RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 02 Februari 2013

Derren dan Rai Eps 6


6.
Pencobaan Penculikan

Rai merapikan pakaiannya dan memakai kacamata supaya kelihatan seperti Derren. Semoga saja Daris percaya kalau dia adalah Derren sama seperti Dirsa yang menerimanya bahwa dia adalah Derren. Kalaupun ketahuan, Rai berharap Daris tidak menuntutnya karena alasan penipuan.
“Yup, aku sudah mirip Derren,” kata Rai percaya diri. Dia melihat dirinya di depan cermin dan merasa puas. Dengan tambahan topi putih, tidak akan ada yang menyadari kalau dia “Derren Palsu”.
“Rai, Dirsa sudah datang,” suara Sandra terdengar dari balik pintu kamarnya.
“Ya. Aku segera keluar, Mama.”
Rai memakai iPod pinjaman yang diberikan Derren dan segera melesat keluar pintu. Di depan pintu rumah sudah ada Dirsa dengan pakaian lengkap ala kantoran. Dia berpamitan pada Sandra dengan ramah dan penuh senyum lalu membawa Rai ke mobil hitam miliknya. Dia bahkan membukakan pintu untuk Rai.
Sandra menghela napas ketika mobil Derren berbelok di tikungan dan diikuti mobil perak lain beberapa meter di belakangnya. Sandra hendak masuk ke dalam rumahnya, namun tidak jadi karena ada yang memanggil namanya.
Sandra berbalik dan melihat sosok Derren—yang berpakaian serba putih—berdiri dihadapannya. Wajha Derren lebih pucat dari sebelumnya. Namun Derren terlihat lebih rapi tanpa kemejanya.
“Derren?” Sandra terheran-heran dengan kedatangan Derren yang tiba-tiba. “Rai baru saja pergi.”
“Aku tahu.”
Sandra semakin heran. “Lalu?”
“Aku punya pertanyaan untuk Anda jika Anda tidak keberatan.”
Sandra mengerutkan dahi. Bingung. Dia menatap wajah Derren yang serius.
“Baiklah. Apa itu?”
Derren menggigit bibir. Dia mengeluarkan suara pelan yang dapat di dengar Sandra dengan jelas. “Aku tahu semuanya.”
“Eh?”
Wajah Sandra pucat. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tidak. Mustahil Derren mengetahui semuanya. Daris tidak akan pernah menceritakan apapun. Dia pasti salah dengar.
“Aku tahu hubungan Anda, Ayah dan Elliana. Kakek sudah menceritakan semuanya. Yang ingin aku dengar saat ini adalah pernyataan dari Anda. Aku ingin dengar kejujuran.”
“Kejujuran?” Sandra mengulang dengan gugup.
“Alasan kenapa Ayah membenciku, apakah karena Anda?”
***
Sementara itu, didalam mobil Dirsa, Rai mendengarkan musik yang diputar oleh salah satu tape Dirsa. Sesekali terdengar suara Dirsa yang bersenandung mengikuti lirik lagu. Rai melihat keluar jendela dan melihat bangunan Crystal Pertama Group. Dahi Rai mengerut.
“Bukankah kita sudah dua kali lewat jalan ini?” tanya Rai heran.
“Kau sadar juga ya? Aku sengaja.”
“Kenapa?”
Dirsa melihat kearah kaca spion dan menghela napas panjang. Setelah itu dengan wajah serius dia bilang, “Mobil ford merah yang ada di belakang membuntuti kita terus. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi sejak aku melewati jalan yang tidak perlu, mobil itu ada di belakang kita terus.”
Rai merasa kalau ada sesuatu yang tidak beres. “Kau yakin?”
“Tentu saja. Kita sudah dua kali lewat jalan ini. Namun, dia masih di belakang kita. Apa itu tidak aneh?”
“Benar juga.”
Rai melihat ke belakang. Memang ada mobil ford merah mengikuti mereka. Perlahan-lahan, Rai mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Derren.
Mobil kami diikuti.
Dan segera dia menghapus pesan itu.
Pesan Rai sampai dan berbunyi di ponsel Derren. Derren membuka ponselnya dan membaca pesan Rai sebelum dia masuk ke mobil. Raut wajah Derren langsung berubah ketika membaca pesan itu, dan masuk secara terburu-buru ke dalam mobil hijau yang terparkir di perempatan jalan.
