RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 Januari 2013

Derren dan Rai Eps 5


5.
Petunjuk Yang Lenyap
 “Sudah berapa lama kau kenal Derren?”
“Hm... kira-kira sudah empat tahun. Aku kenal Derren waktu pertandingan catur se-SMP. Waktu itu aku rivalnya. Selama aku bertanding dengannya, aku tak pernah menang, lama-lama aku jadi kesal. Akhirnya dia mengalah hingga aku bisa menang catur darinya. Menurutnya aku ini merepotkan, makanya dia mengalah. Entah kenapa keberadaanya menjadi amat penting bagiku. Kau juga pasti bisa merasakan sesatu dalam dirinya.”
“Sesuatu apa?”
“Rasa penasaran. Selama aku mengenalnya, selama itu pula aku belum pernah melihat dia berteman. Bisa dikatakan bahwa akulah teman pertama Derren dan satu-satunya baginya, dan aku bangga atas itu.”
Rai agak tidak percaya atas perkataan Deva. Mana ada orang yang tidak mau berteman selama belasan tahun. Sesibuk apapun manusia, setidaknya-tidaknya pasti punya seorang sahabat.
“Aku datang membawa orang yang kau tunggu,” kata Deva mengetuk pintu dua kali dan membukanya tanpa menunggu jawaban. “Baru dua hari aku tidak ke kamarmu dan sekarang terlihat seperti jaring laba-laba.”
Deva mendengus jijik ke sekeliling kamar Derren. Rai menganga, kamar Derren—menurutnya—amat sangat menakjubkan.
Di sekeliling dinding ada begitu banyak monitor yang masing-masing memberikan tayangan berbeda. Setiap monitor terdapat empat sampai sepuluh warna kabel yang menjulur entah kemana. Kabel-kabel itu ada yang menjulur ke atas langit-langit kamar, tempat tidur, notebook, ponsel dan macam-macam lagi. Ditambah dengan buku-buku berbagai topik yang berserakan dan kertas-kertas entah apa serta foto-foto yang digantung berjejer di tengah-tengah ruangan membuat kamar itu penuh sesak. Masalahnya, diantara begitu banyak tumpukan “rongsokan”, Deva dan Rai tidak menemukan Derren.
“Derren, kau ada di mana?” Deva membungkuk untuk masuk ke kamar Derren. Ada berbagai macam keping CD menggantung di dekat pintu. “Derren?”
“Aku disini.”
Awalnya Rai dan Deva mengira kalau ada tangan yang keluar dari antara dokumen yang berserakan. Ternyata Derren. Dia dan tempat tidurnya tidak kelihatan karena ditutupi dokumen itu.
“Bangun! Bagaimana caranya kau bisa tidur di antara sampah ini?” gerutu Deva melangkahi laptop dan piring berisi pai lemon.
“Aku mengantuk, baru tidur dua jam, nih. Bukan sampah tapi dokumen penting. Lagipula, aku sudah membereskan beberapa dari arsip penting lain. Sudah lebih rapi dibanding dengan tiga jam lalu,” kata Derren dengan suara mengantuk.
“Kau bilang ini membereskan?” Deva mengulang tidak percaya. “Aku sudah menduga akan begini jadinya makanya aku  tak mau pakai kursi roda.”
Tidak ada tanggapan dari Derren kecuali fakta bahwa dia kembali ke alam mimpi dan merasa masa bodoh untuk apapun. Deva melompati kabel-kabel dan duduk di samping tempat tidur Derren.
“Derren, sudah berapa lama kau bergadang?” Rai bertanya. Dia berjalan sambil merapat ke dinding, menghidari monitor-monitor Derren.
“Tiga,” gumam Derren.
Deva dan Rai bertatapan. Mereka seakan bertukar pesan kalau mereka sebaiknya membiarkan Derren istirahat dulu. Deva hendak bagkit dan memutuskan untuk keluar kamar Derren ketika tiba-tiba monitor nomor delapan berbunyi “pip” dengan suara keras. Lampu merah dari laptop dan notebook Derren menyala. Seketika itu pula Derren bangun; menyingkirkan dokumen dari atas tubuhnya dan segera ke depan laptopnya.
“Ada apa?” Rai dan Deva bertanya dalam timing bersamaan.
“Ada laporan masuk,” jawab Derren singkat memakai kacamatanya. Ada lingkaran hitam disekeliling matanya, kulitnya jauh lebih pucat, tubuhnya lebih kurus dan—ini agak mengagetkan Rai—ada beberapa helai rambut putih berkilauan diantara rambutnya.
