4.
Misteri Pembunuhan
Seorang anak
laki-laki berwajah penuh mendorong kursi roda yang dia naiki melewati koridor.
Setelah sampai di ujung lorong, dia mengetok pintu cokelat itu, dan tanpa
menunggu jawaban, dia masuk ke dalam.
“Kamarmu berantakan
sekali,” komentar anak laki-laki itu saat melihat ke sekeliling kamar yang
kecil itu. Tempat tidur berlapis seprai putih terletak di atas lantai, jendela
kamar yang kecil terbuka lebar dengan gorden putih melambai tertiup angin. Di
atas lantai putih yang berkilat tergeletak ponsel, laptop, kamera digital,
iPod, buku, berlembar-lembar foto dan kabel-kabel yang berantakan.
“Benar-benar orang
pintar. Sanking pintarnya, sintingnya nggak ketulungan juga,” gumamnya
melemparkan koran sore kepada Derren yang tertidur dalam keadaan terduduk
disamping jendela. Kacamatanya melorot sedikit. Angin sepoi-sepoi menerbangkan
rambutnya.
“Apa?” Derren
bergumam, masih dengan mata tertutup.
“Itu koran sore
tentang berita konyol Ayah-mu lagi,” katanya mencoba menutup pintu di
belakangnya, tapi sulit karena terhadang kursi rodanya.
Derren membuka
koran sore itu dengan malas dan membaca judul besar koran itu: “Daris Korupsi
48,7 M”, “Kerugian Perusahaan Internasional Crystal Pertama Group”, “Daris Jadi
Tersangka”, “Pendapat para Pemegang Saham Crystal Pertama Group” dan banyak
judul lain.
“Ini bohong,” gumam
Derren menutup korannya. “Ayahku tidak korupsi dan Crystal Pertama Group tidak
rugi. Aku sudah periksa sendiri keadaan keuangan mereka. Lalu Pemegang Saham
Crystal Pertama Group sejarahnya tidak pernah mau memberi pendapat,” tambahnya
menopang dagu sementara matanya melihat kearah luar jendela.
“Lalu kenapa tidak
kau selidiki saja?” anak laki-laki itu masih sibuk dengan pintu.
“Sudah tapi masih
sedikit. Aku harus bertemu mereka secara langsung namun resikonya besar dan
sangat berbahaya,” jawabnya. “Holmes, seharusnya kau bangun dari kursi roda
jelek itu dan tutup pintunya sekarang juga. Pemandangan yang sangat buruk melihatmu berkutat dengan pintu. Kau kan bisa
jalan, tidak lumpuh.”
Deva “Sherlock
Holmes” menggelembungkan pipinya sehingga wajahnya yang penuh jadi terlihat
seperti balon. Deva bangkit dari kursi rodanya dan segera menutup pintu lalu
dia duduk lagi.
“Begitu kan beres,”
Derren kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela.
“Sejak Ayahmu
dituduh sebagai tersangka, kau sama sekali tidak pernah keluar selangkahpun
dari kamar ini. Kau merasa takut ya?” tanya Deva setelah sunyi beberapa saat.
“Kau tenang saja.
Aku sudah ujian kok jadi aku tidak mungkin tinggal kelas. Apalagi IQ-ku juga
diatas rata-rata, mana mau guru membiarkanku tetap di satu kelas. Mereka itu
sangat mencintaiku,” jawab Derren pelan masih menatap keluar jendela.
Deva agak kesal
melihat tingkah Derren.
“Tanpa kau katakan pun aku tahu kalau kau jenius,”
gumam Deva. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Memperhatikan
dengan tenang.”
Deva menganga tidak
percaya. Dia melihat Derren lekat-lekat seakan tidak pernah melihat manusia sebelumnya—khususnya
manusia seperti Derren.
“Ayahmu sedang terancam nyawanya! Bisa-bisanya kau mengatakan
‘memperhatikan dengan tenang’! Kau sudah gila?”
