RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 Januari 2013

Derren dan Rai Eps 1


1.
Aku

Di suatu hari yang terik, seorang anak muda mengendarai sepedanya. Beberapa kali dia menghela napas lelah sambil menyeka keringat dengan punggung tangannya. Sesekali dia melirik kearah belakang sepedanya, melihat apakah karangan bunga yang dia bawa di kerajang masih utuh atau tidak.
Dia menggoek sepedanya memasuki gang kecil yang berlumpur dan bau. Tidak berapa lama kemudian dia sudah sampai ke sebuah perumahan. Rumah-rumah itu ditata dalam bentuk dan warna cat yang sama, bahkan taman di pekarangan rumahnya pun sama.
“Blok C nomor empat, blok C nomor empat,” gumamnya berkali-kali untuk menghapalkan alamat pelanggan sambil melihat kiri dan kanannya.
Akhirnya dia melihat rumah nomor empat. Dia turun dari sepedanya dan memarkirkannya di dekat gerbang. Dia mengambil karangan bunganya dengan hati-hati dan perlahan dari boncengannya dan berdiri di depan gerbang.
“Kiriman dari Angel Florist,” katanya sambil memencet bel.
Keadaan jalanan itu masih sangat sunyi ketika dia menunggu pintu untuk dibukakan. Dia sudah sering bolak-balik dari blok ini tiap siang namun keadaannya masih tetap sama dari hari ke hari. Tidak ada orang. Sepertinya semua orang yang tinggal di tempat ini sebuk bekerja sehingga tidak ada yang kelihatan. Siang bekerja dan malam tidur. Benar-benar kehidupan menoton orang kaya.
Gerbang di depannya terbuka. Seorang wanita setengah baya cantik berambut hitam berdiri dibalik gerbang. Dia tersenyum padanya.
“Apakah Anda Nyonya Naomi?”
“Ya,” wanita itu menjawab lembut.
“Ada buket bunga lily untuk Anda dari Hizkia Locovanio,” katanya menyodorkan buket bunga itu pada Naomi. “Silakan tanda tangan disini,” dia menyodorkan kertas pembayaran. Wanita itu menandatanganinya dengan cepat. “Terimakasih.”
“Tunggu, Nak,” kata wanita itu ketika dia berbalik untuk mengambil sepedanya yang terpakir. “Biasanya Sbastian yang mengantarkan buket bunga. Apakah kau anggota baru?”
“Ah, ya,” jawabnya sambil tersenyum. “Sbastian sudah berhenti sekitar dua hari lalu dan aku adalah penggantinya. Namaku Rai. Rai Azusha.”
Wanita itu tersenyum ketika Rai pamit.
Rai kembali menggoek sepedanya dengan cepat. Rambut cokelat-pirang-berantakannya dihembus angin dan makin terlihat berantakan. Dia memiliki kulit yang agak sedikit gosong karena selalu berada di bawah sinar matahari untuk kerja sambilan. Matanya hitam jernih dan terlihat kocak, hidup—begitulah teman-temannya selalu berkomentar soal matanya. Tubuhnya berisi dan dia sedikit menarik perhatian dengan kemampuan otak yang tidak biasa.
Dia berbelok ke kanan ketika menemui persimpangan.
Jeketnya tertiup angin dan terlihat melayang-layang. Tembok-tembok besar dan gelap dia lewati begitu saja. Matanya menyusuri jalanan kosong ketika dia akhirnya menemukan jalanan yang sunyi kendaraan. Dia melewati lampu lalu lintas yang berwarna hijau sampai kemudian berhenti di sebuah cafe.
Berulang kali dia mengantar buket bunga yang tidak sedikit melewati jalan dan gang-gang sempit bahkan melewati arena permukiman kumuh untuk mempersingkat waktu. Pekerjaannya sebagai pengantar buket bunga memang penuh tantangan.
Selama dua hari bekerja sebagai Pengantar, Rai punya pengalaman menarik dari pekerjaannya, seperti berhadapan dengan anjing hearder galak pelanggan sehingga dia harus berlari untuk menghindari gigi-gigi tajam sang anjing, atau menghindari piring-piring terbang dari pasangan suami-isteri yang bertengkar hebat, ataupun tidak digubris sama sekali kedatangannya, atau sengaja dikerjai oleh anak tetangga ataupun preman-preman yang ketika ditanya mengenai alamat yang dia tuju malah ditunjukan jalan menuju kuburan. Pekerjaannya jadi kelihatan seperti Pak Pos. Dan sekarang....