Password,” Derren bergumam sementara tangannya beregerak lincah di atas keyboard. Layar monitor yang gelap dalam hitungan detik berubah bentuk menjadi seseorang. Wajah seorang laki-laki dengan paras sempurna, ada semacam luka jahitan di dahinya. Dibawah kiri monitor ada tulisan: Agen Mike Gregor.
“Ini Hosea WILDWARE 75403 INA 00726,” kata Derren mendekatkan microphone pada headphone yang dia pakai.
“Diterima Gregor, Mike SKYLIGHT 66021 SPN 33881,” kata Mike.
“Apa yang kau dapat, Agen Mike?”
Top Secret dari Spanyol.”
Rai dan Deva langsung semangat. Ada kabar apa dari Spanyol? Siapa Agen Mike Gregor ini? Kelihatannya bukan orang biasa. Lalu, kenapa dan bagaimana bisa orang seperti Derren berhubungan dengan orang ini?
“Jaringan ini aman dari segala macam invasi merugikan. Kau bisa mengatakan secara langsung apa yang kau dapat, Agen Mike,” kata Derren. Nada bicaranya yang dalam, tenang dan berwibawa membuat Rai, lagi-lagi, harus takjub.
“Pihak kepolisan menyembunyikan dying messagge Nico. Semacam teka-teki yang belum jelas. Aku akan mengirim datanya padamu. Lalu satu hal lagi, Nico meninggal setelah satu minggu saat Daris meninggalkan Spanyol. Orang-orang yang jadi tersangka saat masih di Spanyol ketika perkiraan kematian Nico ada tujuh orang. Hanya saja karena ada alat pembunuhan ditemukan sidik jari Daris, kepolisan terpaksa membuat Daris jadi pelaku utama, terlebih lagi misteri teka-teki itu belum dipecahkan sampai saat ini. Jadi kepolisian belum bisa mengambil langkah berani selain membuat Daris jadi tersangka.”
Derren menopang dagunya, lembali berpikir. “Ada lagi?”
“Ya. Saat ini keberadaan uang sebesar 48,7 M yang merupakan keuntungan Crystal masih belum diketahui keberadaannya. Ada kemungkinan Nico mengetahui sesuatu mengenai keberadaan uang tersebut dan, mungkin saja, dalam teka-teki itu tersembunyi sesuatu. Aku akan mengirim dying messagge Nico dan orang-orang yang saat itu masih di Spanyol ketika pembunuhan itu terjadi beserta keterangannya.”
“Lakukan.”
Mereka bertiga diam tidak bergeming. Ketika folder berisi dokumen itu dikirim, Derreb varu berbicara. Ada tulisan “Top Secret has been completed” di layar monitor miliknya.
“Terima kasih, Agen Mike,” kata Derren menekan enter, tampilan Agen Mike langsung menghilang. Derren mengelik folder yang dikirim tadi dan muncullah sekumpulan angka yang sangat memusingkan dan tak jelas.
D         F          5          M         C         4          M         O        
2          0          1         3          N         P          S          2          Z
J           C         I           D         M         Q         D         Z          K
6          Z          F          T          E          G         L          U         L                      2/
0          J           8          4          R         I           Z          H         T                      2\
Z          S          T          8          Y         C         X         L          9
9          3          B         9          O         S          S          W        H
8          O         8          4          M         A         7          K         8
I           N         S          T          1          0          U         T          A

X1        X         1          2          3          4          5          6          7          8          F
F1         0          5          4          2          2          2          6          7          3          R

“Derren, kau mengerti maksud dari angka-angka ini?” Rai bertanya.
“Kalau aku tahu bukan teka-teki namanya,” timpalnya. “Yang bisa kumengerti saat ini adalah kalau Ayahku sama sekali tidak bersalah.” Dia kembali mengotak-atik laptopnya.
“Darimana kau kenal Agen Mike? Mengherankan sekali melihat kau punya seseorang yang melaporkan hal top secret,” kata Deva menggosok-gosok dagunya.
“Agen Mike adalah sahabat karib Ibu. Mereka mantan kekasih. Sejak kematian Ibu, dia tak pernah memunculkan diri lagi. Ketika dia mendengar masalah tentang Ayah, dia mencoba masuk ke file milik Ayah hanya saja ketahuan olehku. Akhirnya dia mau bekerja sama setelah dipertimbangkan dengan kepala dingin.”
“Dipertimbangkan dengan kepala dingin maksudnya sesudah kau ancam begitu?” kata Deva seakan bisa membaca pikiran Derren.
“Ya, anggap saja begitu,” kata Derren sambil bergumam. Terdengar suara mesin yang tak jelas asalnya dari mana dan tiba-tiba saja ada kertas berjatuhan di atas kepala mereka.
“Apa ini?” Rai mengambil salah satu kertas bertuliskan “Ellena”.
