STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
9.
The Truth
Leon gemetar dan berulang kali menggigit bibirnya. Kemarahannya berubah
menjadi kecemasan dan kecemasannya berubah menjadi ketakutan.
Reon kritis dan kehilangan banyak darah. Dan walau Leon sudah memberikan
darahnya, belum ada kemungkinan bahwa Reon bisa selamat.
Leon mengutuki dirinya sendiri. Kenapa dia bertengkar dengan Reon disaat
seperti ini? Bagaimana kalau saa terakhir yang bisa dilakukan Leon adalah
melihat kematian Reon? Bahkan mungkin saja Leon tak akan bisa meminta maaf pada
Reon.
Kepalanya sakit memikirkan ini.
Flo berjalan bolak-balik di depan pintu operasi. Aster, Esar dan Zacky
duduk dengan tenang. Tapi wajah mereka terlihat kusut. Andrean duduk di pojokan
sendirian, menekuk dan memeluk lututnya dengan wajah tak berekspresi.
Alex berjalan mendekat, membawa kantongan plastik. “Aku sudah menghubungi
Rudolph dan pihak sekolah. Mungkin Rudolph bakal datang sebentar lagi dan ini,”
dia mengangkat kantongannya, “makanan dan minuman. Kupikir kalian butuh sedikit
energi.”
“Kau masih saja bisa memikirkan makanan disaat begini ya?” kata Flo.
“Kalau kalian sampai tumbang juga maka aku yang repot,” kata Alex lagi.
Dia merogoh kantongnya, membagikan minuman dan roti pada masing-masing orang.
“Makan.”
Mereka makan dalam diam. Rasa roti itu seperti karpet yang susah sekali
ditelan. Leon menyerah untuk makan setelah lima belas menit berjuang. Bahkan
rotinya tak habis separoh saat dia melemparnya ke tong sampah. Teh botolnya tak
tersentuh.
Rudolph datang tak lama kemudian. Napasnya memburu dan kacamatanya
melorot. Wajahnya cemas sekali. “Leon, mana Reon? Bagaimana dia bisa—? Apa dia
tak apa-apa?”
Tenggorokan Leon tercekat. “Rudolph... aku—”
“Apa kau bertengkar lagi dengan Reon?” kata Rudolph dengan mata menyipit.
Leon mengangguk.
“Berapa kali harus kubilang kalau kalian jangan bertengkar
terus-terusan?” suara Rudolph membahana. “Apa lagi yang dia katakan?”
Leon seakan menciut dimarahi Rudolph. Wajahnya yang ramah berubah
seketika menjadi monster. “Dia... dia bilang kalau dia membunuh Shan.”
Rudolph tercengang. “Apa? Apa maksudmu dia membunuh Shan?”
“Reon membunuh orang?” Flo terperanjat. Bahkan Alex dan yang lainnya
sampai terbengong. Andrean tampak tersadar dari dunianya. Dia begitu shock.
“Reon tak pernah membunuh orang,” kata Rudolph gusar. “Apa lagi?”
“Kalau begitu dia berbohong?” kata Leon. “Tapi Reon sendiri yang
mengatakannya padaku.”
“Reon tidak membunuh Shan. Justru Shan sendiri yang mencoba membunuh
Reon!”
Penjelasan Rudolph menciptakan kesunyian yang mencekam. Leon-lah yang
berbicara terlebih dahulu. “Apa? Kalau bukan dia yang melakukannya lalu kenapa
dia mengatakan kalau dia sendiri yang membunuh Shan?”
Rudolph menutup mulutnya sendiri seakan dia sudah mengatakan sebuah
rahasia besar. Dia melihat pintu operasi. “Apa kata Dokter?”
Leon mencengkram kerah baju Rudolph dengan ganas. “Kau tahu sesuatu kan?”
bisiknya berbahaya. “Kau tahu apa yang terjadi malam itu kan? Ceritakan
padaku!”
Rudolph menyingkirkan Leon. “Aku tak bisa!”
“Kenapa?” teriak Leon ganas. “Kenapa kau tak bisa menceritakannya padaku?
Aku saudara kembarnya! Aku berhak mengetahui apa yang terjadi pada Reon! Kenapa
hanya kau yang mengetahui segalanya?” Lalu suara Leon melemah. “Kumohon...
