5.
Petunjuk Yang Lenyap
“Sudah berapa lama kau kenal Derren?”
“Hm... kira-kira
sudah empat tahun. Aku kenal Derren waktu pertandingan catur se-SMP. Waktu itu
aku rivalnya. Selama aku bertanding dengannya, aku tak pernah menang, lama-lama
aku jadi kesal. Akhirnya dia mengalah hingga aku bisa menang catur darinya. Menurutnya aku ini merepotkan, makanya
dia mengalah. Entah kenapa keberadaanya menjadi amat penting bagiku. Kau juga
pasti bisa merasakan sesatu dalam dirinya.”
“Sesuatu apa?”
“Rasa penasaran.
Selama aku mengenalnya, selama itu pula aku belum pernah melihat dia berteman.
Bisa dikatakan bahwa akulah teman pertama Derren dan satu-satunya baginya, dan
aku bangga atas itu.”
Rai agak tidak
percaya atas perkataan Deva. Mana ada orang yang tidak mau berteman selama
belasan tahun. Sesibuk apapun manusia, setidaknya-tidaknya pasti punya seorang
sahabat.
“Aku datang membawa
orang yang kau tunggu,” kata Deva mengetuk pintu dua kali dan membukanya tanpa
menunggu jawaban. “Baru dua hari aku tidak ke kamarmu dan sekarang terlihat
seperti jaring laba-laba.”
Deva mendengus
jijik ke sekeliling kamar Derren. Rai menganga, kamar Derren—menurutnya—amat
sangat menakjubkan.
Di sekeliling dinding ada begitu banyak monitor yang
masing-masing memberikan tayangan berbeda. Setiap monitor terdapat empat sampai
sepuluh warna kabel yang menjulur entah kemana. Kabel-kabel itu ada yang
menjulur ke atas langit-langit kamar, tempat tidur, notebook, ponsel dan
macam-macam lagi. Ditambah dengan buku-buku berbagai topik yang berserakan dan
kertas-kertas entah apa serta foto-foto yang digantung berjejer di tengah-tengah ruangan membuat kamar itu penuh sesak.
Masalahnya, diantara begitu banyak tumpukan “rongsokan”, Deva dan Rai tidak
menemukan Derren.
“Derren, kau ada di mana?” Deva membungkuk untuk masuk ke kamar Derren. Ada
berbagai macam keping CD menggantung di dekat pintu. “Derren?”
“Aku disini.”
Awalnya Rai dan
Deva mengira kalau ada tangan yang keluar dari antara dokumen yang berserakan.
Ternyata Derren. Dia dan tempat tidurnya tidak kelihatan karena ditutupi
dokumen itu.
“Bangun! Bagaimana
caranya kau bisa tidur di antara sampah
ini?” gerutu Deva melangkahi laptop dan piring berisi pai lemon.
“Aku mengantuk,
baru tidur dua jam, nih. Bukan sampah tapi dokumen penting. Lagipula, aku sudah
membereskan beberapa dari arsip penting lain. Sudah lebih rapi dibanding dengan
tiga jam lalu,” kata Derren dengan suara mengantuk.
“Kau bilang ini
membereskan?” Deva mengulang tidak percaya. “Aku sudah menduga akan begini
jadinya makanya aku tak mau pakai kursi
roda.”
Tidak ada tanggapan
dari Derren kecuali fakta bahwa dia kembali ke alam mimpi dan merasa masa bodoh
untuk apapun. Deva melompati kabel-kabel dan duduk di samping tempat tidur Derren.
“Derren, sudah
berapa lama kau bergadang?” Rai bertanya. Dia berjalan sambil merapat ke
dinding, menghidari monitor-monitor Derren.
“Tiga,” gumam
Derren.
Deva dan Rai
bertatapan. Mereka seakan bertukar pesan kalau mereka sebaiknya membiarkan
Derren istirahat dulu. Deva hendak bagkit dan memutuskan untuk keluar kamar
Derren ketika tiba-tiba monitor nomor delapan berbunyi “pip”
dengan suara keras. Lampu merah dari laptop dan notebook Derren menyala.
Seketika itu pula Derren bangun; menyingkirkan dokumen dari atas tubuhnya dan
segera ke depan laptopnya.
“Ada apa?” Rai dan
Deva bertanya dalam timing bersamaan.
“Ada laporan
masuk,” jawab Derren singkat memakai kacamatanya. Ada lingkaran hitam
disekeliling matanya, kulitnya jauh lebih pucat, tubuhnya lebih kurus dan—ini
agak mengagetkan Rai—ada beberapa helai rambut putih berkilauan diantara
rambutnya.
“Password,”
Derren bergumam sementara tangannya beregerak lincah di atas keyboard.
Layar monitor yang gelap dalam hitungan detik berubah bentuk menjadi seseorang.