“Aku perlu mencetak data yang dikirim Agen Mike,” kata Derren mengambil kertas yang bertuliskan angka-angka. Deva dan Rai melihat keatas. Di langit-langit yang bolong ada printer yang sedang bekerja dan kertas-kertas hasil cetakan berjatuhan ke bawah—tepatnya ke atas kepala mereka. “Tidak ada tempat yang cukup untuk alat itu, makanya kuletakan di langit-langit.”
Deva dan Rai tidak berkomentar. Sulit sekali bagi mereka untuk membalas kata-kata Derren. Sementara mereka terdiam, Derren mulai mengumpulkan data yang baru dicetak dan sibuk membaca,
“Derren, aku mau tanya sesuatu. Boleh tidak?” kata Rai ragu.
Derren mengalihkan pandangannya pada Rai. “Tanya saja.”
“Kenapa kau meninggalkan dokumen penting ini di kamarku?” kata Rai menunjukan sebuah map biru tebal. “Apa kau tak merasa kalau benda ini berharga? Benda ini dapat menunjukan bahwa kau adalah Pemegang Saham Terbesar di Crystal. Dan satu hal lagi, kenapa kau tidak pernah menjenguk Papamu? Dia pasti mengkhawatirkanmu!”
Derren diam beberapa saat. “Pertanyaanmu itu sudah lebih dari satu.”
“Jawab saja!” Rai mengacuhkan perkataan Derren.
“Dokumen itu lebih aman jika di rumahmu. Tapi karena sudah kau bawa kemari lebih baik kusimpan disini saja,” kata Derren sambil lalu; mengalihkan pandangannya lagi pada kertas di tanganya. “Soal Ayah,” dia kembali melanjutkan “Aku tak mau bertemu dengannya. Kalau bertemu Ayah saat ini, aku bisa amat marah padanya. Dia menyembunyikan sesuatu dariku selama belasan tahun. Menyebalkan.”
Devan dan Rai berpandangan. Memangnya Derren bisa marah?
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” Rai bertanya lagi.
Derren menatap Rai dalam waktu lama. Lama sekali sampai akhirnya dia menggeleng perlahan. “Entahlah. Yang aku tahu sekarang adalah memecahkan kode ini.”
“Kau benar-benar gila!” Deva protes. “Ayahmu tinggal sedikit lagi masuk ke neraka dunia. Kemarin kau bilang kau tahu apa yang akan kau lakukan tapi nyatanya tidak ada! Apa sih yang kau pikirkan?”
“Tidak ada,” jawabnya enteng.
Deva dan Rai benar-benar tidak tahu bagaimana jalan pikiran Derren.
“Derren—”
“Ayah tidak pernah menyayangiku,” Derren bergumam menatap laptopnya. Baru pertama kali Rai melihat tatapan Derren yang seperti itu. Tatapan menderita. “Selalu sibuk dengan pekerjaannya; selalu mengaturku untuk melakukan segala hal yang dia inginkan dan dia tidak pernah peduli perasaanku. Dia...,” Derren berhenti. “tak pernah mengharapkan kelahiranku.”
“Kau bicara apa, sih?” kata Deva heran.
“Lima tahun lalu sewaktu Kakek masih hidup, Kakek bilang kalau Ayah pernah mengirimku ke panti asuhan. Dia sama sekali tidak suka kalau aku lahir,” kata Derren geram.
“Derren, tenangkan dirimu,” Deva memperingatkan. Kelihatannya Derren mulai kehilangan akal sehat. Apa mungkin karena kurang tidur?
“Sejak Ibu meninggal, sekalipun tidak pernah kudengar Ayah menceritakan tentang Ibu. Jika aku bertanya Ayah selalu membanting apapun yang ada ditangannya. Setelah itu dia akan sibuk kembali dengan pekerjaannya,” Derren menghela napas sambil menutup laptopnya. Dia bangkit dan menuju kearah jendela yang tertutup. “Mungkin Ayah tidak pernah mencintai Ibu. Ayah pasti punya wanita lain yang dia cintai.”
“Tuan Deva, minumannya akan ditaruh dimana?” suara Rio kedengaran dari balik pintu; membuat Deva dan Rai melonjak kaget. “Tuan Hosea, pintunya boleh saya buka?”
“Ya,” jawab Derren singkat.
Rio membuka pintu secara perlahan dan tak bisa bergerak untuk beberapa saat. Bukan hanya karena begitu banyak peralatan tetapi juga karena rasa kaget akan keramaian di kamar Derren.
“Letakan saja disitu, Pak Rio,” kata Derren.
