RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 Januari 2013

Derren dan Rai Eps 4


4.
Misteri Pembunuhan
Seorang anak laki-laki berwajah penuh mendorong kursi roda yang dia naiki melewati koridor. Setelah sampai di ujung lorong, dia mengetok pintu cokelat itu, dan tanpa menunggu jawaban, dia masuk ke dalam.
“Kamarmu berantakan sekali,” komentar anak laki-laki itu saat melihat ke sekeliling kamar yang kecil itu. Tempat tidur berlapis seprai putih terletak di atas lantai, jendela kamar yang kecil terbuka lebar dengan gorden putih melambai tertiup angin. Di atas lantai putih yang berkilat tergeletak ponsel, laptop, kamera digital, iPod, buku, berlembar-lembar foto dan kabel-kabel yang berantakan.
“Benar-benar orang pintar. Sanking pintarnya, sintingnya nggak ketulungan juga,” gumamnya melemparkan koran sore kepada Derren yang tertidur dalam keadaan terduduk disamping jendela. Kacamatanya melorot sedikit. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya.
“Apa?” Derren bergumam, masih dengan mata tertutup.
“Itu koran sore tentang berita konyol Ayah-mu lagi,” katanya mencoba menutup pintu di belakangnya, tapi sulit karena terhadang kursi rodanya.
Derren membuka koran sore itu dengan malas dan membaca judul besar koran itu: “Daris Korupsi 48,7 M”, “Kerugian Perusahaan Internasional Crystal Pertama Group”, “Daris Jadi Tersangka”, “Pendapat para Pemegang Saham Crystal Pertama Group” dan banyak judul lain.
“Ini bohong,” gumam Derren menutup korannya. “Ayahku tidak korupsi dan Crystal Pertama Group tidak rugi. Aku sudah periksa sendiri keadaan keuangan mereka. Lalu Pemegang Saham Crystal Pertama Group sejarahnya tidak pernah mau memberi pendapat,” tambahnya menopang dagu sementara matanya melihat kearah luar jendela.
“Lalu kenapa tidak kau selidiki saja?” anak laki-laki itu masih sibuk dengan pintu.
“Sudah tapi masih sedikit. Aku harus bertemu mereka secara langsung namun resikonya besar dan sangat berbahaya,” jawabnya. “Holmes, seharusnya kau bangun dari kursi roda jelek itu dan tutup pintunya sekarang juga. Pemandangan yang sangat buruk melihatmu berkutat dengan pintu. Kau kan bisa jalan, tidak lumpuh.”
Deva “Sherlock Holmes” menggelembungkan pipinya sehingga wajahnya yang penuh jadi terlihat seperti balon. Deva bangkit dari kursi rodanya dan segera menutup pintu lalu dia duduk lagi.
“Begitu kan beres,” Derren kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.
“Sejak Ayahmu dituduh sebagai tersangka, kau sama sekali tidak pernah keluar selangkahpun dari kamar ini. Kau merasa takut ya?” tanya Deva setelah sunyi beberapa saat.
“Kau tenang saja. Aku sudah ujian kok jadi aku tidak mungkin tinggal kelas. Apalagi IQ-ku juga diatas rata-rata, mana mau guru membiarkanku tetap di satu kelas. Mereka itu sangat mencintaiku,” jawab Derren pelan masih menatap keluar jendela.
Deva agak kesal melihat tingkah Derren.
“Tanpa kau katakan pun aku tahu kalau kau jenius,” gumam Deva. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Memperhatikan dengan tenang.”
Deva menganga tidak percaya. Dia melihat Derren lekat-lekat seakan tidak pernah melihat manusia sebelumnya—khususnya manusia seperti Derren.
“Ayahmu sedang terancam nyawanya! Bisa-bisanya kau mengatakan ‘memperhatikan dengan tenang’! Kau sudah gila?”
“Panik juga tidak ada gunanya. Lebih baik aku melihat keadaan.”
Deva mendengus kesal. “Bagaimana, kalau misalnya, Ayahmu semakin terbukti bersalah?”
“Bukan aku yang akan bertindak,” kata Derren dengan mata menerawang. Deva mengerutkan dahinya. “Akan lebih bagus kalau Ayah semakin terancam dan berita sang Pemegang Saham yang belum muncul akan menambah kehebohan. Rasa cemas dan penasaran itu akan membuat dia datang dengan sendirinya dan menawarkan bantuan tanpa diminta. Sifat polosnya sangat mudah ditebak.”