Wajah seorang laki-laki dengan paras sempurna, ada semacam luka jahitan di
dahinya. Dibawah kiri monitor ada tulisan: Agen Mike Gregor.
“Ini Hosea WILDWARE
75403 INA 00726,” kata Derren mendekatkan microphone pada headphone
yang dia pakai.
“Diterima Gregor,
Mike SKYLIGHT 66021 SPN 33881,” kata Mike.
“Apa yang kau
dapat, Agen Mike?”
“Top Secret
dari Spanyol.”
Rai dan Deva
langsung semangat. Ada kabar apa dari Spanyol? Siapa Agen Mike Gregor ini?
Kelihatannya bukan orang biasa. Lalu, kenapa dan bagaimana bisa orang seperti
Derren berhubungan dengan orang ini?
“Jaringan ini aman
dari segala macam invasi merugikan. Kau bisa mengatakan secara langsung apa
yang kau dapat, Agen Mike,” kata Derren. Nada bicaranya yang dalam, tenang dan berwibawa membuat Rai, lagi-lagi, harus
takjub.
“Pihak kepolisan
menyembunyikan dying messagge Nico. Semacam teka-teki yang belum jelas.
Aku akan mengirim datanya padamu. Lalu satu hal lagi, Nico meninggal setelah
satu minggu saat Daris meninggalkan Spanyol. Orang-orang yang jadi tersangka
saat masih di Spanyol ketika perkiraan kematian Nico ada tujuh orang. Hanya
saja karena ada alat pembunuhan ditemukan sidik jari Daris, kepolisan terpaksa
membuat Daris jadi pelaku utama, terlebih lagi misteri teka-teki itu belum
dipecahkan sampai saat ini. Jadi kepolisian belum bisa mengambil langkah berani
selain membuat Daris jadi tersangka.”
Derren menopang
dagunya, lembali berpikir. “Ada lagi?”
“Ya. Saat ini
keberadaan uang sebesar 48,7 M yang merupakan keuntungan Crystal masih belum
diketahui keberadaannya. Ada kemungkinan Nico mengetahui sesuatu mengenai
keberadaan uang tersebut dan, mungkin saja, dalam teka-teki itu tersembunyi
sesuatu. Aku akan mengirim dying messagge Nico dan orang-orang yang saat
itu masih di Spanyol ketika pembunuhan itu terjadi beserta keterangannya.”
“Lakukan.”
Mereka bertiga diam
tidak bergeming. Ketika folder berisi dokumen itu dikirim, Derreb varu
berbicara. Ada tulisan “Top Secret has been completed” di layar monitor
miliknya.
“Terima kasih, Agen
Mike,” kata Derren menekan enter, tampilan Agen Mike langsung menghilang.
Derren mengelik folder yang dikirim tadi dan muncullah sekumpulan angka yang
sangat memusingkan dan tak jelas.
D F 5 M C 4 M O –
2 0
1 3 N P S 2
Z
J C I D M Q D Z K
6 Z F T E G L U L 2/
0 J 8 4 R I Z H T 2\
Z S T 8 Y C X L 9
9 3 B 9 O S S W H
8 O 8 4 M A 7 K 8
I N S T 1 0 U T A
X1 X 1 2 3 4 5 6 7 8 F
F1 0 5 4 2 2 2 6 7 3 R
“Derren, kau
mengerti maksud dari angka-angka ini?” Rai bertanya.
“Kalau aku tahu
bukan teka-teki namanya,” timpalnya. “Yang bisa kumengerti saat ini adalah
kalau Ayahku sama sekali tidak bersalah.” Dia kembali mengotak-atik laptopnya.
“Darimana kau kenal
Agen Mike? Mengherankan sekali melihat kau punya seseorang yang melaporkan hal top
secret,” kata Deva menggosok-gosok dagunya.
“Agen Mike adalah
sahabat karib Ibu. Mereka mantan kekasih. Sejak kematian Ibu, dia tak pernah
memunculkan diri lagi. Ketika dia mendengar masalah tentang Ayah, dia mencoba
masuk ke file milik Ayah hanya saja ketahuan olehku. Akhirnya dia mau
bekerja sama setelah dipertimbangkan dengan kepala dingin.”
“Dipertimbangkan
dengan kepala dingin maksudnya sesudah kau ancam begitu?” kata Deva seakan bisa
membaca pikiran Derren.
“Ya, anggap saja
begitu,” kata Derren sambil bergumam. Terdengar suara mesin yang tak jelas
asalnya dari mana dan tiba-tiba saja ada kertas berjatuhan di atas kepala
mereka.
“Apa ini?” Rai
mengambil salah satu kertas bertuliskan “Ellena”.
