RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 Januari 2013

Derren dan Rai Eps 3


3.
Masalah Dimulai
 “Kau... Putra Daris?” kata laki-laki botak bertubuh besar dan kekar yang ada di depan orang-orang itu. Dia menghabiskan ruangan lift untuk dirinya sendiri. Rai sedang menebak-nebak bagaimana cara Pria besar itu masuk ke dalam lift tanpa membuat gepeng orang-orang di belakangnya saat pria kurus ceking di sampingnya berkata, “Tidak mungkin.”
“Daris adalah tipe orang yang tertutup. Kami saja tidak tahu dia sudah menikah atau belum. Kenapa sekarang ada anak yang mengaku Putranya?” kata laki-laki tampan di belakangnya. Dia melipat tangan dan bersandar di tembok lift.
“Benar. Wajah Daris masih muda tetapi kenapa anaknya sebesar ini?” lelaki lain, yang tubuhnya mungil kecil dan matanya jenaka, melompat-lompat di belakang pria besar itu. “Jeff, geser, dong. Aku tidak bisa melihat dan bernapas, nih. Aku kan pendek, tidak sepertimu yang tinggi besar kayak gorilla.”
Jeff—yang bertubuh besar—mengangkat tangannya yang besar lalu mengacak rambut laki-laki mungil yang besar tubuhnya hanya sepinggang Jeff.
Derren menyingkir dari lift dan membiarkan orang-orang itu keluar. Lelaki yang tampan mengibas-kibaskan tangannya, sementara tangannya yang satu lagi di kantong celana. Laki-laki kurus ceking seperti lidi itu menghirup udara banyak-banyak dan laki-laki mungil yang satunya memperbaiki rambutnya yang berantakan. Namun tampaknya selain laki-laki besar dan botak itu, semuanya berkeringat dan kehabisan napas.
“Kau menghabiskan oksigen untuk dirimu sendiri tahu,” laki-laki mungil itu menggerutu; menyatakan isi hati teman-temannya yang lain. Dia masih memegang kepalanya dengan kedua tangannya.
“Diam, Kecil. Kalau kau bicara lagi akan kupastikan kau akan melayang dengan kepala di bawah,” ancam laki-laki bertubuh besar. Laki-laki kecil itu menggerutu pelan. “Seperti yang dikatakan mereka, kami tidak percaya kau anak Daris.”
“Aku hanya ingin tahu Ayahku ada dimana.”
Kebiasaan Derren kumat lagi. Dia berbicara tanpa mendengar perkataan si Gorilla dan memakai nada memerintah. Rai melihat ada tanda-tanda si Gorilla dan para kera di belakangnya (teman-teman berjasnya, maksud Rai) agak kurang senang. Apalagi si Gorilla itu—sepertinya—tipe orang pemarah.
“Kau tidak medengar perkataanku barusan?” suara si Gorilla menggelegar, menarik perhatian karyawan yang lebih banyak lagi.
“Aku hanya ingin tahu Ayahku ada dimana,” Derren mengulang perkatannya.
“Apa yang akan kau lakukan jika tidak memberitahumu dimana Daris? Apa kau akan mengobrak-abrik perusahaan kami? Atau kau mengancam akan bunuh diri?” Pria tampan itu angkat bicara, nadanya meremehkan sekali. “Bagaimana, Nak?”
Derren diam, masih belum memberi respon.
“Anak itu takut, padahal baru digertak sedikit,” gumam si Lidi.
“Harus kuakui, kau memang mirip Daris. Tapi hanya segini,” si Mungil menunjukan ujung ibu jari dan telunjuknya hampir bersentuhan.
“Konyol sekali meladeni anak kecil. Datanglah sekitar tiga puluh tahun lagi jika kau cukup pintar untuk jadi Putra Daris,” kata si Tampan dengan nada tidak peduli.
Rai heran melihat Derren yang diam saja dan membiarkan orang-orang itu melecehkan dan melewatinya begitu saja. Rai baru saja berpikir kalau Derren hanya berani mengancam orang-orang kecil sejenis dirinya ketika Derren tiba-tiba buka mulut dan membuat Rai harus menarik pikirannya tadi.