Dia? Dia siapa?”
“Nanti juga kau tahu.”
***
Di Diaz Restaurant, Rai yang membawakan nampan berisi sup dan sphagetti meletakan nampan itu di atas meja bernomor lima.
“Terima kasih.”
“Kembali. Jika butuh sesuatu panggil saya saja,” kata Rai tersenyum ramah. Setelah berbasa-basi sedikit, Rai kembali ke meja pesanan.
“Akhir-akhir ini kau kelihatan lesu.” Alex menegur sambil mengelap gelas-gelas yang berkilat. “Kalau kau butuh uang katakan saja.”
“Aku memang butuh uang tapi aku tak mau meminjam darimu. Kapok,” gerutu Rai, dia segera kearah meja nomor tiga yang meminta bill dan kembali lagi ke arah Alex, menyerahkan beberapa lembar uang pada Alex.
“Kau menjual iPod, sepatu, jeket cuma membeli sepeda baru dan mengembalikan wujudmu? Sayang sekali. Padahal aku suka gayamu waktu itu. Soalnya kau kelihatan lebih keren,” kata Alex menyindirnya.
Rai menggertakan giginya. “Jangan urusi masalahku!”
“Wah, kau juga lebih galak.”
Rai berpaling pergi sambil menahan kesalnya. Dia segera membereskan piring-piring di meja nomor tiga dan dibawa ke dapur untuk dicuci. Rai lebih memilih untuk berlama-lama mencuci piring dan melayani pelanggan daripada mendengar komentar Alex seputar Derren. Akhirnya setelah jam dinding menunjukan pukul sepuluh, Rai cepat-cepat pulang.
“Melelahkan,” gumam Rai memijit-mijit lehernya yang pegal. Dia memarkirkan sepedanya dan membuka pintu rumah yang gelap. Ada pesan dari Sandra kalau hari ini dia lembur. Rai meminum air dalam kulkas yang menyegarkan dahaganya. Dia memutuskan untuk mandi lebih dahulu supaya lebih santai.
Selesai mandi, Rai segera makan malam. Hidangan malam sudah disediakan oleh Sandra lengkap dengan koran sore. Awalnya Rai benar-benar berkonsentrasi pada makanannya tapi saat dia melihat judul berita: “Tuduhan Ganda pada Daris: Tersangka Korupsi Crystal Pertama Group dan Pelaku Pembunuhan Nico””, dia melupakan semuanya.
Daris “Pelaku Pembunuhan Nico”
Nico Gesha, salah seorang Pemegang Saham Crystal Pertama Group, Kamis (17/9) ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di salah satu hotel ternama di Spanyol. Awalnya kematian Pemuda berumur tiga puluh dua tahun ini dirahasiakan oleh pihak kepolisian Spanyol untuk penyelidikan lebih lanjut.
Setelah satu minggu melakukan penyelidikan di TKP dan mengautopsi mayat, diberitahukanlah sebuah kabar yang tidak terduga bahwa Nico tewas ditusuk oleh Daris. Ditemukan tiga tusukan pada tubuh Nico, diantaranya terdapat pada daerah perut, leher dan punggung.
“Kami menemukan sidik jari Daris pada pisau yang dijadikan alat pembunuhan,” ungkap Inspektur Roy Khanaza. “Dan pada saat kematian Nico, pada saat itu Daris ada di Spanyol melakukan rapat penting. Semuanya cocok.”
Pihak kepolisian menduga Daris membunuh Nico untuk membungkam segala hal mengenai penyelundupan uang Crystal Pertama Grupo sebesar 48,7 M dan menghilangkan bukti-bukti mengenai uang tersebut. Daris, yang sudah dapat diwawancarai di Kepolisian Pusat memberikan komentar tenang.
“Nico meninggal, ya?” kata Daris dengan nada menyesal. “Aku sudah menduga. Padahal sudah kukatakan untuk tidak ikut campur. Yah... nasi telah jadi bubur. Apa boleh buat.”
Apakah komentarnya ini berarti bahwa Daris-lah yang membunuh Nico?
“Untuk saat ini aku hanya ikuti alur saja. Bagaimanapun saat ini aku terlihat seperti seorang penjahat. Hm... komentarnya untuk sekarang, aku tidak takut karena aku sama sekali tidak salah. Pokoknya, ada orang yang sudah kuserahi tugas untuk menyelidiki masalah ini sampai tuntas. Intinya seperti itu.”
