RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 Januari 2013

Derren dan Rai Eps 2


2.
Bertukar Tempat
Rai memarkirkan sepedanya ke halaman. Diambilnya kunci rumah dari saku miliknya dan membuka pintu. Dia menghidupkan lampu karena ruangan itu masih gelap. Hari ini Sandra mendapat tugas jaga di Rumah Sakit Swasta soalnya dia bekerja sebagai perawat.
“Lama sekali kau pulang. Kakiku sampai kram menunggumu.”
Rai hampir saja berteriak saat dia menutup pintu dan melihat Derren sudah ada di sampingnya, untung tidak jadi. Jika tidak, tetangga pasti sudah berdatangan.
“Darimana kau masuk?” kata Rai melihat Derren dari atas sampai bawah dengan panik seakan-akan dia bertemu dengan hantu. Derren menunjuk jendela yang terbuka lebar walau masih sibuk memencet-mencet iPod-nya. “Kau tidak mencuri apapun kan?” Rai memeriksa barang-barangnya, siapa tahu ada yang hilang.
“Aku tidak melakukan level rendahan sebagai Pencuri,” kata Derren, matanya masih sibuk untuk menentukan lagu kesukaannya.
Rai mendelik kesal pada Derren. Baginya, Derren adalah makhluk tersombong yang belum pernah ditemuinya di muka bumi. Rai segera kearah Derren yang belum beranjak dari tampatnya. Rai mengecak pinggang. Siap meledak.
“Bagaimana caranya kau bisa tahu alamatku?” kata Rai dengan nada curiga. “Kai ini intel, ya?”
“Aku tahu dari Alex, orang yang meminjamimu uang,” kata Derren mengantongi iPod-nya setelah menemukan lagu yang dia inginkan. “Dia memaksaku membayar hutangmu.”
“Apa?”
Mata Rai dan Derren bertemu. Rai salah tingkah kemudian cepat-cepat mengalihkan pandangannya. “Salahmu sendiri menanyakan alamatku pada Alex. Dia suka sekali memeras orang jika orang tersebut butuh bantuannya.”
“Ya. Salahku sendiri karena punya wajah yang sama dengan wajahmu.”
Rai yang sedang berkutat dengan barang-barang elektronik menoleh cepat sehingga dia dapat mendengar suara derit tulang lehernya.
“Apa katamu barusan?”
Derren beranjak sambil membuka kacamata bingkai hitamnya. Rai tercengang saat melihat wajah Derren. Untuk sesaat dia tidak bisa berkedip. Walaupun tampak lain dengan gaya rambut dan warna mata, Rai dapat melihat dengan jelas kalau dia seperti bercermin. Baik wajah, hidung, bibir, semuanya sama persis dengan Rai. Rai tidak bisa berkata apa-apa. Dia sangat kaget.
“Apa kita bersaudara kembar?” Rai beranjak, memerhatikan Derren dari atas sampai ke bawah. Pantas saja waktu itu Derren mengitarinya. Semuanya sama. Postur tubuh, tinggi badan, cara berdiri... kecuali cara mereka saling memandang. Rai punya mata hitam yang bersinar dan kulit cokelat sementara Derren memiliki mata biru yang redup dengan tatapan dingin, kulitnya pucat kayak vampir tidak minum darah.
“Apa jenis golongan darahmu?” kata Derren dengan nada datar—satu lagi perbedaan mereka yang kelihatan jelas. Dia membiarkan Rai mengitarinya.
“Golongan darahku B,” kata Rai. Dia berhenti melangkah seakan menyadari sesuatu yang penting. “Jangan-jangan kau juga bergolongan darah B?”
“Sayang sekali, golongan darahku A,” jawab Derren singkat. “Rai, aku butuh bantuanmu dan kau harus membantuku.”
“Tidak,” kata Rai cepat. Dia berbalik menjauhi Derren. “Aku tidak mau membantumu. Lagipula, apa untungnya buatku jika membantumu?”
