2.
Bertukar Tempat
Rai memarkirkan
sepedanya ke halaman. Diambilnya kunci rumah dari saku miliknya dan membuka
pintu. Dia menghidupkan lampu karena ruangan itu masih gelap. Hari ini Sandra
mendapat tugas jaga di Rumah Sakit Swasta soalnya dia bekerja sebagai perawat.
“Lama sekali kau
pulang. Kakiku sampai kram menunggumu.”
Rai hampir saja
berteriak saat dia menutup pintu dan melihat Derren sudah ada di sampingnya,
untung tidak jadi. Jika tidak, tetangga pasti sudah
berdatangan.
“Darimana kau
masuk?” kata Rai melihat Derren dari atas sampai bawah dengan panik seakan-akan
dia bertemu dengan hantu. Derren menunjuk jendela yang terbuka lebar walau
masih sibuk memencet-mencet iPod-nya. “Kau tidak mencuri apapun kan?” Rai
memeriksa barang-barangnya, siapa tahu ada yang hilang.
“Aku tidak
melakukan level rendahan sebagai Pencuri,” kata Derren, matanya masih sibuk
untuk menentukan lagu kesukaannya.
Rai mendelik kesal
pada Derren. Baginya, Derren adalah makhluk tersombong yang belum pernah
ditemuinya di muka bumi. Rai segera kearah Derren yang belum beranjak dari
tampatnya. Rai mengecak pinggang. Siap meledak.
“Bagaimana caranya
kau bisa tahu alamatku?” kata Rai dengan nada curiga. “Kai ini intel, ya?”
“Aku tahu dari
Alex, orang yang meminjamimu uang,” kata Derren mengantongi iPod-nya setelah
menemukan lagu yang dia inginkan. “Dia memaksaku membayar hutangmu.”
“Apa?”
Mata Rai dan Derren
bertemu. Rai salah tingkah kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
“Salahmu sendiri menanyakan alamatku pada Alex. Dia suka sekali memeras orang
jika orang tersebut butuh bantuannya.”
“Ya. Salahku
sendiri karena punya wajah yang sama dengan wajahmu.”
Rai yang sedang
berkutat dengan barang-barang elektronik menoleh cepat sehingga dia dapat
mendengar suara derit tulang lehernya.
“Apa katamu
barusan?”
Derren beranjak
sambil membuka kacamata bingkai hitamnya. Rai tercengang saat melihat wajah
Derren. Untuk sesaat dia tidak bisa berkedip. Walaupun tampak lain dengan gaya
rambut dan warna mata, Rai dapat melihat dengan jelas kalau dia seperti
bercermin. Baik wajah, hidung, bibir, semuanya sama persis dengan Rai. Rai
tidak bisa berkata apa-apa. Dia sangat kaget.
“Apa kita bersaudara
kembar?” Rai beranjak, memerhatikan Derren dari atas sampai ke bawah. Pantas
saja waktu itu Derren mengitarinya. Semuanya sama. Postur tubuh, tinggi badan,
cara berdiri... kecuali cara mereka saling memandang. Rai punya mata hitam
yang bersinar dan kulit cokelat sementara Derren memiliki mata biru yang redup
dengan tatapan dingin, kulitnya pucat kayak vampir tidak minum darah.
“Apa jenis golongan
darahmu?” kata Derren dengan nada datar—satu lagi perbedaan mereka yang
kelihatan jelas. Dia membiarkan Rai mengitarinya.
“Golongan darahku
B,” kata Rai. Dia berhenti melangkah seakan menyadari sesuatu yang penting.
“Jangan-jangan kau juga bergolongan darah B?”
“Sayang sekali,
golongan darahku A,” jawab Derren singkat. “Rai, aku butuh bantuanmu dan kau
harus membantuku.”
“Tidak,” kata Rai
cepat. Dia berbalik menjauhi Derren. “Aku tidak mau membantumu. Lagipula, apa
untungnya buatku jika membantumu?”
“Kalau begitu kau
harus mengembalikan semua uang yang kuberikan pada Alex untuk membayar hutangmu.