Rudolph...” dia berlutut, mencengkram pergelangan kaki Rudolph. “Aku ingin tahu
apa yang terjadi.”
“Leon, jangan seperti ini,” kata Rudolph. “Berdirilah!”
“Tidak mau! Kakakku sedang kritis disana sementara kami baru bertengkar
tadi hanya karena hal yang belum jelas! Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri
jika Reon sampai mati karena kebodohanku! Apalagi kalau aku tak tahu apa yang
terjadi sampai-sampai menyalahkannya seperti itu!”
Rudolph berjongkok, menatap Leon dengan pandangan yang sulit ditebak.
“Maaf, Leon. Reon melarangku untuk menceritakan apa yang terjadi.”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi. Kenapa kau tak bisa memercayaiku?”
“Karena Reon tak ingin orang-orang membenci Shan. Dia tak ingin membuat
sosok Shan yang begitu sempurna di mata keluarga dan teman-temannya menjadi
ternoda.”
Leon tercengang. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya sudah dilakukan
Shan?”
“Minta Reon menceritakan apa yang terjadi. Kalau aku menceritakan apa
yang terjadi, maka ada kemungkinan bahwa kau akan membenci Shan seumur
hidupmu.” Rudolph menepuk bahu Leon layaknya seorang Ayah. “Aku yakin kalau dia
akan menceritakannya padamu. Kau hanya harus bersabar dan memercayai Reon
dengan sepenuh hatimu karena Reon tak pernah bisa berbohong dengan baik.”
Leon menundukan kepalanya. Tangannya gemetar. Untuk sejenak dia ragu apakah
Reon akan menceritakan kebenaran padanya. Dia juga ragu pada dirinya sendiri,
apakah dia sendiri bisa memercayai semua perkataan Reon.
###StarBoy###
Reon membuka matanya yang terasa berat lalu merasakan bahwa seluruh
otot-ototnya begitu kaku dan pada akhirnya menyerah karena bahkan mengangkat
lengannya sendiri saja sudah sulit. Apa yang terjadi? Dia ingat betul kalau dia
mengalami kecelakaan saat menghindari mobil brengsek yang mencoba menyerempet
jalannya sehingga dia tergelincir dan jatuh sampai terseret beberapa meter.
Tapi setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi.
Matanya yang kabur melihat sekeliling. Langit-langit putih lengkap dengan
infus tergantung. Dia bisa mendengar suara pip pip pip dari mesin di sebelah
tempat tidurnya. Mungkin dia ada di rumah sakit. Seseorang mungkin sudah
menyelamatkan nyawamu. Bisa saja si pemilik mobil bodoh itu yang membawanya
karena merasa bersalah.
Kejadian yang tiba-tiba itu membuat Reon ingat tentang malam berdarah dua
tahun lalu. Kalau tak salah pada saat itu hujan turun dengan deras, mengaburkan
jendela kaca kamar hotelnya sementara kilat dan petir menyambar, memekakan
telinga. Ia sedang menikmati tempat tidurnya yang nyaman ketika pintu kamarnya
terbuka dan Shan beserta dengan teman-temannya—yang tak dikenali Reon—masuk
membawa berbotol-botol bir dan makanan.
“Shan,” Reon refleks bangkit dari tempat tidurnya. Matanya yang tadi
sempat mengantuk terbuka lebar. “Kenapa kau kemari? Apa yang kau bawa itu?”
“Ini?” Shan mengangkat botol minumannya. “Sudah pasti minuman. Aku mau
merayakan kemenanganmu karena menjadi violis terbaik tahun ini!” Shan terkekeh
sejenak dan menyuruh tiga temannya masuk juga. “Mereka teman-temanku juga. Masa
kau tak ingat kalau mereka juga salah satu peserta?”
Reon sekarang ingat siapa mereka. Mereka bertiga adalah tiga peserta dari
dua puluh empat peserta yang lolos pada babak akhir. Pada akhirnya Reon-lah
yang menjadi juara tahun ini. Mereka saling berjabatan tangan dan berbasa-basi
sejenak.
“Kita minum sampai puas!” Shan membuka minuamnnya dan meneguk isinya
separoh sampai sebagian isinya mengenai kemejanya.