“Ada apa?” kata Deva yang duduk di bangku supir. Dia heran melihat wajah Derren yang terlihat panik ketika membuka pintu disampingnya.
“Rai diikuti. Kita susul mereka,” kata Derren sambil memasang seat belt-nya.
“Caranya?”
Derren menghela napas. Dia membalikan kaca spion tengah dan menariknya ke bawah. Segera saja tampak monitor berkotak-kotak hijau. Ada titik warna merah yang berkelap-kelip dan bergerak secara perlahan. “Begini caranya.
Deva terpaku sesaat melihat Derren dan monitor yang baru dimunculkannya dengan cara ajaib. Luar biasa. Sejak kapan Derren memasukan monitor di mobil pribadinya? Jangan-jangan selain monitor ada lagi benda lain yang dia masukan.
“Apa kau mengotak-atik mobilku?” Deva memindahkan kopling.
“Anggap saja begitu.”
“Berapa banyak benda yang kau masukan?”
“Cukup banyak.”
“Apa kau memasukan alat pelacak ke tubuh Rai?”
“Tidak. Ke ponsel Rai. Jangan banyak tanya. Konsentrasi saja pada kemudi.”
Deva memonyongkan mulutnya, dia kesal pada sikap Derren. Tetapi dia tetap menurut apa kata Derren. Kalau Derren yang menyuruh, selalu tidak ada alasan untuk menolak.
Mobil hitam milik Dirsa berhenti di depan kantor polisi yang menunjukan pamflet nama besar berwarna emas. Ketika melihat bangunan besar itu. Entah kenapa Rai jadi takut. Bagaimana kalau misalnya Daris tahu kalau dia bukan Derren walaupun wajah mereka mirip? Daris pasti akan melaporkannya dan segera memenjarakan Rai dengan alasan penipuan dan penculikan terhadap Derren.
“Tenang saja, kau tidak akan dilaporkan dengan alasan apapun soalnya Ayah akan mengira kalau kau adalah aku.”
Itu kata Derren tadi pagi ketika Rai bertanya dengan nada cemas.
“Derren, ayo,” kata Dirsa yang membukakan pintu untuk Rai. “Kau tak perlu takut begitu. Orang-orang yang mengejar kita sudah tidak ada. Kau aman,” kata Dirsa lagi sewaktu melihat wajah cemas Rai.
“Erm... ya.”
Rai melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Dia bersama-sama dengan Dirsa mendatangi salah satu polisi yang duduk di belakang meja.
“Permisi, Pak,” kata Dirsa. Polisi berwajah galak itu mengadah. “Maaf, mengganggu pekerjaan Anda.”
“Tidak masalah. Ada yang bisa saya bantu?” kata polisi itu dengan wajah ramah.
“Kami ingin menjenguk Tuan Daris Harryawan.”
“Kalau boleh saya tahu, apa hubungan saudara dengan Tuan Daris?”
“Saya Dirsa, Manager Keuangan Crystal Pertama Group, Asisten Pribadi dan orang kepercayaan Daris Harryawan. Lalu anak ini adalah Hosea Daris Harryawan, Putra Tunggal Daris Harryawan.”
Wajah Rai panas ketika polisi itu menatapnya. Dia sekarang adalah “Hosea Derren Harryawan”, Putra Daris Harryawan; ada perasaan bahagia di hati Rai. Selama ini belum pernah dia dipanggil dengan kata “Putra dari”. Diam-diam Rai berharap agar Daris memeluknya. Dia ingin merasakan kehangatan seorang Papa. Sandra tak pernah sekalipun membicarakan tentang Papa-nya.
“Kalian beruntung, hari ini ada jam khusus. Raja, antar mereka bertemu Tuan Daris.”
Polisi bernama Raja berdiri tegak. “Silakan lewat sini.”
“Jangan gugup ya,” kata Dirsa mengedipkan matanya ketika mereka mengikuti polisi itu. “Mungkin banyak orang yang menemani Ayahmu. Ayahmu pasti senang melihatmu.”
“Semoga saja.”
Ya. Rai berharap begitu.