“Kalau begitu kau harus mengembalikan semua uang yang kuberikan pada Alex untuk membayar hutangmu. Semuanya empat ratus ribu. Dan karena kau menolak bekerja sama, kuberi sanksi seratus ribu,” kata Derren dengan enteng mengikuti Rai menuju dapur.
“Kau memerasku, ya?” Rai mulai emosi, tapi saat dia melihat Derren yang tidak bereskpresi sedikitpun, Rai menghela napas. Bagaimanapun Derren sudah membayar hutangnya, kalau dipikir-pikir masalah ini karena salah paham saja. Kebetulan yang sangat merepotkan Rai.
“Aku tidak punya uang sebanyak itu,” kata Rai, kali ini dia mencoba tenang. Dia harus tahu diri pada orang yang sudah membantunya.
“Mau tak mau kau harus membantuku,” kata Derren.
Rai benar-benar ingin marah pada sikap Derren yang masih tenang. Berbagai pertanyaan sulit meledak-ledak dalam otaknya. Kalau bisa Rai ingin sekali mengeluarkan kata-kata makian yang terlintas dalam pikirannya untuk Derren. Tapi lagi-lagi, Rai menahan diri.
“Dengarkan aku, Derren. Aku sangat berterima kasih kau membayar hutangku walaupun rasanya itu hanya kebetulan. Tapi—”
“Kau hanya cukup menyamar sebagai aku dan aku akan menyamar sebagai temanmu lalu mengikuti kemanapun kau pergi.”
“Apa?” Rai bingung. Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Derren sudah memotong dengan kalimat yang cepat.
“Intinya seperti itu dan tidak ada bantahan. Aku akan menganggap lunas hutang itu jika urusanku selesai,” kata Derren. Dia berjalan kesalah satu pintu. “Ini kamarmu kan?” Derren menunjuk pintu kamar Rai.
“Ya. Kenapa?”
“Aku menginap disini. Bisa aku minta kemeja putih sebagai piyama?”
Rai menggertakan giginya dengan kesal. Rai ingin menolak tapi masalahnya dia tidak bisa mengatakannya.
***
“Rai, kau sudah bangun, Nak?” suara Sandra terdengar dari balik pintu kamar Rai. Beberapa kali terdengar suara ketukan. “Rai...?”
Rai membuka matanya secara perlahan. Dia melihat-lihat dinding kamarnya.
“Rai, apa kau sudah bangun?” kata Sandra lagi.
“Ya, Ma,” kata Rai bangun. Dia menggeliat sambil menguap. Saat bangkit dari tempat tidurnya, dia melihat Derren yang masih tidur disampingnya. “Seperti mimpi saja kejadian kemarin,” gumamnya. Rai mendekati wajah Derren yang masih belum bangun. “Memang mirip, ya.”
“Apa hari ini kau tidak olahraga, Rai?” kata Sandra dari kejauhan. Rai melihat agendanya. Sandra sama sekali tidak tahu kalau Rai kerja sambilan.
“Olahraga, Ma. Sebentar lagi,” kata Rai cepat-cepat menutup agendanya. Dia melemparkan selimut, menutupi wajah Derren dan keluar. Dia sudah telat mengantar koran.
“Selamat pagi, Sayang,” Sandra mengecup pipi Rai. Dia kelihatannya baru pulang soalnya dia masih memakai seragam perawat. “Sarapan?”
Rai menyambar roti selai kacang dengan cepat, meminum susu yang masih panas dengan terburu-buru dan keluar tanpa salam. Sandra hanya melambaikan tangan pada Rai yang pergi menjauh.
Derren menyingkirkan selimut dari wajahnya. Sebenarnya dia sudah bangun sejak panggilan pertama Sandra, namun dia memilih untuk pura-pura tidur. Derren bangkit dan mengambil agenda Rai. Jadwal Rai benar-benar padat, tidak ada bedanya dengan jadwal miliknya. Derren membolak-balik lembaran agenda Rai, ada begitu banyak catatan hutang disitu.