“Aku tidak butuh bunga!” wanita cantik dari cafe yang dia datangi berteriak marah sambil melemparkan karangan bunga yang dia bawa tepat ke wajahnya. “Kembalikan kepada pemiliknya!”
“Tapi, Nona—” Rai mencoba untuk berdiplomasi. Dia sudah sering mendapat masalah tentang buket bunga yang dia bawa kembali dalam keadaan hancur dan complain pelanggan mengenai hal ini.
“KELUAR!”
Rai menunduk tepat pada waktunya. Wanita pelayan itu meraung marah seperti beruang sambil melemparkan sepiring cake milik pelanggan yang berada di atas meja. Cepat-cepat Rai keluar dari cafe itu dan membawa kabur sepedanya sebelum ada lagi cake jenis lain yang melayang.
Beberapa kali Rai memaki dalam hati. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi semakin lama dia bekerja di Angel Florist. Andai saja semua pelanggan seperti Nyonya Naomi yang cantik, ramah, baik hati, lembut dan mudah senyum itu, tentunya dia tidak perlu merasa dongkol setiap kali keluar dari rumah pelanggan. Rai jadi mengerti alasan Sbastian berhenti dari pekerjaan ini dan alasan kenapa tidka ada Pengantar buket bunga yang lain selain dia, Rai, di Angel Florist. Mana ada yang mau jadi pelampiasan.
Rai menghela napas lelah. Capek.
“Rai, untung kau datang.”
Seorang laki-laki berumur dengan rambut yang hampir putih semua menghampiri Rai yang sedang memarkir sepedanya sambil membawa buket-buket bunga berplastik yang lain. Kedua tangannya penuh sampai dia tidak bisa memperbaiki letak kacamata tebalnya dari hidungnya yang bengkok.
“Pesanan lagi, Bos?” kata Rai membantu pria tua itu sebelum dia ambruk.
“Ya. Baru saja,” katanya dengan napas terengah. Dia mengusap-usap kedua tangannya pada celemek kotak-kotak kotor yang dia pakai. Pria tua itu bernama Aryan, pensiunan militer, dan dia pemilik dari Angel Florist.
“Kelihatannya hari ini kita bisa untung besar,” kata Aryan menepuk-nepuk punggung Rai dengan senang. “Ini alamat yang dituju. Aku sudah catat semuanya,” dia memberikan kertas panjang yang membuat Rai mengerutkan dahi. Sebelum Rai mengeluh karena banyaknya pesanan yang harus dia antar, Aryan mencerocos. “Jangan sampai salah. Ingat, cepat, tepat dan profesionalitas adalah sistem kerja kita.”
“Dan tamu harus puas,” sambung Rai mengikatkaan buket-buket bunga itu ke keranjang bambu miliknya. Tamu harus puas walaupun aku dimaki-maki, tambah Rai dalam hati, dilempar, dikejar, diceramahi dan macam-macam lagi.
“Ini sebotol minuman untukmu. Kau masih kuat kan?”
Rai menatap Bosnya dengan tatapan tidak percaya. Dia sudah bekerja sejak pagi sampai tengah hari dan hanya diberikan sebotol air mineral? Sungguh tidak berperasaan. Tetapi Rai menjawab “ya” dengan pelan sambil menaiki sepedanya. Percuma saja bertengkar dengan Bosnya itu. Saat ini dia sangat membutuhkan pekerjaan dan tidak ingin dipecat dengan segera.
“Aku tahu anak muda sepertimu bisa diandalkan,” kata Aryan, lagi-lagi, menepuk punggung Rai.
“Aku berangkat.”
Rai menghela napas sambil menggoek sepedanya kembali.
***
Kamar apik besar di sebuah rumah mewah terlihat tentram seperti biasa. Gorden putih tipis melambai-lambai tertiup angin. Buku-buku tebal berserakan di atas lantai kebanyakan sudah diberi tanda warna-warni di tiap lembar. Di lemari kaca terdapat begitu banyak medali, piala yang beragam. Sedangkan di beranda, di luar jendela, duduk seorang remaja berpakaian putih tipis dari atas sampai ke bawah.