Semuanya empat ratus ribu. Dan karena kau menolak bekerja sama, kuberi sanksi
seratus ribu,” kata Derren dengan enteng mengikuti Rai menuju dapur.
“Kau memerasku,
ya?” Rai mulai emosi, tapi saat dia melihat Derren yang tidak bereskpresi
sedikitpun, Rai menghela napas. Bagaimanapun Derren sudah membayar hutangnya,
kalau dipikir-pikir masalah ini karena salah paham saja. Kebetulan yang sangat
merepotkan Rai.
“Aku tidak punya
uang sebanyak itu,” kata Rai, kali ini dia mencoba tenang. Dia harus tahu diri
pada orang yang sudah membantunya.
“Mau tak mau kau
harus membantuku,” kata Derren.
Rai benar-benar
ingin marah pada sikap Derren yang masih tenang. Berbagai pertanyaan sulit
meledak-ledak dalam otaknya. Kalau bisa Rai ingin sekali mengeluarkan kata-kata
makian yang terlintas dalam pikirannya untuk Derren. Tapi lagi-lagi, Rai
menahan diri.
“Dengarkan aku,
Derren. Aku sangat berterima kasih kau membayar hutangku walaupun rasanya itu
hanya kebetulan. Tapi—”
“Kau hanya cukup
menyamar sebagai aku dan aku akan menyamar sebagai temanmu lalu mengikuti
kemanapun kau pergi.”
“Apa?” Rai bingung.
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Derren sudah memotong dengan kalimat yang
cepat.
“Intinya seperti
itu dan tidak ada bantahan. Aku akan menganggap lunas hutang itu jika urusanku
selesai,” kata Derren. Dia berjalan kesalah satu pintu. “Ini kamarmu kan?”
Derren menunjuk pintu kamar Rai.
“Ya. Kenapa?”
“Aku menginap
disini. Bisa aku minta kemeja putih sebagai piyama?”
Rai menggertakan
giginya dengan kesal. Rai ingin menolak tapi masalahnya dia tidak bisa
mengatakannya.
***
“Rai, kau sudah
bangun, Nak?” suara Sandra terdengar dari
balik pintu kamar Rai. Beberapa kali terdengar suara ketukan. “Rai...?”
Rai membuka matanya
secara perlahan. Dia melihat-lihat dinding kamarnya.
“Rai, apa kau sudah
bangun?” kata Sandra lagi.
“Ya, Ma,” kata Rai
bangun. Dia menggeliat sambil menguap. Saat bangkit dari tempat tidurnya, dia
melihat Derren yang masih tidur disampingnya. “Seperti mimpi saja kejadian
kemarin,” gumamnya. Rai mendekati wajah Derren yang masih belum bangun. “Memang
mirip, ya.”
“Apa hari ini kau
tidak olahraga, Rai?” kata Sandra dari kejauhan. Rai melihat agendanya. Sandra
sama sekali tidak tahu kalau Rai kerja sambilan.
“Olahraga, Ma.
Sebentar lagi,” kata Rai cepat-cepat menutup agendanya. Dia melemparkan
selimut, menutupi wajah Derren dan keluar. Dia sudah telat mengantar koran.
“Selamat pagi,
Sayang,” Sandra mengecup pipi Rai. Dia kelihatannya baru pulang soalnya dia
masih memakai seragam perawat. “Sarapan?”
Rai menyambar roti
selai kacang dengan cepat, meminum susu yang masih panas dengan terburu-buru
dan keluar tanpa salam. Sandra hanya melambaikan tangan pada Rai yang pergi
menjauh.
Derren
menyingkirkan selimut dari wajahnya. Sebenarnya dia sudah bangun sejak panggilan
pertama Sandra, namun dia memilih untuk pura-pura tidur. Derren bangkit dan
mengambil agenda Rai. Jadwal Rai benar-benar padat, tidak ada bedanya dengan
jadwal miliknya. Derren membolak-balik lembaran agenda Rai, ada begitu banyak
catatan hutang disitu.
Dia melihat-lihat
kamar Rai. Kamar kecil yang terasa sesak. Ada begitu banyak poster di dinding.