Dia melihat-lihat kamar Rai. Kamar kecil yang terasa sesak. Ada begitu banyak poster di dinding. Di meja belajarnya tertumpuk buku-buku pelajaran, tetapi lebih banyak yang berbau biologi. Derren mengambil sebuah bingkai foto di atas meja belajar Rai. Foto itu diambil saat Rai memenangkan kejuaraan biologi se-provinsi bersama Sandra disampingnya.
“Siapa kau?”
Derren berbalik dengan cepat, dia sama sekali tidak menyadari kalau Sandra ada di depan pintu dan mengawasinya sejak tadi. Derren kembali meletakan foto itu.
“Derren,” jawabnya,
Sandra memerhatikan wajah Derren. Untung saja Derren sudah memakai kaca matanya. “Apakah kau teman Rai? Semalam menginap disini?”
“Ya,” jawab Derren singkat sementara jantungnya bergejolak gelisah. Apakah Sandra dapat mudah mengenalinya seperti Alex walaupun dia berkaca mata?
“Jangan takut begitu, Nak,” Sandra tersenyum hangat. “Aku Sandra, Mamanya Rai. Rai pergi buru-buru sekali pagi ini sampai tidak mengatakan kalau ada temannya yang menginap. Kau mau sarapan?”
“Eh... ya...”
Tampaknya Sandra tidak menyadari kemiripan wajahnya dan Rai. Derren menghela napas. Kalau Sandra tadi menyadarinya, entah apa yang akan dia katakan sebagai penjelasan. Derren bukan tipe orang yang bisa berbohong. Baginya lebih baik diam daripada berbohong.
Sandra mengoleskan selai pada roti panggang. Dia tersenyum pada Derren yang datang ke dapur. Bagi Derren, dapur itu seperti gudang saja. Gelap dan berantakan. Anehnya, Derren lebih suka disini daripada di kamar Rai. Dapur yang hangat berbeda sekali dengan dapur di rumahnya, mungkin karena ada seorang Ibu di rumah itu.
“Apakah kau sudah minta izin pada orang tuamu bahwa kau bermalam disini?” kata Sandra meletakan roti itu ke piring Derren.
“Tidak. Ayah biasanya tidak peduli keadaanku seperti apa asalkan nilaiku selalu bagus dan membanggakan sehingga dia bisa pamer pada teman-temannya,” kata Derren datar. Sandra yang menuangkan susu ke gelas, menatap Derren dengan penuh rasa iba.
“Bagaimana dengan Mamamu?”
“Mama meninggal satu jam setelah aku lahir. Dia meninggal setelah memberiku nama.”
Derren tidak menyadari kalau Sandra semakin prihatin padanya, dia lebih memilih untuk sibuk makan roti yang disodorkan Sandra. Rasanya enak, jauh lebih enak daripada masakan Prancis nomor satu.
“Apakah kau selalu pakai baju seperti itu?” tanya Sandra.
Derren mengangguk tidak peduli.
“Kau salah memasang kancingnya. Bajunya jadi tidak rapi.”
“Biar saja. Aku lebih suka tampil berantakan,” kata Derren. Sandra tersenyum.
Kemeja Derren benar-benar berantakan. Letak kancing bajunya tidak benar. Kancing pertama terletak di lubang kedua dan begitu juga sebaliknya. Bajunya besar dengan tangan kemeja yang menutupi ujung jarinya. Celananya juga panjang sehingga terseret lantai. Sandra hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Apakah Anda tidak keberatan kalau Rai bolos satu hari?” kata Derren setelah mereka diam beberapa saat. “Aku butuh bantuan Rai. Soalnya kalau aku sendiri bisa mencurigakan. Apakah Anda mengizinkan?”
“Boleh saja asal aku tahu alasannya,” kata Sandra menopang dagu.
