3.
Masalah Dimulai
“Kau... Putra Daris?” kata laki-laki botak
bertubuh besar dan kekar yang ada di depan orang-orang itu. Dia menghabiskan
ruangan lift untuk dirinya sendiri. Rai sedang menebak-nebak bagaimana cara
Pria besar itu masuk ke dalam lift tanpa membuat gepeng orang-orang di
belakangnya saat pria kurus ceking di sampingnya berkata, “Tidak mungkin.”
“Daris adalah tipe
orang yang tertutup. Kami saja tidak tahu dia sudah menikah atau belum. Kenapa
sekarang ada anak yang mengaku Putranya?” kata laki-laki tampan di belakangnya.
Dia melipat tangan dan bersandar di tembok lift.
“Benar. Wajah Daris
masih muda tetapi kenapa anaknya sebesar ini?” lelaki lain, yang tubuhnya
mungil kecil dan matanya jenaka, melompat-lompat di belakang pria besar itu.
“Jeff, geser, dong. Aku tidak bisa melihat dan bernapas, nih. Aku kan pendek,
tidak sepertimu yang tinggi besar kayak gorilla.”
Jeff—yang bertubuh
besar—mengangkat tangannya yang besar lalu mengacak rambut laki-laki mungil
yang besar tubuhnya hanya sepinggang Jeff.
Derren menyingkir
dari lift dan membiarkan orang-orang itu keluar. Lelaki yang tampan
mengibas-kibaskan tangannya, sementara tangannya yang satu lagi di kantong
celana. Laki-laki kurus ceking seperti lidi itu menghirup udara banyak-banyak
dan laki-laki mungil yang satunya memperbaiki rambutnya yang berantakan. Namun
tampaknya selain laki-laki besar dan botak itu, semuanya berkeringat dan
kehabisan napas.
“Kau menghabiskan
oksigen untuk dirimu sendiri tahu,” laki-laki mungil itu menggerutu; menyatakan
isi hati teman-temannya yang lain. Dia masih memegang kepalanya dengan kedua
tangannya.
“Diam, Kecil. Kalau
kau bicara lagi akan kupastikan kau akan melayang dengan kepala di bawah,”
ancam laki-laki bertubuh besar. Laki-laki kecil itu menggerutu pelan. “Seperti
yang dikatakan mereka, kami tidak percaya kau anak Daris.”
“Aku hanya ingin
tahu Ayahku ada dimana.”
Kebiasaan Derren
kumat lagi. Dia berbicara tanpa mendengar perkataan si Gorilla dan memakai nada
memerintah. Rai melihat ada tanda-tanda si Gorilla dan para kera di belakangnya
(teman-teman berjasnya, maksud Rai) agak kurang senang. Apalagi si Gorilla
itu—sepertinya—tipe orang pemarah.
“Kau tidak medengar
perkataanku barusan?” suara si Gorilla menggelegar, menarik perhatian karyawan
yang lebih banyak lagi.
“Aku hanya ingin
tahu Ayahku ada dimana,” Derren mengulang perkatannya.
“Apa yang akan kau
lakukan jika tidak memberitahumu dimana Daris? Apa kau akan mengobrak-abrik
perusahaan kami? Atau kau mengancam akan bunuh diri?” Pria tampan itu angkat
bicara, nadanya meremehkan sekali. “Bagaimana, Nak?”
Derren diam, masih
belum memberi respon.
“Anak itu takut,
padahal baru digertak sedikit,” gumam si Lidi.
“Harus kuakui, kau
memang mirip Daris. Tapi hanya segini,” si Mungil menunjukan ujung ibu jari dan
telunjuknya hampir bersentuhan.
“Konyol sekali
meladeni anak kecil. Datanglah sekitar tiga
puluh tahun lagi jika kau cukup pintar untuk jadi Putra Daris,” kata si Tampan
dengan nada tidak peduli.
Rai heran melihat
Derren yang diam saja dan membiarkan orang-orang itu melecehkan dan melewatinya
begitu saja. Rai baru saja berpikir kalau Derren hanya berani mengancam
orang-orang kecil sejenis dirinya ketika Derren tiba-tiba buka mulut dan
membuat Rai harus menarik pikirannya tadi.