Remaja laki-laki itu memiliki rambut hitam legam yang cukup panjang, menutupi dahi dan telinganya. Dia berwajah tampan tidak berekspresi, kacamata bingkai hitam bertengger di hidung lurusnya, mata birunya melihat kearah buku bersampul cokelat yang dia baca. Sesekali dia terlihat mengangguk-anggukan kepalanya dan bibirnya bergerak-gerak tanpa suara mengikuti alunan musik dari iPod yang dia dengar.
“Tuan Muda, boleh saya masuk?”
Suara perempuan terdengar dari balik pintu besar bercat putih di kamarnya, tapi si empunya kamar tidak mendengar.
“Tuan Muda Derren, bolehkah saya masuk?” katanya lagi.
Pemuda didalam merespon sambil bergumam. Tapi tampaknya dia tidak mendengar sama sekali suara di luar.
“Tuan Muda Derren, makan siang akan segera dimulai. Mohon untuk segera turun,” pelayan perempuan itu sedikit mengeraskan suaranya. Lagi-lagi yang membalas adalah keheningan.
“Tuan Muda saya akan masuk. Mohon tidak marah,” kata pelayan perempuan itu. Dia membuka pintu kamar dengan perlahan tetapi deritannya begitu keras. Pelayan perempuan yang memakai seragam itu melangkah masuk dengan ragu. Dia memperhatikan tiap sudut kamar majikan mudanya itu. Kamar besar yang terlalu putih dan berantakan. Kamar itu masih terlihat kosong walaupun sudah terisi oleh bermacam-macam elektronik. Namun, dia tidak melihat dimana majikannya berada.
Pelayan perempuan itu kehabisan napas sejenak ketika angin berhembus kencang dan menerbangkan gorden depan di dekat beranda. Dia dapat melihat Tuan Muda-nya itu mengangguk-anggukan kepalanya sementara rambut hitamnya disapu angin.
“Tuan Muda.”
Pemuda remaja yang bernama Derren kelihatan kaget saat sang pelayan menepuk bahnya. Namun dengan cepat dia kembali menunjukan wajah tanpa ekspresi.
“Apa? Kamu siapa? Siapa yang mengijinkanmu masuk kamarku? Bukannya aku sudah mengatakan kalau tidak ada yang boleh memasuki kamarku?” kata Derren dingin sambil melepaskan earphone dari telinganya.
“Anu,” sang Pelayan mencoba menjawab. “Saya sudah memanggil Anda tetapi Anda tidak menjawab. Karena saya khawatir terjadi sesuatu pada Anda, saya mengambil inisiatif untuk melihat keadaan Anda,” lanjutnya cepat-cepat. Kepalanya tertunduk bersalah.
Derren melempar buku yang dia pegang sehingga buku itu jatuh ke bawah dan menimbulkan bunyi “pluk” pelan ketika sampai di dasar. Pelayan wanita itu semakin menundukan kepalanya. Dia jadi gemetaran.
“Ada apa?” kata Derren menekan-nekan tombol iPodnya.
“Makan siang sudah disiapkan. Tuan Daris memerintahkan saya memanggil Anda untuk segera turun,” jawabnya dengan suara berbisik yang bergetar.
Derren bangkit setelah beberapa detik dia menatap pelayan itu.
“Aku turun sekarang. Ambil bukuku kembali dan letakan di depan pintu kamarku. Jangan sekali-kali kau masuk lagi ke kamarku atau kau kupecat. Mengerti?”
Pelayan itu mengangguk cepat. Hampir menangis.
Derren segera turun setelah pelayan perempuan itu keluar dari kamarnya secara terburu-buru. Di meja makan di ruang makan sudah tersedia begitu banyak makanan. Di salah satu kursi duduk seorang pria yang mirip sekali dengannya, hanya saja yang satu ini dalam versi yang lebih tua. Di balakangnya berdiri dua orang laki-laki berjas hitam dan berkacamata hitam.
“Berapa kali harus kukatakan padamu untuk tidak berpakaian serba putih? Kau seperti hantu gentayangan saja,” kata pria itu mengiris kalkunnya saat Derren menarik kursi di sebelah kanannya.
“Aku suka warna putih,” kata Derren tidak mempedulikan tatapan tajam mata biru pria itu saat dia duduk. Derren menyendok nasi sedikit; mengambil banyak sayuran yang tersedia terutama sayuran hijau dan wortel; tidak menyentuh ikan, daging dan spesies lauk yang lain.
“Makan dagingnya, Derren. Daging memiliki banyak protein.” Kata pria itu.
