6.
Pencobaan Penculikan
Rai merapikan
pakaiannya dan memakai kacamata supaya kelihatan seperti Derren. Semoga saja
Daris percaya kalau dia adalah Derren sama seperti Dirsa yang menerimanya bahwa
dia adalah Derren. Kalaupun ketahuan, Rai berharap Daris tidak menuntutnya
karena alasan penipuan.
“Yup, aku sudah
mirip Derren,” kata Rai percaya diri. Dia melihat dirinya di depan cermin dan
merasa puas. Dengan tambahan topi putih, tidak akan ada yang menyadari kalau
dia “Derren Palsu”.
“Rai, Dirsa sudah
datang,” suara Sandra terdengar dari balik pintu kamarnya.
“Ya. Aku segera
keluar, Mama.”
Rai memakai iPod
pinjaman yang diberikan Derren dan segera melesat keluar pintu. Di depan pintu
rumah sudah ada Dirsa dengan pakaian lengkap ala kantoran. Dia berpamitan pada
Sandra dengan ramah dan penuh senyum lalu membawa Rai ke mobil hitam miliknya.
Dia bahkan membukakan pintu untuk Rai.
Sandra menghela
napas ketika mobil Derren berbelok di tikungan dan diikuti mobil perak lain
beberapa meter di belakangnya. Sandra hendak masuk ke dalam rumahnya, namun
tidak jadi karena ada yang memanggil namanya.
Sandra berbalik dan
melihat sosok Derren—yang berpakaian serba putih—berdiri dihadapannya. Wajha
Derren lebih pucat dari sebelumnya. Namun Derren terlihat lebih rapi tanpa
kemejanya.
“Derren?” Sandra
terheran-heran dengan kedatangan Derren yang tiba-tiba. “Rai baru saja pergi.”
“Aku tahu.”
Sandra semakin
heran. “Lalu?”
“Aku punya
pertanyaan untuk Anda jika Anda tidak keberatan.”
Sandra mengerutkan
dahi. Bingung. Dia menatap wajah Derren yang serius.
“Baiklah. Apa itu?”
Derren menggigit
bibir. Dia mengeluarkan suara pelan yang dapat di dengar Sandra dengan jelas.
“Aku tahu semuanya.”
“Eh?”
Wajah Sandra pucat.
Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak. Mustahil Derren mengetahui
semuanya. Daris tidak akan pernah menceritakan apapun. Dia pasti salah dengar.
“Aku tahu hubungan
Anda, Ayah dan Elliana. Kakek sudah menceritakan semuanya. Yang ingin aku
dengar saat ini adalah pernyataan dari Anda. Aku ingin dengar kejujuran.”
“Kejujuran?” Sandra
mengulang dengan gugup.
“Alasan kenapa Ayah
membenciku, apakah karena Anda?”
***
Sementara itu,
didalam mobil Dirsa, Rai mendengarkan musik yang diputar oleh salah satu tape
Dirsa. Sesekali terdengar suara Dirsa yang bersenandung mengikuti lirik lagu.
Rai melihat keluar jendela dan melihat bangunan Crystal Pertama Group. Dahi Rai
mengerut.
“Bukankah kita sudah dua kali lewat jalan ini?” tanya Rai heran.
“Kau sadar juga ya?
Aku sengaja.”
“Kenapa?”
Dirsa melihat
kearah kaca spion dan menghela napas panjang. Setelah itu dengan wajah serius
dia bilang, “Mobil ford merah yang ada di belakang membuntuti kita terus. Aku
tidak tahu sejak kapan, tapi sejak aku melewati jalan yang tidak perlu, mobil
itu ada di
belakang kita terus.”
Rai merasa kalau
ada sesuatu yang tidak beres. “Kau yakin?”
“Tentu saja. Kita
sudah dua kali lewat jalan ini. Namun, dia masih di belakang kita. Apa itu
tidak aneh?”
“Benar juga.”
Rai melihat ke
belakang. Memang ada mobil ford merah mengikuti mereka. Perlahan-lahan, Rai
mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Derren.
Mobil kami diikuti.
Dan segera dia
menghapus pesan itu.
Pesan Rai sampai
dan berbunyi di ponsel Derren. Derren membuka ponselnya dan membaca pesan Rai
sebelum dia masuk ke mobil. Raut wajah Derren langsung berubah ketika membaca
pesan itu, dan masuk secara terburu-buru ke dalam mobil hijau yang terparkir di
perempatan jalan.