“Kalau kalian tidak memberitahu dimana Ayahku, aku akan menjual setengah aset saham yang diberikan Ayah padaku. Itu berarti sekitar sembilan per tiga puluh dua dari aset Crystal Pertama Group, dua puluh delapan koma satu persen. Kira-kira Crystal Pertama Group akan jadi apa ya?”
Bocah Iblis, Rai membatin, kau memang sadis.
Pria-pria berjas itu menoleh dengan tatapan kaget. Kelihatannya Derren berhasil menjajah mereka.
Si Gorilla memperkenalkan diri sebagai Jeff, salah satu pemegang saham dan pendiri Crystal Pertama Group. Saat ini dia menjabat sebagai Direktur Perusahaan cabang Singapura. Si Kurus itu bernama Robert, seorang Direktur Pemasaran dan dia memegang peran untuk mengatur dan melaporkan uang keluar-masuknya perusahaan. Si Tampan yang seperti model itu bernama Kolas, saudara kembarnya Nico. Katanya Kakaknya itu lagi sibuk di Brunei dan mengurus entah apa. Jadi untuk sementara ini dia menggantikan posisi Nico sebagai Dirut Staf Promosi Perusahaan. Lalu yang tidak kalah hebat adalah si Mungil William atau Willy, sang Wakil Direktur seluruh cabang Crystal Pertama Group. Tidak ada yang lepas dari matanya.
Daris, Presiden Direktur Crystal Pertama Group dan juga merupakan Ayah Derren, kabarnya ada di Spanyol. Kata mereka dia menghadiri rapat untuk membahas kerja sama Perusahaan Besar untuk di masa yang akan datang. Persoalan, yang menurut Derren, amat tidak perlu, membuang-buang waktu, uang dan tenaga. Mereka akhirnya mau berbicara jujur jika Derren berjanji tidak menjual saham perusahaan.
“Yah... aku juga tidak merasa beruntung menjual saham perusahaan. Lagipula aku hanya menggertak kalian saja dan tidak berniat menjual saham jika kalian tidak memberitahuku. Aku tidak menyangka kalian termakan gertakanku,” kata Derren setelah mereka selesai bercerita. Rai yakin kalau mereka amat dendam pada Derren.
“Kau hebat! Yang tadi itu benar-benar luar biasa!” Rai memuji Derren ketika mereka berjalan beriringan keluar dari kantor Jeff.
“Aku hanya mencontoh apa yang dilakukan Ayahku saja, kok,” kata Derren merendah tapi tidak begitu bagi indera pendengaran Rai.
“Setelah ini apa yang akan kau lakukan?” kata Rai lagi. Derren diam, tidak menjawab. “Apa kau akan kembali ke rumah itu?” lagi-lagi Derren tidak menjawab.
Rai memutuskan untuk tidak bertanya lagi ketika melihat kondisi Derren yang sepertinya tidak mau menjawab satupun pertanyaannya.
“Kau bisa menginap di rumahku kalau kau mau. Aku sama sekali tidak keberatan kok,” kata Rai saat dia menginjakan kakinya ke dalam lift.
“Tidak usah,” kata Derren, wajahnya panik dan dalam sepersekian detik dia sudah berbalik dan berlari ke arah berlawanan.
“Derren, ada apa?” Rai menahan pintu lift yang hampir tertutup. Pintu lift itu terbuka dan Rai sempat melihat kalau Derren berbelok ke kanan. Dia kemudian jatuh karena ditabrak oleh tiga orang berjas hitam dan memakai kacamata hitam. Ketiga orang itu, masalahnya, mengejar Derren.
“Gawat,” gumam Rai. Dia kembali masuk ke dalam lift. Tangannya terjepit lift yang bergerak tertutup. Menekan-nekan tombol lift tiga lantai di bawah lantai tempatnya berdiri dengan panik saat pintu lift tertutup, Rai mengumpat dalam hati. Gerak lift itu rasanya lambat sekali. Sementara pikirannya menduga-duga ke hal yang negatif. Jangan-jangan Derren tertangkap, diculik, disekap, disiksa... bahkan dibu—
Rai menggeleng kuat-kuat seakan ada banyak lebah yang berdengung di atas kepalanya. Pikiran-pikiran negatif itu harus segera dia tepis. Derren pernah dikejar sebelumnya dan berhasil menghindar. Kali ini pun dia pasti berhasil lagi.