“Kalau kalian tidak
memberitahu dimana Ayahku, aku akan menjual setengah aset saham yang diberikan
Ayah padaku. Itu berarti sekitar sembilan per tiga puluh dua dari aset Crystal
Pertama Group, dua puluh delapan koma satu persen. Kira-kira Crystal Pertama
Group akan jadi apa ya?”
Bocah Iblis, Rai membatin, kau memang sadis.
Pria-pria berjas
itu menoleh dengan tatapan kaget. Kelihatannya Derren berhasil menjajah mereka.
Si Gorilla
memperkenalkan diri sebagai Jeff, salah satu pemegang saham dan pendiri Crystal
Pertama Group. Saat ini dia menjabat sebagai Direktur Perusahaan cabang
Singapura. Si Kurus itu bernama Robert, seorang Direktur Pemasaran dan dia
memegang peran untuk mengatur dan melaporkan uang keluar-masuknya perusahaan.
Si Tampan yang seperti model itu bernama Kolas, saudara kembarnya Nico. Katanya
Kakaknya itu lagi sibuk di Brunei dan mengurus entah apa. Jadi untuk sementara
ini dia menggantikan posisi Nico sebagai Dirut Staf Promosi Perusahaan. Lalu
yang tidak kalah hebat adalah si Mungil William atau Willy, sang Wakil Direktur
seluruh cabang Crystal Pertama Group. Tidak ada yang lepas dari matanya.
Daris, Presiden
Direktur Crystal Pertama Group dan juga merupakan Ayah Derren, kabarnya ada di
Spanyol. Kata mereka dia menghadiri rapat untuk membahas kerja sama Perusahaan
Besar untuk di masa yang akan datang. Persoalan, yang menurut Derren, amat
tidak perlu, membuang-buang waktu, uang dan tenaga. Mereka akhirnya mau berbicara
jujur jika Derren berjanji tidak menjual saham perusahaan.
“Yah... aku juga
tidak merasa beruntung menjual saham perusahaan. Lagipula aku hanya menggertak
kalian saja dan tidak berniat menjual saham jika kalian tidak memberitahuku.
Aku tidak menyangka kalian termakan gertakanku,” kata Derren setelah mereka
selesai bercerita. Rai yakin kalau mereka amat dendam pada Derren.
“Kau hebat! Yang
tadi itu benar-benar luar biasa!” Rai memuji Derren ketika mereka berjalan
beriringan keluar dari kantor Jeff.
“Aku hanya
mencontoh apa yang dilakukan Ayahku saja, kok,” kata Derren merendah tapi tidak
begitu bagi indera pendengaran Rai.
“Setelah ini apa
yang akan kau lakukan?” kata Rai lagi. Derren diam, tidak menjawab. “Apa kau
akan kembali ke rumah itu?” lagi-lagi Derren tidak menjawab.
Rai memutuskan
untuk tidak bertanya lagi ketika melihat kondisi Derren yang sepertinya tidak
mau menjawab satupun pertanyaannya.
“Kau bisa menginap
di rumahku kalau kau mau. Aku sama sekali tidak keberatan kok,” kata Rai saat
dia menginjakan kakinya ke dalam lift.
“Tidak usah,” kata
Derren, wajahnya panik dan dalam sepersekian detik dia sudah berbalik dan
berlari ke arah berlawanan.
“Derren, ada apa?”
Rai menahan pintu lift yang hampir tertutup. Pintu lift itu terbuka dan Rai
sempat melihat kalau Derren berbelok ke kanan. Dia kemudian jatuh karena
ditabrak oleh tiga orang berjas hitam dan memakai kacamata hitam. Ketiga orang
itu, masalahnya, mengejar Derren.
“Gawat,” gumam Rai.
Dia kembali masuk ke dalam lift. Tangannya terjepit lift yang bergerak
tertutup. Menekan-nekan tombol lift tiga lantai di bawah lantai tempatnya
berdiri dengan panik saat pintu lift tertutup, Rai mengumpat dalam hati. Gerak
lift itu rasanya lambat sekali. Sementara pikirannya menduga-duga ke hal yang
negatif. Jangan-jangan Derren tertangkap, diculik, disekap, disiksa... bahkan
dibu—
Rai menggeleng
kuat-kuat seakan ada banyak lebah yang berdengung di atas kepalanya.