Melihat sikap Daris yang masih biasa saja walaupun akan dijebloskan ke penjara membuktikan bahwa dia seperti orang yang kebal hukum. Ataukah Daris hanya pura-pura tidak tahu atau dia memang tidak bersalah?
“Aku bukan orang kebal hukum. Aku hanya orang yang percaya diri. Saat ini saham Crystal Pertama sudah dipergang oleh orang dari dunia maya yang hebat, jadi tidak perlu dikhawatirkan. Legipula Jeff, Dirsa dan beberapa orang perusahaan dengan rutin menjengukku secara bergantian dan memberi informasi, aku tidak perlu takut. Hanya itu saja yang bisa kukatakan.”
Daris akan diadili di Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal dua puluh delapan September sementara masih dilakukan penyelidikan seputar kasus korupsi 48,7 M.
“Ini gila,” gumam Rai tidak percaya, tangannya gemetaran membaca koran itu. Hipotesa Sandra mengenai Daris memang benar dan sekarang Daris diserang bertubi-tubi oleh pelaku yang sesungguhnya. Rai cepat-cepat menghabiskan makan malamnya sementara otaknya sibuk berpikir.
Daris dijebak korupsi sebesar 48,7 M atas keuntungan Crystal Pertama Group, tapi sepertinya dia tahu akan dijebak sehingga memberikan sahamnya pada Derren. Masalahnya, kenapa Pelaku harus membunuh Nico dan menjebak Daris dan berupaya memperlihatkan seolah-olah Daris-lah yang membunuh Nico? Agak memaksakan diri. Tidak perlu membunuh Nico pun, Daris sudah terlihat bersalah. Apa yang dipikirkan si Pelaku ya? Kenapa harus melakukan itu? Hm... yang paling masuk akal kalau Pelaku dan Nico bekerja sama menjebak Daris tapi kemudian Nico menolak karena alasan-alasan tertentu. Sang pelaku kesal dan membunuh Nico dan meperlihatkan bahwa Daris yang membunuh.
Kemungkinan yang lain, entah bagaimana Nico mengetahui pelaku yang asli dan hendak memberitahu polisi tapi dibunuh terlebih dahulu. Atau alasan yang paling memojokan Daris... hm... Daris dan Nico bekerjasama untuk hal tertentu. Nico bermasalah akan sesuatu pada Daris dan akhirnya dibunuh.
“Aaaargh!” Rai menggerutu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kepalanya sakit. Alasan yang manapun, semuanya seolah-olah, memojokan Daris. Rai hanya memikirkan satu hal yang akan dilakukannya besok: datang ke rumah Derren dan mencari tahu apa yang terjadi. Kenapa anak itu sepertinya tidak peduli dengan Ayahnya sendiri?
***
“Bagaimana pendapatmu? Bukan hanya dituduh korupsi, Ayahmu juga dituduh membunuh Pemegang Saham,” kata Deva membolak-balik buku pelajarannya. Derren yang menonton hot news seputar Daris hanya diam. “Kau tak berniat membantu Ayahmu?” kata Deva lagi.
“Holmes, kau tidak merasa ada yang ganjil dengan kasus Ayahku?” kata Derren, matanya masih menatap layar kaca. “Instuisi Sherlock Holmes-mu itu harusnya bekerja kan kalau kau seorang detektif?”
Deva menatap Derren yang masih berkonsentrasi pada berita, menutup bukunya lalu menghela napas berat. “Yah... kalau menurut pendapatku, pelakunya kesal pada sikap Ayahmu dan kau. Ayahmu sudah diancam sedemikian rupa dan tinggal sedikit lagi dinyatakan bersalah tapi sikap kalian masih tenang seakan tidak terjadi apapun.
 Pelakunya, ada kemungkinan, panik dan tidak menyangka bahwa sebagian besar saham Ayahmu sudah diberikan padamu. Apalagi kau tidak muncul sejak, kau tahu, Ayahmu dituduh. Karena itulah maka pelaku membuat Ayahmu jadi tertuduh pembunuhan supaya kau—istilahnya Sang Pemegang Saham Terbesar—muncul. Agak memaksakan diri tapi rasanya memang begitu.”