“Panik juga tidak
ada gunanya. Lebih baik aku melihat keadaan.”
Deva mendengus
kesal. “Bagaimana, kalau misalnya, Ayahmu semakin terbukti bersalah?”
“Bukan aku yang
akan bertindak,” kata Derren dengan mata menerawang. Deva mengerutkan dahinya.
“Akan lebih bagus kalau Ayah semakin terancam dan berita sang Pemegang Saham
yang belum muncul akan menambah kehebohan. Rasa cemas dan penasaran itu akan
membuat dia datang dengan sendirinya dan menawarkan bantuan tanpa
diminta. Sifat polosnya sangat mudah ditebak.”
“Dia? Dia
siapa?”
“Nanti juga kau
tahu.”
***
Di Diaz Restaurant,
Rai yang membawakan nampan berisi sup dan sphagetti meletakan nampan itu di atas meja bernomor lima.
“Terima kasih.”
“Kembali. Jika
butuh sesuatu panggil saya saja,” kata Rai tersenyum ramah. Setelah
berbasa-basi sedikit, Rai kembali ke meja pesanan.
“Akhir-akhir ini
kau kelihatan lesu.” Alex menegur sambil mengelap gelas-gelas yang berkilat.
“Kalau kau butuh uang katakan saja.”
“Aku memang butuh
uang tapi aku tak mau meminjam darimu. Kapok,” gerutu Rai, dia segera kearah
meja nomor tiga yang meminta bill dan kembali lagi ke arah Alex,
menyerahkan beberapa lembar uang pada Alex.
“Kau menjual iPod,
sepatu, jeket cuma membeli sepeda baru dan mengembalikan wujudmu? Sayang
sekali. Padahal aku suka gayamu waktu itu. Soalnya kau kelihatan lebih keren,”
kata Alex menyindirnya.
Rai menggertakan
giginya. “Jangan urusi masalahku!”
“Wah, kau juga
lebih galak.”
Rai berpaling pergi
sambil menahan kesalnya. Dia segera membereskan piring-piring di meja nomor
tiga dan dibawa ke dapur untuk dicuci. Rai lebih memilih untuk berlama-lama mencuci piring dan melayani pelanggan
daripada mendengar komentar Alex seputar Derren. Akhirnya setelah jam dinding
menunjukan pukul sepuluh, Rai cepat-cepat pulang.
“Melelahkan,” gumam
Rai memijit-mijit lehernya yang pegal. Dia memarkirkan sepedanya dan membuka
pintu rumah yang gelap. Ada pesan dari Sandra kalau hari ini dia lembur. Rai meminum air dalam kulkas yang menyegarkan
dahaganya. Dia memutuskan untuk mandi lebih dahulu supaya lebih santai.
Selesai mandi, Rai
segera makan malam. Hidangan malam sudah disediakan oleh Sandra lengkap dengan
koran sore. Awalnya Rai benar-benar berkonsentrasi pada makanannya tapi saat
dia melihat judul berita: “Tuduhan Ganda pada Daris: Tersangka Korupsi Crystal
Pertama Group dan Pelaku Pembunuhan Nico””, dia melupakan semuanya.
Daris “Pelaku Pembunuhan Nico”
Nico Gesha, salah seorang Pemegang Saham Crystal Pertama
Group, Kamis (17/9) ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di salah satu hotel
ternama di Spanyol. Awalnya kematian Pemuda berumur tiga puluh dua tahun ini
dirahasiakan oleh pihak kepolisian Spanyol untuk penyelidikan lebih lanjut.
Setelah satu minggu melakukan penyelidikan di TKP dan
mengautopsi mayat, diberitahukanlah sebuah kabar yang tidak terduga bahwa Nico
tewas ditusuk oleh Daris. Ditemukan tiga tusukan pada tubuh Nico, diantaranya terdapat
pada daerah perut, leher dan punggung.