“Daris Harryawan, kau kedatangan penjenguk lagi,” kata Polisi Raja membuka salah satu pintu tertutup. Saat pintu itu menggeser, Rai kaget melihat orang-orang yang ada di dalam; Kolas, Jeff, Willy, Ellena dan yang dikenali Rai sebagai Daris dan mereka semua melihar kerah Dirsa dan Rai.
“Dirsa mau apa kau datang kemari?” kata Ellena tercengang. Dia menatap Rai dengan alis mengerut. “Siapa anak itu? Kenapa kau bawa dia kemari?”
“Aku datang untuk menjenguk Pak Presidir,” kata Dirsa kalem. “dan kebetulan bertemu dengan anak ini. Jadi kuajak saja dia ikut denganku untuk bertemu Pak Presidir.” Dirsa menepuk bahu Rai.
“Apa hubungan anak itu dengan Daris?” kata Ellena lagi.
“Loh? Kupikir anggota direksi sudah tahu. Dia Hosea Derren Harryawan, Putra dari Presidir kita,” kata Dirsa memperkenalkan Rai. “Bukan begitu, Pak Presidir?”
Rai menatap Daris yang diam saja. Jika memperhatikan lebih seksama, Daris lebih kelihatan kurus dan lebih pucat daripada di TV. Ada lingkaran hitam di sekeliling matanya.
“Ah... hm...” Daris melihat kearah lain sambil bergumam tak jelas.
“Jadi, kau sudah menikah? Kapan? Jangan-jangan anak ini adalah pemegang saham yang dibicarakan itu? Benar begitu, Daris?”
“Itu bukan urusanmu, Ellena,” gumam Daris, masih melihat ke arah lain.
“Jelas urusanku! Aku ini pemegang saham dan aku mencintaimu! Aku tidak percaya kau punya wanita lain selain aku!” kata Ellena, suaranya menaik. “Berani-beraninya kau meniduri seorang wanita sampai punya anak sebesar ini! Kau sudah membohongiku!”
“Sudah kukatakan berulang kali kan? Aku hanya mencintai seorang wanita dan belum ada yang bisa menggantikannya hingga saat ini. Maaf.”
Ellena menggigit bibirnya. Air matanya menetes menjatuhi pipinya yang putih. “Dua puluh tahun... dua puluh tahun aku menunggumu, Daris...”
“Maaf, Ellena. Aku sudah coba tapi tidak bisa.”
Ellena mengumpat, lalu dia pergi sambil menangis tersedu-sedu. Rai jadi tidak enak pada Daris. Dia muncul di saat yang tidak tepat. Walau bagaimana pun, Rai kagum pada Daris. Rai kagum pada sosok Daris yang hanya mencintai satu orang wanita. Tapi Rai bertanya-tanya dalam hati. Orang yang dicintai Daris itu, Mamanya Rai atau wanita lain?
“Mungkin Ayah tidak pernah mencintai Ibu. Ayah pasti punya wanita lain yang dia cintai.”
Kasihan Derren...
“Kasihan Ellena, Daris. Dia mencintaimu sepenuh hati dan menunggumu selama dua puluh tahun, dan kau mengakhirinya hanya dengan kata ‘maaf’. Aku rasa dia pasti sangat terluka,” kata Jeff pada Daris yang hanya diam. “Banyak pria yang melamarnya tapi dia tolak hanya karena alasan mencintaimu.”
“Tolong hentikan, Jeff,” kata Daris. “Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu kalau salah,” kata Daris lagi. “Hanya saja aku bukan tipe orang yang bisa membohongi perasaan disini.” Daris memegang dadanya.
“Wowo, telingaku jadi sakit mendengarnya. Aku tak percaya ternyata presidir orang yang berperasaan,” Kolas mencemooh.
“Berhenti menyindir, Papaku!” kata Rai tiba-tiba. Entah kenapa dia jadi panas saat mendengar kata-kata itu. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia yakin kalau Daris orang baik. “Apa salahnya menjadi orang yang jujur pada diri sendiri? Setidaknya dia lebih baik darimu yang tahunya hanya menjelek-jelekan pekerjaan orang lain!”
“Jangan sok mentang-mentang kau itu pemegang saham terbesar, Derren,” kata Kolas dengan nada sebal. “Kau tidak tahu aku ini siapa?”
“Tolong hentikan, oke?” kata Willy berdiri di atas meja. “Sesama anggota Crystal Pertama Group dilarang bertengkar. Ini bisa merusak fondasi yang selama ini kita bangun.”
