1.
Aku
Di suatu hari yang
terik, seorang anak muda mengendarai sepedanya. Beberapa kali dia menghela
napas lelah sambil menyeka keringat dengan punggung tangannya. Sesekali dia
melirik kearah belakang sepedanya, melihat apakah karangan bunga yang dia bawa
di kerajang masih utuh atau tidak.
Dia menggoek
sepedanya memasuki gang kecil yang berlumpur dan bau. Tidak berapa lama
kemudian dia sudah sampai ke sebuah perumahan. Rumah-rumah itu ditata dalam
bentuk dan warna cat yang sama, bahkan taman di pekarangan rumahnya pun sama.
“Blok C nomor
empat, blok C nomor empat,” gumamnya berkali-kali untuk menghapalkan alamat
pelanggan sambil melihat kiri dan kanannya.
Akhirnya dia
melihat rumah nomor empat. Dia turun dari sepedanya dan memarkirkannya di dekat
gerbang. Dia mengambil karangan bunganya dengan hati-hati dan perlahan dari
boncengannya dan berdiri di depan gerbang.
“Kiriman dari Angel
Florist,” katanya sambil memencet bel.
Keadaan jalanan itu
masih sangat sunyi ketika dia menunggu pintu untuk dibukakan. Dia sudah sering
bolak-balik dari blok ini tiap siang namun keadaannya masih tetap sama dari
hari ke hari. Tidak ada orang. Sepertinya semua orang yang tinggal di tempat
ini sebuk bekerja sehingga tidak ada yang kelihatan. Siang bekerja dan malam
tidur. Benar-benar kehidupan menoton orang kaya.
Gerbang di depannya
terbuka. Seorang wanita setengah baya cantik berambut hitam berdiri dibalik
gerbang. Dia tersenyum padanya.
“Apakah Anda Nyonya
Naomi?”
“Ya,” wanita itu
menjawab lembut.
“Ada buket bunga
lily untuk Anda dari Hizkia Locovanio,” katanya menyodorkan buket bunga itu
pada Naomi. “Silakan tanda tangan disini,” dia menyodorkan kertas pembayaran.
Wanita itu menandatanganinya dengan cepat. “Terimakasih.”
“Tunggu, Nak,” kata
wanita itu ketika dia berbalik untuk mengambil sepedanya yang terpakir.
“Biasanya Sbastian yang mengantarkan buket bunga. Apakah kau anggota baru?”
“Ah, ya,” jawabnya
sambil tersenyum. “Sbastian sudah berhenti sekitar dua hari lalu dan aku adalah
penggantinya. Namaku Rai. Rai Azusha.”
Wanita itu
tersenyum ketika Rai pamit.
Rai kembali
menggoek sepedanya dengan cepat. Rambut cokelat-pirang-berantakannya dihembus
angin dan makin terlihat berantakan. Dia memiliki kulit yang agak sedikit
gosong karena selalu berada di bawah sinar matahari untuk kerja sambilan.
Matanya hitam jernih dan terlihat kocak, hidup—begitulah teman-temannya selalu
berkomentar soal matanya. Tubuhnya berisi dan dia sedikit menarik perhatian
dengan kemampuan otak yang tidak biasa.
Dia berbelok ke
kanan ketika menemui persimpangan.
Jeketnya tertiup
angin dan terlihat melayang-layang. Tembok-tembok besar dan gelap dia lewati
begitu saja. Matanya menyusuri jalanan kosong ketika dia akhirnya menemukan
jalanan yang sunyi kendaraan. Dia melewati lampu lalu lintas yang berwarna
hijau sampai kemudian berhenti di sebuah cafe.
Berulang kali dia
mengantar buket bunga yang tidak sedikit melewati jalan dan gang-gang sempit
bahkan melewati arena permukiman kumuh untuk mempersingkat waktu. Pekerjaannya
sebagai pengantar buket bunga memang penuh tantangan.
Selama dua hari
bekerja sebagai Pengantar, Rai punya pengalaman menarik dari pekerjaannya,
seperti berhadapan dengan anjing hearder galak pelanggan sehingga dia harus
berlari untuk menghindari gigi-gigi tajam sang anjing, atau menghindari
piring-piring terbang dari pasangan suami-isteri yang bertengkar hebat, ataupun
tidak digubris sama sekali kedatangannya, atau sengaja dikerjai oleh anak
tetangga ataupun preman-preman yang ketika ditanya mengenai alamat yang dia
tuju malah ditunjukan jalan menuju kuburan. Pekerjaannya jadi kelihatan seperti
Pak Pos. Dan sekarang....