“Protein juga bisa didapat dari tempe atau tahu,” kata Derren datar. Dia mengaduk-aduk nasinya dengan kuah sehingga membanjiri piring. “Lagipula aku vegetarian.”
Pria itu meminum airnya, untuk sesaat tidak ada yang terdengar kecuali dentang-denting sendok dan garpu.
“Bagaimana dengan sekolahmu hari ini?” kata pria itu lagi.
Tangan Derren berhenti untuk sementara waktu. Kemudian dia menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya.
“Ayah lupa, ya kalau hari ini hari Minggu?”
Pria itu menghela napas. Dia memijit-mijit dahinya beberapa kali.
“Oh, iya. Ayah lupa.”
“Tidak masalah,” kata Derren mengangkat bahunya dengan tidak peduli. Dia kembali memakan nasinya. “Soalnya Ayah sama sekali tidak punya hari libur sepanjang tahun. Tidak heran kalau Ayah melupakan hari Minggu.”
Ayah Derren, Daris, ingin mengatakan sesuatu tetapi tampaknya kata-katanya tertahan di tenggorokan. Dia menutup mulutnya, menelan semua perkataan anaknya yang harus dia akui benar.
***
Rai mengerem sepedanya saat dia sampai ke depan sebuah gerbang kayu lapuk. Dia turun dari sepedanya sambil membuka pintu gerbang. Setelah memasukan dan memarkirkan sepedanya dia mengambil surat dari kotak surat yang terbuat dari kaleng. Surat-surat itu berisi tagihan-tagihan yang belum dibayar; tagihan listrik, tagihan telepon, tagihan kontrak rumah, tagihan air dan macam-macam lagi.
“Aku pulang, Mama,” kata Rai menyimpan surat-surat tagihan itu kedalam tas pinggangnya. Pintu tua terbuat dari kayu ek itu terbuka.
“Hari ini kau telat pulang lagi, Rai,” kata wanita setengah baya yang baru saja membukakan pintu baginya. Wanita itu Mama Rai, Sandra.
“Ehm, ya... ada sedikit urusan di rumah tema, Ma,” Rai berbohong. Dia tidak berani menatap mata hitam Sandra. “Rai mandi dulu, ya. Gerah.” Rai mengalihkan pembicaraan daripada berbohong lebih lanjut kepada Sandra.
Rai melemparkan tas pinggangnya ke atas meja belajarnya lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Belum beberapa menit dia pusing memikirkan bagaimana cara membayar semua tagihan yang kian menumpuk dan menuntut untuk dibayar itu, dia sudah terlelap. Dia tidak tahu berapa lama dia tidur sampai suara jam wekernya berdering. Tangannya meraba-raba meja disebelahnya dan mematikan suara berisik itu.
Rai menggeliat lalu menguap lebar. Dia memaksa tubuhnya yang pegal untuk bangun. Rai mengambil agenda cokelatnya setelah dia menyeret tubuhnya dari atas tempat tidur dengan susah payah. Dia membuka jadwal untuk hari ini.
Senin, 21 Juli 2008
04.00 a.m – 06.00 a.m             mengantar koran.
06.00 a.m – 07.00 a.m             mengantar kue pesanan
07.00 a.m – 03. 00 p.m           sekolah
03.00 p.m – 06.00 p.m            Angel Florist, mengambil pesanan kue
06.00 p.m – 10.00 p.m            Diaz Restaurant
10.00 p.m – 11.00 p.m            Pulang, belajar, istirahat.
Rai menghela napas lelah. Sampai kapan pelajar sepertiku bisa santai?
***
Mata Derren terbuka saat kokok ayam jantan pertama terdengar. Dia melihat kearah jendela yang masih terbuka lebar. Langit masih ungu kelabu. Derren duduk. Dia diam sejenak untuk mendengarkan suara disekelilingnya. Suara detik jarum jam yang lemah, suara pelayan yang memasak, suara kicau burung dan suara kokok ayam jantan lagi.
Derren bangkit dari tempat tidurnya. Dia harus menyeberangi tumpukan buku-buku yang terbuka untuk memasang musik mellow setelah itu menuju kamar mandi.
“Hari ini upacara, ada ujian Fisika dan Matematika, setelah itu les piano disambung dengan klub hangar,” gumam Derren diantara tetesan air yang berjatuhan di atas wajahnya. “Aku benci hidupku.”