Pintu lift terbuka seiring dengan bunyi ‘ting’. Rai berlari keluar dan hampir tergelincir saat berbelok. Rai berhenti dan kepalanya celingukan melihat kesana-kemari. Saat melihat ada pintu yang tertutup bertuliskan “Tangga Darurat”,  Rai menuju kearah pintu itu. Jika dugaannya benar, ada kemungkinan Derren akan melewati pintu itu.
Tepat dugaannya. Rai baru membuka sedikit saat pintu menjeblak terbuka. Kepala Rai terhantam sudut pintu. Rai meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang senat-senut. Derren yang keluar dan baru berlari beberapa langkah, berhenti dan berbalik. Dia kelihatan agak kaget melihat Rai.
“Rai?”
“Ayo, cepat lari!” menahan rasa sakit di dahinya, Rai menarik Derren. Mereka cepat-cepat masuk ke dalam lift yang terbuka sementara beberapa karyawan keluar, tepat sebelum orang-orang yang mengejar Derren keluar dari pintu yang sama.
“Kita tukaran baju,” Rai terengah, melepas jeketnya. “Pakaianmu terlalu mencolok, terlalu bahaya. Cepat lepas bajumu,” perintahnya melepas satu per satu kancing kemejanya. Derren hanya menurut.
“Bajumu sempit sekali,” komentar Rai yang berusaha menjejalkan kepalanya melewati kaos putih Derren. “Rupanya kau ini kurus ya. Kau salah mengancingnya!” katanya lagi.
Derren berusaha mengancingkan kemejanya dengan benar tetapi tetap saja salah. Dia menyerah dan hanya mengancingkan kancing ketiga ke lubang kedua dan kancing kelima ke lubang keempat ketika akhrinya dia memakai jeket Rai dengan asal-asalan.
“Pakai tudungnya supaya wajahmu tidak mudah dikenali,” kata Rai memasangkan tudung jeket Derren. Rai juga memakai tudungnya kemudian tidak lupa kacamata hitam yang tadi dia sudah persiapkan.
“Lewat sini.”
Rai lagi-lagi menarik Derren. Dia memimpin Derren keluar perusahaan Derren. Mereka berlari sambil menabrak kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Saat lampu lalu lintas berubah warna. Derren dan Rai langsung menyeberang. Derren hampir saja terserempet mobil.
Rai kembali menarik Derren ketika sang pengendara memaki-maki Derren.
“Orang seperti itu sebaiknya jangan kau ladeni,” kata Rai. Dia berhenti dan melihat ke belakang; Derren membungkuk, kehabisan napas sambil terengah. Keringatnya bercucuran. “Kau tidak apa-apa?”
“Ti—tidak. Aku b-butuh i-istirahat,” jawab Derren menyeka keringat yang membasahi wajah tampannya. Rai mendecak kesal. Rai tahu kalau Derren bukan tipe orang yang sanggup berlari tapi Rai tidak menyangka kalau Derren tidak sanggup berlari jauh, padahal mereka baru sekitar dua ratus meter dari perusahaan Derren.
Sambil mengumpat dalam hati, Rai membawa Derren bersembunyi ke dalam toko baju.
“Duduk disini. Jangan keluar dan jangan berisik sampai aku datang atau kau akan tamat. Aku lihat keadaan diluar.”
“Kau disini saja,” Derren menahan tangan Rai yang hendak keluar dari ruang ganti. “Kau punya wajah yang menyerupai wajahku. Kau punya resiko yang sama denganku.” Derren menjelaskan sambil menetralkan napasnya.
Rai menimbang-nimbang perkataan Derren yang memang ada benarnya. Dia memilih untuk tidak mengambil resiko besar dan duduk disamping Derren, walau ada kemungkinan juga kalau orang-orang itu akan menemukan mereka disini.
“Aku jadi tahu satu hal. Ternyata kau lemah olahraga ya?” kata Rai menyeka keringatnya dengan lengan bajunya.