“Aku setuju,” kata Jeff. “Bersaing boleh, tapi jangan sampai menghancurkan kerjasama Crystal,” tambahnya menurunkan Willy.
“Baiklah aku diam,” kata Kolas melipat tangan.
“Bisakah kalian meninggalkan kami berdua?” kata Daris pelan. Willy, Jeff, Kolas dan Dirsa berpandangan. Tak jelas siapa yang memberi instruksi, seakan mengerti, mereka keluar dari ruangan itu.
Rai menatap Daris. “Ah... aku...”
“Bagaimana keadaan Derren? Apa dia cukup makan? Apa dia cukup tidur? Dia tidak sakit kan? Tidak dikejar-kejar orang aneh kan?”
Dahi Rai mengerut dalam. “Anda bisa... mengenali kami?”
Untuk pertama kalinya, Rai melihat Daris tersenyum. Tapi bagi Rai itu bukan senyum kebahagiaan tapi senyum kepedihan. Kepedihan yang ditanggung Daris seorang diri; rasa saat dia ditinggalkan anaknya, Derren, sendirian.
“Dilihat secara sekilas kalian memang mirip, tapi bagaimanapun aku adalah Ayahnya. Aku tidak mungkin salah mengenali anakku.”
Rai jadi ingat perkataan Sandra kemarin. Dan akibat itu Rai jadi merasa bersalah. “Maaf... saya tidak...”
“Tidak apa,” Daris memotong. “Kau pasti disuruh Derren. Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyanya lagi dengan senyuman.
“Nama saya Rai... Rai Azusha.”
“Rai Azusha,” Daris mengulang pelan. “Apa kau akrab dengan Derren?”
“Bisa dibilang begitu.
“Begitu ya?” gumam Daris lagi “Derren sehat kan? Apa dia tidak kesepian?”
“Saya rasa tidak. Dia punya banyak teman,” kata Rai lagi.
“Baguslah. Di rumah dia selalu mengurung diri di kamar. Selama enam belas tahun, belum pernah sekalipun aku memeluknya, menanyakan kabarnya, menanyakan dia bahagia atau tidak, bahkan datang ke kamarnya. Semenjak dia lahir, aku tidak pernah menyentuhnya dengan tanganku. Aku bersalah padanya.”
“Apakah Anda membenci Derren?” tiba-tiba Rai bertanya dan dia langsung menyesal menanyakan itu. Itu pertanyaan yang salah. Tidak seharusnya dia menanyakan itu. Itu topik tertutup. Derren-lah yang pantas menanyakan itu bukan dia.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” kata Daris dengan wajah kaget. “Apakah Derren mengira kalau aku membencinya? Apakah benar begitu?”
“Ti—tidak, anu—” Rai gelagapan. Sekarang dia benar-benar  merusak hubungan Derren dan Daris. “Derren, tidak—”
Daris menghela napas panjang. “Aku sudah membuat Derren sedih. Aku benar-benar Ayah yang paling buruk, wajar kalau dia beranggapan begitu.”
“Saya yakin kalau Derren benar-benar menyayangi Anda.”
“Entahlah, Nak. Aku sudah sering membuatnya kecewa,” kata Daris dengan nada lemas tanpa gairah. “Aku tidak ada sewaktu dia dilahirkan. Sewaktu dia dibawa ke rumah, aku malah—malah...”
Rai jadi ingat perkataan Derren. Dia pernah bilang kalau Derren akan dimasukan ke panti asuhan oleh Daris. Ternyata cerita itu benar.
“Kenapa Anda melakukan itu pada Derren?”
“Aku takut padanya.”
“Ha?”
Daris menelan ludah. “Dia mirip sekali dengan Ibunya. Setiap hari aku merasa kalau dia akan menjadi duplikat Ibunya. Ibunya yang baik hati yang pernah kukhianati. Sakit sekali mengingat hal itu.”
Mata Daris menerawang.
“Dosaku yang paling besar. Aku tidak pernah menerima keberadaannya bahkan sampai saat terakhirnya.”
“Apakah Anda menyayangi Derren?”
“Ya. Aku sangat menyayanginya dan merindukannya. Tapi kalau dia tidak mau menemuiku, tidak apa. Asalkan Derren baik-baik saja, itu sudah cukup bagiku.”