“Ada apa?” kata
Deva yang duduk di bangku supir. Dia heran melihat wajah Derren yang terlihat
panik ketika membuka pintu disampingnya.
“Rai diikuti. Kita
susul mereka,” kata Derren sambil memasang seat belt-nya.
“Caranya?”
Derren menghela
napas. Dia membalikan kaca spion tengah dan menariknya ke bawah. Segera saja
tampak monitor berkotak-kotak hijau. Ada titik warna merah yang berkelap-kelip
dan bergerak secara perlahan. “Begini caranya.”
Deva terpaku sesaat
melihat Derren dan monitor yang baru dimunculkannya dengan cara ajaib. Luar biasa.
Sejak kapan Derren memasukan monitor di mobil pribadinya? Jangan-jangan selain
monitor ada lagi benda lain yang dia masukan.
“Apa kau
mengotak-atik mobilku?” Deva memindahkan kopling.
“Anggap saja begitu.”
“Berapa banyak
benda yang kau masukan?”
“Cukup banyak.”
“Apa kau memasukan
alat pelacak ke tubuh Rai?”
“Tidak. Ke ponsel
Rai. Jangan banyak tanya. Konsentrasi saja pada kemudi.”
Deva memonyongkan
mulutnya, dia kesal pada sikap Derren. Tetapi dia tetap menurut apa kata
Derren. Kalau Derren yang menyuruh, selalu tidak ada alasan untuk menolak.
Mobil hitam milik
Dirsa berhenti di depan kantor polisi yang menunjukan pamflet nama besar
berwarna emas. Ketika melihat bangunan besar itu. Entah kenapa Rai jadi takut.
Bagaimana kalau misalnya Daris tahu kalau dia bukan Derren walaupun wajah
mereka mirip? Daris pasti akan melaporkannya dan segera memenjarakan Rai dengan
alasan penipuan dan penculikan terhadap Derren.
“Tenang saja, kau
tidak akan dilaporkan dengan alasan apapun soalnya Ayah akan mengira kalau kau
adalah aku.”
Itu kata Derren
tadi pagi ketika Rai bertanya dengan nada cemas.
“Derren, ayo,” kata
Dirsa yang membukakan pintu untuk Rai. “Kau tak perlu takut begitu. Orang-orang
yang mengejar kita sudah tidak ada. Kau aman,” kata Dirsa lagi sewaktu melihat wajah
cemas Rai.
“Erm... ya.”
Rai melangkahkan
kakinya keluar dari mobil. Dia bersama-sama dengan Dirsa mendatangi salah satu
polisi yang duduk di belakang meja.
“Permisi, Pak,”
kata Dirsa. Polisi berwajah galak itu mengadah. “Maaf, mengganggu pekerjaan Anda.”
“Tidak masalah. Ada
yang bisa saya bantu?” kata polisi itu dengan wajah ramah.
“Kami ingin
menjenguk Tuan Daris Harryawan.”
“Kalau boleh saya
tahu, apa hubungan saudara dengan Tuan Daris?”
“Saya Dirsa,
Manager Keuangan Crystal Pertama Group, Asisten Pribadi dan orang kepercayaan
Daris Harryawan. Lalu anak ini adalah Hosea Daris Harryawan, Putra Tunggal
Daris Harryawan.”
Wajah Rai panas
ketika polisi itu menatapnya. Dia sekarang adalah “Hosea Derren Harryawan”,
Putra Daris Harryawan; ada perasaan bahagia di hati Rai. Selama ini belum
pernah dia dipanggil dengan kata “Putra dari”. Diam-diam Rai berharap agar
Daris memeluknya. Dia ingin merasakan kehangatan seorang Papa. Sandra tak
pernah sekalipun membicarakan tentang Papa-nya.
“Kalian beruntung,
hari ini ada jam khusus. Raja, antar mereka bertemu Tuan Daris.”
Polisi bernama Raja
berdiri tegak. “Silakan lewat sini.”
“Jangan gugup ya,”
kata Dirsa mengedipkan matanya ketika mereka mengikuti polisi itu. “Mungkin
banyak orang yang menemani Ayahmu. Ayahmu pasti senang melihatmu.”
“Semoga saja.”
Ya. Rai berharap
begitu.