“Eh, ya Tuan,” kata Rio gelagapan. Dia meletakan nampan berisi tiga cangkir teh dan makanan ringan di depan pintu. “Apa Tuan Hosea butuh petugas untuk membersihkan kamar Anda? Soalnya kamar Anda agak berantakan.”
Bukan agak tapi sangat, batin Rai menambahkan dalam hati.
“Tidak,” jawab Derren singkat. Dia menulis entah apa di kaca jendela.
“Kalau begitu saya permisi,” kata Rio pelan dan keluar sambil menutup pintu.
“Rai, apa kau memeriksa isi tasku?” kata Derren masih sibuk menulis di jendela.
“Kau sudah tahu jawabannya kan? Kalau tidak kuperiksa, aku tidak mungkin ada disini dan mengantarkan berkas penting itu,” jawab Rai cepat.
“Benar juga,” gumam Derren, jari telunjuknya berhenti di depan jendela. Derren diam sejenak sambil menggigit-gigit bibir bawahnya. Kelihatannya dia sedang berpikir penuh. “Holmes, sambungkan pada J.”
“J? Siapa itu?” kata Deva bingung mengerutkan dahinya, tapi tangannya bergerak ke dalam saku celananya sementara tangan yang satunya membuka laptop milik Derren. “Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya.”
“Jen Karis, temanku sejak kecil. Ayahnya Inspektur Kepolisian Yokohama, Jepang. J sendiri adalah agen rahasia kepolisian Jepang.”
“Kau punya teman sejak kecil?” Deva mengulang dengan nada lemas. Tampaknya dia sangat kecewa tidak jadi “teman pertama” bagi Derren. “Kenapa aku tak pernah tahu ya?” katanya lagi mengotak-atik komputer Derren. “Apa nick-nya?”
“J-EN BOARDLY 00569 JPN 11344,” jawab Derren. “Sebelum dia tanya kau siapa bilang ‘Warning system. It will be proccessed if you help us’ padanya.”
Deva hanya mengangguk-angguk saja. Rai yang ada disamping Deva dan tidak mengerti apa-apa cuma bisa menonton. Deva memakai earphone Derren dan mengelik tulisan J-EN. Perlu beberapa waktu sampai ada jawaban dari seberang. Rai melihat dengan jelas ada tanda silang merah pada tulisan J-EN.
“Dia menolak,” Deva memberitahu Derren. Derren yang mendegar hal itu haya menghela napas sambil garuk-garuk kepala. “Kau benar-benar kenal dia?”
“Ya. Mungkin dia masih marah atas kejadian tiga tahun lalu,” kata Derren. Kini dia mengacak rambutnya. “Hubungi Astyn ZLIBARE 54326 INA 76056.”
“Apa yang terjadi tiga tahun lalu?” kata Rai penasaran sementara Deva mulai sibuk mengikuti instruksi Derren.
“Kecemburuan cewek. J melihatku berciuman dengan Astyn di perpustakaan. Sejak hari itu dia tak mau bicara denganku, padahal hubungan kami cuma teman biasa.”
Deva dan Rai saling pandang. Tapi perhatian Deva teralih ketika layar laptop berubah warna menjadi jingga cerah.
Warning system. It will be proccessed if you help us,” kata Deva mengucapkan kata-kata yang tadi diperintahkan Derren.
Us?” ulang suara diseberang. “How many people there?
Derren melompati kabel-kabel dan menunduk melewati foto-foto yang dia gantung sambil mendekatkan diri pada Deva dan bilang, “Hosea WILDWARE 75403 INA 00726 needs your help and top secret agent.”
“Selalu seperti itu.”
Layar jingga itu berubah warna dan menunjukan wajah seorang gadis berwajah Indo yang cantik. Gadis itu merapikan rambutnya sedikit lalu menatap mereka. “Halo, Hosea! Apa kabar? Lama tak bertemu ya?”
“Ya. Kabarku kurang baik dan butuh sedikit bantuanmu,” kata Derren pada earphone di telinga Deva. Rai melihat Astyn mendengus sedikit.
“Sikapmu tidak berubah ya? Kau hanya menghubungiku kalau kau butuh bantuan. Bagaimana kalau kita bertemu besok?”
“Aku butuh sebuah ruangan kosong yang diisi dengan beberapa monitor dan alat-alat canggih penyelidikan,” Derren berbicara seakan tidak mendengar Astyn.
“Saat kita bertemu nanti baru kuputuskan untuk menyediakan permintaanmu atau tidak,” Astyn ikut-ikutan melakukan hal yang dilakukan Derren.
Derren diam sejenak, kelihatannya dia agak kesal ada seseorang yang tidak menuruti keinginannya. Tapi menurut Rai, pelajaran seperti itu amat perlu bagi Derren. Kalau tidak diajari sejak dini, Derren bisa menjadi diktator di masa depan.