Rai jadi bertanya-tanya dalam hati bagaimana sebenarnya hubungan kedua orang ini. Apakah mereka benar-benar dalam keadan baik atau tidak. Jika Rai mengingat kembali wajah Derren yang marah karena Daris dan wajah Daris yang menyesal karena Derren dan isterinya, Rai jadi bingung harus memihak siapa. Setidaknya salah satu dari mereka berdua harus ada mulai membuka komunikasi. Kalau mereka terus seperti ini, mereka tidak akan pernah tahu kalau mereka sebenarnya saling menyayangi.
“Jam jenguk sudah habis!” kata polisi Raja mengetok pintu.
“Erm... kalau begitu saya permisi.”
“Tunggu sebentar,” Daris buru-buru berdiri ketika Rai beranjak keluar. “Aku mau tanya apakah Derren mengatakan sesuatu untukku?”
Oh, iya! Dia hampir saja lupa! Derren memang mengatakan sesuatu! “Ada. Dia bilang kalau dia sangat merindukan Anda.”
Daris seakan melihat sosok Derren di belakang Rai. Sosok Derren dengan pakaian putihnya. Daris memeluk Rai seakan memeluk Derren. Pelukan erat yang sudah lama ingin dia lakukan pada Derren.
Rai tidak bisa bergerak maupun bicara ketika Daris melepas pelukannya.
“Kuharap kau mendapat kebahagiaan, Nak,” kata Daris mengecup dahi Rai. “Kau mirip sekali dengan Ibumu. Kuharap dia juga bahagia.”
“Apa mak—”
“Jam jenguk sudah habis sejak lima menit lalu! Apa kau mau di dalam sana selamanya bersama Ayahmu, Nak?”
Polisi Raja kembali menggedor pintu.
“Pergilah.”
Rai mengangguk dan keluar tanpa melihat ke belakang. Polisi Raja yang tadi menggedor pintu mengantar Rai keluar sambil mengomel. Tapi Rai tidak  mendengarkan. Tubuh dan pikirannya seakan tertinggal di tempat Daris. Kehangatan dari pelukan Daris bukanlah kebohongan. Dia benar-benar merindukan Derren. Dan separuh dari kerinduan itu telah diterima Rai. Kerinduan seorang Ayah. Hari Rai terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan kehangata seorang Ayah.
“Bagaimana keadaan Daris? Apa kau senang bertemu Ayahmu?”
Rai baru menyadari tempatnya berada ketika Dirsa menegurnya. Rai hanya membalas dengan senyuman. “Melihat wajahmu itu sepertinya semua dalam keadaan baik, ya?”
“Anggap saja seperti itu.”
“Baiklah, ayo aku antar pulang,” ajak Dirsa. Dia menegur dan menegur dan mengucapkan terimakasih kepada beberapa polisi yang melewati mereka sampai mereka masuk area parkir. Dirsa menghela napas panjang ketika mereka masuk ke dalam mobil dan mulai menstater mobil.
“Kau harus bersyukur, Derren. Walaupun Ayahmu di penjara setidaknya dia masih hidup. Pak Presidir ternyata orang yang sangat kuat, ya?”
Dirsa mengendarai mobilnya melaju kearah jalan raya yang dipenuhi oleh mobil yang berlalu-lalang. Sesekali hanya terdengar suara mesin mobil diantara kesunyian mereka berdua.
“Papaku dulu juga seorang Presidir perusahaan besar,” Dirsa bercerita pada Rai ditengah-tengah kesibukannya mengendalikan kemudi. “Perusahaan yang hebat. Semua orang mengenalnya dan aku bangga atas kerja kerasnya. Hanya saja suatu hari ada masalah di perusahaan. Investasinya hancur dan saham menurun. Sejak saat itu Papa frustasi, dia kehilangan semuanya. Mama menceraikan Papa karena malu dan memilih untuk menikahi seorang duda kaya. Papaku yang merasa semuanya berakhir juga tidak bisa membedakan mana yang nyata atau tidak. Aku mengirimnya ke rumah sakit jiwa untuk menyembuhkannya kembali karena aku masih sekolah dan tidak punya cukup waktu untuk merawatnya. Tapi ternyata itu kesalahan fatal bagiku.”
“Memangnya apa yang terjadi?”