“Kemarin aku dikejar-kejar orang tidak dikenal. Mereka mengaku sebagai suruhan Ayah, tapi Ayah biasanya mengatakan masalah secara langsung tanpa menggunakan suruhan apalagi yang menyangkut dariku. Karena aku curiga, aku ingin menyelidikinya, apalagi Ayah juga bilang kalau dia mugkin akan ada masalah,” Derren menatap mata hitam Sandra. “Namun, jika Anda tidak mengijinkan. Aku akan menyelidikinya sendiri,” lanjutnya.
“Apa kecurigaan yang memungkinkan untuk mereka?” kata Sandra.
“Mungkin investasi Ayah. Aku rasa mereka hendak menculikku untuk meminta tebusan besar pada Ayah. Saat ini hanya itu yang bisa kupikirkan.
“Tapi sayangnya kau kabur, iya kan?”
Sandra bangkit dari tempatnya. dia membereskan piring Derren yang sudah kosong lalu mencucinya. “Lalu kenapa menurutmu Rai bisa membantumu? Apa kau yakin kalau hal ini tidak akan menjerumuskannya?”
“Aku...,” Derren menatap Sandra. “Aku tidak akan menjerumuskannya. Tapi ini juga bukan masalah mudah. Aku hanya ingin dia menolongku dalam sehari ini saja.”
Sandra tersenyum lagi. “Beristirahatlah, Derren. Kemarin merupakan hari yang melelahkan bagimu kan? Aku mengijinkan Rai membantumu tapi tergantung Rai juga. Rai anak yang keras kepala. Kau harus membujuknya.”
Derren tidak menjawab. Dia keluar dari dapur dan masuk ke kamar Rai. Dia mengambil buku dari dalam tasnya dan membaca sambil mendengarkan musik. Lagu yang berdentam-dentum. Bahkan saat Sandra ke kamar dan membawakannya baju gantipun dia sama sekali tidak mendengar.
“Kau mendengarku, tidak?” kata Rai yang tiba-tiba sudah berada di depan Derren. Di tangan Rai ada earphone Derren yang baru saja dia cabut dengan paksa. Rai sudah tiba sejak lima belas menit lalu dan bercerita panjang lebar pada Derren. Awalnya Rai mengira kalau Derren setuju pendapatnya karena kepalanya mengangguk-angguk. Tapi ternyata saat ditanya, Derren malah menggumamkan lagu tak jelas.
“Tidak. Kembalikan itu,” kata Derren meminta kembali earphone-nya. Rai mendengus kesal. Sia-sia saja dia berbicara panjang lebar pada Derren.
“Mama sudah tahu kau disini dan membujukku untuk membantumu,” Rai melempar earphone Derren. “Aku tidak mau. Kau orang paling menyebalkan yang pernah kutemui dan dengan sengaja memanfaatkan Mamaku yang baik hati.”
“Sebaiknya segera ganti pakaianmu supaya kita bisa segera ke rumahku dan mencari tahu hal yang bisa diseldiki,” kata Derren kembali membaca bukunya.
“Dengarkan aku! Aku tidak mau!” Rai menaikan suaranya. “Aku tidak mau bolos sekolah hanya karena mau membantu orang yang baru kutemui kemarin!”
“Aku akan tunggu di luar kalau kau sudah selesai.”
Dengan santai Derren keluar sambil membaca buku. Rai melempar jeket Derren dengan kesal saat pintu kamarnya tertutup.
***
Mau tak mau pada akhirnya Rai sudah berada di depan pintu gerbang rumah Derren. Rai harus mengakui kalau dia termangu beberapa saat melihat rumah besar itu. Baru kali ini Rai melihat ada rumah sebesar istana.
“Rai, kau harus ingat hal-hal yang sudah kukatakan padamu,” kata Derren membuyarkan segala imajinasi Rai tentang rumah itu. Derren memakai topi dan kacamata hitam menutupi wajahnya agar tidak mudah dikenali. Cara berpakaiannya seperti orang gila. Berantakan sekali. Entah apakah dia tahu cara berpakaian atau tidak. Rai jadi ragu, benarkah Derren tinggal di rumah konglomerat ini? Ataukah dia hanya bekerja sebagai pelayan? Rasanya mustahil. Mana ada majikan normal mau menerima pelayan yang bahkan berpakaian saja tidak bisa.