“Aku tidak butuh
bunga!” wanita cantik dari cafe yang dia datangi berteriak marah sambil
melemparkan karangan bunga yang dia bawa tepat ke wajahnya. “Kembalikan kepada
pemiliknya!”
“Tapi, Nona—” Rai
mencoba untuk berdiplomasi. Dia sudah sering mendapat masalah tentang buket
bunga yang dia bawa kembali dalam keadaan hancur dan complain pelanggan
mengenai hal ini.
“KELUAR!”
Rai menunduk tepat
pada waktunya. Wanita pelayan itu meraung marah seperti beruang sambil melemparkan
sepiring cake milik pelanggan yang berada di atas meja. Cepat-cepat Rai
keluar dari cafe itu dan membawa kabur sepedanya sebelum ada lagi cake
jenis lain yang melayang.
Beberapa kali Rai
memaki dalam hati. Kejadian seperti itu sudah sering terjadi semakin lama dia
bekerja di Angel Florist. Andai saja semua pelanggan seperti Nyonya Naomi yang
cantik, ramah, baik hati, lembut dan mudah senyum itu, tentunya dia tidak perlu
merasa dongkol setiap kali keluar dari rumah pelanggan. Rai jadi mengerti
alasan Sbastian berhenti dari pekerjaan ini dan alasan kenapa tidka ada
Pengantar buket bunga yang lain selain dia, Rai, di Angel Florist. Mana ada
yang mau jadi pelampiasan.
Rai menghela napas
lelah. Capek.
“Rai, untung kau
datang.”
Seorang laki-laki
berumur dengan rambut yang hampir putih semua menghampiri Rai yang sedang
memarkir sepedanya sambil membawa buket-buket bunga berplastik yang lain. Kedua
tangannya penuh sampai dia tidak bisa memperbaiki letak kacamata tebalnya dari
hidungnya yang bengkok.
“Pesanan lagi,
Bos?” kata Rai membantu pria tua itu sebelum dia ambruk.
“Ya. Baru saja,”
katanya dengan napas terengah. Dia mengusap-usap kedua tangannya pada celemek
kotak-kotak kotor yang dia pakai. Pria tua itu bernama Aryan, pensiunan
militer, dan dia pemilik dari Angel Florist.
“Kelihatannya hari
ini kita bisa untung besar,” kata Aryan menepuk-nepuk punggung Rai dengan
senang. “Ini alamat yang dituju. Aku sudah catat semuanya,” dia memberikan
kertas panjang yang membuat Rai mengerutkan dahi. Sebelum Rai mengeluh karena
banyaknya pesanan yang harus dia antar, Aryan mencerocos. “Jangan sampai salah.
Ingat, cepat, tepat dan profesionalitas adalah sistem kerja kita.”
“Dan tamu harus
puas,” sambung Rai mengikatkaan buket-buket bunga itu ke keranjang bambu
miliknya. Tamu harus puas walaupun aku dimaki-maki, tambah Rai dalam hati,
dilempar, dikejar, diceramahi dan macam-macam lagi.
“Ini sebotol
minuman untukmu. Kau masih kuat kan?”
Rai menatap Bosnya
dengan tatapan tidak percaya. Dia sudah bekerja sejak pagi sampai tengah hari
dan hanya diberikan sebotol air mineral? Sungguh tidak berperasaan. Tetapi Rai
menjawab “ya” dengan pelan sambil menaiki sepedanya. Percuma saja bertengkar
dengan Bosnya itu. Saat ini dia sangat membutuhkan pekerjaan dan tidak ingin
dipecat dengan segera.
“Aku tahu anak muda
sepertimu bisa diandalkan,” kata Aryan, lagi-lagi, menepuk punggung Rai.
“Aku berangkat.”
Rai menghela napas
sambil menggoek sepedanya kembali.
***
Kamar apik besar di
sebuah rumah mewah terlihat tentram seperti biasa. Gorden putih tipis
melambai-lambai tertiup angin. Buku-buku tebal berserakan di atas lantai
kebanyakan sudah diberi tanda warna-warni di tiap lembar. Di lemari kaca
terdapat begitu banyak medali, piala yang beragam. Sedangkan di beranda, di
luar jendela, duduk seorang remaja berpakaian putih tipis dari atas sampai ke
bawah.
Remaja laki-laki
itu memiliki rambut hitam legam yang cukup panjang, menutupi dahi dan
telinganya. Dia berwajah tampan tidak berekspresi, kacamata bingkai hitam
bertengger di hidung lurusnya, mata birunya melihat kearah buku bersampul
cokelat yang dia baca. Sesekali dia terlihat mengangguk-anggukan kepalanya dan
bibirnya bergerak-gerak tanpa suara mengikuti alunan musik dari iPod yang dia
dengar.