Ketiga temannya mengikuti jejaknya. Dan Reon tak mau kalah. Menyenangkan
sekali rasanya memiliki teman yang bisa menerima kemenangan temannya tanpa
harus merusak persahabatan mereka. Mereka tergelak-gelak membicarakan kebodohan
violis dan para juri. Akhirnya mereka sendiri menertawakan kebodohan sendiri.
“Kau lihat juri waktu itu? Dia bodoh benar! Masa dia tak lihat kalau
bajunya basah!”
“Menurutku mereka mulai tidak adil menilai!”
“Ya ya ya. Bodoh semua!”
Keadaan menjadi tak terkendali saat semua orang, termasuk Reon sendiri,
mulai mabuk dan mengerocos tak karuan. Puncak dari acara itu, Shan mengeluarkan
senjata mujarabnya: sabu-sabu.
“Wah, sobat kita bawa barang bagus!” kata yang lain tak jelas.
Shan mengangkat kedua tangannya, memamerkan bungkusan itu keatas
sementara yang lain berteriak-teriak menyemangatinya sambil bertepuk tangan.
“Ayo, bro, kau orang yang pertama yang akan mencobanya, ya kan?” kata
Shan tak jelas, memberikan bungkusan itu pada Reon.
Reon menggeleng tak jelas. “Tak bisa. Besok aku ada pertunjukan. Aku
harus menjaga kepalaku agar tetap normal.”
“Normal apanya?” Shan tertawa. “Kau sudah mabuk tahu. Cuma sedikit aja
supanya kau bisa tenang buat main besok.”
Reon menggeleng lagi. “Nanti aku mainnya tak bagus kalau aku terlalu fly.
Aku butuh konsentrasi buat besok. Kalian aja. Aku nggak usah.”
“Ayolah, Bro.”
“Tidak, Shan.”
“Cuma sedikit saja.”
“Aku bilang nggak, Shan. Lain kali saja.”
Dan pada saat itulah keadaan menjadi berubah. Shan mendorong Reon ke
lantai, memegangi kedua tangannya. Wajahnya berubah menjadi penuh kemarahan.
“Sedikit saja! Kalau tidak aku akan marah padamu!”
Reon tercengang. “Minggir, Shan. Aku bilang kalau aku tak mau!”
“Oke, kau sudah membuatku marah.”
“Kaulah yang membuatku marah disini! Minggir! Aku sudah cukup mabuk
sekarang! Pertunjukan untuk besok bakal terganggu kalau aku tak cukup
istirahat! Ayahku tak akan senang kalau dia mencium bau alkohol.”
Shan tertawa mengejek. Masih dengan suara yang tak jelas dia berkata,
“Pertunjukan? Pertunjukan apa hah? Kau cuma pecundang yang kebetulan punya Ayah
yang benar untuk mendepak dirimu agar bisa diurutan teratas.”
Oke. Cukup sudah. Kesadaran Reon tiba-tiba saja muncul lagi. “Shan, kau
sedang mabuk. Kau tak tahu apa yang kau katakan. Ayolah, minggir sekarang juga.
Kau akan menyesal dengan apa yang kau katakan tadi kalau kau sadar.”
Tapi Shan tak beranjak dari tubuhnya. Sebaliknya, wajahnya berubah
menjadi seseorang yang tak dikenal Reon. Shan tak berekspresi dan pegangannya
semakin mengencang saat Reon berusaha melepaskan diri.
“Shan, minggir!”
“Tak mau.”
“Keluar dari kamarku sekarang juga!”
“Aku tak mau.”
“Shan, ini sudah keterlaluan!”
Shan tersenyum kecil. “Ini bukan keterlaluan, Reon. Kau sendirilah yang
membuatnya seperti ini. Kau yang bersalah disini.”
“Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti sama sekali!”
“Kau tak perlu mengerti penderitaanku, Reon.”
“Kau ini bicara apa? Penderitaan apa? Dengar, kalau ini soal sabu-sabu
itu, aku minta maaf oke? Aku tak bermaksud menyinggungmu. Tapi kau juga harus
mengerti posisiku. Ayahku akan membunuhku besok kalau aku tak bermain bagus.
Ada harga yang harus dibayar.”
Shan kembali tersenyum. Tapi senyuman itu membuat Reon menelan ludah. Tak
ada persahabatan disana. “Jangan khawatir, Reon. Kau tak akan melihat dunia
besok. Hari ini akan jadi yang terakhir.”