Derren menopang dagunya sementara dahinya mengerut. Dalam beberapa menit dia diam sambil berpikir. Pikirannya melayang pada kejadian dua minggu lalu ketika dia diperintahkan Daris untuk datang ke kantor.
“Bawa ini.” Kata Daris sambil menyerahkan amplop besar berwana coklat.
“Apa ini?”
“Berkas-berkas saham yang sudah kau miliki selama ini. Jaga baik-baik. Ada kemungkinan kau dan Crystal dalam masalah.”
“Maksudnya?”
“Ada yang mencoba berkhianat di kubu Crystal. Masih dalam penyelidikan. Tapi, supaya aman lebih baik kau saja yang membawa ini, Derren.”
“Baik,” Derren mengambil amplop itu dan berbalik. Namun ketika dia membuka pintu, Daris berkata, “Berhati-hatilah.” Lalu saat keluar dari kantor dia bertemu dengan orang-orang yang menyatakan diri sebagai suruhan Ayahnya.
Derren tersenyum. “Yang kau katakan benar. Aku setuju dengan pendapatmu dan aku mencurigai beberapa orang dari Crystal Pertama Group.”
Deva kaget, jantungnya beredegup kencang dan penasaran. “Siapa?”
“Sebelum itu, orang yang membantu kita mungkin akan datang. Aku perlu sedikit bantuanmu. Kau bisa kan, Holmes?” kata Derren dengan penuh percaya diri. Ada kilatan semangat di mata birunya.
Melihat hal itu, Deva tidak bisa mengatakan apapun. Ini pertama kalinya Deva melihat mata biru Derren yang berekspresi. Hal ini sangat jarang terjadi. Deva tidak bisa mengatakan hal lain kecuali, “Ya. Apa boleh buat.”
***
Rai bangun pagi. Malas. Hari ini dia tidak berniat untuk mengantar koran kecuali bermalas-malasan. Waktu bahkan menunjukan pukul sembilan. Semalam dia baru bisa tidur ketika pukul tiga pagi karena sibuk berpikir. Tapi, sama halnya seperti orang yang tidak punya petunjuk, dia hanya mendapat jawaban kosong.
Rai meregangkan tubuhnya sementara matanya masih mengantuk. Ketika dia berguling, dia jatuh dari tempat tidur dan hal itu membuatnya benar-benar tersadar. Kantuknya hilang dan tubuhnya sekarang terasa sakit karena menghantam lantai kamar.
“Aduuuh,” Rai mengeluh dan saat dia melongok ke bawah kolong tempat tidur, dia melihat ada sebuah tas ransel besar di sudut tempat tidurnya. Rai berusaha menjangkau tas itu dan berusaha menarik tas itu sekuat tenaga karena berat sekali.
Ransel biru berlogo “D”, berdebu dan dikenali Rai sebagai ransel Derren. Kalau tidak salah waktu dia dan Derren pergi bersama ke rumah Derren, Derren sama sekali tidak membawa apapun kecuali pakaian yang dia kenakan. Sepulang dari kejadian itu pun, Derren hanya membawa tas yang berisi barang elektronik dari rumahnya. Penasaran dengan isinya, Rai membuka ransel itu walaupun sudah menduga isinya. Ada buku, earphone, ponsel, seragam, laptop dan sebuah dokumen penting.

                        CRYSTAL PERTAMA
GROUP
 

Nomor : CRG/2015/DD
Perihal : Pengalihan Aset dan Saham
                                                                                                Jakarta, 21 Juli 2008
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama               : DR. Daris Harryawan
Jabatan                        : Presiden Direktur Crystal Pertama Group
Selaku pemegang saham terbesar atas tujuh puluh lima persen (75%) aset Crystal Pertama Group menyerahkan tujuh puluh lima persen atas aset yang saya miliki, yaitu sebesar lima puluh enam koma dua (56,2%) aset dari Crystal Pertama Group kepada Hosea Derren Harryawan.
Demikianlah surat ini saya nyatakan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun dan dalam keadaan sadar. Dengan demikian, kepemimpinan dan segala hal yang akan dikerjakan oleh Crystal Pertama Group akan mendapat pengawasan langsung dari Hosea Derren Harryawan selaku Pemegang Saham Terbesar Crystal Pertama Group dan disahkan serta dilindungi oleh perundangan yang berlaku juga tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun.