“Tuan Muda, boleh
saya masuk?”
Suara perempuan
terdengar dari balik pintu besar bercat putih di kamarnya, tapi si empunya
kamar tidak mendengar.
“Tuan Muda Derren,
bolehkah saya masuk?” katanya lagi.
Pemuda didalam
merespon sambil bergumam. Tapi tampaknya dia tidak mendengar sama sekali suara
di luar.
“Tuan Muda Derren,
makan siang akan segera dimulai. Mohon untuk segera turun,” pelayan perempuan
itu sedikit mengeraskan suaranya. Lagi-lagi yang membalas adalah keheningan.
“Tuan Muda saya
akan masuk. Mohon tidak marah,” kata pelayan perempuan itu. Dia membuka pintu
kamar dengan perlahan tetapi deritannya begitu keras. Pelayan perempuan yang
memakai seragam itu melangkah masuk dengan ragu. Dia memperhatikan tiap sudut
kamar majikan mudanya itu. Kamar besar yang terlalu putih dan berantakan. Kamar
itu masih terlihat kosong walaupun sudah terisi oleh bermacam-macam elektronik.
Namun, dia tidak melihat dimana majikannya berada.
Pelayan perempuan
itu kehabisan napas sejenak ketika angin berhembus kencang dan menerbangkan
gorden depan di dekat beranda. Dia dapat melihat Tuan Muda-nya itu
mengangguk-anggukan kepalanya sementara rambut hitamnya disapu angin.
“Tuan Muda.”
Pemuda remaja yang
bernama Derren kelihatan kaget saat sang pelayan menepuk bahnya. Namun dengan
cepat dia kembali menunjukan wajah tanpa ekspresi.
“Apa? Kamu siapa?
Siapa yang mengijinkanmu masuk kamarku? Bukannya aku sudah mengatakan kalau
tidak ada yang boleh memasuki kamarku?” kata Derren dingin sambil melepaskan earphone dari telinganya.
“Anu,” sang Pelayan
mencoba menjawab. “Saya sudah memanggil Anda tetapi Anda tidak menjawab. Karena
saya khawatir terjadi sesuatu pada Anda, saya mengambil inisiatif untuk melihat
keadaan Anda,” lanjutnya cepat-cepat. Kepalanya tertunduk bersalah.
Derren melempar
buku yang dia pegang sehingga buku itu jatuh ke bawah dan menimbulkan bunyi
“pluk” pelan ketika sampai di dasar. Pelayan wanita itu semakin menundukan
kepalanya. Dia jadi gemetaran.
“Ada apa?” kata
Derren menekan-nekan tombol iPodnya.
“Makan siang sudah
disiapkan. Tuan Daris memerintahkan saya memanggil Anda untuk segera turun,”
jawabnya dengan suara berbisik yang bergetar.
Derren bangkit
setelah beberapa detik dia menatap pelayan itu.
“Aku turun
sekarang. Ambil bukuku kembali dan letakan di depan pintu kamarku. Jangan
sekali-kali kau masuk lagi ke kamarku atau kau kupecat. Mengerti?”
Pelayan itu
mengangguk cepat. Hampir menangis.
Derren segera turun
setelah pelayan perempuan itu keluar dari kamarnya secara terburu-buru. Di meja
makan di ruang makan sudah tersedia begitu banyak makanan. Di salah satu kursi
duduk seorang pria yang mirip sekali dengannya, hanya saja yang satu ini dalam
versi yang lebih tua. Di balakangnya berdiri dua orang laki-laki berjas hitam dan berkacamata hitam.
“Berapa kali harus
kukatakan padamu untuk tidak berpakaian serba putih? Kau seperti hantu gentayangan
saja,” kata pria itu mengiris kalkunnya saat Derren menarik kursi di sebelah
kanannya.
“Aku suka warna
putih,” kata Derren tidak mempedulikan tatapan tajam mata biru pria itu saat
dia duduk. Derren menyendok nasi sedikit; mengambil banyak sayuran yang
tersedia terutama sayuran hijau dan wortel; tidak menyentuh ikan, daging dan
spesies lauk yang lain.
“Makan dagingnya,
Derren. Daging memiliki banyak protein.” Kata pria itu.
“Protein juga bisa
didapat dari tempe atau tahu,” kata Derren datar. Dia mengaduk-aduk nasinya
dengan kuah sehingga membanjiri piring. “Lagipula aku vegetarian.”