Pikiran-pikiran negatif itu harus segera dia tepis. Derren pernah dikejar
sebelumnya dan berhasil menghindar. Kali ini pun dia pasti berhasil lagi.
Pintu lift terbuka
seiring dengan bunyi ‘ting’. Rai berlari keluar dan hampir tergelincir saat
berbelok. Rai berhenti dan kepalanya celingukan melihat kesana-kemari. Saat
melihat ada pintu yang tertutup bertuliskan “Tangga Darurat”, Rai menuju kearah pintu itu. Jika dugaannya
benar, ada kemungkinan Derren akan melewati pintu itu.
Tepat dugaannya.
Rai baru membuka sedikit saat pintu menjeblak terbuka. Kepala Rai terhantam
sudut pintu. Rai meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang senat-senut.
Derren yang keluar dan baru berlari beberapa langkah, berhenti dan berbalik.
Dia kelihatan agak kaget melihat Rai.
“Rai?”
“Ayo, cepat lari!”
menahan rasa sakit di dahinya, Rai menarik Derren. Mereka cepat-cepat masuk ke
dalam lift yang terbuka sementara beberapa karyawan keluar, tepat sebelum
orang-orang yang mengejar Derren keluar dari pintu yang sama.
“Kita tukaran
baju,” Rai terengah, melepas jeketnya. “Pakaianmu terlalu mencolok, terlalu
bahaya. Cepat lepas bajumu,” perintahnya melepas satu per satu kancing
kemejanya. Derren hanya menurut.
“Bajumu sempit
sekali,” komentar Rai yang berusaha menjejalkan kepalanya melewati kaos putih
Derren. “Rupanya kau ini kurus ya. Kau salah mengancingnya!” katanya lagi.
Derren berusaha
mengancingkan kemejanya dengan benar tetapi tetap saja salah. Dia menyerah dan hanya mengancingkan kancing ketiga ke
lubang kedua dan kancing kelima ke lubang keempat ketika akhrinya dia memakai
jeket Rai dengan asal-asalan.
“Pakai tudungnya
supaya wajahmu tidak mudah dikenali,” kata Rai memasangkan tudung jeket Derren.
Rai juga memakai tudungnya kemudian tidak lupa kacamata hitam yang tadi dia
sudah persiapkan.
“Lewat sini.”
Rai lagi-lagi
menarik Derren. Dia memimpin Derren keluar perusahaan Derren. Mereka berlari
sambil menabrak kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Saat
lampu lalu lintas berubah warna. Derren dan Rai langsung menyeberang. Derren
hampir saja terserempet mobil.
Rai kembali menarik
Derren ketika sang pengendara memaki-maki Derren.
“Orang seperti itu
sebaiknya jangan kau ladeni,” kata Rai. Dia berhenti dan melihat ke belakang;
Derren membungkuk, kehabisan napas sambil terengah. Keringatnya bercucuran.
“Kau tidak apa-apa?”
“Ti—tidak. Aku
b-butuh i-istirahat,” jawab Derren menyeka keringat yang membasahi wajah
tampannya. Rai mendecak kesal. Rai tahu kalau Derren bukan tipe orang yang
sanggup berlari tapi Rai tidak menyangka kalau Derren tidak sanggup berlari
jauh, padahal mereka baru sekitar dua ratus meter dari perusahaan Derren.
Sambil mengumpat
dalam hati, Rai membawa Derren bersembunyi ke dalam toko baju.
“Duduk disini.
Jangan keluar dan jangan berisik sampai aku datang atau kau akan tamat. Aku lihat keadaan diluar.”
“Kau disini saja,”
Derren menahan tangan Rai yang hendak keluar dari ruang ganti. “Kau punya wajah
yang menyerupai wajahku. Kau punya resiko yang sama denganku.” Derren
menjelaskan sambil menetralkan napasnya.
Rai
menimbang-nimbang perkataan Derren yang memang ada benarnya. Dia memilih untuk
tidak mengambil resiko besar dan duduk disamping Derren, walau ada kemungkinan
juga kalau orang-orang itu akan menemukan mereka disini.
“Aku jadi tahu satu
hal. Ternyata kau lemah olahraga ya?” kata Rai menyeka keringatnya dengan
lengan bajunya.