Di meja belajarnya tertumpuk buku-buku pelajaran, tetapi lebih banyak yang
berbau biologi. Derren mengambil sebuah bingkai foto di atas meja belajar Rai.
Foto itu diambil saat Rai memenangkan kejuaraan biologi se-provinsi bersama
Sandra disampingnya.
“Siapa kau?”
Derren berbalik
dengan cepat, dia sama sekali tidak menyadari kalau Sandra ada di depan pintu
dan mengawasinya sejak tadi. Derren kembali meletakan foto itu.
“Derren,” jawabnya,
Sandra memerhatikan
wajah Derren. Untung saja Derren sudah memakai kaca matanya. “Apakah kau teman
Rai? Semalam menginap disini?”
“Ya,” jawab Derren
singkat sementara jantungnya bergejolak gelisah. Apakah Sandra dapat mudah
mengenalinya seperti Alex walaupun dia berkaca mata?
“Jangan takut
begitu, Nak,” Sandra tersenyum hangat. “Aku Sandra, Mamanya Rai. Rai pergi
buru-buru sekali pagi ini sampai tidak mengatakan kalau ada temannya yang
menginap. Kau mau sarapan?”
“Eh... ya...”
Tampaknya Sandra
tidak menyadari kemiripan wajahnya dan Rai. Derren menghela napas. Kalau Sandra
tadi menyadarinya, entah apa yang akan dia katakan sebagai penjelasan. Derren
bukan tipe orang yang bisa berbohong. Baginya lebih baik diam daripada berbohong.
Sandra mengoleskan
selai pada roti panggang. Dia tersenyum pada Derren yang datang ke dapur. Bagi
Derren, dapur itu seperti gudang saja. Gelap dan berantakan. Anehnya, Derren
lebih suka disini daripada di kamar Rai. Dapur yang hangat berbeda sekali dengan
dapur di rumahnya, mungkin karena ada seorang Ibu di rumah itu.
“Apakah kau sudah
minta izin pada orang tuamu bahwa kau bermalam disini?” kata Sandra meletakan
roti itu ke piring Derren.
“Tidak. Ayah
biasanya tidak peduli keadaanku seperti apa asalkan nilaiku selalu bagus dan
membanggakan sehingga dia bisa pamer pada teman-temannya,” kata Derren datar.
Sandra yang menuangkan susu ke gelas, menatap Derren dengan penuh rasa iba.
“Bagaimana dengan
Mamamu?”
“Mama meninggal
satu jam setelah aku lahir. Dia meninggal setelah memberiku nama.”
Derren tidak
menyadari kalau Sandra semakin prihatin padanya, dia lebih memilih untuk sibuk
makan roti yang disodorkan Sandra. Rasanya enak, jauh lebih enak daripada
masakan Prancis nomor satu.
“Apakah kau selalu
pakai baju seperti itu?” tanya Sandra.
Derren mengangguk
tidak peduli.
“Kau salah memasang
kancingnya. Bajunya jadi tidak rapi.”
“Biar saja. Aku
lebih suka tampil berantakan,” kata Derren. Sandra tersenyum.
Kemeja Derren
benar-benar berantakan. Letak kancing bajunya tidak benar. Kancing pertama
terletak di lubang kedua dan begitu juga sebaliknya. Bajunya besar dengan tangan kemeja yang menutupi ujung jarinya.
Celananya juga panjang sehingga terseret lantai. Sandra hanya bisa
geleng-geleng kepala.
“Apakah Anda tidak
keberatan kalau Rai bolos satu hari?” kata Derren setelah mereka diam beberapa
saat. “Aku butuh bantuan Rai. Soalnya kalau aku sendiri bisa mencurigakan.
Apakah Anda mengizinkan?”
“Boleh saja asal
aku tahu alasannya,” kata Sandra menopang dagu.
“Kemarin aku
dikejar-kejar orang tidak dikenal. Mereka mengaku sebagai suruhan Ayah, tapi
Ayah biasanya mengatakan masalah secara langsung tanpa menggunakan suruhan
apalagi yang menyangkut dariku. Karena aku curiga, aku ingin menyelidikinya,
apalagi Ayah juga bilang kalau dia mugkin akan ada masalah,” Derren menatap
mata hitam Sandra. “Namun, jika Anda tidak mengijinkan. Aku akan menyelidikinya
sendiri,” lanjutnya.