Pria itu meminum
airnya, untuk sesaat tidak ada yang terdengar kecuali dentang-denting sendok
dan garpu.
“Bagaimana dengan
sekolahmu hari ini?” kata pria itu lagi.
Tangan Derren
berhenti untuk sementara waktu. Kemudian dia menatap pria itu dengan tatapan
tidak percaya.
“Ayah lupa, ya
kalau hari ini hari Minggu?”
Pria itu menghela
napas. Dia memijit-mijit dahinya beberapa kali.
“Oh, iya. Ayah
lupa.”
“Tidak masalah,”
kata Derren mengangkat bahunya dengan tidak peduli. Dia kembali memakan
nasinya. “Soalnya Ayah sama sekali tidak punya hari libur sepanjang tahun.
Tidak heran kalau Ayah melupakan hari Minggu.”
Ayah Derren, Daris,
ingin mengatakan sesuatu tetapi tampaknya kata-katanya tertahan di tenggorokan.
Dia menutup mulutnya, menelan semua perkataan anaknya yang harus dia akui
benar.
***
Rai mengerem
sepedanya saat dia sampai ke depan sebuah gerbang kayu lapuk. Dia turun dari
sepedanya sambil membuka pintu gerbang. Setelah memasukan dan memarkirkan
sepedanya dia mengambil surat dari kotak surat yang terbuat dari kaleng.
Surat-surat itu berisi tagihan-tagihan yang belum dibayar; tagihan listrik,
tagihan telepon, tagihan kontrak rumah, tagihan air dan macam-macam lagi.
“Aku pulang, Mama,”
kata Rai menyimpan surat-surat tagihan itu kedalam tas pinggangnya. Pintu tua
terbuat dari kayu ek itu terbuka.
“Hari ini kau telat
pulang lagi, Rai,” kata wanita setengah baya yang baru saja membukakan pintu
baginya. Wanita itu Mama Rai, Sandra.
“Ehm, ya... ada
sedikit urusan di rumah tema, Ma,” Rai berbohong. Dia tidak berani menatap mata
hitam Sandra. “Rai mandi dulu, ya. Gerah.” Rai mengalihkan pembicaraan daripada
berbohong lebih lanjut kepada Sandra.
Rai melemparkan tas
pinggangnya ke atas meja belajarnya lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
Belum beberapa menit dia pusing memikirkan bagaimana cara membayar semua
tagihan yang kian menumpuk dan menuntut untuk dibayar itu, dia sudah terlelap.
Dia tidak tahu berapa lama dia tidur sampai suara jam wekernya berdering. Tangannya meraba-raba meja disebelahnya
dan mematikan suara berisik itu.
Rai menggeliat lalu
menguap lebar. Dia memaksa tubuhnya yang pegal untuk bangun. Rai mengambil
agenda cokelatnya setelah dia menyeret tubuhnya dari atas tempat tidur dengan
susah payah. Dia membuka jadwal untuk hari ini.
Senin, 21 Juli 2008
04.00 a.m – 06.00
a.m mengantar koran.
06.00 a.m – 07.00
a.m mengantar kue pesanan
07.00 a.m – 03. 00
p.m sekolah
03.00 p.m – 06.00
p.m Angel Florist, mengambil
pesanan kue
06.00 p.m – 10.00
p.m Diaz Restaurant
10.00 p.m – 11.00
p.m Pulang, belajar, istirahat.
Rai menghela napas
lelah. Sampai kapan pelajar sepertiku bisa santai?
***
Mata Derren terbuka
saat kokok ayam jantan pertama terdengar. Dia melihat kearah jendela yang masih
terbuka lebar. Langit masih ungu kelabu. Derren duduk. Dia diam sejenak untuk
mendengarkan suara disekelilingnya. Suara detik jarum jam yang lemah, suara
pelayan yang memasak, suara kicau burung dan suara kokok ayam jantan lagi.
Derren bangkit dari
tempat tidurnya. Dia harus menyeberangi tumpukan buku-buku yang terbuka untuk
memasang musik mellow setelah itu menuju kamar mandi.
“Hari ini upacara,
ada ujian Fisika dan Matematika, setelah itu les piano disambung dengan klub
hangar,” gumam Derren diantara tetesan air yang berjatuhan di atas wajahnya.
“Aku benci hidupku.”