“Terima kasih, tapi kurasa aku minta tolong gadis lain saja. Deva hubungi Charlotte—”
“Baik. Akan aku sediakan,” kata Astyn cepat sebelum Derren memutuskan hubungan. “Jangan lupa transfer bayarannya ke rekeningku. Oh iya, kutunggu kau di Yena Cafe. Sudah ya?”
Hubungan langsung terputus ketika Astyn selesai bicara. Rai dan Deva melirik Derren yang menyentil monitor laptop dengan kesal.
“Dasar cewek keras kepala,” gerutu Derren kesal.
“Kau akan pergi?” Deva bertanya, melepaskan earphone Derren.
“Tidak,” jawab Derren melirik Rai. Deva juga ikut-ikutan melihat arah tatapan Derren. Rai mengerutkan dahinya dengan panik.
“Apa?” kata Rai.
“Kau yang akan pergi.”
“Ha?”
***
Rai mendelik kesal dan melihat kearah jam tangannya. Sudah pukul empat sore. Gadis berama Astyn itu telat sejam. Rai bahkan sudah menghabiskan tiga gelas jus jeruk dan menelepon Derren empat kali. Kemarin dia berteriak-teriak dan protes tentang ide bodoh Derren yang satu ini. Tapi percuma saja, si Diktator itu mematahkan penjelasan panjang Rai dengan satu pertanyaan, “Kau mau membantuku tidak?”
Tidak ada cara lain bagi Rai selain menerima ide bodoh ini. Walaupun menggerutu, Derren kelihatannya tidak merasa terganggu. Dia tetap aman di sarangnya yang penuh kertas dan kabel itu. Dia bisa mendengar dan melihat pergerakan Rai melalui kamera pengawas dan transfer phonetic yang sudah terhubung dengan laptopnya itu.
“Sabarlah menunggu,” suara Deva terdengar di dekat telinganya melalui earphone mini yang terhubung ke telinganya. “Sebentar lagi dia pasti datang. Tenang saja, aku mengawasi dari sini.”
Tugas Rai adalah menggantikan peran Derren untuk menemui Astyn dan tugas Deva adalah mengawasi—menguntit lebih tepatnya—di suatu tempat yang tidak diketahui Rai. Tapi jelas Deva dapat melihat dan mengetahui keadaan Rai dengan jelas.
“Ada gadis datang,” Deva memberitahu. “Lima meter di belakangmu.”
Rai gugup. Dia meneguk jus jeruknya dengan terburu-buru. Pura-pura tidak tahu, Rai membaca buku—buku yang dia pinjam dari Derren.
“Hosea?” kata gadis itu pada Rai tepat saat Deva berbisik, “Ingat kata Derren.”
“Ya,” kata Rai singkat dan datar, sedikit demi sedikit dia menurunkan buku yang baru dia buka itu layaknya Derren yang bersikap tidak peduli.
“Maaf, aku telat. Kau belum lama menunggu kan?” kata Astyn duduk disampingnya.
Enak saja! Aku sudah menunggu sejam tahu! Rai membatin dongkol dalam hati. Dia kesal sekali melihat wajah Astyn yang masih tenang-tenang saja dan tidak merasa bersalah sedikitpun. Kalau Derren kesal, apa yang akan dikatakannya, ya?
“Sebenarnya aku lebih suka mengerjakan sesuatu yang berguna di rumah daripada menunggu cewek lelet selama sejam,” kata Rai menaikan bukunya kembali. Dia tersenyum penuh kemenangan di balik bukunya. Deva memujinya takjub.
“Keren, Man! Kayak Derren! Persis!”
“Jangan marah begitu, dong,” kata Astyn dengan wajah penuh bujukan. Jujur saja, bagi Rai wajah Astyn sangat cantik. Sulit untuk tidak menatapnya. Tapi Deva lagi-lagi mengingatkan, “Ingat kata Derren.” Sekali lagi padanya sehingga mata Rai, mau tidak mau, kembali menatap buku.
“Astyn cewek yang penuh bujukan. Berhati-hati padanya. Dia ular.” Itu kata Derren kemarin.
“Kau berubah, ya. Kau kelihatan lebih enak dipandang daripada pucat pasi.”
“Makasih,” kata Rai berusaha membuat suaranya terdengar biasa walau hatinya melonjak kegirangan. Baru kali ini ada yang bilang bahwa dia lebih baik daripada Derren.
“Sekarang caramu membaca juga berubah. Bukunya terbalik.”
Rai baru sadar. Pantas saja dia tidak tahu apa tulisan buku itu. Rai buru-buru membalikan bukunya sementara di telinganya Deva tertawa geli.