“Aku jago olahraga,” Derren membela diri namun tetap saja Rai tidak percaya karena sudah melihat buktinya sendiri. “Tapi tetap saja tidak bisa menyaingi kemampuan fisikmu.”
Mungkin juga, Rai membatin. Rai sudah biasa bekerja keras di bawah langit yang selalu berubah suasana. Sudah dapat dipastikan kalau fisiknya jauh lebih unggul dari Derren yang hanya berolahraga saat jam pelajaran olahraga yang cuma dipelajari sekali dalam seminggu.
Derren mengeluarkan ponsel dari dalam tas yang dari tadi dia bawa-bawa itu. Ponsel itu tidak berbunyi tetapi bergetar dan layarnya berkelap-kelip.
“Siapa?” tanya Rai tertarik.
“Sherlock Holmes.”
Dahi Rai mengerut saat Derren mengangkat panggilan itu. Sherlock Holmes? Maksudnya detektif karangan dari Sir Arthur Conan Doyle itu? Sementara Rai berpikir, dia juga menajamkan telinganya terhadap suara sekecil apapun.
“Ada yang harus aku urus. Ini bukan urusanmu. Apa? Tidak. Tidak terlalu berbahaya. Jangan khawatir, kalau ada apa-apa aku akan menghubungimu. Sampaikan saja pada Doktor Rodulphus untuk sementara mungkin aku tidak bisa hadir. Hm? Ya. Ya. Aku akan ujian akselerasi jika kepepet. Iya. Terima kasih.”
“Sherlock Holmes itu siapa? Bukan Holmes sungguhan kan?” Rai bertanya sesaat setelah Derren menyimpan ponselnya.
“Bukan. Namanya Deva, salah satu temanku di sekolah. Dia mengidolakan Sherlock Holmes dan tergila-gila pada apapun yang berbau misteri. Anak yang agak kurang waras.”
Sama sepertimu, Rai menambahkan dalam hati. Dia dan teman-temannya benar-benar tidak normal. Entah berapa banyak anak tidak normal di sekeliling Derren.
“Sepertinya sudah aman.”
Rai menyibakan tirai dan segera keluar bersama Derren. Hati-hati dan waspada melihat keadaan sekeliling, mereka justru terlihat mencurigakan. Mereka akhirnya keluar dari toko baju itu dan bergabung dengan orang-orang yang berlalu-lalang.
“Tunggu, Rai. Jalanmu terlalu cepat. Ah, maaf,” Derren menabrak seseorang sampai jatuh karena tas yang dia bawa cukup besar dan berat. Dia juga menempati banyak ruang untuk dirinya sendiri. Derren melihat kalau Rai sudah jauh dan menghilang diantara kerumunan manusia.
“Apaan, nih? Lepaskan!”
Derren mendengar suara Rai. Dia langsung mempercepat langkahnya, berusaha menerobos orang-orang yang berkerumun. Dia dapat melihat dua orang berjas hitam yang berkutat untuk menangkap Rai. Tampaknya mereka mengira kalau Rai adalah Derren jika melihat kondisinya.
“Lepaskan!” Rai menarik tangannya. Lengan jeketnya sobek.
Derren mengambil kayu panjang yang kokoh. Tanpa sadar dia memukulkan kayu itu ke salah satu dari mereka. Laki-laki yang dipukul Derren memegang punggungnya yang kesakitan. Derren kembali memukul kayu yang dia pegang ke wajah lelaki itu. Lelaki itu oleng sejenak sebelum pingsan.
Laki-laki yang lain menahan Derren dari belakang. Kayu yang dia pegang jatuh. Tangannya sakit sekali saat diremas oleh laki-laki di belakangnya. Derren mengambil pijakan yang mantap dan dalam waktu sekejap dia membanting laki-laki yang ada di belakangnya. Tidak lupa setelah laki-laki itu jatuh kesakitan, Derren menghantamkan tinjunya ke wajah laki-laki itu. Kacamata laki-laki itu patah.
Rai terperangah.
“Ayo, lari! Cepat!”
Derren menarik jeket Rai setelah dia melompati tubuh laki-laki yang dia bereskan. Mereka menabrak kerumunan manusia yang menghalangi mereka.