“Kami menemukan sidik jari Daris pada pisau yang
dijadikan alat pembunuhan,” ungkap Inspektur Roy Khanaza. “Dan pada saat
kematian Nico, pada saat itu Daris ada di Spanyol melakukan rapat penting.
Semuanya cocok.”
Pihak kepolisian menduga Daris membunuh Nico untuk
membungkam segala hal mengenai penyelundupan uang Crystal Pertama Grupo sebesar
48,7 M dan menghilangkan bukti-bukti mengenai uang tersebut. Daris, yang sudah
dapat diwawancarai di Kepolisian Pusat memberikan komentar tenang.
“Nico meninggal, ya?” kata Daris dengan nada menyesal.
“Aku sudah menduga. Padahal sudah kukatakan untuk tidak ikut campur. Yah...
nasi telah jadi bubur. Apa boleh buat.”
Apakah komentarnya ini berarti bahwa Daris-lah yang
membunuh Nico?
“Untuk saat ini aku hanya ikuti alur saja. Bagaimanapun
saat ini aku terlihat seperti seorang penjahat. Hm... komentarnya untuk
sekarang, aku tidak takut karena aku sama sekali tidak salah. Pokoknya, ada
orang yang sudah kuserahi tugas untuk menyelidiki masalah ini sampai tuntas.
Intinya seperti itu.”
Melihat sikap Daris yang masih biasa saja walaupun akan
dijebloskan ke penjara membuktikan bahwa dia seperti orang yang kebal hukum.
Ataukah Daris hanya pura-pura tidak tahu atau dia memang tidak bersalah?
“Aku bukan orang kebal hukum. Aku hanya orang yang
percaya diri. Saat ini saham Crystal Pertama sudah dipergang oleh orang dari
dunia maya yang hebat, jadi tidak perlu dikhawatirkan. Legipula Jeff, Dirsa dan
beberapa orang perusahaan dengan rutin menjengukku secara bergantian dan
memberi informasi, aku tidak perlu takut. Hanya itu saja yang bisa kukatakan.”
Daris akan diadili di Pengadilan Tinggi Jakarta pada
tanggal dua puluh delapan September sementara masih dilakukan penyelidikan
seputar kasus korupsi 48,7 M.
“Ini gila,” gumam
Rai tidak percaya, tangannya gemetaran membaca koran itu. Hipotesa Sandra
mengenai Daris memang benar dan sekarang Daris diserang bertubi-tubi oleh
pelaku yang sesungguhnya. Rai cepat-cepat menghabiskan makan malamnya sementara
otaknya sibuk berpikir.
Daris dijebak
korupsi sebesar 48,7 M atas keuntungan Crystal Pertama Group, tapi sepertinya
dia tahu akan dijebak sehingga memberikan sahamnya pada Derren. Masalahnya,
kenapa Pelaku harus membunuh Nico dan menjebak Daris dan berupaya
memperlihatkan seolah-olah Daris-lah yang membunuh Nico? Agak memaksakan diri.
Tidak perlu membunuh Nico pun, Daris sudah terlihat bersalah. Apa
yang dipikirkan si Pelaku ya? Kenapa harus melakukan itu? Hm... yang paling
masuk akal kalau Pelaku dan Nico bekerja sama menjebak Daris tapi kemudian Nico
menolak karena alasan-alasan tertentu. Sang pelaku kesal dan membunuh Nico dan
meperlihatkan bahwa Daris yang membunuh.
Kemungkinan yang
lain, entah bagaimana Nico mengetahui pelaku yang asli dan hendak memberitahu polisi tapi dibunuh terlebih dahulu.
Atau alasan yang paling memojokan Daris... hm... Daris dan Nico bekerjasama
untuk hal tertentu. Nico bermasalah akan sesuatu pada Daris dan akhirnya
dibunuh.
“Aaaargh!” Rai
menggerutu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kepalanya sakit. Alasan
yang manapun, semuanya seolah-olah, memojokan Daris. Rai hanya memikirkan satu
hal yang akan dilakukannya besok: datang ke rumah Derren dan mencari tahu apa
yang terjadi. Kenapa anak itu sepertinya tidak peduli dengan Ayahnya
sendiri?