“Ya, aku tahu. Tidak usah cerewet.” Rai mengikuti cara bicara Derren yang datar. Sementara mereka melewati gerbang besar, Rai mengingat-ingat hal-hal yang dikatakan Derren. Tetapi baru saja dia mengingat tiga hal, dia sudah lupa akibat melihat rumah besar Derren. Bagian dalam rumah itu membuat Rai tidak bisa menahan kekagumannya.
“Tahan sikapmu,” gumam Derren pada Rai yang melompat-lompat di atas sofa.
“Tidak apa kan? Aku hanya mencoba keempukan sofa,” kata Rai melompat dari atas sofa dan beralih pada kristal-kristal yang dipajang di atas meja.
“Masalahnya aku tidak pernah melakukannya. Tenanglah sedikit. Tingkatmu seperti monyet yang mendapat singgasana raja saja,” Derren mengambil kristal-kristal yang dipegang Rai dan meletakannya ke tempat semula.
“Aku tersinggung dengan ucapanmu itu,” gerutu Rai.
Beberapa pelayan muncul membuat Rai terdiam dan menjaga sikap. Dua dari mereka sudah cukup tua dan mereka semua membungkuk pada Rai.
“Tuan Muda Derren dari mana saja? Kemarin malam Tuan Besar Daris sangat menguatirkan Anda. Berkali-kali dia menelepon ke ponsel Anda tetapi tidak diangkat. Apakah Anda baik-baik saja?” kata wanita berseragam yang lebih tua. Kelihatannya mereka sama sekali tidak sadar kalau dia bukan Derren yang asli.
“Ya. Kemarin malam aku menginap di rumah teman. Ini orangnya,” kata Rai dengan sikap kaku. Derren yang ada disampingnya tidak mengatakan apa-apa. “Hari ini aku lelah sekali dan butuh istirahat. Jangan menggangguku,” katanya lagi sesuai dengan skenario yang dirancang Derren.
Belum lagi Rai dan Derren sampai ke anak tangga ketiga, salah satu dari mereka bertanya hal yang diluar skenario. “Tuan Muda, apakah Anda mengubah penampilan Anda?”
“Ya.”
“Aneh sekali. Anda kan bukan tipe orang yang menyukai style.”
Rai sudah mulai mengeluarkan keringat sekarang. Jantungnya berdegup kencang. Rai hendak mengatakan sesuatu tapi sebelum dia bicara, Derren sudah lebih dahulu buka mulut.
“Bukankah pelayan tidak perlu tahu privasi majikannya?”
Kalah telak. Pelayan yang di bawah tidak bisa buka mulut. Mereka bahkan saling pandang dengan raut wajah khawatir. Takut dipecat.
Rai sekarang tahu alasan kenapa Derren selalu bisa mendapatkan hal yang dia inginkan. Derren tipe orang diktator. Satu kata darinya membuat sekumpulan orang tidak berkutik.
“Makasih sudah membantuku,” kata Rai ketika mereka ada di depan pintu kamar
“Aku hanya menghentikanmu beraksi sebelum kau mengacaukan segalanya,” kata Derren, berjongkok di depan pintu dan  memeriksa sana-sini.
“Kau sedang apa?” kata Rai mengalihkan kekesalannya. “Tidak ada apa-apa disitu,” tambahnya lagi ketika Derren meraba tiap sudut pintu.
“Justru karena tidak ada apa-apa,” gumam Derren mengeluarkan kunci kamar mengacuhkan suara keheranan Rai. Tapi suara keheranan Rai berganti menjadi kekaguman saat pintu kamar Derren terbuka.
“Wow, kau suka warna putih, ya? Dimana-mana putih,” kata Rai takjub melihat isi kamar Derren yang berwarna putih. Namun di atas lantainya berserakan berbagai jenis buku, bukan hal baru bagi Rai yang tahu seberapa berantakannya Derren.