“Aku perlu mencetak
data yang dikirim Agen Mike,” kata Derren mengambil kertas yang bertuliskan
angka-angka. Deva dan Rai melihat keatas. Di langit-langit yang bolong ada printer
yang sedang bekerja dan kertas-kertas hasil cetakan berjatuhan ke
bawah—tepatnya ke atas kepala mereka. “Tidak ada tempat yang cukup untuk
alat itu, makanya kuletakan di langit-langit.”
Deva dan Rai tidak
berkomentar. Sulit sekali bagi mereka untuk membalas kata-kata Derren.
Sementara mereka terdiam, Derren mulai mengumpulkan data yang baru dicetak dan
sibuk membaca,
“Derren, aku mau
tanya sesuatu. Boleh tidak?” kata Rai ragu.
Derren mengalihkan
pandangannya pada Rai. “Tanya saja.”
“Kenapa kau
meninggalkan dokumen penting ini di kamarku?” kata
Rai menunjukan sebuah map biru tebal. “Apa kau tak merasa kalau benda ini
berharga? Benda ini dapat menunjukan bahwa kau adalah Pemegang Saham Terbesar
di Crystal. Dan satu hal lagi, kenapa kau tidak pernah menjenguk Papamu? Dia
pasti mengkhawatirkanmu!”
Derren diam
beberapa saat. “Pertanyaanmu itu sudah lebih dari satu.”
“Jawab saja!” Rai
mengacuhkan perkataan Derren.
“Dokumen itu lebih
aman jika di rumahmu. Tapi karena sudah kau bawa kemari lebih baik kusimpan
disini saja,” kata Derren sambil lalu; mengalihkan pandangannya lagi pada
kertas di tanganya. “Soal Ayah,” dia kembali melanjutkan “Aku tak mau bertemu
dengannya. Kalau bertemu Ayah saat ini, aku bisa amat marah padanya. Dia menyembunyikan
sesuatu dariku selama belasan tahun. Menyebalkan.”
Devan dan Rai
berpandangan. Memangnya Derren bisa marah?
“Apa yang akan kau
lakukan sekarang?” Rai bertanya lagi.
Derren menatap Rai
dalam waktu lama. Lama sekali sampai akhirnya dia menggeleng perlahan.
“Entahlah. Yang aku tahu sekarang adalah memecahkan kode ini.”
“Kau benar-benar
gila!” Deva protes. “Ayahmu tinggal sedikit lagi masuk ke neraka dunia. Kemarin
kau bilang kau tahu apa yang akan kau lakukan tapi nyatanya tidak ada! Apa sih
yang kau pikirkan?”
“Tidak ada,”
jawabnya enteng.
Deva dan Rai
benar-benar tidak tahu bagaimana jalan pikiran Derren.
“Derren—”
“Ayah tidak pernah
menyayangiku,” Derren bergumam menatap laptopnya. Baru pertama kali Rai melihat
tatapan Derren yang seperti itu. Tatapan menderita. “Selalu sibuk dengan
pekerjaannya; selalu mengaturku untuk melakukan segala hal yang dia inginkan
dan dia tidak pernah peduli perasaanku. Dia...,” Derren berhenti. “tak pernah mengharapkan kelahiranku.”
“Kau bicara apa,
sih?” kata Deva heran.
“Lima tahun lalu
sewaktu Kakek masih hidup, Kakek bilang kalau Ayah pernah mengirimku ke panti
asuhan. Dia sama sekali tidak suka kalau aku lahir,” kata Derren geram.
“Derren, tenangkan
dirimu,” Deva memperingatkan. Kelihatannya Derren mulai kehilangan akal sehat.
Apa mungkin karena kurang tidur?
“Sejak Ibu
meninggal, sekalipun tidak pernah kudengar Ayah menceritakan tentang Ibu. Jika
aku bertanya Ayah selalu membanting apapun yang ada ditangannya. Setelah itu
dia akan sibuk kembali dengan pekerjaannya,” Derren menghela napas sambil
menutup laptopnya. Dia bangkit dan menuju kearah jendela yang tertutup.
“Mungkin Ayah tidak pernah mencintai Ibu. Ayah pasti punya wanita lain yang dia
cintai.”
“Tuan Deva,
minumannya akan ditaruh dimana?” suara Rio kedengaran dari balik pintu; membuat
Deva dan Rai melonjak kaget. “Tuan Hosea, pintunya boleh saya buka?”
“Ya,” jawab Derren
singkat.
Rio membuka pintu
secara perlahan dan tak bisa bergerak untuk beberapa saat. Bukan hanya karena
begitu banyak peralatan tetapi juga karena rasa kaget akan keramaian di
kamar Derren.
“Letakan saja
disitu, Pak Rio,” kata Derren.
“Eh, ya Tuan,” kata
Rio gelagapan. Dia meletakan nampan berisi tiga cangkir teh dan makanan ringan
di depan pintu. “Apa Tuan Hosea butuh petugas untuk membersihkan kamar Anda?