“Aku jago
olahraga,” Derren membela diri namun tetap saja Rai tidak percaya karena sudah
melihat buktinya sendiri. “Tapi tetap saja tidak bisa menyaingi kemampuan
fisikmu.”
Mungkin juga, Rai membatin. Rai sudah biasa bekerja keras di bawah
langit yang selalu berubah suasana. Sudah dapat dipastikan kalau fisiknya jauh
lebih unggul dari Derren yang hanya berolahraga saat jam pelajaran olahraga
yang cuma dipelajari sekali dalam seminggu.
Derren mengeluarkan
ponsel dari dalam tas yang dari tadi dia bawa-bawa itu. Ponsel itu tidak berbunyi
tetapi bergetar dan layarnya berkelap-kelip.
“Siapa?” tanya Rai
tertarik.
“Sherlock Holmes.”
Dahi Rai mengerut
saat Derren mengangkat panggilan itu. Sherlock Holmes? Maksudnya detektif
karangan dari Sir Arthur Conan Doyle itu? Sementara Rai berpikir, dia juga
menajamkan telinganya terhadap suara sekecil apapun.
“Ada yang harus aku
urus. Ini bukan urusanmu. Apa? Tidak. Tidak terlalu berbahaya. Jangan khawatir,
kalau ada apa-apa aku akan menghubungimu. Sampaikan saja pada Doktor Rodulphus
untuk sementara mungkin aku tidak bisa hadir. Hm? Ya. Ya. Aku akan ujian
akselerasi jika kepepet. Iya. Terima kasih.”
“Sherlock Holmes
itu siapa? Bukan Holmes sungguhan kan?” Rai bertanya sesaat setelah Derren
menyimpan ponselnya.
“Bukan. Namanya
Deva, salah satu temanku di sekolah. Dia mengidolakan Sherlock Holmes dan
tergila-gila pada apapun yang berbau misteri. Anak yang agak kurang waras.”
Sama sepertimu, Rai menambahkan dalam hati. Dia dan teman-temannya
benar-benar tidak normal. Entah berapa banyak anak tidak normal di sekeliling
Derren.
“Sepertinya sudah
aman.”
Rai menyibakan
tirai dan segera keluar bersama Derren. Hati-hati dan waspada melihat keadaan
sekeliling, mereka justru terlihat mencurigakan. Mereka akhirnya keluar dari
toko baju itu dan bergabung dengan orang-orang yang berlalu-lalang.
“Tunggu, Rai.
Jalanmu terlalu cepat. Ah, maaf,” Derren menabrak seseorang sampai jatuh karena
tas yang dia bawa cukup besar dan berat. Dia juga menempati banyak ruang untuk
dirinya sendiri. Derren melihat kalau Rai sudah jauh dan menghilang diantara
kerumunan manusia.
“Apaan, nih?
Lepaskan!”
Derren mendengar
suara Rai. Dia langsung mempercepat langkahnya, berusaha menerobos orang-orang
yang berkerumun. Dia dapat melihat dua orang berjas hitam yang berkutat untuk
menangkap Rai. Tampaknya mereka mengira kalau Rai adalah Derren jika melihat
kondisinya.
“Lepaskan!” Rai
menarik tangannya. Lengan jeketnya sobek.
Derren mengambil
kayu panjang yang kokoh. Tanpa sadar dia memukulkan kayu itu ke salah satu dari
mereka. Laki-laki yang dipukul Derren memegang punggungnya yang kesakitan.
Derren kembali memukul kayu yang dia pegang ke wajah lelaki itu. Lelaki itu
oleng sejenak sebelum pingsan.
Laki-laki yang lain
menahan Derren dari belakang. Kayu yang dia pegang jatuh. Tangannya sakit
sekali saat diremas oleh laki-laki di belakangnya. Derren mengambil pijakan
yang mantap dan dalam waktu sekejap dia membanting laki-laki yang ada di belakangnya. Tidak lupa setelah laki-laki itu jatuh
kesakitan, Derren menghantamkan tinjunya ke wajah laki-laki itu. Kacamata
laki-laki itu patah.
Rai terperangah.
“Ayo, lari! Cepat!”
Derren menarik
jeket Rai setelah dia melompati tubuh laki-laki yang dia bereskan. Mereka
menabrak kerumunan manusia yang menghalangi mereka.