Selesai mandi, Derren segera membereskan buku-buku pelajaran untuk hari ini. Dia juga tidak lupa memasukan jeket putih dan topi putih miliknya kedasar ransel setelah dia melipat keduanya. Kemudian dia memasukan beberapa buku bacaan dan laptop metalik miliknya dengan hati-hati—satu-satunya benda yang dia sayangi, benda yang pertama kali diberikan Daris padanya.
“Tuan Muda, sarapan sudah siap,” seorang pelayan memanggil dari balik pintu.
“Ya,” Derren menjawab. “Aku segera turun.” Dia memasukan iPod dan ponsel ke kantong celananya. Dia sudah siap dengan seragam sekolah swasta berwarna biru langit yang tenang. Dilihatnya dirinya kembali di cermin dengan dahi mengerut. Jelek. Kenapa seragamnya tidak berwarna putih saja? Itu lebih enak dilihat.
Dia keluar dari kamarnya dengan ransel di punggung. Dia menyelipkan sehelai benang putih tipis lurus kecil ke celah-celah pintu lalu mengunci pintu rapat-rapat.
“Kenapa kau selalu melakukan hal seperti itu?”
Derren mengadah ketika mendengar suara Daris di dekatnya. Daris sudah ada disampingnya dan dahinya mengerut keheranan dengan tingkah Derren.
“Apa yang kau sembunyikan di kamarmu?”
“Tidak ada,” Derren bangkit sambil mengantongi kunci miliknya. “Aku hanya menjaga privasi. Aku bukan seperti Ayah yang suka membiarkan pelayan masuk ke kamar pribadi sesuka-suka gundulnya.”
“Ayah tidak ingin bertengkar dengamu pagi ini, Derren,” kata Daris menuruni anak tangga. “Hari ini Ayah ingin memperkenalkanmu pada Manager Keuangan perusahaan kita. Jaga sikapmu. Mengerti?”
“Ya.”
Derren mengikuti Daris kebawah dalam diam. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan kepengurusan perusahaan. Daris selalu cerewet soal itu. Berulang kali dia menyuruh Derren untuk memeriksa setiap laporan kalau sudah di rumah. Katanya untuk mendidik Derren menjadi Presiden Direktur. Percuma saja. Tidak berhasil. Derren tidak mau jadi Presiden Direktur dan terpenjara di perusahaan dengan duduk di meja yang sudah menumpuki kertas-kertas kerjaan. Dia ingin sesuatu yang lain. Cita-cita yang lain. Dan cita-cita itu pasti akan ditolak Daris mentah-mentah—malah mungkin bisa membuatnya sakit jantung!
Derren mengerutkan dahinya ketika sampai di anak tangga terakhir. Ada yang seseorang yang tidak dia kenal menunggu dia dan Daris di dekat meja makan. Daris bersalaman dengan pria berjas itu.
“Senang kau datang,” kata Daris, “Oh, iya perkenalkan. Ini Puteraku, Derren. Dialah calon penggantiku di masa depan.”
Pria berjas itu mengalihkan pandangannya pada Derren. Dia mengulurkan tangannya, masih tersenyum. Untuk sejenak Derren tidak bergerak, sampai perlahan-lahan dia menjabat tangan pria itu.
“Dirsa. Aku Manager Keuangan di Crystal Pertama Group dan...,” Dirsa berhenti berbicara saat melihat arah tatapan Derren.
Derren melihat penampilan Dirsa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia sedang mencoba untuk menilai Dirsa apakah dia dapat dipercaya atau tidak. Derren mengambil kesimpulan kalau dia tidak menyukai Dirsa. Tidak suka sama sekali.
“Dan apa?” kata Derren menatap wajah Dirsa.
“Dan aku adalah orang kepercayaan Ayahmu,” Dirsa melanjutkan dengan nada terpesona pada tingkah Derren.
“Oh,” respon Derren tidak peduli. Dia melepas jabatan tangannya. Derren melewatinya dan duduk di meja makan di samping Daris.
Daris geleng-geleng kepala karena tingkah Derren. “Maafkan dia, Dirsa. Ayo kita makan bersama,” kata Daris pada Dirsa yang masih terpaku di tempatnya.
“Tidak masalah, Pak. Terima kasih.”
Daris dan Dirsa makan sambil membicarakan bisnis. Sesekali mereka tertawa dan agak berdebat sambil geleng-geleng kepala. Serius sekali. Mereka juga berulang kali melirik Derren yang benar-benar tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Dirsa juga berulang kali bertanya pendapat Derren membuat nilai plus ketidaksukaan Derren padanya. Derren benci ditanya-tanya soal pekerjaan.