Soalnya kamar Anda agak berantakan.”
Bukan agak tapi sangat, batin Rai menambahkan dalam
hati.
“Tidak,” jawab
Derren singkat. Dia menulis entah apa di kaca jendela.
“Kalau begitu saya
permisi,” kata Rio pelan dan keluar sambil menutup pintu.
“Rai, apa kau
memeriksa isi tasku?” kata Derren masih sibuk menulis di jendela.
“Kau sudah tahu
jawabannya kan? Kalau tidak kuperiksa, aku tidak mungkin ada disini dan
mengantarkan berkas penting itu,” jawab Rai cepat.
“Benar juga,” gumam
Derren, jari telunjuknya berhenti di depan jendela. Derren diam sejenak sambil
menggigit-gigit bibir bawahnya. Kelihatannya dia sedang berpikir penuh.
“Holmes, sambungkan pada J.”
“J? Siapa itu?”
kata Deva bingung mengerutkan dahinya, tapi tangannya bergerak ke dalam saku
celananya sementara tangan yang satunya membuka laptop milik Derren. “Aku belum
pernah mendengar nama itu sebelumnya.”
“Jen Karis, temanku
sejak kecil. Ayahnya Inspektur Kepolisian Yokohama, Jepang. J sendiri adalah
agen rahasia kepolisian Jepang.”
“Kau punya teman
sejak kecil?” Deva mengulang dengan nada lemas. Tampaknya dia sangat kecewa
tidak jadi “teman pertama” bagi Derren. “Kenapa aku tak pernah tahu ya?”
katanya lagi mengotak-atik komputer Derren. “Apa nick-nya?”
“J-EN BOARDLY 00569
JPN 11344,” jawab Derren. “Sebelum dia tanya kau siapa bilang ‘Warning
system. It will be proccessed if you help us’ padanya.”
Deva hanya
mengangguk-angguk saja. Rai yang ada disamping Deva dan tidak mengerti apa-apa
cuma bisa menonton. Deva memakai earphone Derren dan mengelik tulisan
J-EN. Perlu beberapa waktu sampai ada jawaban dari seberang. Rai melihat dengan
jelas ada tanda silang merah pada tulisan J-EN.
“Dia menolak,” Deva
memberitahu Derren. Derren yang mendegar hal itu haya menghela napas sambil
garuk-garuk kepala. “Kau benar-benar kenal dia?”
“Ya. Mungkin dia
masih marah atas kejadian tiga tahun lalu,” kata Derren. Kini dia mengacak
rambutnya. “Hubungi Astyn ZLIBARE 54326 INA 76056.”
“Apa yang terjadi
tiga tahun lalu?” kata Rai penasaran sementara Deva mulai sibuk mengikuti
instruksi Derren.
“Kecemburuan cewek.
J melihatku berciuman dengan Astyn di perpustakaan. Sejak hari itu dia tak mau
bicara denganku, padahal hubungan kami cuma teman biasa.”
Deva dan Rai saling
pandang. Tapi perhatian Deva teralih ketika layar laptop berubah warna menjadi
jingga cerah.
“Warning system.
It will be proccessed if you help us,” kata Deva mengucapkan kata-kata yang
tadi diperintahkan Derren.
“Us?” ulang
suara diseberang. “How many people there?”
Derren melompati
kabel-kabel dan menunduk melewati foto-foto yang dia gantung sambil mendekatkan
diri pada Deva dan bilang, “Hosea WILDWARE 75403 INA 00726 needs your help
and top secret agent.”
“Selalu seperti
itu.”
Layar jingga itu
berubah warna dan menunjukan wajah seorang gadis berwajah Indo yang cantik.
Gadis itu merapikan rambutnya sedikit lalu menatap mereka. “Halo, Hosea! Apa
kabar? Lama tak bertemu ya?”
“Ya. Kabarku kurang
baik dan butuh sedikit bantuanmu,” kata Derren pada earphone di
telinga Deva. Rai melihat Astyn mendengus sedikit.
“Sikapmu tidak
berubah ya? Kau hanya menghubungiku kalau kau butuh bantuan. Bagaimana kalau
kita bertemu besok?”
“Aku butuh sebuah
ruangan kosong yang diisi dengan beberapa monitor dan alat-alat canggih
penyelidikan,” Derren berbicara seakan tidak mendengar Astyn.
“Saat kita bertemu
nanti baru kuputuskan untuk menyediakan permintaanmu atau tidak,” Astyn
ikut-ikutan melakukan hal yang dilakukan Derren.
Derren diam
sejenak, kelihatannya dia agak kesal ada seseorang yang tidak menuruti
keinginannya. Tapi menurut Rai, pelajaran seperti itu amat perlu bagi Derren.
Kalau tidak diajari sejak dini, Derren bisa menjadi diktator di masa depan.