“Apa mak—”
“Besok, akulah yang akan menjadi artisnya, bukan kau.”
“Shan, apa maksudmu? Minggir sekarang juga. Kau membuatku tak bisa
bernapas!”
Shan mendekatkan wajahnya. Dia berbisik berbahaya. “Aku bosan menjadi
nomor dua. Aku bosan menjadi bayanganmu. Tak ada yang berbeda antara kau dan
aku. Tapi kenapa mereka lebih memilihmu daripadaku? Ah, aku tahu, mungkin
karena koneksi Ayahmu?”
Reon tak lagi melawan. Untuk sesaat dia tercengang dengan pernyataan yang
keluar dari mulut Shan. Sahabatnya Shan merupakan salah satu dari sekian banyak
orang yang iri padanya?
Shan melanjutkan, begitu bahagia melihat keterkejutan yang terpampang di
wajah Reon. “Kau terkejut? Kau pikir kalau aku adalah sahabat baik hati yang
akan mendukungmu? Pikirkan dulu, Bung. Aku memikirkan diriku sendiri. Berteman
denganmu tak ada ruginya. Kau punya banyak koneksi dan semuanya orang
berpengaruh. Aku tinggal menempelmu saja. Hanya saja, kurasa aku sudah cukup muak
menjadi pengikut.”
Reon begitu terkejut dengan pengakuan Shan. Ia bahkan tak bisa bergerak
saat Shan melepas pegangannya dan berbalik menghadapi teman-temannya. “Jadi
Reon, sudah saatnya bagimu menerima kenyataan. Persahabatan abadi itu tak ada.
Selalu ada maksud di belakangnya, kau tahu?”
Shan mengambil jarum dari kantongan plastiknya dan kembali tersenyum
kembali pada Reon. Reon refleks bergerak begitu melihat maksud berbahaya Shan.
“Tangkap dia!”
Tiga teman-teman Shan menangkapnya dengan mudah. Dia kembali diletakan di
lantai sementara dengan usaha sia-sia, Reon melawan sekuat tenaga.
“Shan! Semua orang akan tahu kalau kau yang akan membunuhku! Buka matamu!
Kau tak bermaksud melakukan ini!” teriak Reon. “Lepaskan aku!”
Shan kembali menunduk. “Jangan khawatir, Ayahmu tahu kalau kau pecandu.
Kau akan mati dengan barang yang membuatmu berada di sorga. Kau tak akan
kesakitan. Aku berani jamin. Ini semua karena kesalahanmu sendiri. Ingat kan?”
Reon ngeri sendiri begitu Shan menusukan jarum itu ke lehernya. Selama
beberapa detik dia berkutat, namun reaksi obat itu begitu cepat. Dalam
seketika, pandangan Reon kabur dan seluruh tenaganya lenyap. Tapi dia begitu
menikmati reaksinya, seakan semua kehidupannya sudah terancang sempurna.
“Reon,” telinganya mendengar suara Shan walau samar-samar “kau membuat
semuanya menjadi seperti ini, Reon. Kau tak akan keberatan kan? Aku juga ingin
jadi sepertimu, Reon. Aku ingin kau juga merasakan yang kurasakan saat ini,
Reon. Kebahagiaan.” Lalu suara Shan menjauh. “Nah, Reon, nikmatilah kematianmu
secara perlahan dan selamat bersenang-senang.”
Suara-suara disekitar telinga Reon bergaung. Suara langkah kaki yang
tergesa-gesa diiringi dengan suara tawa dan benda pecah, kemudian sunyi.
Pikiran Reon melayang tak menentu. Tapi entah kenapa dia dapat merasakan
kesakitan yang menjalar disekitar tubuhnya, mengalir disetiap tetes darah
bahkan nyaris disetiap denyutan jantungnya.
Dan kesadarannya tiba-tiba saja mengalir. Satu per satu. Sedikit demi
sedikit.
Reon mengangkat tangannya, meraba-raba dalam pandangan kabur kemudian
jatuh terhenyak. Tubuhnya menjerit kesakitan sementara tenggorokannya panas.
Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya dan napasnya mulai memburu.
“Reon...”
Suara Shan dan kebenciannya terngiang-ngiang di telinga Reon.
Shan brengsek!
Amarah Reon bangkit.