“Kejadian tadi benar-benar hebat! Sungguh!” Rai berusaha berbicara diantara usahanya berlari mengikuti gerakan gesit Derren.
“Aku pernah belajar beladiri sebelumnya.”
Rai harus mengakui kalau dia kagum pada Derren. Dia harus menarik anggapan mengenai Derren yang tadi. Derren itu anak yang bisa apa saja dan penuh kejutan.
Sedikit demi sedikit kecepatan mereka berkurang dan akhirnya mereka berhenti di depan perumahan penduduk. Mereka terengah sambil duduk dipinggir jalan.
“Padahal aku sama sekali belum terlalu mengenalmu tapi kenapa aku jadi terlibat dengan masalahmu yang seharusnya jadi urusanmu?” gerutu Rai setelah napasnya kembali teratur. Kulitnya yang agak gosong basah karena keringat. “Benar-benar lari marathon. Belum tentu aku akan selelah ini walaupun berkerja dari subuh sampai larut.”
“Maaf. Setelah ini aku tidak akan melibatkanmu lagi,” kata Derren pelan.
“Semoga saja,” gumam Rai acuh tak acuh.
Derren berdiri dan memperbaiki pegangan tasnya. Rai meliriknya.
“Kau mau ngapain?” kata Rai heran menyeka keringatnya.
“Kabur dan lari,” jawab Derren menaikan kacamatanya yang melorot. “Kau masih mau beristirahat?”
Rai mendecakan lidahnya. Dia masih terlalu capek untuk berlari lagi.
“Penimbunan asam laktat bisa membuat otot kakiku kejang. Aku butuh istirahat dan oksigen untuk membuat ATP baru. Kau mengerti?”
“Aku sangat mengerti. Sampai jumpa.”
Rai melongo saat Derren berjalan melewatinya dan pergi menjauh tanpa berpaling. Rai kesal, sebenarnya siapa yang menolong siapa? Awalnya Rai pura-pura tidak peduli tapi belum beberapa detik, Rai sudah berlari menyusul Derren.
“Kenapa menyusulku? Bukannya kau sudah bilang butuh istirahat dan oksigen untuk membuat ATP baru atau otot kakimu bisa kejang karena penimbunan asam laktat?” kata Derren dengan nada datar sementara matanya menatap lurus ke depan.
“Aku khawatir makanya aku menyusulmu,” kata Rai. “Lagipula aku sudah janji akan membantumu selama satu hari ini kan?” Rai buru-buru menambahkan untuk membela dirinya. Dia tidak ingin terlihat terlalu peduli pada Derren.
“Kau ingin sebuah sepeda?”
“Ha?”
Derren seakan tidak mendengarkan Rai karena dia mengatakan, “Kau bisa naik sepeda kan? Aku akan beli satu untukmu.”
Rai semakin bingung. Sementara kerutan di dahi Rai semakin dalam, Derren melangkah ke dalam salah satu toko sepeda dari antara begitu banyak toko sepeda yang ada di sekeliling perumahan itu.
“Kau mau sepeda yang ini?” Derren menunjukan sepeda gunung berwarna biru yang kelihatan mahal. Jari-jari rodanya berkilat-kilat. Untuk sesaat Rai seakan terhipnotis dan tidak bisa berbicara. “Berapa harganya, Pak?”
“Satu juta lima ratus ribu.”
Tanpa tawar menawar lebih lanjut, Derren mengeluarkan uang dari ranselnya—Rai tidak tahu kapan Derren memasukan uang kesana—dan menyerahkan tumpukan uang merah itu pada sang penjual yang agak terbelalak melihat uang sebanyak itu.
“Cepat pakai dan segera kita pergi dari sini,” perintah Derren mengambil helm dan sebotol minuman yang diberikan sang penjual.
“Kau tidak beli?” kata Rai heran, mendorong sepedanya keluar dari toko.
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?” Rai bertanya lagi.
“Aku pernah bilang kalau aku punya kelemahan kan?” Derren menunggu sampai Rai mengangguk. “Inilah kelemahanku,” dia menambahkan, “aku tidak bisa memakai kendaraan jenis apapun, baik itu sepeda, skateboard, sepatu roda dan sejenisnya.”