“Kejadian tadi
benar-benar hebat! Sungguh!” Rai berusaha berbicara diantara usahanya berlari
mengikuti gerakan gesit Derren.
“Aku pernah belajar
beladiri sebelumnya.”
Rai harus mengakui
kalau dia kagum pada Derren. Dia harus menarik anggapan mengenai Derren yang
tadi. Derren itu anak yang bisa apa saja dan penuh kejutan.
Sedikit demi
sedikit kecepatan mereka berkurang dan akhirnya mereka berhenti di depan
perumahan penduduk. Mereka terengah sambil duduk dipinggir jalan.
“Padahal aku sama
sekali belum terlalu mengenalmu tapi kenapa aku jadi terlibat dengan masalahmu
yang seharusnya jadi urusanmu?” gerutu Rai setelah napasnya kembali teratur.
Kulitnya yang agak gosong basah karena keringat. “Benar-benar lari marathon.
Belum tentu aku akan selelah ini walaupun berkerja dari subuh sampai larut.”
“Maaf. Setelah ini
aku tidak akan melibatkanmu lagi,” kata Derren pelan.
“Semoga saja,”
gumam Rai acuh tak acuh.
Derren berdiri dan
memperbaiki pegangan tasnya. Rai meliriknya.
“Kau mau ngapain?”
kata Rai heran menyeka keringatnya.
“Kabur dan lari,”
jawab Derren menaikan kacamatanya yang melorot. “Kau masih mau beristirahat?”
Rai mendecakan
lidahnya. Dia masih terlalu capek untuk berlari lagi.
“Penimbunan asam
laktat bisa membuat otot kakiku kejang. Aku butuh istirahat dan oksigen untuk
membuat ATP baru. Kau mengerti?”
“Aku sangat
mengerti. Sampai jumpa.”
Rai melongo saat
Derren berjalan melewatinya dan pergi menjauh tanpa berpaling. Rai kesal,
sebenarnya siapa yang menolong siapa? Awalnya Rai pura-pura tidak peduli tapi
belum beberapa detik, Rai sudah berlari menyusul Derren.
“Kenapa menyusulku?
Bukannya kau sudah bilang butuh istirahat dan oksigen untuk membuat ATP baru
atau otot kakimu bisa kejang karena penimbunan asam laktat?” kata Derren dengan
nada datar sementara matanya menatap lurus ke depan.
“Aku khawatir makanya
aku menyusulmu,” kata Rai. “Lagipula aku sudah janji akan membantumu selama
satu hari ini kan?” Rai buru-buru menambahkan untuk membela dirinya. Dia tidak
ingin terlihat terlalu peduli pada Derren.
“Kau ingin sebuah
sepeda?”
“Ha?”
Derren seakan tidak
mendengarkan Rai karena dia mengatakan, “Kau bisa naik sepeda kan? Aku akan
beli satu untukmu.”
Rai semakin
bingung. Sementara kerutan di dahi Rai semakin dalam, Derren melangkah ke dalam
salah satu toko sepeda dari antara begitu banyak toko sepeda yang ada di
sekeliling perumahan itu.
“Kau mau sepeda
yang ini?” Derren menunjukan sepeda gunung berwarna biru yang kelihatan mahal.
Jari-jari rodanya berkilat-kilat. Untuk sesaat Rai seakan terhipnotis dan tidak
bisa berbicara. “Berapa harganya, Pak?”
“Satu juta lima
ratus ribu.”
Tanpa tawar menawar
lebih lanjut, Derren mengeluarkan uang dari ranselnya—Rai tidak tahu kapan
Derren memasukan uang kesana—dan menyerahkan tumpukan uang merah itu pada sang
penjual yang agak terbelalak melihat uang sebanyak itu.
“Cepat pakai dan
segera kita pergi dari sini,” perintah Derren mengambil helm dan sebotol
minuman yang diberikan sang penjual.
“Kau tidak beli?”
kata Rai heran, mendorong sepedanya keluar dari toko.
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?” Rai
bertanya lagi.
“Aku pernah bilang
kalau aku punya kelemahan kan?” Derren menunggu sampai Rai mengangguk. “Inilah
kelemahanku,” dia menambahkan, “aku tidak bisa memakai kendaraan jenis apapun,
baik itu sepeda, skateboard, sepatu roda dan sejenisnya.”