“Terima kasih, tapi
kurasa aku minta tolong gadis lain saja. Deva hubungi Charlotte—”
“Baik. Akan aku
sediakan,” kata Astyn cepat sebelum Derren memutuskan hubungan. “Jangan lupa
transfer bayarannya ke rekeningku. Oh iya, kutunggu kau di Yena Cafe. Sudah
ya?”
Hubungan langsung
terputus ketika Astyn selesai bicara. Rai dan Deva melirik Derren yang
menyentil monitor laptop dengan kesal.
“Dasar cewek keras
kepala,” gerutu Derren kesal.
“Kau akan pergi?”
Deva bertanya, melepaskan earphone Derren.
“Tidak,” jawab
Derren melirik Rai. Deva juga ikut-ikutan melihat arah tatapan Derren. Rai
mengerutkan dahinya dengan panik.
“Apa?” kata Rai.
“Kau yang akan
pergi.”
“Ha?”
***
Rai mendelik kesal
dan melihat kearah jam tangannya. Sudah pukul empat sore. Gadis berama Astyn
itu telat sejam. Rai bahkan sudah menghabiskan tiga gelas jus jeruk dan
menelepon Derren empat kali. Kemarin dia berteriak-teriak dan protes tentang
ide bodoh Derren yang satu ini. Tapi percuma saja, si Diktator itu mematahkan
penjelasan panjang Rai dengan satu pertanyaan, “Kau mau membantuku tidak?”
Tidak ada cara lain
bagi Rai selain menerima ide bodoh ini. Walaupun menggerutu, Derren
kelihatannya tidak merasa terganggu. Dia tetap aman di sarangnya yang penuh
kertas dan kabel itu. Dia bisa mendengar dan melihat pergerakan Rai melalui
kamera pengawas dan transfer phonetic yang sudah terhubung dengan
laptopnya itu.
“Sabarlah
menunggu,” suara Deva terdengar di dekat telinganya melalui earphone
mini yang terhubung ke telinganya. “Sebentar lagi dia pasti datang. Tenang
saja, aku mengawasi dari sini.”
Tugas Rai adalah
menggantikan peran Derren untuk menemui Astyn dan tugas Deva adalah
mengawasi—menguntit lebih tepatnya—di suatu tempat yang tidak diketahui Rai. Tapi jelas Deva dapat melihat dan
mengetahui keadaan Rai dengan jelas.
“Ada gadis datang,”
Deva memberitahu. “Lima meter di belakangmu.”
Rai gugup. Dia
meneguk jus jeruknya dengan terburu-buru. Pura-pura tidak tahu, Rai membaca
buku—buku yang dia pinjam dari Derren.
“Hosea?” kata gadis
itu pada Rai tepat saat Deva berbisik, “Ingat kata Derren.”
“Ya,” kata Rai
singkat dan datar, sedikit demi sedikit dia menurunkan buku yang baru dia buka
itu layaknya Derren yang bersikap tidak peduli.
“Maaf, aku telat.
Kau belum lama menunggu kan?” kata Astyn duduk disampingnya.
Enak saja! Aku
sudah menunggu sejam tahu! Rai membatin
dongkol dalam hati. Dia kesal sekali melihat wajah Astyn yang masih
tenang-tenang saja dan tidak merasa bersalah sedikitpun. Kalau Derren kesal,
apa yang akan dikatakannya, ya?
“Sebenarnya aku
lebih suka mengerjakan sesuatu yang berguna di rumah daripada menunggu cewek
lelet selama sejam,” kata Rai menaikan bukunya kembali. Dia tersenyum penuh
kemenangan di balik bukunya. Deva memujinya takjub.
“Keren, Man!
Kayak Derren! Persis!”
“Jangan marah
begitu, dong,” kata Astyn dengan wajah penuh bujukan. Jujur saja, bagi Rai
wajah Astyn sangat cantik. Sulit untuk tidak menatapnya. Tapi Deva lagi-lagi
mengingatkan, “Ingat kata Derren.” Sekali lagi padanya sehingga mata Rai, mau
tidak mau, kembali menatap buku.
“Astyn cewek yang
penuh bujukan. Berhati-hati padanya. Dia ular.” Itu kata Derren kemarin.
“Kau berubah, ya.
Kau kelihatan lebih enak dipandang daripada pucat pasi.”
“Makasih,” kata Rai
berusaha membuat suaranya terdengar biasa walau hatinya melonjak kegirangan.
Baru kali ini ada yang bilang bahwa dia lebih baik daripada Derren.
“Sekarang caramu
membaca juga berubah. Bukunya terbalik.”
Rai baru sadar.
Pantas saja dia tidak tahu apa tulisan buku itu. Rai buru-buru membalikan
bukunya sementara di telinganya Deva tertawa geli.