“Daris Harryawan,
kau kedatangan penjenguk lagi,” kata Polisi Raja membuka salah satu pintu
tertutup. Saat pintu itu menggeser, Rai kaget melihat orang-orang yang ada di
dalam; Kolas, Jeff, Willy, Ellena dan yang dikenali Rai sebagai Daris dan
mereka semua melihar kerah Dirsa dan Rai.
“Dirsa mau apa kau
datang kemari?” kata Ellena tercengang. Dia menatap Rai dengan alis mengerut. “Siapa anak itu? Kenapa kau bawa dia kemari?”
“Aku datang untuk
menjenguk Pak Presidir,” kata Dirsa kalem. “dan kebetulan bertemu dengan anak
ini. Jadi kuajak saja dia ikut denganku untuk bertemu Pak Presidir.” Dirsa
menepuk bahu Rai.
“Apa hubungan anak
itu dengan Daris?” kata Ellena lagi.
“Loh? Kupikir
anggota direksi sudah tahu. Dia Hosea Derren Harryawan, Putra dari Presidir
kita,” kata Dirsa memperkenalkan Rai. “Bukan begitu, Pak Presidir?”
Rai menatap Daris
yang diam saja. Jika memperhatikan lebih seksama, Daris lebih kelihatan kurus
dan lebih pucat daripada di TV. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya.
“Ah... hm...” Daris
melihat kearah lain sambil bergumam tak jelas.
“Jadi, kau sudah
menikah? Kapan? Jangan-jangan anak ini adalah pemegang saham yang dibicarakan
itu? Benar begitu, Daris?”
“Itu bukan
urusanmu, Ellena,” gumam Daris, masih melihat ke arah lain.
“Jelas urusanku!
Aku ini pemegang saham dan aku mencintaimu! Aku tidak percaya kau punya wanita
lain selain aku!” kata Ellena, suaranya menaik. “Berani-beraninya kau meniduri
seorang wanita sampai punya anak sebesar ini! Kau sudah membohongiku!”
“Sudah kukatakan
berulang kali kan? Aku hanya mencintai seorang wanita dan belum ada yang bisa
menggantikannya hingga saat ini. Maaf.”
Ellena menggigit
bibirnya. Air matanya menetes menjatuhi pipinya yang putih. “Dua puluh tahun...
dua puluh tahun aku menunggumu, Daris...”
“Maaf, Ellena. Aku
sudah coba tapi tidak bisa.”
Ellena mengumpat,
lalu dia pergi sambil menangis tersedu-sedu. Rai jadi tidak enak pada Daris.
Dia muncul di
saat yang tidak tepat. Walau bagaimana pun, Rai kagum
pada Daris. Rai kagum pada sosok Daris yang hanya mencintai satu orang wanita.
Tapi Rai bertanya-tanya dalam hati. Orang yang dicintai Daris itu, Mamanya Rai
atau wanita lain?
“Mungkin Ayah tidak
pernah mencintai Ibu. Ayah pasti punya wanita lain yang dia cintai.”
Kasihan Derren...
“Kasihan Ellena,
Daris. Dia mencintaimu sepenuh hati dan menunggumu selama dua puluh tahun, dan
kau mengakhirinya hanya dengan kata ‘maaf’. Aku rasa dia pasti sangat terluka,”
kata Jeff pada Daris yang hanya diam. “Banyak pria yang melamarnya tapi dia
tolak hanya karena alasan mencintaimu.”
“Tolong hentikan,
Jeff,” kata Daris. “Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu kalau salah,” kata
Daris lagi. “Hanya saja aku bukan tipe orang yang bisa membohongi perasaan
disini.” Daris memegang dadanya.
“Wowo, telingaku
jadi sakit mendengarnya. Aku tak percaya ternyata presidir orang yang berperasaan,”
Kolas mencemooh.
“Berhenti
menyindir, Papaku!” kata Rai tiba-tiba. Entah kenapa dia jadi panas saat
mendengar kata-kata itu. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia yakin kalau Daris
orang baik. “Apa salahnya menjadi orang yang jujur pada diri sendiri?
Setidaknya dia lebih baik darimu yang tahunya hanya menjelek-jelekan pekerjaan
orang lain!”
“Jangan sok
mentang-mentang kau itu pemegang saham terbesar, Derren,” kata Kolas dengan
nada sebal. “Kau tidak tahu aku ini siapa?”
“Tolong hentikan,
oke?” kata Willy berdiri di atas meja. “Sesama anggota Crystal Pertama Group
dilarang bertengkar. Ini bisa merusak fondasi yang selama ini kita bangun.”