Selesai mandi,
Derren segera membereskan buku-buku pelajaran untuk hari ini. Dia juga tidak
lupa memasukan jeket putih dan topi putih miliknya kedasar ransel setelah dia
melipat keduanya. Kemudian dia memasukan beberapa buku bacaan dan laptop
metalik miliknya dengan hati-hati—satu-satunya benda yang dia sayangi, benda
yang pertama kali diberikan Daris padanya.
“Tuan Muda, sarapan
sudah siap,” seorang pelayan memanggil dari balik pintu.
“Ya,” Derren
menjawab. “Aku segera turun.” Dia memasukan iPod dan ponsel ke kantong
celananya. Dia sudah siap dengan seragam sekolah swasta berwarna biru langit
yang tenang. Dilihatnya dirinya kembali di cermin dengan dahi mengerut. Jelek. Kenapa
seragamnya tidak berwarna putih saja? Itu lebih enak dilihat.
Dia keluar dari
kamarnya dengan ransel di punggung. Dia menyelipkan sehelai benang putih tipis
lurus kecil ke celah-celah pintu lalu mengunci pintu rapat-rapat.
“Kenapa kau selalu
melakukan hal seperti itu?”
Derren mengadah
ketika mendengar suara Daris di dekatnya. Daris sudah ada disampingnya dan
dahinya mengerut keheranan dengan tingkah Derren.
“Apa yang kau
sembunyikan di kamarmu?”
“Tidak ada,” Derren
bangkit sambil mengantongi kunci miliknya. “Aku hanya menjaga privasi. Aku
bukan seperti Ayah yang suka membiarkan pelayan masuk ke kamar pribadi
sesuka-suka gundulnya.”
“Ayah tidak ingin
bertengkar dengamu pagi ini, Derren,” kata Daris menuruni anak tangga. “Hari
ini Ayah ingin memperkenalkanmu pada Manager Keuangan perusahaan kita. Jaga
sikapmu. Mengerti?”
“Ya.”
Derren mengikuti
Daris kebawah dalam diam. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan
kepengurusan perusahaan. Daris selalu cerewet soal itu. Berulang kali dia
menyuruh Derren untuk memeriksa setiap laporan kalau sudah di rumah. Katanya
untuk mendidik Derren menjadi Presiden Direktur. Percuma saja. Tidak berhasil.
Derren tidak mau jadi Presiden Direktur dan terpenjara di perusahaan dengan
duduk di meja yang sudah menumpuki kertas-kertas kerjaan. Dia ingin sesuatu
yang lain. Cita-cita yang lain. Dan cita-cita itu pasti akan ditolak Daris
mentah-mentah—malah mungkin bisa membuatnya sakit jantung!
Derren mengerutkan
dahinya ketika sampai di anak tangga terakhir. Ada yang seseorang yang tidak
dia kenal menunggu dia dan Daris di dekat meja makan. Daris bersalaman dengan
pria berjas itu.
“Senang kau
datang,” kata Daris, “Oh, iya perkenalkan. Ini Puteraku, Derren. Dialah calon
penggantiku di masa depan.”
Pria berjas itu
mengalihkan pandangannya pada Derren. Dia mengulurkan tangannya, masih
tersenyum. Untuk sejenak Derren tidak bergerak, sampai perlahan-lahan dia
menjabat tangan pria itu.
“Dirsa. Aku Manager
Keuangan di Crystal Pertama Group dan...,” Dirsa berhenti berbicara saat
melihat arah tatapan Derren.
Derren melihat
penampilan Dirsa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia sedang mencoba untuk
menilai Dirsa apakah dia dapat dipercaya atau tidak. Derren mengambil
kesimpulan kalau dia tidak menyukai Dirsa. Tidak suka sama sekali.
“Dan apa?” kata
Derren menatap wajah Dirsa.
“Dan aku adalah
orang kepercayaan Ayahmu,” Dirsa melanjutkan dengan nada terpesona pada tingkah
Derren.
“Oh,” respon Derren
tidak peduli. Dia melepas jabatan tangannya. Derren melewatinya dan duduk di
meja makan di samping Daris.
Daris geleng-geleng
kepala karena tingkah Derren. “Maafkan dia, Dirsa. Ayo kita makan bersama,”
kata Daris pada Dirsa yang masih terpaku di tempatnya.
“Tidak masalah,
Pak. Terima kasih.”
Daris dan Dirsa
makan sambil membicarakan bisnis. Sesekali mereka tertawa dan agak berdebat
sambil geleng-geleng kepala. Serius sekali. Mereka juga berulang kali melirik
Derren yang benar-benar tidak peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Dirsa
juga berulang kali bertanya pendapat Derren membuat nilai plus ketidaksukaan
Derren padanya. Derren benci ditanya-tanya soal pekerjaan.