Derren menyebrangi kamar dan menuju jendela yang terkunci rapat. Di beranda juga tidak terlihat apapun. Masih sama seperti saat dia tinggal.
“Kau ini berantakan sekali. Bukan hanya buku, kertas-kertas juga berserakan,” kata Rai dari arah lemari. Derren segera kearahnya dan melihat kalau di laci lemari terselip kertas-kertas.
“Aku tidak pernah membiarkan kertas-kertas berserakan. Apalagi dari lemari ini,” gumam Derren mengambil kertas-kertas itu. “Di lemari ini biasanya tersimpan dokumen-dokumen perusahaan yang disuruh Ayah untuk kuperiksa. Hanya lemari ini yang rapi.”
“Jangan-jangan ada yang masuk kamarmu?”
“Hal itu tidak diragukan lagi,” Derren memeriksa berkas-berkas itu. “Di sela pintu sudah kuletakan benang tipis sebelum aku keluar kamar. Tapi sekarang tidak ada. Para pelayan tidak mungkin masuk kamar karena sudah kularang. Itu berarti ada seseorang yang dengan sengaja masuk kamarku. Seseorang yang membutuhkan dokumen perusahaan.”
“Jangan-jangan Papamu?”
“Tidak. Kemarin Ayah memaksaku bertemu dengannya dan tidak mengatakan apapun selain saham yang sudah jadi milikku. Lagipula kalau dia perlu apapun, dia akan menungguku pulang kemudian kami berdua akan berbicara di kantornya.”
Rai hanya manggut-manggut. Pura-pura mengerti padahal tidak. Yang Rai mengerti hanyalah ada orang yang masuk kamar Derren tanpa izin. Pantas saja Derren memeriksa pintu kamarnya tadi. Yang diincar ternyata berkas perusahaan, ya? Dia tidak terlalu mengerti pekerjaan orang kaya, tapi berkas itu pasti amatlah penting.
“Lalu, berkas apa yang hilang?” kata Rai saat Derren selesai.
“Tidak ada yang hilang.”
Rai membulatkan matanya.
“Kau yakin?”
“Seratus persen. Aku selalu ingat semua barang yang kuletakan.”
Derren menutup lemarinya dengan dahi mengerut.
“Lalu, apa artinya itu?” kata Rai masih tidak mengerti.
“Artinya bukan berkas ini yang diinginkannya.”
Rai, lagi-lagi, menggut-manggut. Derren bangkit dan mengambil ransel dari bawah tempat tidur. Dia memasukan beberapa potong pakaian, buku, kamera digital, recorder, TV turner, handycam dan entah apa lagi.
“Ini ponselmu dan ganti pakaianmu. Kita akan segera ke kantor Ayahku,” kata Derren melemparkan satu stel pakaian dari lemari pakaian pada Rai. Rai tidak mampu menolak karena Derren sudah lebih dahulu masuk ke kamar mandi.
Rai puas melihat dirinya di cermin. Dia terlihat lebih gagah akibat baju mahal bermerek pemberian Derren. Apalagi Derren memberikannya ponsel yang belum keluar dan masih dalam tahap promosi. Rasanya seperti jadi Pangeran betulan. Derren terlihat rapi dengan kaos putih—mungkin karena tidak ada kancing, jeket putih, celana putih, sepatu putih dan topi putih.
Rai terbengong-bengong sesaat melihat penampilan Derren.
“Kau ini malaikat atau hantu, sih?” komentar Rai.
Derren memperbaiki kacamatanya dan tidak menggubris komentar Rai. Sambil memakai ranselnya yang berat dan kelihatan penuh itu, dia bilang “Ayo, pergi.” Rai menurut. Bersama-sama mereka menuruni anak tangga. Tidak ada seorang pelayan pun yang terlihat di bawah.
“Aku harus permisi?” Rai bertanya pada Derren.
“Tidak perlu. Mereka pasti akan banyak bertanya,” jawab Derren pelan.