“Aku setuju,” kata
Jeff. “Bersaing boleh, tapi jangan sampai
menghancurkan kerjasama Crystal,” tambahnya menurunkan Willy.
“Baiklah aku diam,”
kata Kolas melipat tangan.
“Bisakah kalian
meninggalkan kami berdua?” kata Daris pelan. Willy, Jeff, Kolas dan Dirsa
berpandangan. Tak jelas siapa yang memberi instruksi, seakan mengerti, mereka
keluar dari ruangan itu.
Rai menatap Daris.
“Ah... aku...”
“Bagaimana keadaan
Derren? Apa dia cukup makan? Apa dia cukup tidur? Dia tidak sakit kan? Tidak
dikejar-kejar orang aneh kan?”
Dahi Rai mengerut
dalam. “Anda bisa... mengenali kami?”
Untuk pertama
kalinya, Rai melihat Daris tersenyum. Tapi bagi Rai itu bukan senyum
kebahagiaan tapi senyum kepedihan. Kepedihan yang ditanggung Daris seorang
diri; rasa saat dia ditinggalkan anaknya, Derren, sendirian.
“Dilihat secara
sekilas kalian memang mirip, tapi bagaimanapun aku adalah Ayahnya. Aku tidak
mungkin salah mengenali anakku.”
Rai jadi ingat
perkataan Sandra kemarin. Dan akibat itu Rai jadi merasa bersalah. “Maaf...
saya tidak...”
“Tidak apa,” Daris
memotong. “Kau pasti disuruh Derren. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyanya
lagi dengan senyuman.
“Nama saya Rai...
Rai Azusha.”
“Rai Azusha,” Daris
mengulang pelan. “Apa kau
akrab dengan Derren?”
“Bisa dibilang
begitu.”
“Begitu ya?” gumam
Daris lagi “Derren sehat kan? Apa dia tidak kesepian?”
“Saya rasa tidak.
Dia punya banyak teman,” kata Rai lagi.
“Baguslah. Di rumah
dia selalu mengurung diri di kamar. Selama enam belas tahun, belum pernah
sekalipun aku memeluknya, menanyakan kabarnya, menanyakan dia bahagia atau
tidak, bahkan datang ke kamarnya. Semenjak dia lahir, aku tidak pernah
menyentuhnya dengan tanganku. Aku bersalah padanya.”
“Apakah Anda
membenci Derren?” tiba-tiba Rai bertanya dan dia langsung menyesal menanyakan
itu. Itu pertanyaan yang salah. Tidak seharusnya dia menanyakan itu. Itu topik
tertutup. Derren-lah yang pantas menanyakan itu bukan dia.
“Kenapa kau
bertanya seperti itu?” kata Daris dengan wajah kaget. “Apakah Derren mengira
kalau aku membencinya? Apakah benar begitu?”
“Ti—tidak, anu—”
Rai gelagapan. Sekarang dia benar-benar
merusak hubungan Derren dan Daris. “Derren, tidak—”
Daris menghela
napas panjang. “Aku sudah membuat Derren sedih. Aku benar-benar Ayah yang
paling buruk, wajar kalau dia beranggapan begitu.”
“Saya yakin kalau
Derren benar-benar menyayangi Anda.”
“Entahlah, Nak. Aku
sudah sering membuatnya kecewa,” kata Daris dengan nada lemas tanpa gairah.
“Aku tidak ada sewaktu dia dilahirkan. Sewaktu dia dibawa ke rumah, aku malah—malah...”
Rai jadi ingat perkataan
Derren. Dia pernah bilang kalau Derren akan dimasukan ke panti asuhan oleh
Daris. Ternyata cerita itu benar.
“Kenapa Anda
melakukan itu pada Derren?”
“Aku takut
padanya.”
“Ha?”
Daris menelan
ludah. “Dia mirip sekali dengan Ibunya. Setiap hari aku merasa kalau dia akan
menjadi duplikat Ibunya. Ibunya yang baik hati yang pernah kukhianati. Sakit
sekali mengingat hal itu.”
Mata Daris
menerawang.
“Dosaku yang paling
besar. Aku tidak pernah menerima keberadaannya bahkan sampai saat terakhirnya.”
“Apakah Anda
menyayangi Derren?”
“Ya. Aku sangat
menyayanginya dan merindukannya. Tapi kalau dia tidak mau menemuiku, tidak apa.
Asalkan Derren baik-baik saja, itu sudah cukup bagiku.”