“Apa kecurigaan
yang memungkinkan untuk mereka?” kata Sandra.
“Mungkin investasi
Ayah. Aku rasa mereka hendak menculikku untuk meminta tebusan besar pada Ayah.
Saat ini hanya itu yang bisa kupikirkan.
“Tapi sayangnya kau
kabur, iya kan?”
Sandra bangkit dari
tempatnya. dia membereskan piring Derren yang sudah kosong lalu mencucinya.
“Lalu kenapa menurutmu Rai bisa membantumu? Apa kau yakin kalau hal ini tidak
akan menjerumuskannya?”
“Aku...,” Derren
menatap Sandra. “Aku tidak akan menjerumuskannya. Tapi ini juga bukan masalah
mudah. Aku hanya ingin dia menolongku dalam sehari ini saja.”
Sandra tersenyum
lagi. “Beristirahatlah, Derren. Kemarin merupakan hari yang melelahkan bagimu
kan? Aku mengijinkan Rai membantumu tapi tergantung Rai juga. Rai anak yang
keras kepala. Kau harus membujuknya.”
Derren tidak
menjawab. Dia keluar dari dapur dan masuk ke kamar Rai. Dia mengambil buku dari
dalam tasnya dan membaca sambil mendengarkan musik. Lagu yang berdentam-dentum.
Bahkan saat Sandra ke kamar dan membawakannya baju gantipun dia sama sekali
tidak mendengar.
“Kau mendengarku,
tidak?” kata Rai yang tiba-tiba sudah berada di depan Derren. Di tangan Rai ada
earphone Derren yang baru saja dia cabut dengan paksa. Rai sudah tiba
sejak lima belas menit lalu dan bercerita panjang lebar pada Derren. Awalnya
Rai mengira kalau Derren setuju pendapatnya karena kepalanya mengangguk-angguk.
Tapi ternyata saat ditanya, Derren malah menggumamkan lagu tak jelas.
“Tidak. Kembalikan
itu,” kata Derren meminta kembali earphone-nya. Rai mendengus kesal.
Sia-sia saja dia berbicara panjang lebar pada Derren.
“Mama sudah tahu kau
disini dan membujukku untuk membantumu,” Rai
melempar earphone Derren. “Aku tidak mau. Kau orang paling menyebalkan
yang pernah kutemui dan dengan sengaja memanfaatkan Mamaku yang baik hati.”
“Sebaiknya segera
ganti pakaianmu supaya kita bisa segera ke rumahku dan mencari tahu hal yang
bisa diseldiki,” kata Derren kembali membaca bukunya.
“Dengarkan aku! Aku
tidak mau!” Rai menaikan suaranya. “Aku tidak mau bolos sekolah hanya karena
mau membantu orang yang baru kutemui kemarin!”
“Aku akan tunggu di
luar kalau kau sudah selesai.”
Dengan santai
Derren keluar sambil membaca buku. Rai melempar jeket Derren dengan kesal
saat pintu kamarnya tertutup.
***
Mau tak mau pada
akhirnya Rai sudah berada di depan pintu gerbang rumah Derren. Rai harus
mengakui kalau dia termangu beberapa saat melihat rumah besar itu. Baru kali
ini Rai melihat ada rumah sebesar istana.
“Rai, kau harus
ingat hal-hal yang sudah kukatakan padamu,” kata Derren membuyarkan segala
imajinasi Rai tentang rumah itu. Derren memakai topi dan kacamata hitam
menutupi wajahnya agar tidak mudah dikenali. Cara berpakaiannya seperti orang
gila. Berantakan sekali. Entah apakah dia tahu cara berpakaian atau tidak. Rai
jadi ragu, benarkah Derren tinggal di rumah konglomerat ini? Ataukah dia hanya
bekerja sebagai pelayan? Rasanya mustahil. Mana ada majikan normal mau menerima
pelayan yang bahkan berpakaian saja tidak bisa.
“Ya, aku tahu.