Rai melongo sesaat
sampai kemudian dia tertawa ngakak.
“Jangan tertawa!”
Derren kesal, ada rona merah di wajahnya yang putih.
Rai berdeham,
mencoba menahan tawa. Bukan saat yang tepat untuk meledek Derren walau Rai
merasakan ada kegelian dalam dirinya.
“Naiklah sebelum
orang-orang aneh lain mengejar kita.”
Derren naik ke atas
besi di kiri-kanan roda, masih kesal.
“Pegangan yang
kuat. Kita akan ngebut!”
Derren memegang
bahu Rai sementara Rai menggoek sepedanya dengan kecepatan tinggi.
***
Rai terengah ketika
akhirnya mereka berhenti di depan rumahnya. Derren turun dan segera membukakan
gerbang lapuk itu. Kaki Rai gemetar saat masuk ke dalam rumah. Otot kakinya
terasa kejang dan sulit untuk berjalan apalagi menyangga berat badannya. Rai
mengucapkan salam sambil membuka pintu.
“Rai, terimakasih,”
kata Derren. “Walau agak kesal karena bergantung padamu yang baru kukenal tapi
aku sungguh-sungguh merasa tertolong. Maaf sudah menyusahkanmu. Aku tidak akan
mengganggumu lagi.”
Setelah itu Derren
berbalik pergi dan tidak berhenti ataupun berpaling saat Rai memanggilnya. Rai
melihat kearah matahari yang tertutup awan. Hari ini benar-benar panas. Rai
bertanya-tanya dalam hati, apakah Derren akan kembali ke rumahnya atau tidak.
***
“Bos, pesanannya
sudah kuantar. Ada yang lain?” Rai berteriak sambil memarkirkan sepeda gunung
pemberian Derren di depan Angel Florist. Hari ini langit berawan gelap,
dibeberapa tempat yang didatangi Rai malah hujan deras.
“Hari ini kosong,”
Arya tergopoh-gopoh mengangkut pot mawar kuning yang mekar. “Sejak kau punya
sepeda baru, pekerjaanmu lebih cepat.”
“Ini pemberian
temanku.”
Sudah dua minggu
berlalu dan Derren sama sekali tidak menghubunginya sekalipun. Rai mencoba
tidak peduli, tapi sering kali Rai bangun tengah malam dan mengotak-atik ponsel
yang dulu diberikan Derren, berharap Derren menghubunginya. Harus dia akui
kalau dia mencemaskan keadaan Derren. Ternyata Derren benar-benar membuktikan
kata-katanya untuk tidak menyusahkan Rai lagi.
Dua minggu tanpa
kabar dan mengingat keadaan Derren yang diincar membuat Rai tidak bisa tidur.
Kalaupun dia bisa tidur, dia akan bangun lagi dengan mimpi buruk. Dia melihat
mayat Derren dalam mimpinya itu. Perasaan cemas dan takutnya juga tercampur
dengan perasaan kesal: kenapa Derren tidak menyerahkan nomor teleponnya?
Jika saja Derren
menyerahkannya, dia tidak perlu panik dan Rai bisa mendengar kalau dia
baik-baik saja hanya dari suaranya. Rai juga pernah nekad untuk datang ke
rumahnya, namun yang terlihat hanya gerbang besar rumah itu. Suasana sunyi rumah itu membuatnya tidak nyaman. Bagaimana
caranya Derren bisa tinggal di rumah seperti itu? Pantas saja dia punya sikap
dingin seperti es.
“Jangan bengong.
Cepat bereskan bunga-bunga itu! Aku membayarmu bukan untuk bengong seharian
tapi bekerja untukku!” Aryan berteriak dari dalam toko sambil menghidupkan
televisi yang dipajang di dekat meja kantornya.
“Ya,” Rai yang
menatap sepeda gunung biru itu mengalihkan pandangannya ke dalam toko. Dia
mengambil celemek biru kotor yang tergantung di dekat bunga bakung dan
memakainya. Masih diliputi pemikiran-pemikiran mengenai keadaan Derren, Rai
mulai mengerjakan pemupukan bunga morning glory.
Beberapa kali
terdengar suara berisik dari televisi Aryan yang mengganti siaran, seiring
dengan itu terdengar juga suara motor yang melewati toko mereka.