Rai melongo sesaat sampai kemudian dia tertawa ngakak.
“Jangan tertawa!” Derren kesal, ada rona merah di wajahnya yang putih.
Rai berdeham, mencoba menahan tawa. Bukan saat yang tepat untuk meledek Derren walau Rai merasakan ada kegelian dalam dirinya.
“Naiklah sebelum orang-orang aneh lain mengejar kita.”
Derren naik ke atas besi di kiri-kanan roda, masih kesal.
“Pegangan yang kuat. Kita akan ngebut!”
Derren memegang bahu Rai sementara Rai menggoek sepedanya dengan kecepatan tinggi.
***
Rai terengah ketika akhirnya mereka berhenti di depan rumahnya. Derren turun dan segera membukakan gerbang lapuk itu. Kaki Rai gemetar saat masuk ke dalam rumah. Otot kakinya terasa kejang dan sulit untuk berjalan apalagi menyangga berat badannya. Rai mengucapkan salam sambil membuka pintu.
“Rai, terimakasih,” kata Derren. “Walau agak kesal karena bergantung padamu yang baru kukenal tapi aku sungguh-sungguh merasa tertolong. Maaf sudah menyusahkanmu. Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Setelah itu Derren berbalik pergi dan tidak berhenti ataupun berpaling saat Rai memanggilnya. Rai melihat kearah matahari yang tertutup awan. Hari ini benar-benar panas. Rai bertanya-tanya dalam hati, apakah Derren akan kembali ke rumahnya atau tidak.
 ***
“Bos, pesanannya sudah kuantar. Ada yang lain?” Rai berteriak sambil memarkirkan sepeda gunung pemberian Derren di depan Angel Florist. Hari ini langit berawan gelap, dibeberapa tempat yang didatangi Rai malah hujan deras.
“Hari ini kosong,” Arya tergopoh-gopoh mengangkut pot mawar kuning yang mekar. “Sejak kau punya sepeda baru, pekerjaanmu lebih cepat.”
“Ini pemberian temanku.”
Sudah dua minggu berlalu dan Derren sama sekali tidak menghubunginya sekalipun. Rai mencoba tidak peduli, tapi sering kali Rai bangun tengah malam dan mengotak-atik ponsel yang dulu diberikan Derren, berharap Derren menghubunginya. Harus dia akui kalau dia mencemaskan keadaan Derren. Ternyata Derren benar-benar membuktikan kata-katanya untuk tidak menyusahkan Rai lagi.
Dua minggu tanpa kabar dan mengingat keadaan Derren yang diincar membuat Rai tidak bisa tidur. Kalaupun dia bisa tidur, dia akan bangun lagi dengan mimpi buruk. Dia melihat mayat Derren dalam mimpinya itu. Perasaan cemas dan takutnya juga tercampur dengan perasaan kesal: kenapa Derren tidak menyerahkan nomor teleponnya?
Jika saja Derren menyerahkannya, dia tidak perlu panik dan Rai bisa mendengar kalau dia baik-baik saja hanya dari suaranya. Rai juga pernah nekad untuk datang ke rumahnya, namun yang terlihat hanya gerbang besar rumah itu. Suasana sunyi rumah itu membuatnya tidak nyaman. Bagaimana caranya Derren bisa tinggal di rumah seperti itu? Pantas saja dia punya sikap dingin seperti es.
“Jangan bengong. Cepat bereskan bunga-bunga itu! Aku membayarmu bukan untuk bengong seharian tapi bekerja untukku!” Aryan berteriak dari dalam toko sambil menghidupkan televisi yang dipajang di dekat meja kantornya.
“Ya,” Rai yang menatap sepeda gunung biru itu mengalihkan pandangannya ke dalam toko. Dia mengambil celemek biru kotor yang tergantung di dekat bunga bakung dan memakainya. Masih diliputi pemikiran-pemikiran mengenai keadaan Derren, Rai mulai mengerjakan pemupukan bunga morning glory.
Beberapa kali terdengar suara berisik dari televisi Aryan yang mengganti siaran, seiring dengan itu terdengar juga suara motor yang melewati toko mereka.