***
“Bagaimana
pendapatmu? Bukan hanya dituduh korupsi, Ayahmu juga dituduh membunuh Pemegang
Saham,” kata Deva membolak-balik buku pelajarannya. Derren yang menonton hot
news seputar Daris hanya diam. “Kau tak berniat membantu Ayahmu?” kata Deva
lagi.
“Holmes, kau tidak
merasa ada yang ganjil dengan kasus Ayahku?” kata Derren, matanya masih
menatap layar kaca. “Instuisi Sherlock Holmes-mu itu harusnya bekerja kan kalau
kau seorang detektif?”
Deva menatap Derren
yang masih berkonsentrasi pada berita, menutup bukunya lalu menghela napas
berat. “Yah... kalau menurut pendapatku, pelakunya kesal pada sikap Ayahmu dan
kau. Ayahmu sudah diancam sedemikian rupa dan tinggal sedikit lagi dinyatakan
bersalah tapi sikap kalian masih tenang seakan tidak terjadi apapun.
Pelakunya, ada kemungkinan, panik dan tidak
menyangka bahwa sebagian besar saham Ayahmu sudah diberikan padamu. Apalagi kau
tidak muncul sejak, kau tahu, Ayahmu dituduh. Karena itulah maka pelaku membuat
Ayahmu jadi tertuduh pembunuhan supaya kau—istilahnya Sang Pemegang Saham
Terbesar—muncul. Agak memaksakan diri tapi rasanya memang begitu.”
Derren menopang
dagunya sementara dahinya mengerut. Dalam beberapa menit dia diam sambil
berpikir. Pikirannya melayang pada kejadian dua minggu lalu ketika dia
diperintahkan Daris untuk datang ke kantor.
“Bawa ini.” Kata
Daris sambil menyerahkan amplop besar berwana coklat.
“Apa ini?”
“Berkas-berkas
saham yang sudah kau miliki selama ini. Jaga baik-baik. Ada kemungkinan kau dan
Crystal dalam masalah.”
“Maksudnya?”
“Ada yang mencoba
berkhianat di kubu Crystal. Masih dalam penyelidikan. Tapi, supaya aman lebih
baik kau saja yang membawa ini, Derren.”
“Baik,” Derren
mengambil amplop itu dan berbalik. Namun ketika dia membuka pintu, Daris
berkata, “Berhati-hatilah.” Lalu saat keluar dari kantor dia bertemu dengan
orang-orang yang menyatakan diri sebagai suruhan Ayahnya.
Derren tersenyum.
“Yang kau katakan benar. Aku setuju dengan pendapatmu dan aku mencurigai
beberapa orang dari Crystal Pertama Group.”
Deva kaget,
jantungnya beredegup kencang dan penasaran. “Siapa?”
“Sebelum itu, orang
yang membantu kita mungkin akan datang. Aku perlu sedikit bantuanmu. Kau bisa
kan, Holmes?” kata Derren dengan penuh percaya diri. Ada kilatan semangat di
mata birunya.
Melihat hal itu,
Deva tidak bisa mengatakan apapun. Ini pertama kalinya Deva melihat mata biru
Derren yang berekspresi. Hal ini sangat jarang terjadi. Deva tidak bisa
mengatakan hal lain kecuali, “Ya. Apa boleh buat.”
***
Rai bangun pagi.
Malas. Hari ini dia tidak berniat untuk mengantar koran kecuali
bermalas-malasan. Waktu bahkan menunjukan pukul sembilan. Semalam dia baru bisa
tidur ketika pukul tiga pagi karena sibuk berpikir. Tapi, sama halnya seperti
orang yang tidak punya petunjuk, dia hanya mendapat jawaban kosong.