“Kau benar. Aku
sudah bosan pakai cara membaca biasa, jadi lebih sedikit menantang kalau
terbalik. Kau tak tahu ya kalau gayaku ini lagi tren?” Rai membela diri. Deva
makin tertawa ngakak, “Tren apanya?”
Astyn mengerutkan
dahinya, tapi dia tidak mengatakan apapun. Mereka akhirnya cuma ngobrol biasa
yang kebanyakan dijawab Rai atas bantuan Deva. Astyn sepertinya amat menyukai
Derren. Dia selalu bicara tentang kehidupan Derren dulu sewaktu SMP dan selalu
mendesak apa saat ini Derren punya pacar atau tidak. Rai juga penasaran,
mungkin dia akan menanyakan hal ini juga pada Derren.
“Saat ini aku tidak
mau membahas itu,” kata Rai dengan nada datar. “Tidak berguna sama sekali.
Sekarang lebih baik kauberikan saja hal yang kaujanjikan.”
“Kau selalu saja
terburu-buru,” Astyn menggerutu. Dia membuka tas tangannya dan mengeluarkan
sekumpulan kunci yang bergerincing. “Aku sudah menyiapkan sebuah gedung
untukmu. Ada tiga lantai dan masing-masing memiliki sepuluh kamar. Aku sudah
menyiapkan peralatan yang lengkap di lantai empat tiga. Ada pertanyaan?”
“Ya. Kapan aku bisa
pindah?” kata Rai mengikuti perkataan Deva.
“Hari ini kau juga
bisa pindah. Tapi jangan lupa untuk membayar peralatan itu, ya? Biayanya akan
kukirim ke alamat kantormu.”
“Ya. Baiklah.”
***
“Aku pulang, Mama,”
kata Rai membuka pintu rumah. Sesaat setelah dia masuk, dia melihat Sandra
sedang berbicara pada seorang pria, yang dikenali Rai sebagai Dirsa.
“Derren, akhirnya
kau pulang,” Dirsa bangkit berdiri dan segera kearah Rai.
Rai melirik Sandra
yang alisnya sekarang mulai mengerut, begitu juga dengan alis Rai. Rai
bertanya-tanya dalam hati bagaimana caranya Dirsa bisa ada disini. Dan jika
Dirsa mengenal Mamanya, seharusnya dia dipanggil “Rai” bukannya “Derren”.
“Masa’ kau tidak
ingat aku?” kata Dirsa ketika melihat wajah keheranan Rai.
“Ya. Aku ingat,”
jawab Rai. Dia bingung harus bersikap seperti apa. “Mau apa kau datang kesini?”
“Tentu saja karena
aku mencemaskanmu,” jawab Dirsa.
Perasaan Rai
semakin tidak menentu. Jika Dirsa nanti membicarakan masalah keluarga Derren di
depan Sandra, segalanya bisa kacau. Apa nanti yang harus dia jelaskan jika
Sandra bertanya? Dia terjepit ditengah-tengah.
“Kenapa kau pergi
dari rumah? Aku kan sudah bilang kalau kita harus menjenguk Ayahmu.”
Ini benar-benar
gawat! Saat Rai melihat kerutan di dahi Sandra semakin dalam, Rai tahu satu hal
kalau Dirsa belum mengatakan apaun mengenai Dirsa pada Sandra. Rai harus segera
melakukan sesuatu sebelum Dirsa merusak rencana Derren. Pertama-tama Rai akan
mengusir Dirsa dulu dari rumahnya.
“Erm... aku akan
kesana. Besok. Sendirian,” kata Rai gugup.
“Tidak, tidak,”
Dirsa geleng-geleng kepala. “Ayahmu sudah memercayakan keamananmu padaku. Kita
akan kesana bersama-sama. Bagaimana jika aku menjemputmu besok siang sekitar
pukul sebelas?”
“Er—ya, baiklah,”
kata Rai cepat-cepat menyudahi perkataan Dirsa. Menurutnya, Dirsa harus segera
pergi dari rumahnya sebelum Sandra bertanya macam-macam atau semuanya bisa
kacau. Rai bisa ketahuan kalau dia berpura-pura sebagai Derren. “Sekarang kau
bisa pulang.”
Dirsa diam sejenak,
tapi dia langsung pamitan pada Sandra dan Rai, dan pulang tanpa berlama-lama
lagi. Rai melirik kearah Sandra, yang mengantarkan Dirsa sampai ke depan pintu,
dan sudah dapat menduga kalau Sandra akan bertanya.
“Rai, bisa kau
jelaskan pada Mama kenapa laki-laki tadi memanggilmu dengan nama ‘Derren’?”
kata Sandra. Dia mengecak pinggang dan menatap Rai tajam-tajam.
“Itu karena aku
punya wajah yang sama persis seperti wajah Derren,” jawab Rai.