“Aku berangkat,”
kata Derren memotong pembicaraan mereka dengan nada tidak peduli. Derren
mengambil ranselnya dan berbalik pergi.
“Derren, Ayah ingin
kau datang ke kantor hari ini,” kata Daris cepat sebelum Derren beranjak.
Derren berhenti
melangkah dan berbalik. “Hari ini aku ada les piano dan latihan hangar.”
“Batalkan keduanya.
Urusan ini lebih penting,” kata Daris mengibas-kibaskan tangannya. “Sepulang
sekolah datang ke kantor.”
“Terserah Ayah,”
kata Derren berbalik lagi. Dirsa memanggilnya. “Apa?”
“Kuharap kita dapat
bekerja sama di kemudian hari, Derren,” kata Dirsa bangkit dari tempatnya,
Derren menatap
Dirsa yang tersenyum dalam diam. Wajah Dirsa cukup tampan, rambutnya berminyak
disisir rapi dengan tubuh ramping yang tinggi. Dia juga kelihatan berwibawa.
Tipe yang dia sukai Daris karena sejenis dengannya. Pantas saja Daris
menyukainya, nama mereka juga mirip. Untuk orang seusianya, jabatan Manager
Keuangan benar-benar luar biasa.
“Aku tidak berminat
untuk berteman dengan siapapun,” kata Derren datar lalu kembali berpaling. Dia
tidak berhenti sedikitpun walau Ayahnya memanggil.
***
“Kau terlambat
sepuluh menit,” kata Aryan saat Rai mengerem sepedanya. Dia sengaja menunggu
Rai di depan tokonya karena dari tadi keadaan sepi. Tidak ada pelanggan sama
sekali.
“Maaf, Bos,” kata
Rai terengah. “tadi harus ke tempel ban dulu.”
“Sepeda-butut-tua-jelekmu
itu harusnya kau buang dan ganti dengan yang baru,” kata Aryan lagi. Dia masuk
ke dalam toko diikuti Rai.
“Kalau aku punya
aku pasti sudah beli dari dulu, Bos,” timpal Rai menyeka keringatnya.
Teman-temannya di sekolah sengaja membocorkan ban sepeda miliknya dan dia harus
ke tempel ban dengan jalan kaki. Dia tahu kalau dia akan terlambat. Tapi dia
sendiri sudah berusaha keras untuk sampai ke Angel Florist dengan cara ngebut.
“Jangan banyak
alasan. Kau tata saja bunga itu untuk menarik pengunjung,” perintah Aryan
dengan nada galak. Beginilah akibatnya kalau tidak ada pelanggan. Dia pasti
menjadi korban keganasan Aryan.
Rai
mengangguk-angguk sambil melepaskan seragam sekolahnya dan menggantinya dengan
kaos panjang. Rai segera berjongkok diantara bunga-bunga berwarna-warni itu dan
sibuk bekerja. Dia menggemburkan tanah, menyiram, memberi pupuk, mencabuti
daun-daun kering, memotong ranting dan menata bunga. Dia berhenti bersiul-siul
saat lonceng toko berbunyi. Ada pelanggan datang.
“Selamat datang.
Ada yang bisa kubantu?” kata Rai. Dia refleks berdiri sehingga kepalanya
membentur langit-langit yang rendah dari tempat tanaman anggrek digantung. Rai
memegang kepalanya dan meringis. Kepalanya seakan terbelah dua. Dia bahkan
tidak bisa bergerak karena semuanya terasa bergoyang-goyang dan berbayang jadi
beberapa bagian.
“Loh? Orangnya
mana?” gumam Rai mengusap-usap kepalanya sementara dia keluar dari daerah
bunga-bungaan. Kepalanya celingak-celinguk kesana kesekeliling toko tapi tidak
menemukan pelangga yang masuk. “Pintunya terbuka karena angin atau ada orang
yang keluar masuk, ya? Si Bos mana lagi?”
“Kau menemukan dia,
tidak?”
“Tidak.”
Dahi Rai mengerut
ketika ada dua pria berkaca mata hitam berbicara di depan tokonya. Mereka
kelihatannya khawatir dan mencurigakan. Apa tadi mereka berdua yang masuk
tokonya? Ah, masa sih?
“Kita cari lagi.
Berpencar.”
Mereka pergi
berlawanan arah. Benar-benar mencurigakan, Rai membatin. Perhatian Rai teralih
oleh suara dering telepon. Rai segera mengangkat telepon itu.