Rai meregangkan
tubuhnya sementara matanya masih mengantuk. Ketika dia berguling, dia jatuh
dari tempat tidur dan hal itu membuatnya benar-benar tersadar. Kantuknya hilang
dan tubuhnya sekarang terasa sakit karena menghantam lantai kamar.
“Aduuuh,” Rai
mengeluh dan saat dia melongok ke bawah kolong tempat tidur, dia melihat ada
sebuah tas ransel besar di sudut tempat tidurnya. Rai berusaha menjangkau tas
itu dan berusaha menarik tas itu sekuat tenaga karena berat sekali.
Ransel biru berlogo “D”, berdebu dan
dikenali Rai sebagai ransel Derren. Kalau tidak salah waktu dia dan Derren
pergi bersama ke rumah Derren, Derren sama sekali tidak membawa apapun kecuali
pakaian yang dia kenakan. Sepulang dari kejadian itu pun, Derren hanya membawa
tas yang berisi barang elektronik dari rumahnya. Penasaran dengan isinya, Rai
membuka ransel itu walaupun sudah menduga isinya. Ada buku, earphone, ponsel, seragam, laptop dan
sebuah dokumen penting.
CRYSTAL PERTAMA
GROUP
Nomor : CRG/2015/DD
Perihal : Pengalihan
Aset dan Saham
Jakarta,
21 Juli 2008
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
DR. Daris Harryawan
Jabatan :
Presiden Direktur Crystal Pertama Group
Selaku pemegang saham terbesar atas tujuh puluh lima
persen (75%) aset Crystal Pertama Group menyerahkan tujuh puluh lima persen
atas aset yang saya miliki, yaitu sebesar lima puluh enam koma dua (56,2%) aset
dari Crystal Pertama Group kepada Hosea Derren Harryawan.
Demikianlah surat ini saya nyatakan tanpa adanya paksaan
dari pihak manapun dan dalam keadaan sadar. Dengan demikian, kepemimpinan dan
segala hal yang akan dikerjakan oleh Crystal Pertama Group akan mendapat
pengawasan langsung dari Hosea Derren Harryawan selaku Pemegang Saham Terbesar
Crystal Pertama Group dan disahkan serta dilindungi oleh perundangan yang
berlaku juga tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun.
Ditandatangani oleh
DR. Daris Harryawan Hosea
Derren Harryawan
(Presiden Direktur Crystal Pertama Group)
Rai sama sekali
tidak menyangka kalau map itu berisi lembaran-lembaran sejumlah aset saham yang
dimiliki Derren saat ini, yaitu beberapa rumah dan villa—di Swiss, Jerman, Inggris, Polandia dan Hawaii, sejumlah
tanah lapang yang luas—di Brunei, Brazil dan Amerika, beberapa pulau pribadi—di
Indonesia dan Jepang, dan masih banyak aset lainnya. Rai melotot dan meneguk
ludah ketika melihat jumlah uang yang dimiliki Derren dalam dollar. Ada tujuh
koma delapan juta
dollar. Kalau dirupiahkan, Derren bisa jadi anak terkaya
di Indonesia.
“Pantas saja dia
diincar,” gumam Rai tidak percaya. “Anak itu jadi ladang uang buat pelaku. Tapi
kenapa Derren tidak membawa berkas-berkas penting ini? Malahan dia
meninggalkannya di rumahku.”
Tangan Rai
gemetaran saat memasukan berkas-berkas itu kedalam tas Derren kembali. Dadanya
sesak, hatinya berkecamuk, jantungnya berdegup kencang dan berbagai macam
pertanyaan meledak-ledak di kepalanya. Dia baru saja melihat sesuatu yang
seharusnya tidak dia lihat dan hal itu membuatnya gelisah.
“Aku harus
mengembalikan ini segera sebelum semuanya terlambat,” Rai cepat-cepat mandi dan
sarapan. Tidak lupa dia meninggalkan pesan di pintu kulkas untuk Sandra. Lalu
dia segera pergi ke rumah Derren sambil membawa tas berat Derren.