“Mama tahu kalau
wajah kalian mirip. Tapi kenapa kau tidak membantah ketika dipanggil ‘Derren’
olehnya?”
Rai mengadah.
Heran.
“Mama sadar kalau
wajah kami mirip?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu
bagaimana caranya Mama mengenali kami?”
“Rai Azusha,
sepertinya kau lupa kalau wanita yang ada dihadapanmu ini adalah orang tuamu.
Tidak pernah ada orang tua yang salah membedakan anaknya,” katanya lagi dengan
nada menaik. “Apa yang kau rencanakan bersama Derren? Apa kau berniat
membantunya mengeluarkan Daris dari masalah?”
“Mama yang
memintaku untuk membantunya kan?” timpal Rai tidak mau kalah. “Aku hanya
menyamar sebagai dia saja kok untuk sementara waktu.”
“Maksudmu kau mau
menggantikan Derren menemui Ayahnya? Kalau Daris tahu bahwa kau bukan anaknya,
bagaimana? Dia bisa mengira kalau kau menculik Derren!”
“Aku hanya
mengikuti—tunggu dulu, memangnya aku pernah memberitahu Mama kalau Daris dan
Derren adalah Ayah dan Anak?”
“Itu urusan Mama.
Jawab saja pertanyaan Mama!”
Rai cemberut, tapi
toh dia menjawab juga. “Aku hanya mengikuti perkataan Derren saja. Dia bilang
punya cara dan penyelidikan kami sudah masuk ke tahap selanjutnya. Mama tenang
saja, ada banyak orang yang membantu kami.”
“Banyak orang itu siapa
saja?”
“Entahlah. Banyak
sekali teman Derren yang membantunya. Semuanya menuruti perkataannya.”
“Begitu ya. Dia
memang mirip Daris,” gumam Sandra. “Kau sudah bisa makan malam.”
Rai hanya
mengangguk. Kelihatannya Mamanya dan Papa Derren saling kenal bahkan mungkin
punya hubungan. Suatu hubungan khusus, mungkin. Karena menurut publik, tidak
ada yang tahu tentang kehidupan pribadi Daris.
“Rai, hubungi
Derren dan katakan apa yang terjadi disini. Katakan juga padanya untuk
berhati-hati.”
“Hati-hati?”
“Daris punya banyak
musuh dalam selimut.”
Sandra masuk ke
dalam kamar, lalu menghela napas. Hampir saja dia mengatakan sesuatu yang
terlarang. Sandra membuka laci di samping tempat tidurnya dan mengembil
selembar foto. Di foto itu ada seorang gadis berambut hitam panjang yang
rambutnya diikat. Gadis itu memakai topi yang miring di kepalanya, wajahnya
cantik dan berkulit putih, gayanya tomboy. Dia memeluk harimau besar yang duduk
disebelahnya.
“Elliana, Putramu
benar-benar mirip denganmu. Maafkan aku yang merusak kebahagiaanmu.”
***
Derren duduk di
sofa putih yang empuk dan memperhatikan ke sekeliling ruangannya yang luas.
Tadi sore dia langsung pindah ke gedung yang diberikan Astyn dan baru selesai
beres-beres ketika jam menunjukan pukul dua dini hari. Segala peralatan yang
dibutuhkannya sudah tersedia tanpa kabel yang menjulur kesana kemari.
“Tidak boleh ada
kabel!” Deva menuntut seperti itu. “Nanti aku tak bisa pakai kursi roda disini!
Lagipula kalau ada kabel yang rusak bisa bahaya! Kalau kau kesetrum bagaimana?”
Derren merebahkan
tubuhnya dan merasakan kesunyian yang amat terasa di ruangannya. Tidak ada yang
terdengar di sepanjang gedung ini.
Aneh, biasanya aku
suka sekali ketenangan tanpa suara seperti ini. Tapi kenapa sekarang terasa
lain sekali, ya? Sepi.
Drrrrrt...
drrrrrt... drrrrrrt... drrrrrt....
Ponsel metalik
Derren bergetar di ujung ruangan.
Derren membiarkannya. Dia malah membelakangi tempat ponselnya berada.
Drrrrrt...
drrrrrt... drrrrrrt... drrrrrt....
Derren menutup
matanya secara perlahan. Tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Selama lebih dari
sebulan pikirannya sibuk dengan urusan Ayahnya. Belum lagi tidak pernah tidur
dengan cukup.
Pip.
“Ini Derren, saat
ini tak bisa dihubungi. Silakan tinggalkan pesan setelah bunyi berikut. Ting
tong.”
“Derren, ini Ayah.
Ayah tahu kalau kau pasti ada dan sedang mendengarkan Ayah.”
Derren tidak
bergerak, membuka matanya pun tidak.