“Presiden Direktur Perusahaan Internasional Crystal Pertama Group, Daris, hari ini mendapat panggilan dari kepolisian pusat. Daris dicurigai sebagai dalang atas lenyapnya keuntungan perusahaan sebesar empat puluh delapan koma tujuh milyar rupiah. Ke—”
“Aah, masalah koruptor melulu. Apa jadinya Indonesia jika rakyatnya korupsi melulu? Udah kaya mau lebih kaya! Tidak layak ditonton!” komentar Aryan mengganti siaran ke acara hiburan.
“Tolong putar berita tadi, Bos!” Rai melesat kearah Bos-nya dan menarik televisi itu. Aryan menggerutu, tapi tetap mengganti siaran.
“Kami tidak tahu apakah Daris yang melakukannya atau tidak.” Wajah yang dikenal Rai muncul diantara begitu banyak wartawan yang mengerubutinya. Itu wajah Robert. “Jangan mengerubutiku. No comment.”
Di lain tempat, orang yang dikenali Rai sebagai Kolas—atau malah Nico?—malah memberi komentar lain. “Kalau Daris korupsi, dia tidak mungkin ketahuan dengan mudah. Kita lihat sajalah. Daris itu pintar, masa’ dipenjara gara-gara korupsi? Yang benar saja! Itu bukan level Daris. Daris bukan tipe orang yang rakus, baginya amat mudah mendapatkan uang tanpa harus korupsi. Perusahaan kami saja memberi kami keuntungan besar.”
Orang lain yang diwawancarai kali ini, wanita yang bernama Ellena, malah kelihatan gusar. Dia baru keluar dari bandara dan masih memegang koper dan mantel bepergian. “Maaf, saya sibuk. Ada rapat penting. Tolong minggir.”
Derren...
Beberapa hari berlalu dengan kabar miring seputar Crystal Pertama Group. Berita perkembangan tentang pemeriksaan Daris terus berlanjut baik itu di media cetak atau pun media elektronik. Rai selalu mengikuti berita-berita itu. Selama pemeriksaan, kabarnya Daris harus menjawab lima ratus lima puluh enam pertanyaan. Bukan hanya itu saja, dia juga mengalami masa pengurungan dan dilarang keluar rumah. Sepertinya pihak kepolisian Indonesia takut Daris akan kabur ke luar negeri seperti halnya yang dilakukan oleh koruptor-koruptor lain. Dan sampai detik ini, belum ada komentar baik langsung maupun tidak langsung dari Derren selaku pihak keluarga. Apakah wartawan tidak tahu kalau Daris sudah punya anak?
“Kau selalu mengikuti perkembangan Presiden Crystal itu, ya?” Sandra membawakan dua gelas kopi ke ruang tengah, dimana Rai sedang serius menonton.
“Perusahaan Crystal Pertama Group yang baru-baru ini melejit karena investasi besar yang berani mendapat laporan bahwa saham yang mereka miliki saat ini sebesar empat puluh tiga koma delapan persen dan hal ini membuat para pemegang saham gusar. Kabarnya Daris menyerahkan tujuh puluh lima persen saham yang dia miliki kepada seseorang yang sampai saat ini masih dipertanyakan keberadaannya.”
“Jangan tanya-tanya.”
Willy yang baru keluar dari Crystal Pertama Group kelihatan sulit sekali untuk bergerak. Semua tangan-tangan wartawan yang menjulur di atas kepalanya membuatnya keringatan dan kerepotan. Tidak ada satupun pertanyaan yang dia jawab karena Willy sudah menyelinap diantara kaki-kaki mereka dan kabur dengan mobil.
“Sampai saat ini belum ada satupun anggota Direksi yang bisa dimintai keterangan. Apakah ini berarti Crystal Pertama Group akan mengganti Presiden Direktur mengingat tudingan pada Daris semakin gencar?”
“Daris masih tersangka bukan pelaku dan tidak menutup kemungkinan ada orang yang membantunya. Kami belum tahu secara pasti,” seorang pria agak pucat muncul di layar televisi. Dia dikawal oleh beberapa orang berjas yang tidak berekspresi. Lampu blitz yang tak henti-hentinya membuat wajahnya lebih pucat. Di layar televisi, Rai membaca namanya: Rhadist, Direktur Pengembangan dan Penelitian Crystal Pertama Group. Rhadist salah satu pemegang saham di Crystal.