“Berwajah datar
tanpa ekspresi, suara tenang, mata dingin, tidak gentar akan apapun dan
kata-kata harus sadis,” gumam Rai memakai memakai kacamata dan topi
sementara dia ada di depan pintu gerbang rumah Derren. “Harus intelek,” Rai
menekan bel.
Rai menunggu sambil
berupaya mengingat-ingat kembali perkataan Derren dulu. Belum beberapa menit
seorang satpam membukakan gerbang dengan terburu-buru.
“Tu-tuan Muda
Derren?” kata satpam itu dengan mata berbinar. “Anda kemana saja selama ini?
Tuan Besar... Ada sudah dengar tentang Tuan Daris?”
“Eh... ya...
sudah,” kata Rai gugup. Kalau sudah seperti ini dapat diperkirakan bahwa Derren
tidak pulang entah sudah berapa lama. Rai melangkahkan kakinya dengan gugup ke
dalam rumah itu. Rai lebih terasa asing melihat isi rumah itu tanpa Derren. Kemana
Derren saat dibutuhkan? Rai menggerutu dalam hati.
“Selamat datang,
Tuan Muda.”
Seperti biasa, Rai
yang disangka sebagai Derren disambut oleh beberapa pelayan berseragam. Raut
wajah mereka lebih pucat dan lebih khawatir daripada waktu Rai datang ke rumah
ini untuk pertama kali.
“Derren, akhirnya
kau pulang juga,” seseorang muncul dari balik punggung pelayan. Seorang
laki-laki berambut berminyak. Laki-laki yang tidak dikenal Rai. “Kau agak...
berbeda...,” laki-laki itu berkomentar, dahinya mengerut dalam dan
memperhatikan Derren dari atas sampai ke bawah.
Jantung Rai
berdegup kencang. Dia sama sekali tidak mengenal laki-laki di depannya ini.
Bagaimana kalau nanti dia ketahuan?
“Maaf,
jangan-jangan kau lupa padaku ya?” katanya lagi ketika melihat kerutan didahi
Rai. “Ini aku, Dirsa. Manager Keuangan di Crystal.
Orang kepercayaan Ayahmu. Kau ingat? Beberapa minggu lalu kita bertemu ketika
sarapan.”
“Ooh,” kata Rai
lega. Dia tidak perlu repot-repot untuk mengetahui siapa laki-laki ini. Dia
sudah mengatakan namanya tanpa disuruh. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Sebenarnya untuk
menunggumu, Derren. Aku tahu hal ini sangat berat bagimu dan Daris tapi kau
agak keterlaluan. Sudah sebulan sejak Daris dinyatakan sebagai tersangka dan
sejak saat itu kau menghilang. Kemana saja kau?”
Jadi Derren tidak
pulang selama itu?
“Setiap hari aku
menunggu kabarmu. Aku datang untuk, kau tahu, membawamu menjenguk Ayahmu.
Disaat seperti ini, kau sangat dibutuhkan oleh Daris.”
Rai menatap wajah
Dirsa yang kelihatan cemas. Menurut Rai perkataan Dirsa ada benarnya. Daris
yang sebulan menjadi tersangka pasti sangat membutuhkan anaknya. Tidak masalah
bagi Rai untuk menggantikan peran Derren. Toh dia pernah melakukan ini sekali.
Derren pasti punya alasan tertentu yang mengharuskan dia tidak muncul beberapa
waktu. Apalagi jika dia dikejar-kejar orang tidak dikenal.
“Baiklah. Aku ganti
pakaian dulu,” Rai bergumam dan naik ke atas tanpa harus menunggu jawaban.
Sambil menggigit bibirnya, Rai memegang engsel pintu, berharap pintu tidak
dikunci. Permohonannya terkabul. Pintu kamar Derren tidak terkunci.