“Aku berangkat,” kata Derren memotong pembicaraan mereka dengan nada tidak peduli. Derren mengambil ranselnya dan berbalik pergi.
“Derren, Ayah ingin kau datang ke kantor hari ini,” kata Daris cepat sebelum Derren beranjak.
Derren berhenti melangkah dan berbalik. “Hari ini aku ada les piano dan latihan hangar.”
“Batalkan keduanya. Urusan ini lebih penting,” kata Daris mengibas-kibaskan tangannya. “Sepulang sekolah datang ke kantor.”
“Terserah Ayah,” kata Derren berbalik lagi. Dirsa memanggilnya. “Apa?”
“Kuharap kita dapat bekerja sama di kemudian hari, Derren,” kata Dirsa bangkit dari tempatnya,
Derren menatap Dirsa yang tersenyum dalam diam. Wajah Dirsa cukup tampan, rambutnya berminyak disisir rapi dengan tubuh ramping yang tinggi. Dia juga kelihatan berwibawa. Tipe yang dia sukai Daris karena sejenis dengannya. Pantas saja Daris menyukainya, nama mereka juga mirip. Untuk orang seusianya, jabatan Manager Keuangan benar-benar luar biasa.
“Aku tidak berminat untuk berteman dengan siapapun,” kata Derren datar lalu kembali berpaling. Dia tidak berhenti sedikitpun walau Ayahnya memanggil.
***
“Kau terlambat sepuluh menit,” kata Aryan saat Rai mengerem sepedanya. Dia sengaja menunggu Rai di depan tokonya karena dari tadi keadaan sepi. Tidak ada pelanggan sama sekali.
“Maaf, Bos,” kata Rai terengah. “tadi harus ke tempel ban dulu.”
“Sepeda-butut-tua-jelekmu itu harusnya kau buang dan ganti dengan yang baru,” kata Aryan lagi. Dia masuk ke dalam toko diikuti Rai.
“Kalau aku punya aku pasti sudah beli dari dulu, Bos,” timpal Rai menyeka keringatnya. Teman-temannya di sekolah sengaja membocorkan ban sepeda miliknya dan dia harus ke tempel ban dengan jalan kaki. Dia tahu kalau dia akan terlambat. Tapi dia sendiri sudah berusaha keras untuk sampai ke Angel Florist dengan cara ngebut.
“Jangan banyak alasan. Kau tata saja bunga itu untuk menarik pengunjung,” perintah Aryan dengan nada galak. Beginilah akibatnya kalau tidak ada pelanggan. Dia pasti menjadi korban keganasan Aryan.
Rai mengangguk-angguk sambil melepaskan seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaos panjang. Rai segera berjongkok diantara bunga-bunga berwarna-warni itu dan sibuk bekerja. Dia menggemburkan tanah, menyiram, memberi pupuk, mencabuti daun-daun kering, memotong ranting dan menata bunga. Dia berhenti bersiul-siul saat lonceng toko berbunyi. Ada pelanggan datang.
“Selamat datang. Ada yang bisa kubantu?” kata Rai. Dia refleks berdiri sehingga kepalanya membentur langit-langit yang rendah dari tempat tanaman anggrek digantung. Rai memegang kepalanya dan meringis. Kepalanya seakan terbelah dua. Dia bahkan tidak bisa bergerak karena semuanya terasa bergoyang-goyang dan berbayang jadi beberapa bagian.
“Loh? Orangnya mana?” gumam Rai mengusap-usap kepalanya sementara dia keluar dari daerah bunga-bungaan. Kepalanya celingak-celinguk kesana kesekeliling toko tapi tidak menemukan pelangga yang masuk. “Pintunya terbuka karena angin atau ada orang yang keluar masuk, ya? Si Bos mana lagi?”
“Kau menemukan dia, tidak?”
“Tidak.”
Dahi Rai mengerut ketika ada dua pria berkaca mata hitam berbicara di depan tokonya. Mereka kelihatannya khawatir dan mencurigakan. Apa tadi mereka berdua yang masuk tokonya? Ah, masa sih?
“Kita cari lagi. Berpencar.”
Mereka pergi berlawanan arah. Benar-benar mencurigakan, Rai membatin. Perhatian Rai teralih oleh suara dering telepon. Rai segera mengangkat telepon itu.