Rai jadi
bertanya-tanya dalam hati bagaimana sebenarnya hubungan kedua orang ini. Apakah
mereka benar-benar dalam keadan baik atau tidak. Jika Rai mengingat kembali
wajah Derren yang marah karena Daris dan wajah Daris yang menyesal karena
Derren dan isterinya, Rai jadi bingung harus memihak siapa. Setidaknya salah
satu dari mereka berdua harus ada mulai membuka komunikasi. Kalau mereka terus
seperti ini, mereka tidak akan pernah tahu kalau mereka sebenarnya saling
menyayangi.
“Jam jenguk sudah
habis!” kata polisi Raja mengetok pintu.
“Erm... kalau
begitu saya permisi.”
“Tunggu sebentar,”
Daris buru-buru berdiri ketika Rai beranjak keluar. “Aku mau tanya apakah
Derren mengatakan sesuatu untukku?”
Oh, iya! Dia hampir
saja lupa! Derren memang mengatakan sesuatu! “Ada. Dia bilang kalau dia sangat
merindukan Anda.”
Daris seakan
melihat sosok Derren di belakang Rai. Sosok Derren dengan pakaian putihnya.
Daris memeluk Rai seakan memeluk Derren. Pelukan erat yang sudah lama ingin dia
lakukan pada Derren.
Rai tidak bisa
bergerak maupun bicara ketika Daris melepas pelukannya.
“Kuharap kau
mendapat kebahagiaan, Nak,” kata Daris mengecup dahi Rai. “Kau mirip sekali
dengan Ibumu. Kuharap dia juga bahagia.”
“Apa mak—”
“Jam jenguk sudah
habis sejak lima menit lalu! Apa kau mau di dalam sana selamanya bersama Ayahmu, Nak?”
Polisi Raja kembali
menggedor pintu.
“Pergilah.”
Rai mengangguk dan
keluar tanpa melihat ke belakang. Polisi Raja yang tadi menggedor pintu
mengantar Rai keluar sambil mengomel. Tapi Rai tidak mendengarkan. Tubuh dan pikirannya seakan
tertinggal di tempat Daris. Kehangatan dari pelukan Daris bukanlah kebohongan.
Dia benar-benar merindukan Derren. Dan separuh dari kerinduan itu telah
diterima Rai. Kerinduan seorang Ayah. Hari Rai terasa hangat. Baru kali ini dia
merasakan kehangata seorang Ayah.
“Bagaimana keadaan
Daris? Apa kau senang bertemu Ayahmu?”
Rai baru menyadari
tempatnya berada ketika Dirsa menegurnya. Rai hanya membalas dengan senyuman.
“Melihat wajahmu itu sepertinya semua dalam keadaan baik, ya?”
“Anggap saja
seperti itu.”
“Baiklah, ayo aku
antar pulang,” ajak Dirsa. Dia menegur dan menegur dan mengucapkan terimakasih
kepada beberapa polisi yang melewati mereka sampai mereka masuk area parkir.
Dirsa menghela napas panjang ketika mereka masuk ke dalam mobil dan mulai
menstater mobil.
“Kau harus
bersyukur, Derren. Walaupun Ayahmu di penjara setidaknya dia masih hidup. Pak
Presidir ternyata orang yang sangat kuat, ya?”
Dirsa mengendarai
mobilnya melaju kearah jalan raya yang dipenuhi oleh mobil yang berlalu-lalang.
Sesekali hanya terdengar suara mesin mobil diantara kesunyian mereka berdua.
“Papaku dulu juga
seorang Presidir perusahaan besar,” Dirsa bercerita pada Rai ditengah-tengah
kesibukannya mengendalikan kemudi. “Perusahaan yang hebat. Semua orang
mengenalnya dan aku bangga atas kerja kerasnya. Hanya saja suatu hari ada
masalah di perusahaan. Investasinya hancur dan saham menurun. Sejak saat itu
Papa frustasi, dia kehilangan semuanya. Mama menceraikan Papa karena malu dan
memilih untuk menikahi seorang duda kaya. Papaku yang merasa semuanya berakhir
juga tidak bisa membedakan mana yang nyata atau tidak. Aku mengirimnya ke rumah
sakit jiwa untuk menyembuhkannya kembali karena aku masih sekolah dan tidak
punya cukup waktu untuk merawatnya. Tapi ternyata itu kesalahan fatal bagiku.”
“Memangnya apa yang
terjadi?”