Tidak banyak yang
berubah dari kamar Derren, semuanya masih sama saat Rai pertama kali memasuki
kamar ini. Berantakan. Ketika dia menutup pintu di belakangnya, terdengar suara
yang tiba-tiba membuatnya melonjak kaget. Rai cepat-cepat mengambil ponsel dari
celananya yang bergetar. Di depan layar ponselnya yang berkelap-kelip ada
tulisan “Private Number”
Sejak Derren
memberikan ponsel itu padanya belum pernah sekalipun ponsel itu berbunyi.
Jantung Rai melonjak kegirangan. Hal yang terakhir kali ingin didengar Rai adalah suara Derren dan mengetahui ada dimana dia
sekarang. Jangan-jangan yang menghubunginya itu Derren?
“Halo?” kata Rai
mengangkat telepon.
“Halo, ini Rai kan?
Orang yang wajahnya mirip Derren dan pernah membantu Derren adalah kau kan?”
Rai bimbang. Itu
bukan suara Derren. Tapi dari mana dia tahu soal kemiripan itu? Mencurigakan
sekali. Rai harus hati-hati. “Ini siapa?”
“Tidak perlu takut
begitu. Aku di pihak Derren. Aku Deva Sherlock Holmes.”
Sherlock Holmes?
Rai pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Ada perlu apa
denganku?”
“Aku sudah
melihatmu dan kau benar-benar mirip Derren. Sekarang kau ada di rumah Derren
kan? Selama ini Derren tinggal di kediamanku dan dia baik-baik saja walau agak
kurus sih.”
Rai tidak tahu
kenapa, tapi dia lega mendengar kalau Derren baik-baik saja.
“Sebaiknya kau
cepat-cepat meninggalkan rumah Derren. Agak berbahaya di sana dalam kondisi gawat
begini. Lebih baik lewat jendela. Jika mereka tidak tahu kau kabur maka kau
akan selamat. Rai, jangan lupa membawa ransel Derren. Ada benda penting di
dalam kan? Kalau kau berhasil kabur tanpa ketahuan, aku menunggumu di
perempatan jalan. Jika tidak berhasil, yah... kita lihat saja nanti aku punya
segudang rencana untuk membawamu kabur dan mempertemukanmu pada Derren.”
Telepon terputus
sementara Rai bengong. Namun, Rai cepat-cepat mengatasi keheranannya. Kalau
yang dikatakan Deva “Sherlock Holmes” benar, Rai harus segera kabur, secepat
yang dia bisa.
Rai menggandeng
ranselnya dan membuka jendela beranda. Dengan hati-hati, Rai turun secara
perlahan menuruni tembok licin melalui pipa-pipa air. Tangannya sampai memerah
untuk menahan beban tubuhnya, belum lagi saat dia harus berpindah. Rai melompat
setelah jarak tinggal semeter lagi dan membuat
bunyi “bluk” keras.
Rai merapatkan tubuhnya
ke sela pohon yang ditutupi bunga anyelir ketika kepala pembantu mengintip dari
balik jendela. Dia bergumam kalau dia tadi seakan mendengar sesuatu tapi dia
langsung menutup jendela. Rai menghela napas lega. Dengan ujung jari kakinya,
dia melangkah cepat tanpa suara. Sesekali dia harus bersembunyi saat ada
pelayan yang lewat.
Dia tidak bisa
lewat pintu gerbang di depan karena dijaga oleh satpam. Menggerutu dalam hati,
Rai memutar ke gerbang yang lain. Perlahan-lahan dan mengintip, Rai memanjat
melewati gerbang besi yang runcing. Sulit sekali bagi Rai untuk lewat karena
tas Derren membebani punggungnya, hampir saja dia terluka.
“Akhirnya lolos
dari mulut harimau.”
Rai mendarat dengan
sukses. Kemudian dia cepat-cepat pergi menuju kearah perempatan jalan. Kalau
dia tidak hati-hati, dia bisa masuk mulut buaya. Dia juga harus berhati-hati
pada Deva “Sherlock Holmes”, jangan-jangan dia bukan teman Derren. Jika melihat
kondisi sekarang, amat wajar bagi Rai menurigai siapapun.