“Lalu bagaimana soal saham yang diberikan Daris? Apakah itu memang sahamnya?” seorang wartawan mendesak dengan catatan di tangan.
“Ya. Itu saham Daris.”
“Berapa kira-kira saham Daris saat ini di Crystal Pertama Group? Apakah jumlah saham yang dimiliki Daris akan membuatnya turun jabatan?”
“Hm... saham Daris sekitar enam belas sampai sembilan belas persen untuk saat ini. Jujur saja, kalau soal pernurunan jabatan, kami juga tidak tahu. Crystal Pertama Group bukanlah perusahaan yang memilih Pemimpin berdasarkan saham tapi kemampuan. Dan kemampuan Daris tidak diragukan lagi.”
“Lalu bagaimana dengan saham yang tersisa? Bukankah saat ini ada yang memegang saham terbesar? Apakah dia punya kemampuan untuk menggantikan Daris? Anda sudah melihatnya? Bagaimana pendapat Anda? Tolong berkomentar!”
Rai pasti bingung jika terus dicecar oleh pertanyaan bertubi-tubi. Namun, laki-laki berwajah pucat yang diwawancarai itu masih tenang. Sedikit banyak, Rai kagum pada orang-orang berkelas, mereka sangat berbeda dengan rakyat jelata. Sama seperti perbedaan yang jelas antara Rai dan Derren.
“Saya belum pernah bertemu langsung dengan Pemegang Saham Terbesar namun sudah ada beberapa anggota Direksi yang bertemu langsung. Dan mereka mengatakan kalau Pemegang Saham yang baru sangat bisa diandalkan. Yah... kita lihat saja nanti.”
Laki-laki wajah pucat itu berjalan masuk ke dalam lift utama. Para pengawalnya menghalangi wartawan yang mencoba mengejarnya.
Sandra melilat kearah televisi lekat-lekat kemudian menghela napas panjang.
“Menurut Mama apakah Daris itu bersalah?” Rai mengganti ke siaran lain dengan rubrik berita yang sama.
“Hm... jika melihat pendapat orang-orang yang mengenal Daris, Mama rasa Daris tidak bersalah. Hampir semua teman-temannya bilang kalau Daris bukan tipe seperti itu kan? Lagipula yang Mama tahu, sedikit orang tahu tentang Daris, walaupun korupsi tidak mungkin bisa ketahuan dengan mudah. Dia kan orang nomor satu di Crystal Pertama Group.”
“Iya juga sih.”
“Satu hal lagi yang ganjil,” gumam Sandra. “Dia menyerahkan tujuh puluh lima persen dari saham yang dia punya... itu berarti dia ingin pensiun atau menyerahkan jabatannya, atau mungkin saja...”
“Mungkin saja apa, Ma?” Rai mendesak, masih belum mengerti.
“Mungkin saja dia sudah tahu ada orang yang ingin menjebaknya. Orang yang menjebaknya, mungkin, ingin jadi Presiden Direktur. Itu sebabnya Daris menyerahkan sebagian sahamnya pada orang kepercayaannya itu,” lanjut Sandra dengan dahi mengerut. “Kalau benar begitu, maka ‘orang kepercayaan Daris’ akan diincar oleh ‘orang yang menjebak Daris’.”
Rai ternganga mendengar penjelasan spesifik Sandra. Agak masuk akal. Bukan, bukan agak, tapi memang masuk akal. Jika yang dimaksud dengan ‘orang kepercayaan Daris’ adalah Derren dan ‘orang yang menjebak Daris’ menyuruh pria-pria berjas hitam itu menangkap Derren. Maka tidak salah lagi kalau kesimpulan itu benar.
“Mama seperti Detektif, ya?” komentar Rai pada Mamanya.
“Ma—Mama suka baca novel misteri, sih,” kata Sandra cengengesan, meneguk kopinya. Rai mengalihkan pandangannya lagi ke televisi.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.