Tidak usah cerewet.” Rai mengikuti cara bicara Derren yang datar. Sementara
mereka melewati gerbang besar, Rai mengingat-ingat hal-hal yang dikatakan
Derren. Tetapi baru saja dia mengingat tiga hal, dia sudah lupa akibat melihat
rumah besar Derren. Bagian dalam rumah itu membuat Rai tidak bisa menahan
kekagumannya.
“Tahan sikapmu,”
gumam Derren pada Rai yang melompat-lompat di atas sofa.
“Tidak apa kan? Aku
hanya mencoba keempukan sofa,” kata Rai melompat dari atas sofa dan beralih
pada kristal-kristal yang dipajang di atas meja.
“Masalahnya aku
tidak pernah melakukannya. Tenanglah sedikit. Tingkatmu seperti monyet yang
mendapat singgasana raja saja,” Derren mengambil kristal-kristal yang dipegang
Rai dan meletakannya ke tempat semula.
“Aku tersinggung
dengan ucapanmu itu,” gerutu Rai.
Beberapa pelayan
muncul membuat Rai terdiam dan menjaga sikap. Dua dari mereka sudah cukup tua
dan mereka semua membungkuk pada Rai.
“Tuan Muda Derren
dari mana saja? Kemarin malam Tuan Besar Daris sangat menguatirkan Anda.
Berkali-kali dia menelepon ke ponsel Anda tetapi tidak diangkat. Apakah Anda
baik-baik saja?” kata wanita berseragam yang lebih tua. Kelihatannya mereka
sama sekali tidak sadar kalau dia bukan Derren yang asli.
“Ya. Kemarin malam
aku menginap di rumah teman. Ini orangnya,” kata Rai dengan sikap kaku. Derren
yang ada disampingnya tidak mengatakan apa-apa. “Hari ini aku lelah sekali dan
butuh istirahat. Jangan menggangguku,” katanya lagi sesuai dengan skenario yang
dirancang Derren.
Belum lagi Rai dan
Derren sampai ke anak tangga ketiga, salah satu dari mereka bertanya hal yang
diluar skenario. “Tuan Muda, apakah Anda mengubah penampilan Anda?”
“Ya.”
“Aneh sekali. Anda
kan bukan tipe orang yang menyukai style.”
Rai sudah mulai
mengeluarkan keringat sekarang. Jantungnya berdegup kencang. Rai hendak
mengatakan sesuatu tapi sebelum dia bicara, Derren sudah lebih dahulu buka
mulut.
“Bukankah pelayan
tidak perlu tahu privasi majikannya?”
Kalah telak.
Pelayan yang di bawah tidak bisa buka mulut. Mereka bahkan saling pandang
dengan raut wajah khawatir. Takut dipecat.
Rai sekarang tahu
alasan kenapa Derren selalu bisa mendapatkan hal yang dia inginkan. Derren tipe
orang diktator. Satu kata darinya membuat sekumpulan orang tidak berkutik.
“Makasih sudah
membantuku,” kata Rai ketika mereka ada di depan pintu kamar
“Aku hanya
menghentikanmu beraksi sebelum kau mengacaukan segalanya,” kata Derren,
berjongkok di depan pintu dan memeriksa
sana-sini.
“Kau sedang apa?”
kata Rai mengalihkan kekesalannya. “Tidak ada apa-apa disitu,” tambahnya lagi
ketika Derren meraba tiap sudut pintu.
“Justru karena
tidak ada apa-apa,” gumam Derren mengeluarkan kunci kamar mengacuhkan suara
keheranan Rai. Tapi suara keheranan Rai berganti menjadi kekaguman saat pintu
kamar Derren terbuka.
“Wow, kau suka
warna putih, ya? Dimana-mana putih,” kata Rai takjub melihat isi kamar Derren
yang berwarna putih. Namun di atas lantainya berserakan berbagai jenis buku,
bukan hal baru bagi Rai yang tahu seberapa berantakannya Derren.
Derren menyebrangi
kamar dan menuju jendela yang terkunci rapat. Di beranda juga tidak terlihat
apapun. Masih sama seperti saat dia tinggal.