“Rai Azusha!”
Rai berhenti dan
berpaling. Dia melihat seorang anak laki-laki duduk diatas kursi roda. Tangannya melambai pada Rai. Rai segera kearahnya.
“Deva ‘Sherlock
Holmes’?” Rai mencoba meyakinkan.
“Wah, kau
benar-benar mirip Derren kecuali mata, rambut dan warna kulit. Kau agak lebih berwarna
daripada Derren. Maksudku, ya, aku Holmes,” kata Deva takjub melihat Rai. “Luar
biasa, kalian tidak bersaudara kandung apalagi kembar tapi wajah kalian mirip.
Tidak bisa dibedakan.”
“Dimana Derren?”
“Dia ada kok.”
Sebuah mobil ford
merah berhenti di depan mereka. Sang sopir tua berseragam keluar lalu
membukakan pintu bagi mereka.
“Dia sopir
pribadiku, namanya Pak Rio Syaputro,” kata Deva memperkenalkan sopir itu. Deva
naik ke atas mobil, Rai bengong sejenak ketika melihat Deva yang berjalan.
“Kau tidak lumpuh?”
Rai terheran-heran. Deva menggeleng sebagai jawaban. “Kalau kau tidak lumpuh
kenapa pakai kursi roda?”
“Aku malas
berdiri,” jawab Deva enteng dan singkat.
Dahi Rai mengerut.
Dia sama sekali tidak menyangka akan menjadi bagian dari orang-orang aneh.
Derren adalah orang yang sempurna, pintarnya tidak ada yang menyayingi untuk
saat ini, jago olahraga, milyarder remaja, tampan, namun tipe orang yang
payah dalam berpakaian. Rai tidak tahu itu disengaja atau tidak, tapi jelas
sekali levelnya berpakaian masih kalah dari anak-anak sekarang. Dan sekarang
Rai mengenal Deva. Rai pikir Deva bakalan berpakaian ala Sherlock Holmes,
ternyata malah suka duduk di kursi roda. Ada begitu banyak orang yang ingin
berjalan, tapi si Deva malah memilih untuk jadi orang lumpuh. Dunia benar-benar
sudah terbalik.
“Kita sudah
sampai,” Deva memberitahu Rai yang hampir tertidur karena AC mobil Deva. Mobil
berhenti di depan sebuah rumah bertingkat sederhana. Jendela-jendela kecil
menjadi penghias tersendiri rumah itu. Petak-petak bunga krisan tertata rapi,
beberapa burung merpati terlihat hinggap di dahan.
“Aku jalan saja,”
kata Deva pada Rio yang menggendong kursi roda
Deva. “Rai, kau ikut aku ke kamar Derren.”
Rai hanya
mengangguk saja.
Sementara menaiki
undakan tangga, pintu rumah itu sudah terbuka lebih dahulu. Layaknya rumah
Derren, seorang pelayan muda cantik menyambut mereka. Dia hanya mengatakan
“selamat datang” dan Deva sama sekali tidak mau repot-repot untuk mengenalkan
Rai karena dia lebih memilih untuk naik ke tingkat dua.
“Pak Rio, aku minta
dibawakan teh ke kamar Hosea ya?” katanya pada Rio yang mengikuti dari
belakang. “Kursi rodanya ditaruh saja ke kamarku. Kalau mau ke kamar Hosea
jangan lupa ketuk pintu ya?”
“Baik, Tuan Muda,”
kata Rio dengan sebuah senyuman diantara keriput-keriput yang dimilikinya.
Setelah berkata itu, dia pergi membawa kursi roda Deva.
“Kamar Derren ada
di
sudut sana,” kata Deva mengalihkan perhatian Rai.
“Sebenarnya kamar itu dulu gudang kecil tapi Derren minta disana. Katanya lebih
enak tiduran disana.”
0 komentar:
Posting Komentar