“Presiden Direktur
Perusahaan Internasional Crystal Pertama Group, Daris, hari ini mendapat
panggilan dari kepolisian pusat. Daris dicurigai sebagai dalang atas lenyapnya
keuntungan perusahaan sebesar empat puluh delapan koma tujuh milyar rupiah.
Ke—”
“Aah, masalah koruptor
melulu. Apa jadinya Indonesia jika rakyatnya korupsi melulu? Udah kaya mau
lebih kaya! Tidak layak ditonton!” komentar Aryan mengganti siaran ke acara
hiburan.
“Tolong putar
berita tadi, Bos!” Rai melesat kearah Bos-nya dan menarik televisi itu. Aryan
menggerutu, tapi tetap mengganti siaran.
“Kami tidak tahu
apakah Daris yang melakukannya atau tidak.” Wajah yang dikenal Rai muncul diantara begitu banyak wartawan yang
mengerubutinya. Itu wajah Robert. “Jangan mengerubutiku. No comment.”
Di lain tempat, orang
yang dikenali Rai sebagai Kolas—atau malah Nico?—malah memberi komentar lain. “Kalau
Daris korupsi, dia tidak mungkin ketahuan dengan mudah. Kita lihat sajalah.
Daris itu pintar, masa’ dipenjara gara-gara korupsi? Yang benar saja! Itu bukan
level Daris. Daris bukan tipe orang yang rakus, baginya amat mudah mendapatkan
uang tanpa harus korupsi. Perusahaan kami saja memberi kami keuntungan besar.”
Orang lain yang
diwawancarai kali ini, wanita yang bernama Ellena, malah kelihatan gusar. Dia
baru keluar dari bandara dan masih memegang koper dan mantel bepergian. “Maaf,
saya sibuk. Ada rapat penting. Tolong minggir.”
Derren...
Beberapa hari berlalu dengan kabar miring seputar Crystal Pertama Group.
Berita perkembangan tentang pemeriksaan Daris terus berlanjut baik itu di media
cetak atau pun media elektronik. Rai selalu mengikuti berita-berita itu. Selama
pemeriksaan, kabarnya Daris harus menjawab lima ratus lima puluh enam
pertanyaan. Bukan hanya itu saja, dia juga mengalami masa pengurungan dan
dilarang keluar rumah. Sepertinya pihak kepolisian Indonesia takut Daris akan
kabur ke luar negeri seperti halnya yang dilakukan oleh koruptor-koruptor lain.
Dan sampai detik ini, belum ada komentar baik langsung maupun tidak langsung
dari Derren selaku pihak keluarga. Apakah wartawan tidak tahu kalau Daris sudah punya anak?
“Kau selalu
mengikuti perkembangan Presiden Crystal itu, ya?” Sandra membawakan dua gelas
kopi ke ruang tengah, dimana Rai sedang serius menonton.
“Perusahaan Crystal
Pertama Group yang baru-baru ini melejit karena investasi besar yang berani
mendapat laporan bahwa saham yang mereka miliki saat ini sebesar empat puluh
tiga koma delapan persen dan hal ini membuat para pemegang saham gusar.
Kabarnya Daris menyerahkan tujuh puluh lima persen saham yang dia miliki kepada
seseorang yang sampai saat ini masih dipertanyakan keberadaannya.”
“Jangan
tanya-tanya.”
Willy yang baru
keluar dari Crystal Pertama Group kelihatan sulit sekali untuk bergerak. Semua
tangan-tangan wartawan yang menjulur di atas kepalanya membuatnya keringatan
dan kerepotan. Tidak ada satupun pertanyaan yang dia jawab karena Willy sudah
menyelinap diantara kaki-kaki mereka dan kabur dengan mobil.
“Sampai saat ini
belum ada satupun anggota Direksi yang bisa dimintai keterangan. Apakah ini
berarti Crystal Pertama Group akan mengganti Presiden Direktur mengingat
tudingan pada Daris semakin gencar?”
“Daris masih
tersangka bukan pelaku dan tidak menutup kemungkinan ada orang yang
membantunya. Kami belum tahu secara pasti,” seorang pria agak pucat muncul di layar televisi. Dia dikawal oleh
beberapa orang berjas yang tidak berekspresi. Lampu blitz yang tak
henti-hentinya membuat wajahnya lebih pucat. Di layar televisi, Rai membaca
namanya: Rhadist, Direktur Pengembangan dan Penelitian Crystal Pertama Group.