Ditandatangani oleh


DR. Daris Harryawan                                                 Hosea Derren Harryawan
(Presiden Direktur Crystal Pertama Group)


Rai sama sekali tidak menyangka kalau map itu berisi lembaran-lembaran sejumlah aset saham yang dimiliki Derren saat ini, yaitu beberapa rumah dan villa—di Swiss, Jerman, Inggris, Polandia dan Hawaii, sejumlah tanah lapang yang luas—di Brunei, Brazil dan Amerika, beberapa pulau pribadi—di Indonesia dan Jepang, dan masih banyak aset lainnya. Rai melotot dan meneguk ludah ketika melihat jumlah uang yang dimiliki Derren dalam dollar. Ada tujuh koma delapan juta dollar. Kalau dirupiahkan, Derren bisa jadi anak terkaya di Indonesia.
“Pantas saja dia diincar,” gumam Rai tidak percaya. “Anak itu jadi ladang uang buat pelaku. Tapi kenapa Derren tidak membawa berkas-berkas penting ini? Malahan dia meninggalkannya di rumahku.”
Tangan Rai gemetaran saat memasukan berkas-berkas itu kedalam tas Derren kembali. Dadanya sesak, hatinya berkecamuk, jantungnya berdegup kencang dan berbagai macam pertanyaan meledak-ledak di kepalanya. Dia baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat dan hal itu membuatnya gelisah.
“Aku harus mengembalikan ini segera sebelum semuanya terlambat,” Rai cepat-cepat mandi dan sarapan. Tidak lupa dia meninggalkan pesan di pintu kulkas untuk Sandra. Lalu dia segera pergi ke rumah Derren sambil membawa tas berat Derren.
“Berwajah datar tanpa ekspresi, suara tenang, mata dingin, tidak gentar akan apapun dan kata-kata harus sadis,” gumam Rai memakai memakai kacamata dan topi sementara dia ada di depan pintu gerbang rumah Derren. “Harus intelek,” Rai menekan bel.
Rai menunggu sambil berupaya mengingat-ingat kembali perkataan Derren dulu. Belum beberapa menit seorang satpam membukakan gerbang dengan terburu-buru.
“Tu-tuan Muda Derren?” kata satpam itu dengan mata berbinar. “Anda kemana saja selama ini? Tuan Besar... Ada sudah dengar tentang Tuan Daris?”
“Eh... ya... sudah,” kata Rai gugup. Kalau sudah seperti ini dapat diperkirakan bahwa Derren tidak pulang entah sudah berapa lama. Rai melangkahkan kakinya dengan gugup ke dalam rumah itu. Rai lebih terasa asing melihat isi rumah itu tanpa Derren. Kemana Derren saat dibutuhkan? Rai menggerutu dalam hati.
“Selamat datang, Tuan Muda.”
Seperti biasa, Rai yang disangka sebagai Derren disambut oleh beberapa pelayan berseragam. Raut wajah mereka lebih pucat dan lebih khawatir daripada waktu Rai datang ke rumah ini untuk pertama kali.
“Derren, akhirnya kau pulang juga,” seseorang muncul dari balik punggung pelayan. Seorang laki-laki berambut berminyak. Laki-laki yang tidak dikenal Rai. “Kau agak... berbeda...,” laki-laki itu berkomentar, dahinya mengerut dalam dan memperhatikan Derren dari atas sampai ke bawah.
Jantung Rai berdegup kencang. Dia sama sekali tidak mengenal laki-laki di depannya ini. Bagaimana kalau nanti dia ketahuan?
“Maaf, jangan-jangan kau lupa padaku ya?” katanya lagi ketika melihat kerutan didahi Rai. “Ini aku, Dirsa. Manager Keuangan di Crystal. Orang kepercayaan Ayahmu. Kau ingat? Beberapa minggu lalu kita bertemu ketika sarapan.”
“Ooh,” kata Rai lega. Dia tidak perlu repot-repot untuk mengetahui siapa laki-laki ini. Dia sudah mengatakan namanya tanpa disuruh. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Sebenarnya untuk menunggumu, Derren. Aku tahu hal ini sangat berat bagimu dan Daris tapi kau agak keterlaluan. Sudah sebulan sejak Daris dinyatakan sebagai tersangka dan sejak saat itu kau menghilang. Kemana saja kau?”
Jadi Derren tidak pulang selama itu?