Dirsa menatap hampa ke depan. “Papa gantung diri di kamarnya. Bodohnya, tidak ada satu orang pun yang melihatnya. Sejak saat itu aku tidak suka dokter. Mereka sama sekali tidak berguna.”
Rai menelan ludah. Sepertinya hari ini dia sudah terlalu banyak melihat bagian belakang dari kehidupan manusia. Mungkin ada kebahagian tapi tidak sedikit juga yang penderitaan. Dari kebanyakan orang yang menerimanya, sepertinya ada yang bisa menjadi lebih kuat. Dirsa dan Derren merupakan contoh yang nyata.
“Sial! Bensinnya habis!”
Dirsa memukul setir. Berulang kali dia menstater mobilnya yang sudah mepet ke jalan, tapi mesinnya tidak menyala. “Brengsek! Pom bensin masih tiga ratus meter lagi dari sini! Bagaimana ini, Derren?” Dirsa bertanya pada Rai yang terpelongo.
“Mana aku tahu,” kata Rai seadanya.
“Jalanan sepi begini. Jangankan taxi, mobil pribadi aja tidak ada yang lewat, kalau tidak kita kan bisa menumpang,” gerutu Dirsa lagi. Dia membuka seat belt, dan keluar dari mobil. “Derren, kita jalan saja. Sesudah sampai di persimpangan kita naik taxi.”
Rai menurut. Dia keluar dari mobil dan mengikuti langkah Dirsa.
“Maaf, ya, aku lupa isi bensi. Kau jadi harus ikut jalan kaki,” kata Dirsa.
“Tidak masalah.”
“Aku jadi tidak enak hati pada Tuan Muda sepertimu. Ah, ada mobil lewat!” Dirsa melambaikan tangannya pada mobil ford merah yang berjalan dari arah berlawanan. Dahi Rai mengerut, rasanya dia mengenal mobil itu.
Jarak mereka dengan mobil itu tinggal tiga meter lagi ketika akhirnya kaki Rai refleks berlari. Dia baru ingat kalau mobil itu adalah mobil yang sama dnegan mobil yang mengikuti mereka tadi siang. Tapi sayangnya Rai terlambat berlari. Belum terlalu jauh dia berlari, sesorang mendekap mulutnya dari belakang.
Rai berusaha melepaskan diri. Dia melihat Dirsa yang berusaha menolong Rai, tapi Dirsa dihalangi orang-orang lain yang ada di dalam mobil. Rai mencium bau menyengat yang membuat kepalanya pusing dan pandangannya menjadi kabur. Tiba-tiba saja dia merasa mengantuk. Badannya terasa lemas.
“Apa mau kalian? Jangan! Derren!”
Ketika Rai menutup matanya, yang dia ingat hanya kegelapan dan suara-suara yang tidak jelas. Apakah malaikat? Suara mereka terdengar keras sekali di telinga Rai. Bahkan Rai seakan mendengar suara tembakan dan sirine polisi... teriakan-teriakan... hiruk pikuk... tapi semuanya kembali tenang dalam sekejap, bahkan sunyi sekali.
Rai membuka matanya sementara kepalanya sakit sekali. Perlahan-lahan, pandangannya yang kabur dapat fokus kembali. Dia bisa melihat dengan jelas langit-langit berwarna putih dengan cahaya lampu yang menyilaukan. Rai tidak mengenal tempat itu. Jangan-jangan dia diculik dan dijadikan sandera untuk tebusan atas aset saham milik Derren pada Daris karena wajahnya mirip dengan Derren?
“Kau sudah sadar? Kepalamu tidak apa-apa kan?” terdengar suara yang dikenal Rai. Rai menelengkan kepalanya. “Aku yakin obat biusnya masih berpengaruh.”
“Deva?” Rai terkaget-kaget. Dia mencoba duduk. “Kenapa kau ada di sini? Ini di mana?”
“Rumah Derren, maksudku markas,” jawab Deva mendorong kursi rodanya.
“Kenapa aku ada disini?” kata Rai memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
“Pertanyaan yang bagus. Ada yang mencoba untuk menculikmu dan kami berhasil merebutmu kembali. Alasan mereka menculikmu diperkirakan ulah pelaku yang mengira kalau kau adalah Derren,” jawab Deva memakan es krim yang tergeletak di atas meja.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.