“Kau benar. Aku sudah bosan pakai cara membaca biasa, jadi lebih sedikit menantang kalau terbalik. Kau tak tahu ya kalau gayaku ini lagi tren?” Rai membela diri. Deva makin tertawa ngakak, “Tren apanya?”
Astyn mengerutkan dahinya, tapi dia tidak mengatakan apapun. Mereka akhirnya cuma ngobrol biasa yang kebanyakan dijawab Rai atas bantuan Deva. Astyn sepertinya amat menyukai Derren. Dia selalu bicara tentang kehidupan Derren dulu sewaktu SMP dan selalu mendesak apa saat ini Derren punya pacar atau tidak. Rai juga penasaran, mungkin dia akan menanyakan hal ini juga pada Derren.
“Saat ini aku tidak mau membahas itu,” kata Rai dengan nada datar. “Tidak berguna sama sekali. Sekarang lebih baik kauberikan saja hal yang kaujanjikan.”
“Kau selalu saja terburu-buru,” Astyn menggerutu. Dia membuka tas tangannya dan mengeluarkan sekumpulan kunci yang bergerincing. “Aku sudah menyiapkan sebuah gedung untukmu. Ada tiga lantai dan masing-masing memiliki sepuluh kamar. Aku sudah menyiapkan peralatan yang lengkap di lantai empat tiga. Ada pertanyaan?”
“Ya. Kapan aku bisa pindah?” kata Rai mengikuti perkataan Deva.
“Hari ini kau juga bisa pindah. Tapi jangan lupa untuk membayar peralatan itu, ya? Biayanya akan kukirim ke alamat kantormu.”
“Ya. Baiklah.”
***
“Aku pulang, Mama,” kata Rai membuka pintu rumah. Sesaat setelah dia masuk, dia melihat Sandra sedang berbicara pada seorang pria, yang dikenali Rai sebagai Dirsa.
“Derren, akhirnya kau pulang,” Dirsa bangkit berdiri dan segera kearah Rai.
Rai melirik Sandra yang alisnya sekarang mulai mengerut, begitu juga dengan alis Rai. Rai bertanya-tanya dalam hati bagaimana caranya Dirsa bisa ada disini. Dan jika Dirsa mengenal Mamanya, seharusnya dia dipanggil “Rai” bukannya “Derren”.
“Masa’ kau tidak ingat aku?” kata Dirsa ketika melihat wajah keheranan Rai.
“Ya. Aku ingat,” jawab Rai. Dia bingung harus bersikap seperti apa. “Mau apa kau datang kesini?”
“Tentu saja karena aku mencemaskanmu,” jawab Dirsa.
Perasaan Rai semakin tidak menentu. Jika Dirsa nanti membicarakan masalah keluarga Derren di depan Sandra, segalanya bisa kacau. Apa nanti yang harus dia jelaskan jika Sandra bertanya? Dia terjepit ditengah-tengah.
“Kenapa kau pergi dari rumah? Aku kan sudah bilang kalau kita harus menjenguk Ayahmu.”
Ini benar-benar gawat! Saat Rai melihat kerutan di dahi Sandra semakin dalam, Rai tahu satu hal kalau Dirsa belum mengatakan apaun mengenai Dirsa pada Sandra. Rai harus segera melakukan sesuatu sebelum Dirsa merusak rencana Derren. Pertama-tama Rai akan mengusir Dirsa dulu dari rumahnya.
“Erm... aku akan kesana. Besok. Sendirian,” kata Rai gugup.
“Tidak, tidak,” Dirsa geleng-geleng kepala. “Ayahmu sudah memercayakan keamananmu padaku. Kita akan kesana bersama-sama. Bagaimana jika aku menjemputmu besok siang sekitar pukul sebelas?”
“Er—ya, baiklah,” kata Rai cepat-cepat menyudahi perkataan Dirsa. Menurutnya, Dirsa harus segera pergi dari rumahnya sebelum Sandra bertanya macam-macam atau semuanya bisa kacau. Rai bisa ketahuan kalau dia berpura-pura sebagai Derren. “Sekarang kau bisa pulang.”
Dirsa diam sejenak, tapi dia langsung pamitan pada Sandra dan Rai, dan pulang tanpa berlama-lama lagi. Rai melirik kearah Sandra, yang mengantarkan Dirsa sampai ke depan pintu, dan sudah dapat menduga kalau Sandra akan bertanya.
“Rai, bisa kau jelaskan pada Mama kenapa laki-laki tadi memanggilmu dengan nama ‘Derren’?” kata Sandra. Dia mengecak pinggang dan menatap Rai tajam-tajam.
“Itu karena aku punya wajah yang sama persis seperti wajah Derren,” jawab Rai.