“Halo, disini Rai
‘Angel Florist’. Ada yang bisa kubantu?” kata Rai, kemudian dia terlibat
percakapan bisnis pemesanan bunga. “Terimakasih. Buket mawar pesanan Anda akan
saya kirim segera.”
Rai menutup
teleponnya. Saat dia berbalik dari meja itu, Rai mengerutkan dahinya. Rasanya
dia melihat ujung sepatu seseorang. Rai berjalan perlahan kebalik tempat
Bos-nya Aryan biasanya mengepak karangan bunga. Mulutnya ternganga saat melihat
ada seseorang bersembunyi disitu.
“Siapa kau?” kata
Rai.
Tangan Rai ditarik
oleh orang asing itu dan mulutnya ditutup tepat saat lonceng berbunyi.
“Permisi. Apa ada
orang?”
Rai mengenal suara
itu. Itu suara pria di depan tokonya tadi. Untuk sejenak suasana sunyi. Rai
berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa. Tenaga pemuda itu kuat sekali
baginya, terlalu kuat. Suara lonceng yang lain kedengaran.
“Bagaimana? Apa dia
ada disini?” kata suara yang lain.
“Tempat ini
kosong,” kata suara yang pertama. “Percuma saja. Dia pasti sudah pergi jauh.”
Derit pintu yang
terbuka diiringi suara lonceng membuktikan kalau mereka sudah pergi. Pemuda
yang mencengkram Rai menghela napas dan melepaskan Rai.
“Hampir saja...,”
katanya.
“Hampir saja?”
ulang Rai tidak percaya. “Kau hampir membunuhku tahu! Siapa kau dan kenapa kau
bersembunyi disini?” tambahnya dengan nada tinggi.
“Aku Derren,”
katanya singkat. Dia berdiri kemudian melihat Rai dari atas sampai ke bawah. “Kau?”
tambah Derren mengitari Rai dengan takjub.
“Aku Rai. Kenapa
kau mengitariku?” kata Rai heran dengan sikap Derren.
“Aku mau melihat
belakang tubuhmu. Bisa tahan sebentar?” kata Derren lagi.
“Kau ini gila, ya?”
Rai mendekati Derren dan sambil mengecak pinggang dia bilang, “Apa yang kau
lakukan dibalik sana?” dia menunjuk ke tempat Derren bersembunyi beberapa detik
lalu.
“Sembunyi,” jawab
Derren. “Kau mau membantuku, Rai? Aku benar-benar butuh bantuanmu sekarang.
Soalnya—”
“Tidak,” Rai
mendorong punggung Derren keluar dari Angel Florist dan tidak mendengarkan satu
pun perkataan Derren. Rai menutup pintu tepat di depan wajah Derren dan pergi
sebelum Derren buka mulut. Saat Derren berbalik, pintu Angel Florist terbuka
dan Rai keluar.
“Tasmu
ketinggalan!” teriak Rai melemparkan ransel Derren yang berat. Derren hampir
saja jatuh saat menangkap tas miliknya. Rai tidak peduli, kali ini dia
benar-benar masuk dan tidak keluar lagi.
Derren menghela
napas panjang. Saat dia memakai ranselnya, tiba-tiba dia harus lari dengan
terburu-buru karena melihat dua orang pria berkacamata hitam di persimpangan
jalan. Rai yang melihat adegan itu dibalik bunga-bunga yang mekar mengerinyit
heran. Anak itu dikejar-kejar mafia, ya?
***
Sambil menahan
napasnya yang tercekat, Derren merapatkan tubuhnya di balik gang sempit. Dia
berdoa dalam hati agar orang-orang yang mengejar-kejarnya itu tidak melihatnya
karena jarak mereka dengan dirinya tinggal beberapa meter lagi.
“Dia menghilang
lagi!”
“Cepat sekali
larinya.”
“Kita cari lagi,
kalau tidak ketemu, kita bisa dipecat.”
Derren menghela
napas lega saat mereka pergi menjauh. Berulang kali dia menarik napas sambil
menyeka keringat. Entah berapa lama lagi dia harus melarikan diri agar tidak
tertangkap orang-orang suruhan itu. Setelah beberapa menit melihat keadaan dan
yakin sudah aman, Derren keluar dari tempat persembunyiannya. Dia sudah lelah.
Dia membutuhkan tempat istirahat dan dia sudah menemukannya.
Ada sebuah cafe
kecil di lantai dua gedung bobrok. Derren berpikir, jika saja ada gempa mungkin
gedung inilah yang akan terlebih dahulu ambruk. Derren membuka pintu cafe itu
dan cukup terperangah melihat keadaan didalam.