Mereka melewati ruang tengah dengan cepat dan segera keluar dari pintu utama. Derren harus memeriksa apakah ada orang yang melihat mereka atau tidak. Dia memberikan kode anggukan ketika dia merasa kalau keadaan sudah aman. Setelah melewati gerbang di depanpun, mereka belum bisa merasa lega karena mata awas dari tetangga yang menurut mereka amat merepotkan.
“Aku terlihat seperti menculikmu; mengendap-endap kesana-kemari seakan takut ketahuan,” gerutu Rai menghela napas lega. Mereka akhirnya bisa lolos dan sekarang ada di persimpangan jalan untuk menunggu bus. “Dimana perusahaan Papamu itu? Kita mau kesana kan?”
“Entahlah. Aku selalu diantar-jemput selama ini,” jawab Derren.
Rai semakin dongkol. Bukan hanya karena sifat tidak peduli dan diktatornya Derren tetapi juga karena mata gadis-gadis mengarah pada Derren. Hanya pada Derren. Rai melihat jam tangannya. Masih pukul sepuluh pagi, namun matahari sudah terik. Panas.
“Lalu bagaimana cara kita ke perusahaan Papamu yang entah ada dimana kalau tempatnya saja kau tidak tahu?” Rai mencoba menenangkan emosinya sambil mengingat-ingat kalau saat ini dia sedang membantu Derren.
“Kau tahu Crystal Pertama Group? Itu adalah nama perusahaan Ayahku.”
Rai terpelongo untuk beberapa saat.
“Kalau itu, sih aku tahu! Kenapa tidak kau katakan dari tadi, sih?” gerutu Rai, dia menarik tangan Derren untuk masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti. Rai langsung mendudukan Derren ke tempat duduk kosong karena berpikir bahwa pangeran seperti Derren tidak tahan berdiri.
Rai yang berdiri di dekat Derren melipat tangannya sementara otaknya berpikir.
Crystal Pertama Group. Siapa yang tidak tahu nama perusahaan itu? Kabarnya perusahaan itu berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini. Crystal Pertama Group didirikan atas kerja sama dari lima eksekutif muda yang sedang naik daun: Daris, Ellena, Rhadist, Nico dan Jeff. Mereka bekerja sama membuat perusahaan besar yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Di bawah kepemimpinan Daris sebagai Presiden Direktur dan pemegang saham tertinggi, mereka mengendalikan perekonomian bangsa.
Titik tersulit yang tidak diketahui oleh publik adalah tidak ada yang mengetahui kehidupan pribadi mereka. Penjagaan pada mereka sangat ketat melebihi penjagaan terhadap Presiden. Maka tidak heran jika ada wartawan yang dipecat jika begitu ngotot meliput mereka. Dunia tersembunyi yang tidak akan pernah diketahui Rai. Tapi, siapakah Derren? Belum ada orang yang berhasil meliput mereka. Apakah dia anak salah satu dari mereka berlima?
“Derren, siapa nama Papamu?” kata Rai tiba-tiba.
“Doktor Daris Harryawan.” Derren menjawab sambil melihat keluar jendela.
Rai melotot. Derren anak dari Presiden Direktur Crystal Pertama Group? Dia tidak bercanda kan?
“Kenapa kau melihatku dengan wajah seram begitu?” kata Derren.
Rai tersadar. Dia terlalu serius berpikir sehingga raut wajahnya menjadi seram.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Rai salah tingkah. Dia mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Pantas saja dia dikejar-kejar orang tidak dikenal. “Derren, aku mau tanya satu hal.”
“Tanya saja.”
“Apa kau tidak takut padaku?” kata Rai. Derren menatapnya, kelihatannya Derren belum mengerti. “Maksudku, kita baru pertama kali bertemu kemarin. Dan kau langsung meminta bantuanku. Kalau dipikir-pikir bukankah aneh sekali? Kau yang diincar-incar orang-orang aneh dan tidak mudah percaya orang lain, kenapa tidak takut ataupun curiga padaku? Kau tidak berpikir kalau aku bisa saja menjadi bagian dari orang-orang itu?”