“Setiap hari aku menunggu kabarmu. Aku datang untuk, kau tahu, membawamu menjenguk Ayahmu. Disaat seperti ini, kau sangat dibutuhkan oleh Daris.”
Rai menatap wajah Dirsa yang kelihatan cemas. Menurut Rai perkataan Dirsa ada benarnya. Daris yang sebulan menjadi tersangka pasti sangat membutuhkan anaknya. Tidak masalah bagi Rai untuk menggantikan peran Derren. Toh dia pernah melakukan ini sekali. Derren pasti punya alasan tertentu yang mengharuskan dia tidak muncul beberapa waktu. Apalagi jika dia dikejar-kejar orang tidak dikenal.
“Baiklah. Aku ganti pakaian dulu,” Rai bergumam dan naik ke atas tanpa harus menunggu jawaban. Sambil menggigit bibirnya, Rai memegang engsel pintu, berharap pintu tidak dikunci. Permohonannya terkabul. Pintu kamar Derren tidak terkunci.
Tidak banyak yang berubah dari kamar Derren, semuanya masih sama saat Rai pertama kali memasuki kamar ini. Berantakan. Ketika dia menutup pintu di belakangnya, terdengar suara yang tiba-tiba membuatnya melonjak kaget. Rai cepat-cepat mengambil ponsel dari celananya yang bergetar. Di depan layar ponselnya yang berkelap-kelip ada tulisan “Private Number”
Sejak Derren memberikan ponsel itu padanya belum pernah sekalipun ponsel itu berbunyi. Jantung Rai melonjak kegirangan. Hal yang terakhir kali ingin didengar Rai adalah suara Derren dan mengetahui ada dimana dia sekarang. Jangan-jangan yang menghubunginya itu Derren?
“Halo?” kata Rai mengangkat telepon.
“Halo, ini Rai kan? Orang yang wajahnya mirip Derren dan pernah membantu Derren adalah kau kan?”
Rai bimbang. Itu bukan suara Derren. Tapi dari mana dia tahu soal kemiripan itu? Mencurigakan sekali. Rai harus hati-hati. “Ini siapa?”
“Tidak perlu takut begitu. Aku di pihak Derren. Aku Deva Sherlock Holmes.”
Sherlock Holmes? Rai pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Ada perlu apa denganku?”
“Aku sudah melihatmu dan kau benar-benar mirip Derren. Sekarang kau ada di rumah Derren kan? Selama ini Derren tinggal di kediamanku dan dia baik-baik saja walau agak kurus sih.”
Rai tidak tahu kenapa, tapi dia lega mendengar kalau Derren baik-baik saja.
“Sebaiknya kau cepat-cepat meninggalkan rumah Derren. Agak berbahaya di sana dalam kondisi gawat begini. Lebih baik lewat jendela. Jika mereka tidak tahu kau kabur maka kau akan selamat. Rai, jangan lupa membawa ransel Derren. Ada benda penting di dalam kan? Kalau kau berhasil kabur tanpa ketahuan, aku menunggumu di perempatan jalan. Jika tidak berhasil, yah... kita lihat saja nanti aku punya segudang rencana untuk membawamu kabur dan mempertemukanmu pada Derren.”
Telepon terputus sementara Rai bengong. Namun, Rai cepat-cepat mengatasi keheranannya. Kalau yang dikatakan Deva “Sherlock Holmes” benar, Rai harus segera kabur, secepat yang dia bisa.
Rai menggandeng ranselnya dan membuka jendela beranda. Dengan hati-hati, Rai turun secara perlahan menuruni tembok licin melalui pipa-pipa air. Tangannya sampai memerah untuk menahan beban tubuhnya, belum lagi saat dia harus berpindah. Rai melompat setelah jarak tinggal semeter lagi dan membuat bunyi “bluk” keras.
Rai merapatkan tubuhnya ke sela pohon yang ditutupi bunga anyelir ketika kepala pembantu mengintip dari balik jendela. Dia bergumam kalau dia tadi seakan mendengar sesuatu tapi dia langsung menutup jendela. Rai menghela napas lega. Dengan ujung jari kakinya, dia melangkah cepat tanpa suara. Sesekali dia harus bersembunyi saat ada pelayan yang lewat.