“Kau ini berantakan
sekali. Bukan hanya buku, kertas-kertas juga berserakan,” kata Rai dari arah
lemari. Derren segera kearahnya dan melihat kalau di laci lemari terselip
kertas-kertas.
“Aku tidak pernah
membiarkan kertas-kertas
berserakan. Apalagi dari lemari ini,” gumam Derren mengambil kertas-kertas itu.
“Di lemari ini biasanya tersimpan dokumen-dokumen perusahaan yang disuruh Ayah
untuk kuperiksa. Hanya lemari ini yang rapi.”
“Jangan-jangan ada
yang masuk kamarmu?”
“Hal itu tidak
diragukan lagi,” Derren memeriksa berkas-berkas itu. “Di sela pintu sudah
kuletakan benang tipis sebelum aku keluar kamar. Tapi sekarang tidak ada. Para
pelayan tidak mungkin masuk kamar karena sudah kularang. Itu berarti ada
seseorang yang dengan sengaja masuk kamarku. Seseorang yang membutuhkan dokumen
perusahaan.”
“Jangan-jangan
Papamu?”
“Tidak. Kemarin
Ayah memaksaku bertemu dengannya dan tidak mengatakan apapun selain saham yang
sudah jadi milikku. Lagipula kalau dia perlu apapun, dia akan menungguku pulang
kemudian kami berdua akan berbicara di kantornya.”
Rai hanya
manggut-manggut. Pura-pura mengerti padahal tidak. Yang Rai mengerti hanyalah
ada orang yang masuk kamar Derren tanpa izin. Pantas saja Derren memeriksa
pintu kamarnya tadi. Yang diincar ternyata berkas perusahaan, ya? Dia tidak
terlalu mengerti pekerjaan orang kaya, tapi berkas itu pasti amatlah penting.
“Lalu, berkas apa
yang hilang?” kata Rai saat Derren selesai.
“Tidak ada yang
hilang.”
Rai membulatkan
matanya.
“Kau yakin?”
“Seratus persen.
Aku selalu ingat semua barang yang kuletakan.”
Derren menutup
lemarinya dengan dahi mengerut.
“Lalu, apa artinya
itu?” kata Rai masih tidak mengerti.
“Artinya bukan
berkas ini yang diinginkannya.”
Rai, lagi-lagi,
menggut-manggut. Derren bangkit dan mengambil ransel dari bawah tempat tidur.
Dia memasukan beberapa potong pakaian, buku, kamera digital, recorder, TV
turner, handycam dan entah apa lagi.
“Ini ponselmu dan
ganti pakaianmu. Kita akan segera ke kantor Ayahku,” kata Derren melemparkan
satu stel pakaian dari lemari pakaian pada Rai. Rai tidak mampu menolak karena
Derren sudah lebih dahulu masuk ke kamar mandi.
Rai puas melihat
dirinya di cermin. Dia terlihat lebih gagah akibat baju mahal bermerek
pemberian Derren. Apalagi Derren memberikannya ponsel yang belum keluar dan
masih dalam tahap promosi. Rasanya seperti jadi Pangeran betulan. Derren
terlihat rapi dengan kaos putih—mungkin karena tidak ada kancing, jeket putih,
celana putih, sepatu putih dan topi putih.
Rai
terbengong-bengong sesaat melihat penampilan Derren.
“Kau ini malaikat
atau hantu, sih?” komentar Rai.
Derren memperbaiki
kacamatanya dan tidak menggubris komentar Rai. Sambil memakai ranselnya yang
berat dan kelihatan penuh itu, dia bilang “Ayo, pergi.” Rai menurut.
Bersama-sama mereka menuruni anak tangga. Tidak ada seorang pelayan pun yang
terlihat di bawah.
“Aku harus
permisi?” Rai bertanya pada Derren.
“Tidak perlu.
Mereka pasti akan banyak bertanya,” jawab Derren pelan.
Mereka melewati
ruang tengah dengan cepat dan segera keluar dari pintu utama. Derren harus
memeriksa apakah ada orang yang melihat mereka atau tidak. Dia memberikan kode
anggukan ketika dia merasa kalau keadaan sudah aman. Setelah melewati gerbang
di depanpun, mereka belum bisa merasa lega karena mata awas dari tetangga yang
menurut mereka amat merepotkan.