“Halo, disini Rai ‘Angel Florist’. Ada yang bisa kubantu?” kata Rai, kemudian dia terlibat percakapan bisnis pemesanan bunga. “Terimakasih. Buket mawar pesanan Anda akan saya kirim segera.”
Rai menutup teleponnya. Saat dia berbalik dari meja itu, Rai mengerutkan dahinya. Rasanya dia melihat ujung sepatu seseorang. Rai berjalan perlahan kebalik tempat Bos-nya Aryan biasanya mengepak karangan bunga. Mulutnya ternganga saat melihat ada seseorang bersembunyi disitu.
“Siapa kau?” kata Rai.
Tangan Rai ditarik oleh orang asing itu dan mulutnya ditutup tepat saat lonceng berbunyi.
“Permisi. Apa ada orang?”
Rai mengenal suara itu. Itu suara pria di depan tokonya tadi. Untuk sejenak suasana sunyi. Rai berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa. Tenaga pemuda itu kuat sekali baginya, terlalu kuat. Suara lonceng yang lain kedengaran.
“Bagaimana? Apa dia ada disini?” kata suara yang lain.
“Tempat ini kosong,” kata suara yang pertama. “Percuma saja. Dia pasti sudah pergi jauh.”
Derit pintu yang terbuka diiringi suara lonceng membuktikan kalau mereka sudah pergi. Pemuda yang mencengkram Rai menghela napas dan melepaskan Rai.
“Hampir saja...,” katanya.
“Hampir saja?” ulang Rai tidak percaya. “Kau hampir membunuhku tahu! Siapa kau dan kenapa kau bersembunyi disini?” tambahnya dengan nada tinggi.
“Aku Derren,” katanya singkat. Dia berdiri kemudian melihat Rai dari atas sampai ke bawah. “Kau?” tambah Derren mengitari Rai dengan takjub.
“Aku Rai. Kenapa kau mengitariku?” kata Rai heran dengan sikap Derren.
“Aku mau melihat belakang tubuhmu. Bisa tahan sebentar?” kata Derren lagi.
“Kau ini gila, ya?” Rai mendekati Derren dan sambil mengecak pinggang dia bilang, “Apa yang kau lakukan dibalik sana?” dia menunjuk ke tempat Derren bersembunyi beberapa detik lalu.
“Sembunyi,” jawab Derren. “Kau mau membantuku, Rai? Aku benar-benar butuh bantuanmu sekarang. Soalnya—”
“Tidak,” Rai mendorong punggung Derren keluar dari Angel Florist dan tidak mendengarkan satu pun perkataan Derren. Rai menutup pintu tepat di depan wajah Derren dan pergi sebelum Derren buka mulut. Saat Derren berbalik, pintu Angel Florist terbuka dan Rai keluar.
“Tasmu ketinggalan!” teriak Rai melemparkan ransel Derren yang berat. Derren hampir saja jatuh saat menangkap tas miliknya. Rai tidak peduli, kali ini dia benar-benar masuk dan tidak keluar lagi.
Derren menghela napas panjang. Saat dia memakai ranselnya, tiba-tiba dia harus lari dengan terburu-buru karena melihat dua orang pria berkacamata hitam di persimpangan jalan. Rai yang melihat adegan itu dibalik bunga-bunga yang mekar mengerinyit heran. Anak itu dikejar-kejar mafia, ya?
***
Sambil menahan napasnya yang tercekat, Derren merapatkan tubuhnya di balik gang sempit. Dia berdoa dalam hati agar orang-orang yang mengejar-kejarnya itu tidak melihatnya karena jarak mereka dengan dirinya tinggal beberapa meter lagi.
“Dia menghilang lagi!”
“Cepat sekali larinya.”
“Kita cari lagi, kalau tidak ketemu, kita bisa dipecat.”
Derren menghela napas lega saat mereka pergi menjauh. Berulang kali dia menarik napas sambil menyeka keringat. Entah berapa lama lagi dia harus melarikan diri agar tidak tertangkap orang-orang suruhan itu. Setelah beberapa menit melihat keadaan dan yakin sudah aman, Derren keluar dari tempat persembunyiannya. Dia sudah lelah. Dia membutuhkan tempat istirahat dan dia sudah menemukannya.
Ada sebuah cafe kecil di lantai dua gedung bobrok. Derren berpikir, jika saja ada gempa mungkin gedung inilah yang akan terlebih dahulu ambruk. Derren membuka pintu cafe itu dan cukup terperangah melihat keadaan didalam.