“Tanggal dua puluh
tiga Oktober nanti akan ada sidang ketiga. Sekitar empat hari lagi. Kalau kau
bisa, sebelum sidang itu... Ayah ingin bertemu denganmu. Ayah kangen padamu.
Sudah dulu, ya. Kalau kau mau, lebih baik tidak terlalu memaksakan dirimu. Ayah
sangat mencemaskanmu. Jangan membenci Ayah, ya? Karena jika kau membenci Ayah,
tidak ada alasan bagi Ayah untuk hidup.”
Trek...
tut...tut...
Tangan Derren
mengepal, bibirnya bergetar, setetes air mata bergulir. “Pembohong,” gumam
Derren. Dengan kepala yang sedikit sakit, Derren mulai tidur dan terbawa mimpi.
“Derren, Ayahmu sebenarnya pernah mengirimmu ke panti
asuhan sesudah Ibumu meninggal. Untung saja Kakek membawamu kembali, kalau
tidak entah apa yang terjadi padamu sekarang.”
“Kenapa Ayah tidak
menginginkanku?”
“Ayahmu mencintai
wanita lain dan menikahinya. Entah kenapa wanita itu pergi meninggalkannya.
Lalu karena frustasi, Ayahmu melampiaskannya pada Ibumu, yang dulunya adalah
sahabat Ayahmu. Bagi Ayahmu, kehadiranmu adalah sebuah kecelakaan...”
“Tidak! Itu
bohong!”
“Kakek minta maaf,
Derren. Kakek mengatakan ini padamu menjelang ajal Kakek. Itu adalah cerita
versi Ayahmu. Tapi sebenarnya Ayahmu...”
“Derren!”
Derren membuka
matanya dan melihat wajah Rai yang diteramangi cahanya lampu.
“Sampaikan
permintaan maaf Kakek pada mereka.”
“Kau baik-baik
saja?” kata Rai dengan wajah cemas. Derren terduduk, wajahnya berkeringat, begitu juga dengan tubuhnya. “Kau gemetaran. Mimpi
buruk?”
“Iya. Buruk
sekali,” Derren mengangguk, menyeka keringatnya dengan ujung lengan baju
putihnya. “Kenapa kau ada disini? Bagaimana caranya kau bisa masuk? Aku kan
tidak memberitahumu mengenai kepindahanku.”
Rai mengerjap.
Sepertinya Derren sudah kembali menjadi dirinya sendiri. “Memang. Aku ke rumah
Deva sekitar jam tujuh tadi. Dia bilang kalau kau sudah pindah dan memberiku
kunci duplikat kamarmu. Dia juga bilang cara untuk masuk ke sini.”
“Oh,” kata Derren.
Dia melihat jam dinding. Sudah pukul sembilan pagi. “Kalau mau datang kemari
seharusnya kau meneleponku terlebih dahulu.”
“Sudah. Tapi kau
tidak mengangkatnya. Ada sekitar dua puluh lima panggilan tidak terjawab di
ponselmu. Nih,” Rai memberikan ponsel Derren. “Kau mematikan deringnya, sih.
Lihat dulu, apakah ada telepon penting yang masuk atau tidak.”
“Tidak ada yang
penting. Ada perlu apa kau ke sini?” kata
Derren kembali meletakan ponselnya ke atas meja tanpa dipersiksa terlebih
dahulu.
“Kemarin Dirsa
datang ke rumahku dan dia mengajakku, sebagai kau, untuk bertemu Papamu. Aku
datang kesini cuma mau tanya, apa tidak sebaiknya kau saja yang datang kesana?
Dia kan Papamu bukan Papaku.”
Derren menatap
lantai dalam diam. Dia jadi ingat pesan Daris tadi pagi. Kalau kau bisa
sebelum sidang itu, Ayah ingin bertemu denganmu. Ayah kangen padamu.
“Bagaimana?”
“Kau saja yang
pergi.”
“Tapi—”
“Katakan padanya
aku juga sangat merindukannya. Hanya saja...”
“Hanya saja apa?”
“Bukan apa-apa.”
Derren bangkit dari
sofa dan meregangkan tubuhnya. Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka
serta menggosok gigi. Setelah keluar dari kamar mandi, masih dengan wajah
basah, dia menuju ke dapur dan membawa piring berisi roti selai cokelat.
“Mau?” Derren menawarkan
roti pada Rai sementara di mulutnya tergantung roti. Rai meraih roti yang
diberikan Derren. Rasanya lumayan enak. “Jadi, kapan kau dan Dirsa pergi
bertemu Ayah?”
“Pukul sebelas
nanti.”
“Hmmm,” kata Derren
manggut-manggut. “Hati-hati, ya.”
“Kau juga. Mama
bilang Papamu punya banyak musuh dalam selimut.”
“Tanpa kau katakan
pun aku juga sudah tahu.”
***
0 komentar:
Posting Komentar