“Benar juga. Aku tidak berpikir seperti itu sebelumnya,” kata Derren menopang dagunya. Untuk beberap saat dia bergumam sambil berpikir. Rai menunggu sampai Derren menjawab dengan nada datar. “Mungkin karena tidak berpikir seperti itu padamu aku jadi percaya padamu.”
“Jadi tidak berpikir sama sekali ya?” ulang Rai lemas. Dalam hati dia menggerutu, ternyata Derren memang anak tanpa perlindungan.
“Tapi kalau dipikirkan...,” gumam Derren serius. “Walaupun baru kenal, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa kau orang yang bisa dipercaya.”
Rai kehilangan kata-kata. Bulu kuduknya merinding.
“Aku tidak menyangka kalau orang berlidah tajam sepertimu ternyata bisa memuji juga,” kata Rai nyengir lebar.
“Aku hanya tidak bisa berbohong. Aku ini orang jujur.”
Derren tersenyum, untuk pertama kalinya.
“Kalau itu sih aku tidak percaya.”
“Terserah. Aku tidak peduli,” kata Derren melipat tangannya. Saat dia menggerakan kepalanya ke arah luar jendela, dia bilang, “Ah, itu kantor Ayah,” sambil menunjuk gedung besar bertingkat yang dipenuhi jendela-jendela kaca tertutup.
“Apa? Yang mana?” Rai refleks melihat kearah yang ditunjuk Derren. “Kenapa tidak kau bilang dari tadi sih? Kiri, Bang! Stop. Stop!”
Rai hampir saja jatuh ketika bus mendadak berhenti.
“Cepat turun,” perintah Rai pada Derren. Rai melompat dari bus setelah membayar ongkos mereka berdua. “Kita jadi harus jalan kaki. Agak jauh tapi nggak jauh-jauh amat kok. Kau bisa jalan kaki kan?”
“Gini-gini aku juga bisa jalan kaki kok,” kata Derren agak tersinggung. Dia mengikuti Rai berjalan menyusuri jalan. Rai tidak merespon. Sebenarnya Rai jengkel pada sikap Derren. Jadi dia lebih memilih untuk diam. Tapi ternyata dia tidak bisa.
“Lalu, aku harus menjadi dirimu lagi sekarang?” Rai berbalik dan agak terpesona melihat gaya Derren yang berjalan menghindari kerumunan orang-orang yang melewatinya. “Kau ini memang mempesona, ya. Sempurna.”
“Aku juga punya kelemahan kok,” kata Derren tidak peduli, “Oh, ya. Kau tidak perlu berpura-pura jadi aku. Kali ini aku saja yang maju.”
Akhirnya mereka sampai di depan sebuah gedung besar bertingkat-tingkat. Gedung pencakar langit itu menjulang seakan menyentuh langit. Di depan gerbang ada tulisan CRYSTAL PERTAMA GROUP yang berkilat-kilat terpantul sinar matahari. Beberapa karyawan berulang kali keluar-masuk pintu kaca.
Dengan langkah tegap dan dagu terangkat, Derren melewati pintu kaca. Cara berjalannya yang berwibawa membuat beberapa karyawan berhenti dan menatap mereka. Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti mereka saat mereka berada di depan pintu lift utama. Ketika Derren hendak memencet tombol lift, pintu lift sudah terbuka duluan.
Beberapa orang laki-laki berjas, dengan bentuk wajah berbeda, menatap mereka dengan heran. Derren menurunkan tangannya, lalu membuka topi putihnya—sesuatu yang tidak disangka Rai, dan dengan penuh hormat dia sedikit membungkukan tubuhnya.
“Selamat pagi, aku Derren, Putra Daris sang Presiden Utama Crystal Pertama Group,” kata Derren tersenyum tipis.
Rai seakan mendengar ada suara napas yang tertahan dan merasa suasana di dalam perusahaan jauh lebih dingin dari semula.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.