Dia tidak bisa lewat pintu gerbang di depan karena dijaga oleh satpam. Menggerutu dalam hati, Rai memutar ke gerbang yang lain. Perlahan-lahan dan mengintip, Rai memanjat melewati gerbang besi yang runcing. Sulit sekali bagi Rai untuk lewat karena tas Derren membebani punggungnya, hampir saja dia terluka.
“Akhirnya lolos dari mulut harimau.”
Rai mendarat dengan sukses. Kemudian dia cepat-cepat pergi menuju kearah perempatan jalan. Kalau dia tidak hati-hati, dia bisa masuk mulut buaya. Dia juga harus berhati-hati pada Deva “Sherlock Holmes”, jangan-jangan dia bukan teman Derren. Jika melihat kondisi sekarang, amat wajar bagi Rai menurigai siapapun.
“Rai Azusha!”
Rai berhenti dan berpaling. Dia melihat seorang anak laki-laki duduk diatas kursi roda. Tangannya melambai pada Rai. Rai segera kearahnya.
“Deva ‘Sherlock Holmes’?” Rai mencoba meyakinkan.
“Wah, kau benar-benar mirip Derren kecuali mata, rambut dan warna kulit. Kau agak lebih berwarna daripada Derren. Maksudku, ya, aku Holmes,” kata Deva takjub melihat Rai. “Luar biasa, kalian tidak bersaudara kandung apalagi kembar tapi wajah kalian mirip. Tidak bisa dibedakan.”
“Dimana Derren?”
“Dia ada kok.”
Sebuah mobil ford merah berhenti di depan mereka. Sang sopir tua berseragam keluar lalu membukakan pintu bagi mereka.
“Dia sopir pribadiku, namanya Pak Rio Syaputro,” kata Deva memperkenalkan sopir itu. Deva naik ke atas mobil, Rai bengong sejenak ketika melihat Deva yang berjalan.
“Kau tidak lumpuh?” Rai terheran-heran. Deva menggeleng sebagai jawaban. “Kalau kau tidak lumpuh kenapa pakai kursi roda?”
“Aku malas berdiri,” jawab Deva enteng dan singkat.
Dahi Rai mengerut. Dia sama sekali tidak menyangka akan menjadi bagian dari orang-orang aneh. Derren adalah orang yang sempurna, pintarnya tidak ada yang menyayingi untuk saat ini, jago olahraga, milyarder remaja, tampan, namun tipe orang yang payah dalam berpakaian. Rai tidak tahu itu disengaja atau tidak, tapi jelas sekali levelnya berpakaian masih kalah dari anak-anak sekarang. Dan sekarang Rai mengenal Deva. Rai pikir Deva bakalan berpakaian ala Sherlock Holmes, ternyata malah suka duduk di kursi roda. Ada begitu banyak orang yang ingin berjalan, tapi si Deva malah memilih untuk jadi orang lumpuh. Dunia benar-benar sudah terbalik.
“Kita sudah sampai,” Deva memberitahu Rai yang hampir tertidur karena AC mobil Deva. Mobil berhenti di depan sebuah rumah bertingkat sederhana. Jendela-jendela kecil menjadi penghias tersendiri rumah itu. Petak-petak bunga krisan tertata rapi, beberapa burung merpati terlihat hinggap di dahan.
“Aku jalan saja,” kata Deva pada Rio yang menggendong kursi roda Deva. “Rai, kau ikut aku ke kamar Derren.”
Rai hanya mengangguk saja.
Sementara menaiki undakan tangga, pintu rumah itu sudah terbuka lebih dahulu. Layaknya rumah Derren, seorang pelayan muda cantik menyambut mereka. Dia hanya mengatakan “selamat datang” dan Deva sama sekali tidak mau repot-repot untuk mengenalkan Rai karena dia lebih memilih untuk naik ke tingkat dua.
“Pak Rio, aku minta dibawakan teh ke kamar Hosea ya?” katanya pada Rio yang mengikuti dari belakang. “Kursi rodanya ditaruh saja ke kamarku. Kalau mau ke kamar Hosea jangan lupa ketuk pintu ya?”
“Baik, Tuan Muda,” kata Rio dengan sebuah senyuman diantara keriput-keriput yang dimilikinya. Setelah berkata itu, dia pergi membawa kursi roda Deva.
“Kamar Derren ada di sudut sana,” kata Deva mengalihkan perhatian Rai. “Sebenarnya kamar itu dulu gudang kecil tapi Derren minta disana. Katanya lebih enak tiduran disana.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.