“Mama tahu kalau wajah kalian mirip. Tapi kenapa kau tidak membantah ketika dipanggil ‘Derren’ olehnya?”
Rai mengadah. Heran.
“Mama sadar kalau wajah kami mirip?”
“Tentu saja.”
“Kalau begitu bagaimana caranya Mama mengenali kami?”
“Rai Azusha, sepertinya kau lupa kalau wanita yang ada dihadapanmu ini adalah orang tuamu. Tidak pernah ada orang tua yang salah membedakan anaknya,” katanya lagi dengan nada menaik. “Apa yang kau rencanakan bersama Derren? Apa kau berniat membantunya mengeluarkan Daris dari masalah?”
“Mama yang memintaku untuk membantunya kan?” timpal Rai tidak mau kalah. “Aku hanya menyamar sebagai dia saja kok untuk sementara waktu.”
“Maksudmu kau mau menggantikan Derren menemui Ayahnya? Kalau Daris tahu bahwa kau bukan anaknya, bagaimana? Dia bisa mengira kalau kau menculik Derren!”
“Aku hanya mengikuti—tunggu dulu, memangnya aku pernah memberitahu Mama kalau Daris dan Derren adalah Ayah dan Anak?”
“Itu urusan Mama. Jawab saja pertanyaan Mama!”
Rai cemberut, tapi toh dia menjawab juga. “Aku hanya mengikuti perkataan Derren saja. Dia bilang punya cara dan penyelidikan kami sudah masuk ke tahap selanjutnya. Mama tenang saja, ada banyak orang yang membantu kami.”
“Banyak orang itu siapa saja?”
“Entahlah. Banyak sekali teman Derren yang membantunya. Semuanya menuruti perkataannya.”
“Begitu ya. Dia memang mirip Daris,” gumam Sandra. “Kau sudah bisa makan malam.”
Rai hanya mengangguk. Kelihatannya Mamanya dan Papa Derren saling kenal bahkan mungkin punya hubungan. Suatu hubungan khusus, mungkin. Karena menurut publik, tidak ada yang tahu tentang kehidupan pribadi Daris.
“Rai, hubungi Derren dan katakan apa yang terjadi disini. Katakan juga padanya untuk berhati-hati.”
“Hati-hati?”
“Daris punya banyak musuh dalam selimut.”
Sandra masuk ke dalam kamar, lalu menghela napas. Hampir saja dia mengatakan sesuatu yang terlarang. Sandra membuka laci di samping tempat tidurnya dan mengembil selembar foto. Di foto itu ada seorang gadis berambut hitam panjang yang rambutnya diikat. Gadis itu memakai topi yang miring di kepalanya, wajahnya cantik dan berkulit putih, gayanya tomboy. Dia memeluk harimau besar yang duduk disebelahnya.
“Elliana, Putramu benar-benar mirip denganmu. Maafkan aku yang merusak kebahagiaanmu.”
***
Derren duduk di sofa putih yang empuk dan memperhatikan ke sekeliling ruangannya yang luas. Tadi sore dia langsung pindah ke gedung yang diberikan Astyn dan baru selesai beres-beres ketika jam menunjukan pukul dua dini hari. Segala peralatan yang dibutuhkannya sudah tersedia tanpa kabel yang menjulur kesana kemari.
“Tidak boleh ada kabel!” Deva menuntut seperti itu. “Nanti aku tak bisa pakai kursi roda disini! Lagipula kalau ada kabel yang rusak bisa bahaya! Kalau kau kesetrum bagaimana?”
Derren merebahkan tubuhnya dan merasakan kesunyian yang amat terasa di ruangannya. Tidak ada yang terdengar di sepanjang gedung ini.
Aneh, biasanya aku suka sekali ketenangan tanpa suara seperti ini. Tapi kenapa sekarang terasa lain sekali, ya? Sepi.
Drrrrrt... drrrrrt... drrrrrrt... drrrrrt....
Ponsel metalik Derren bergetar di ujung ruangan. Derren membiarkannya. Dia malah membelakangi tempat ponselnya berada.
Drrrrrt... drrrrrt... drrrrrrt... drrrrrt....
Derren menutup matanya secara perlahan. Tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Selama lebih dari sebulan pikirannya sibuk dengan urusan Ayahnya. Belum lagi tidak pernah tidur dengan cukup.
Pip.
“Ini Derren, saat ini tak bisa dihubungi. Silakan tinggalkan pesan setelah bunyi berikut. Ting tong.”
“Derren, ini Ayah. Ayah tahu kalau kau pasti ada dan sedang mendengarkan Ayah.”
Derren tidak bergerak, membuka matanya pun tidak.