Sinar matahari
senja masuk ke balik celah-celah jendela kecil. Ruangan itu gelap dengan cahaya
keemasan dari sinar matahari yang terbenam. Suasana yang nyaman. Meja-meja
bundar kecil diisi oleh beberapa orang kaum muda-mudi. Semuanya tampak sibuk
dengan urusan masing-masing sehingga tidak ada yang menyadari keberadaan
Derren.
Derren mengambil
tempat di pojok dekat jendela agar dia bisa melihat keadaan. Siapa tahu
orang-orang tadi muncul disini. Dia memesan segelas cappucino dan cake strawberry.
Kemudian sambil mendengarkan musik dari iPod miliknya, dia membaca buku yang
belum dia selesaikan.
“Permisi, Mbak. Apa
Anda melihat seorang Pemuda berkacamata yang memakai seragam sekolah di sekitar
sini?”
Tepat dugaan
Derren. Orang-orang yang tadi mengejarnya datang. Untung saja tempat yang dia
duduki berada di pojok dan terhalang oleh beberapa pasangan yang asyik
mengobrol. Derren menundukan kepalanya sedikit, merendahkan ujung topinya
putihnya, menaikan bukunya sehingga menutupi wajahnya dan menarik kerah jeket
putihnya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap biasa dan tidak
mencurigakan.
“Tidak ada
pelanggan seperti itu,” kata Manager Cafe. Mereka ngobrol sejenak lalu
orang-orang itu berbalik keluar. Hati Derren bersorak. Dia lolos lagi.
Derren meneguk cappucinonya dan menutup bukunya. Dia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi jika dikejar-kejar seperti
sekarang ini. Derren sudah mulai tenang ketika ada suara yang mengacaukan
segalanya.
“Wah, itu Rai!
Tumben sekali dia berada di tempat seperti ini.”
Sekitar lima orang
remaja laki-laki bertubuh besar bertampang preman beserta dengan pasangan
mereka mendatangi meja Derren. Dahi Derren mengerut.
“Benar, Lex.
Biasanya kan dia ada di luar. Sibuk kerja buat bayar hutang,” kata salah
seorang dari mereka. Yang lain menanggapi sambil tertawa. “Lalu, Rai, kapan kau
bayar hutangmu? Kau belum membayar sepeserpun dari uang yang kupinjamkan. Ini
sudah dua bulan dan kau telah lewat batas waktu.”
“Hutang?” Derren
mengulang bingung.
“Wah, dia pura-pura
tidak tahu, Lex.”
Orang yang
dipanggil Alex oleh mereka tersenyum sinis. Kalau dilihat dari penampilannya
yang lebih urakan dan agak sombong, sepertinya dia adalah bos mereka.
“Kau punya uang
untuk beli iPod, bersantai dan mengubah penampilan,” kata Alex menaikan sebelah
kakinya ke atas meja Derren. “Tapi kau tidak bisa membayar uang yang kaupinjam
dariku. Coba lihat sepatu bermerekmu ini.”
Derren meneguk cappucinonya lagi dengan tidak peduli. Hal itu membuat Alex naik pitam. Alex
mencengkram jeket Derren dengan geram. “Kau pikir jika kau mengubah
penampilanmu dan pura-pura tidak mengenaliku, aku akan diam saja begitu?” bisik
Alex geram. “Kapan kau bayar hutangmu?”
“Aku tidak mengerti
apa yang kau katakan,” kata Derren.
“Kalau kau tidak bayar sekarang, akan kusita iPod-mu,” kata Alex
mengambil paksa iPod Derren. “Wah, ini iPod bagus.”
Derren mengambil
kembali iPod miliknya dengan cepat. “Oke. Aku bayar. Berapa?” kata Derren
menyimpan kembali iPod miliknya.
“Dua ratus ribu
hutangmu ditambah bunga lima puluh persen dan telat bayar serta pura-pura tidak
mengenalku... semuanya jadi lima ratus ribu.”
Derren mendelik
kesal pada Alex yang tersenyum puas. Dia mengambil dompetnya dan memberikan
uang pada Alex.
“Aku cuma punya
empat ratus ribu, terserah mau diambil atau tidak.”
Alex tersenyum. Dia
mengambil uang itu dari tangan Derren dan menciumnya. Mereka segera berbalik
pergi karena merasa bahwa masalah sudah selesai.
“Tunggu dulu, Lex.
Bisakah kau memberitahuku alamat rumahku?”
Alex dan
keronco-keronconya berbalik dan menatap Derren dengan bingung.
***
0 komentar:
Posting Komentar