“Aku terlihat seperti
menculikmu; mengendap-endap kesana-kemari seakan takut ketahuan,” gerutu Rai
menghela napas lega. Mereka akhirnya bisa lolos dan sekarang ada di
persimpangan jalan untuk menunggu bus. “Dimana perusahaan Papamu itu? Kita mau
kesana kan?”
“Entahlah. Aku
selalu diantar-jemput selama ini,” jawab Derren.
Rai semakin
dongkol. Bukan hanya karena sifat tidak peduli dan diktatornya Derren tetapi
juga karena mata gadis-gadis mengarah pada Derren. Hanya pada Derren. Rai
melihat jam tangannya. Masih pukul sepuluh pagi, namun matahari sudah terik.
Panas.
“Lalu bagaimana
cara kita ke perusahaan Papamu yang entah ada dimana kalau tempatnya saja kau
tidak tahu?” Rai mencoba menenangkan emosinya sambil mengingat-ingat kalau saat
ini dia sedang membantu Derren.
“Kau tahu Crystal
Pertama Group? Itu adalah nama perusahaan Ayahku.”
Rai terpelongo
untuk beberapa saat.
“Kalau itu, sih aku
tahu! Kenapa tidak kau katakan dari tadi, sih?” gerutu Rai, dia menarik tangan
Derren untuk masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti. Rai langsung
mendudukan Derren ke tempat duduk kosong karena berpikir bahwa pangeran seperti
Derren tidak tahan berdiri.
Rai yang berdiri di
dekat Derren melipat tangannya sementara otaknya berpikir.
Crystal Pertama
Group. Siapa yang tidak tahu nama perusahaan itu? Kabarnya perusahaan itu
berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini. Crystal Pertama Group
didirikan atas kerja sama dari lima eksekutif muda yang sedang naik daun:
Daris, Ellena, Rhadist, Nico dan Jeff. Mereka bekerja sama membuat perusahaan
besar yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Di bawah kepemimpinan Daris
sebagai Presiden Direktur dan pemegang saham tertinggi, mereka mengendalikan
perekonomian bangsa.
Titik tersulit yang
tidak diketahui oleh publik adalah tidak ada yang mengetahui kehidupan pribadi
mereka. Penjagaan pada mereka sangat ketat melebihi penjagaan terhadap
Presiden. Maka tidak heran jika ada wartawan yang dipecat jika begitu ngotot
meliput mereka. Dunia tersembunyi yang tidak akan pernah diketahui Rai. Tapi,
siapakah Derren? Belum ada orang yang berhasil meliput mereka. Apakah dia anak
salah satu dari mereka berlima?
“Derren, siapa nama
Papamu?” kata Rai tiba-tiba.
“Doktor Daris
Harryawan.” Derren menjawab sambil melihat keluar jendela.
Rai melotot. Derren
anak dari Presiden Direktur Crystal Pertama Group? Dia tidak bercanda kan?
“Kenapa kau
melihatku dengan wajah seram begitu?” kata Derren.
Rai tersadar. Dia
terlalu serius berpikir sehingga raut wajahnya menjadi seram.
“Tidak ada
apa-apa,” jawab Rai salah tingkah. Dia mengalihkan pandangannya ke arah luar
jendela. Pantas saja dia dikejar-kejar orang tidak dikenal. “Derren, aku mau
tanya satu hal.”
“Tanya saja.”
“Apa kau tidak
takut padaku?” kata Rai. Derren menatapnya, kelihatannya Derren belum mengerti.
“Maksudku, kita baru pertama kali bertemu kemarin. Dan kau langsung meminta
bantuanku. Kalau dipikir-pikir bukankah aneh sekali? Kau yang diincar-incar
orang-orang aneh dan tidak mudah percaya orang lain, kenapa tidak takut ataupun
curiga padaku? Kau tidak berpikir kalau aku bisa saja menjadi bagian dari
orang-orang itu?”
