” kataku keheranan pada Hazel.
“Nanti
juga kau tahu,” gumam Hazel pelan.
Adline
selesai makan setengah jam kemudian. Seluruh makananya habis.
“Ah,
kenyang!” kata Adline. “Rasanya enak, Kakak.”
“Terimakasih,”
kata Hazel. “Apakah sekarang kau sudah ingin pulang?”
Adline
menatap Hazel. “Kakak bisa memulangkanku?”
“Kami
akan mengantarmu, Adline,” kataku lembut.
“Ya.
Aku bisa.” Hazel mengangguk pelan. Tersenyum manis.
“Kalau
begitu, aku mau pulang, Kakak,” kata Adline. “Terimakasih atas makanannya,
Kakak. Baru kali ini Adline merasakan makanan seenak itu.”
“Sama-sama,
Adline,” kata Hazel, mengusap kepala Adline dengan lembut. “Sekarang kau bisa
pergi dengan tenang.”
“Dadah!”
Tubuh
Adline memucat sedikit demi sedikit kemudian menghilang begitu saja, menyisakan
bangku yang kosong.
Aku
melongo.
“Dia
sudah pergi?” Kevin bertanya dari tempatnya.
“Sudah,”
jawab Hazel.
He?
Aku masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aku tadi melihat apa?
“Dia
tak akan datang lagi kan? Apa kau sudah memastikan anak itu tak akan
bergentayangan di caféku?” kata Kevin lagi.
“Tidak.
Aku memastikan dia tak akan kembali,” ucap Hazel santai. “Ah, aku capek. Besok harus
masuk kelas. Benar-benar menyebalkan.”
Aku
masih terpaku di tempatku berada.
“Hazel
seorang cenayang, Alex,” Kevin menjelaskan. “Kau ingat waktu pertama kali
bertemu dia bilang kalau dia sudah memanggil cenayang dan mengatakan bahwa café
ini aman-aman saja? Sebenarnya, Hazel-lah yang mengusir mereka semua. Dan tidak
ada hantu yang mau dekat-dekat karena Hazel memang ditakuti para hantu.”
Jadi
maksudmu anak itu tadi hantu? Aku baru saja berbicara dengan hantu begitu?
“Aku
tak menyangka kalau kau bisa melihat hantu juga, Alex,” Kevin menatapku lagi. “Mata
kalian benar-benar mengerikan.”
AAAAARRRRRGH!
Besoknya,
tidak ada seorang pun yang menyungging masalah itu. Dan ada atmosfer yang
mengatakan bahwa “Hantu itu ada” pada setiap penjuru café.
***Midnight Café***
4 komentar:
hahhahaaa
adeh... Alex.. Alex..
masih senewen karena Hazel cocok sama Alex
maaf Kian..
hahhahaaa
adeh... Alex.. Alex..
masih senewen karena Hazel cocok sama Alex
maaf Kian..
hahhahaaa
adeh... Alex.. Alex..
masih senewen karena Hazel cocok sama Alex
maaf Kian..
hahhahaaa
adeh... Alex.. Alex..
masih senewen karena Hazel cocok sama Alex
maaf Kian..
Posting Komentar