Dirsa menatap hampa
ke depan. “Papa gantung diri di kamarnya. Bodohnya, tidak ada satu orang pun
yang melihatnya. Sejak saat itu aku tidak suka dokter. Mereka sama sekali tidak
berguna.”
Rai menelan ludah.
Sepertinya hari ini dia sudah terlalu banyak melihat bagian belakang dari
kehidupan manusia. Mungkin ada kebahagian tapi tidak sedikit juga yang
penderitaan. Dari kebanyakan orang yang menerimanya, sepertinya ada yang bisa
menjadi lebih kuat. Dirsa dan Derren merupakan contoh yang nyata.
“Sial! Bensinnya
habis!”
Dirsa memukul
setir. Berulang kali dia menstater mobilnya yang sudah mepet ke jalan, tapi
mesinnya tidak menyala. “Brengsek! Pom bensin masih tiga ratus meter lagi dari
sini! Bagaimana ini, Derren?” Dirsa bertanya pada Rai yang terpelongo.
“Mana aku tahu,”
kata Rai seadanya.
“Jalanan sepi
begini. Jangankan taxi, mobil pribadi aja tidak ada yang lewat, kalau tidak
kita kan bisa menumpang,” gerutu Dirsa lagi. Dia membuka seat belt, dan
keluar dari mobil. “Derren, kita jalan saja. Sesudah sampai di persimpangan
kita naik taxi.”
Rai menurut. Dia
keluar dari mobil dan mengikuti langkah Dirsa.
“Maaf, ya, aku lupa
isi bensi. Kau jadi harus ikut jalan kaki,” kata Dirsa.
“Tidak masalah.”
“Aku jadi tidak
enak hati pada Tuan Muda sepertimu. Ah, ada mobil lewat!” Dirsa melambaikan tangannya
pada mobil ford merah yang berjalan dari arah berlawanan. Dahi Rai mengerut,
rasanya dia mengenal mobil itu.
Jarak mereka dengan
mobil itu tinggal tiga meter lagi ketika akhirnya kaki Rai refleks berlari. Dia
baru ingat kalau mobil itu adalah mobil yang sama dnegan mobil yang mengikuti
mereka tadi siang. Tapi sayangnya Rai terlambat berlari. Belum terlalu jauh dia
berlari, sesorang mendekap mulutnya dari belakang.
Rai berusaha
melepaskan diri. Dia melihat Dirsa yang berusaha menolong Rai, tapi Dirsa
dihalangi orang-orang lain yang ada di dalam mobil. Rai mencium bau menyengat
yang membuat kepalanya pusing dan pandangannya menjadi kabur. Tiba-tiba saja
dia merasa mengantuk. Badannya terasa lemas.
“Apa mau kalian?
Jangan! Derren!”
Ketika Rai menutup
matanya, yang dia ingat hanya kegelapan dan suara-suara yang tidak jelas.
Apakah malaikat? Suara mereka terdengar keras sekali di telinga Rai. Bahkan Rai
seakan mendengar suara tembakan dan sirine polisi... teriakan-teriakan... hiruk
pikuk... tapi semuanya kembali tenang dalam sekejap, bahkan sunyi sekali.
Rai membuka matanya
sementara kepalanya sakit sekali. Perlahan-lahan, pandangannya yang kabur dapat
fokus kembali. Dia bisa melihat dengan jelas langit-langit berwarna putih
dengan cahaya lampu yang menyilaukan. Rai tidak mengenal tempat itu. Jangan-jangan dia diculik dan dijadikan sandera untuk tebusan
atas aset saham milik Derren pada Daris karena wajahnya mirip dengan Derren?
“Kau sudah sadar?
Kepalamu tidak apa-apa kan?” terdengar suara yang dikenal Rai. Rai menelengkan
kepalanya. “Aku yakin obat biusnya masih
berpengaruh.”
“Deva?” Rai
terkaget-kaget. Dia mencoba duduk. “Kenapa kau ada di sini? Ini di mana?”
“Rumah Derren,
maksudku markas,” jawab Deva mendorong kursi rodanya.
“Kenapa aku ada
disini?” kata Rai memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
“Pertanyaan yang
bagus. Ada yang mencoba untuk menculikmu dan kami berhasil merebutmu kembali.
Alasan mereka menculikmu diperkirakan ulah pelaku yang mengira kalau kau adalah
Derren,” jawab Deva memakan es krim yang tergeletak di atas meja.
0 komentar:
Posting Komentar