“Tanggal dua puluh tiga Oktober nanti akan ada sidang ketiga. Sekitar empat hari lagi. Kalau kau bisa, sebelum sidang itu... Ayah ingin bertemu denganmu. Ayah kangen padamu. Sudah dulu, ya. Kalau kau mau, lebih baik tidak terlalu memaksakan dirimu. Ayah sangat mencemaskanmu. Jangan membenci Ayah, ya? Karena jika kau membenci Ayah, tidak ada alasan bagi Ayah untuk hidup.”
Trek... tut...tut...
Tangan Derren mengepal, bibirnya bergetar, setetes air mata bergulir. “Pembohong,” gumam Derren. Dengan kepala yang sedikit sakit, Derren mulai tidur dan terbawa mimpi.
“Derren, Ayahmu sebenarnya pernah mengirimmu ke panti asuhan sesudah Ibumu meninggal. Untung saja Kakek membawamu kembali, kalau tidak entah apa yang terjadi padamu sekarang.”
“Kenapa Ayah tidak menginginkanku?”
“Ayahmu mencintai wanita lain dan menikahinya. Entah kenapa wanita itu pergi meninggalkannya. Lalu karena frustasi, Ayahmu melampiaskannya pada Ibumu, yang dulunya adalah sahabat Ayahmu. Bagi Ayahmu, kehadiranmu adalah sebuah kecelakaan...”
“Tidak! Itu bohong!”
“Kakek minta maaf, Derren. Kakek mengatakan ini padamu menjelang ajal Kakek. Itu adalah cerita versi Ayahmu. Tapi sebenarnya Ayahmu...”
“Derren!”
Derren membuka matanya dan melihat wajah Rai yang diteramangi cahanya lampu.
“Sampaikan permintaan maaf Kakek pada mereka.”
“Kau baik-baik saja?” kata Rai dengan wajah cemas. Derren terduduk, wajahnya berkeringat, begitu juga dengan tubuhnya. “Kau gemetaran. Mimpi buruk?”
“Iya. Buruk sekali,” Derren mengangguk, menyeka keringatnya dengan ujung lengan baju putihnya. “Kenapa kau ada disini? Bagaimana caranya kau bisa masuk? Aku kan tidak memberitahumu mengenai kepindahanku.”
Rai mengerjap. Sepertinya Derren sudah kembali menjadi dirinya sendiri. “Memang. Aku ke rumah Deva sekitar jam tujuh tadi. Dia bilang kalau kau sudah pindah dan memberiku kunci duplikat kamarmu. Dia juga bilang cara untuk masuk ke sini.”
“Oh,” kata Derren. Dia melihat jam dinding. Sudah pukul sembilan pagi. “Kalau mau datang kemari seharusnya kau meneleponku terlebih dahulu.”
“Sudah. Tapi kau tidak mengangkatnya. Ada sekitar dua puluh lima panggilan tidak terjawab di ponselmu. Nih,” Rai memberikan ponsel Derren. “Kau mematikan deringnya, sih. Lihat dulu, apakah ada telepon penting yang masuk atau tidak.”
“Tidak ada yang penting. Ada perlu apa kau ke sini?” kata Derren kembali meletakan ponselnya ke atas meja tanpa dipersiksa terlebih dahulu.
“Kemarin Dirsa datang ke rumahku dan dia mengajakku, sebagai kau, untuk bertemu Papamu. Aku datang kesini cuma mau tanya, apa tidak sebaiknya kau saja yang datang kesana? Dia kan Papamu bukan Papaku.”
Derren menatap lantai dalam diam. Dia jadi ingat pesan Daris tadi pagi. Kalau kau bisa sebelum sidang itu, Ayah ingin bertemu denganmu. Ayah kangen padamu.
“Bagaimana?”
“Kau saja yang pergi.”
“Tapi—”
“Katakan padanya aku juga sangat merindukannya. Hanya saja...”
“Hanya saja apa?”
“Bukan apa-apa.”
Derren bangkit dari sofa dan meregangkan tubuhnya. Dia berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka serta menggosok gigi. Setelah keluar dari kamar mandi, masih dengan wajah basah, dia menuju ke dapur dan membawa piring berisi roti selai cokelat.
“Mau?” Derren menawarkan roti pada Rai sementara di mulutnya tergantung roti. Rai meraih roti yang diberikan Derren. Rasanya lumayan enak. “Jadi, kapan kau dan Dirsa pergi bertemu Ayah?”
“Pukul sebelas nanti.”
“Hmmm,” kata Derren manggut-manggut. “Hati-hati, ya.”
“Kau juga. Mama bilang Papamu punya banyak musuh dalam selimut.”
“Tanpa kau katakan pun aku juga sudah tahu.”
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.