Rhadist salah satu pemegang saham di Crystal.
“Lalu bagaimana
soal saham yang diberikan Daris? Apakah itu memang sahamnya?” seorang wartawan mendesak dengan catatan di tangan.
“Ya. Itu saham
Daris.”
“Berapa kira-kira
saham Daris saat ini di Crystal Pertama Group? Apakah jumlah saham yang
dimiliki Daris akan membuatnya turun jabatan?”
“Hm... saham Daris
sekitar enam belas sampai sembilan belas persen untuk saat ini. Jujur saja,
kalau soal pernurunan jabatan, kami juga tidak tahu. Crystal Pertama Group
bukanlah perusahaan yang memilih Pemimpin berdasarkan saham tapi kemampuan. Dan
kemampuan Daris tidak diragukan lagi.”
“Lalu bagaimana
dengan saham yang tersisa? Bukankah saat ini ada yang memegang saham terbesar?
Apakah dia punya kemampuan untuk menggantikan Daris? Anda sudah melihatnya?
Bagaimana pendapat Anda? Tolong berkomentar!”
Rai pasti bingung
jika terus dicecar oleh pertanyaan bertubi-tubi. Namun, laki-laki berwajah
pucat yang diwawancarai itu masih tenang. Sedikit banyak, Rai kagum pada orang-orang
berkelas, mereka sangat berbeda dengan rakyat jelata. Sama seperti perbedaan
yang jelas antara Rai dan Derren.
“Saya belum pernah
bertemu langsung dengan Pemegang Saham Terbesar namun sudah ada beberapa
anggota Direksi yang bertemu langsung. Dan mereka mengatakan kalau Pemegang
Saham yang baru sangat bisa diandalkan. Yah... kita lihat saja nanti.”
Laki-laki wajah
pucat itu berjalan masuk ke dalam lift utama. Para pengawalnya menghalangi
wartawan yang mencoba mengejarnya.
Sandra melilat
kearah televisi lekat-lekat kemudian menghela napas panjang.
“Menurut Mama
apakah Daris itu bersalah?” Rai mengganti ke siaran lain dengan rubrik berita
yang sama.
“Hm... jika melihat
pendapat orang-orang yang mengenal Daris, Mama rasa Daris tidak bersalah.
Hampir semua teman-temannya bilang kalau Daris bukan tipe seperti itu kan?
Lagipula yang Mama tahu, sedikit orang tahu tentang Daris, walaupun korupsi tidak mungkin bisa ketahuan dengan mudah.
Dia kan orang nomor satu di Crystal Pertama Group.”
“Iya juga sih.”
“Satu hal lagi yang
ganjil,” gumam Sandra. “Dia menyerahkan tujuh puluh lima persen dari saham yang
dia punya... itu berarti dia ingin pensiun atau menyerahkan jabatannya, atau
mungkin saja...”
“Mungkin saja apa,
Ma?” Rai mendesak, masih belum mengerti.
“Mungkin saja dia
sudah tahu ada orang yang ingin menjebaknya. Orang yang menjebaknya, mungkin,
ingin jadi Presiden Direktur. Itu sebabnya Daris menyerahkan sebagian sahamnya
pada orang kepercayaannya itu,” lanjut Sandra dengan dahi mengerut. “Kalau
benar begitu, maka ‘orang kepercayaan Daris’ akan diincar oleh ‘orang yang
menjebak Daris’.”
Rai ternganga
mendengar penjelasan spesifik Sandra. Agak masuk akal. Bukan, bukan agak, tapi
memang masuk akal. Jika yang dimaksud dengan ‘orang kepercayaan Daris’ adalah
Derren dan ‘orang yang menjebak Daris’ menyuruh pria-pria berjas hitam itu
menangkap Derren. Maka tidak salah lagi kalau kesimpulan itu benar.
“Mama seperti
Detektif, ya?” komentar Rai pada Mamanya.
“Ma—Mama suka baca
novel misteri, sih,” kata Sandra cengengesan, meneguk kopinya. Rai mengalihkan
pandangannya lagi ke televisi.
***
0 komentar:
Posting Komentar