Sinar matahari senja masuk ke balik celah-celah jendela kecil. Ruangan itu gelap dengan cahaya keemasan dari sinar matahari yang terbenam. Suasana yang nyaman. Meja-meja bundar kecil diisi oleh beberapa orang kaum muda-mudi. Semuanya tampak sibuk dengan urusan masing-masing sehingga tidak ada yang menyadari keberadaan Derren.
Derren mengambil tempat di pojok dekat jendela agar dia bisa melihat keadaan. Siapa tahu orang-orang tadi muncul disini. Dia memesan segelas cappucino dan cake strawberry. Kemudian sambil mendengarkan musik dari iPod miliknya, dia membaca buku yang belum dia selesaikan.
“Permisi, Mbak. Apa Anda melihat seorang Pemuda berkacamata yang memakai seragam sekolah di sekitar sini?”
Tepat dugaan Derren. Orang-orang yang tadi mengejarnya datang. Untung saja tempat yang dia duduki berada di pojok dan terhalang oleh beberapa pasangan yang asyik mengobrol. Derren menundukan kepalanya sedikit, merendahkan ujung topinya putihnya, menaikan bukunya sehingga menutupi wajahnya dan menarik kerah jeket putihnya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap biasa dan tidak mencurigakan.
“Tidak ada pelanggan seperti itu,” kata Manager Cafe. Mereka ngobrol sejenak lalu orang-orang itu berbalik keluar. Hati Derren bersorak. Dia lolos lagi.
Derren meneguk cappucinonya dan menutup bukunya. Dia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi jika dikejar-kejar seperti sekarang ini. Derren sudah mulai tenang ketika ada suara yang mengacaukan segalanya.
“Wah, itu Rai! Tumben sekali dia berada di tempat seperti ini.”
Sekitar lima orang remaja laki-laki bertubuh besar bertampang preman beserta dengan pasangan mereka mendatangi meja Derren. Dahi Derren mengerut.
“Benar, Lex. Biasanya kan dia ada di luar. Sibuk kerja buat bayar hutang,” kata salah seorang dari mereka. Yang lain menanggapi sambil tertawa. “Lalu, Rai, kapan kau bayar hutangmu? Kau belum membayar sepeserpun dari uang yang kupinjamkan. Ini sudah dua bulan dan kau telah lewat batas waktu.”
“Hutang?” Derren mengulang bingung.
“Wah, dia pura-pura tidak tahu, Lex.”
Orang yang dipanggil Alex oleh mereka tersenyum sinis. Kalau dilihat dari penampilannya yang lebih urakan dan agak sombong, sepertinya dia adalah bos mereka.
“Kau punya uang untuk beli iPod, bersantai dan mengubah penampilan,” kata Alex menaikan sebelah kakinya ke atas meja Derren. “Tapi kau tidak bisa membayar uang yang kaupinjam dariku. Coba lihat sepatu bermerekmu ini.”
Derren meneguk cappucinonya lagi dengan tidak peduli. Hal itu membuat Alex naik pitam. Alex mencengkram jeket Derren dengan geram. “Kau pikir jika kau mengubah penampilanmu dan pura-pura tidak mengenaliku, aku akan diam saja begitu?” bisik Alex geram. “Kapan kau bayar hutangmu?”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan,” kata Derren.
“Kalau kau tidak bayar sekarang, akan kusita iPod-mu,” kata Alex mengambil paksa iPod Derren. “Wah, ini iPod bagus.”
Derren mengambil kembali iPod miliknya dengan cepat. “Oke. Aku bayar. Berapa?” kata Derren menyimpan kembali iPod miliknya.
“Dua ratus ribu hutangmu ditambah bunga lima puluh persen dan telat bayar serta pura-pura tidak mengenalku... semuanya jadi lima ratus ribu.”
Derren mendelik kesal pada Alex yang tersenyum puas. Dia mengambil dompetnya dan memberikan uang pada Alex.
“Aku cuma punya empat ratus ribu, terserah mau diambil atau tidak.”
Alex tersenyum. Dia mengambil uang itu dari tangan Derren dan menciumnya. Mereka segera berbalik pergi karena merasa bahwa masalah sudah selesai.
“Tunggu dulu, Lex. Bisakah kau memberitahuku alamat rumahku?”
Alex dan keronco-keronconya berbalik dan menatap Derren dengan bingung.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.