“Benar juga. Aku
tidak berpikir seperti itu sebelumnya,” kata Derren menopang dagunya. Untuk
beberap saat dia bergumam sambil berpikir. Rai menunggu sampai Derren menjawab
dengan nada datar. “Mungkin karena tidak berpikir seperti itu padamu aku jadi
percaya padamu.”
“Jadi tidak
berpikir sama sekali ya?” ulang Rai lemas. Dalam hati dia menggerutu, ternyata
Derren memang anak tanpa perlindungan.
“Tapi kalau
dipikirkan...,” gumam Derren serius. “Walaupun baru kenal, dari lubuk hatiku
yang paling dalam, aku merasa kau orang yang bisa dipercaya.”
Rai kehilangan
kata-kata. Bulu kuduknya merinding.
“Aku tidak
menyangka kalau orang berlidah tajam sepertimu ternyata bisa memuji juga,” kata
Rai nyengir lebar.
“Aku hanya tidak
bisa berbohong. Aku ini orang jujur.”
Derren tersenyum,
untuk pertama kalinya.
“Kalau itu sih aku
tidak percaya.”
“Terserah. Aku
tidak peduli,” kata Derren melipat tangannya. Saat dia menggerakan kepalanya ke
arah luar jendela, dia bilang, “Ah, itu kantor Ayah,” sambil menunjuk gedung
besar bertingkat yang dipenuhi jendela-jendela kaca tertutup.
“Apa? Yang mana?”
Rai refleks melihat kearah yang ditunjuk Derren. “Kenapa tidak kau bilang dari
tadi sih? Kiri, Bang! Stop. Stop!”
Rai hampir saja jatuh
ketika bus mendadak berhenti.
“Cepat turun,”
perintah Rai pada Derren. Rai melompat dari bus setelah membayar ongkos mereka
berdua. “Kita jadi harus jalan kaki. Agak jauh tapi nggak jauh-jauh amat kok.
Kau bisa jalan kaki kan?”
“Gini-gini aku juga
bisa jalan kaki kok,” kata Derren agak tersinggung. Dia mengikuti Rai berjalan
menyusuri jalan. Rai tidak merespon. Sebenarnya Rai jengkel pada sikap Derren.
Jadi dia lebih memilih untuk diam. Tapi ternyata dia tidak bisa.
“Lalu, aku harus
menjadi dirimu lagi sekarang?” Rai berbalik dan agak terpesona melihat gaya
Derren yang berjalan menghindari kerumunan orang-orang yang melewatinya. “Kau
ini memang mempesona, ya. Sempurna.”
“Aku juga punya
kelemahan kok,” kata Derren tidak peduli, “Oh, ya. Kau tidak perlu berpura-pura
jadi aku. Kali ini aku saja yang maju.”
Akhirnya mereka
sampai di depan sebuah gedung besar bertingkat-tingkat. Gedung pencakar langit
itu menjulang seakan menyentuh langit. Di depan gerbang ada tulisan CRYSTAL
PERTAMA GROUP yang berkilat-kilat terpantul sinar matahari. Beberapa karyawan
berulang kali keluar-masuk pintu kaca.
Dengan langkah
tegap dan dagu terangkat, Derren melewati pintu kaca. Cara berjalannya yang
berwibawa membuat beberapa karyawan berhenti dan menatap mereka. Berpuluh-puluh
pasang mata mengikuti mereka saat mereka berada di depan pintu lift utama.
Ketika Derren hendak memencet tombol lift, pintu lift sudah terbuka duluan.
Beberapa orang
laki-laki berjas, dengan bentuk wajah berbeda, menatap mereka dengan heran.
Derren menurunkan tangannya, lalu membuka topi putihnya—sesuatu yang tidak disangka Rai, dan dengan
penuh hormat dia sedikit membungkukan tubuhnya.
“Selamat pagi, aku
Derren, Putra Daris sang Presiden Utama Crystal Pertama Group,” kata Derren
tersenyum tipis.
Rai seakan mendengar ada suara napas yang tertahan dan merasa suasana di
dalam perusahaan jauh lebih dingin dari semula.
0 komentar:
Posting Komentar