Berjuang sekuat tenaga melawan rasa sakit sekaligus halusinasinya, Reon
bangit berdiri. Kakinya bergetar menopang tubuhnya. Dia meraba sekitarnya.
Mencari bantuan. Seseorang harus diberitahu mengenai ini. Ada orang yang
mencoba membunuhnya. Para finalis mencoba membunuhnya dan sahabatnya sendiri
adalah otak dibalik masalah ini.
Hatinya teriris begitu mengingatnya lagi. Sahabat terbaiknya. Orang
kepercayaannya menusuk dirinya dari belakang. Entah kenapa rasanya lebih mengerikan
daripada dibunuh orang. Dan dia juga akan mati sebentar lagi. Reon tak tahu
obat apa yang disuntikan Shan padanya, yang dia tahu obat itu memberikan efek
aneh pada penglihatan dan juga tubuhnya.
Shan berubah hanya karena iri. Betapa mengerikannya perubahan itu
sehingga membuatnya mampu untuk menyingkirkan Reon.
Reon berhasil keluar dari kamarnya. Dengan langkah terseret, dia
menyelusuri koridor yang kosong dan panjang. Sial. Tak ada orang yang lewat.
Jantungnya seakan hendak meletus sekarang.
“Tolong...” tapi suaranya tak terdengar.
Siapa yang bakal mendengarnya di tengah malam begini. Semua orang pasti
sudah tidur. Apalagi saat ini hujan deras. Suaranya makin tak terdengar.
Reon masuk ke dalam lift, terengah kehabisan napas saat dia menekan
tombolnya untuk turun ke lantai satu. Ketika dia terhenyak, matanya melihat
dari kejauhan bahwa Shan lewat di depannya, mungkin berniat untuk memeriksa
apakah Reon sudah mati atau belum.
Pintunya... cepatlah tertutup...
Reon tak bergerak begitu Shan keluar dari kamarnya. Tampak panik begitu
menemukan bahwa tubuh Reon menghilang begitu saja. Lalu, ketika pintu lift Reon
nyaris menutup, Shan menoleh ke arah lift dan matanya terbelalak kaget.
“Reon—”
Tapi Reon tak mendengarnya karena liftnya sudah turun.
Reon menatap angka-angka di atasnya yang bercahaya satu per satu. Dalam
hati dia berdoa agar dia bisa sampai ke lantai satu dengan selamat. Setidaknya,
walau dia harus mati, Reon harus memberitahukan hal ini pada orang lain. Dia
tak akan membiarkan Shan hidup dengan tenang. Tak akan.
3...2...1...
Pintu liftnya terbuka, menunjukan lobi yang begitu luas, lengkap dengan
sofa-sofa berlengan empuk yang nyaman.
Reon keluar dengan langkah berat. Matanya menyelusuri ruangan. Tak ada
satu orang pun di ruangan itu. Bahkan satpam pun tak ada.
Reon memaksakan kakinya untuk melangkah keluar lobi. Hujan turun dengan
deras. Mobil-mobil lewat dengan kecepatan maksimal, memuncrati pakaiannya.
Dan kesadaran Reon bertambah begitu air hujan membasahi kepalanya.
“Tolong aku... tolong...”
Napas Reon tercekat seolah-olah ada batu yang menghalangi napasnya. Air
hujan mengguyur deras ke seluruh kota. Bajunya basah seketika. Tubuhnya
menggigil dan semakin lemah dari waktu ke waktu.
Tapi tak ada orang yang mau berhenti untuk mendengarnya. Mereka
melewatinya dengan tak peduli. Mungkin mereka meliriknya sekilas, tapi tak ada
yang mau repot-repot berurusan dengan orang yang sedang sekarat saat ini.
“Reon!”
Telinganya berdengung. Tapi dia yakin ada yang memanggilnya.
“Reon!”
Dan kali ini suara itu terdengar seperti suara malaikat kematian.
“REON!”
Ketika Reon berbalik, Reon tahu kalau Shan bakal menghabisinya. Anak
laki-laki itu mengejarnya, wajahnya berang sekali. Reon mencoba kabur, tapi
langkahnya tak sanggup membawanya lebih jauh dan dia justru jatuh.
Shan menariknya berdiri.
“Mau kemana kau? Cepat kembali!” bisik Shan.
“Dan membiarkan diriku mati begitu saja? Jangan harap!” balas Reon. Sudah
cukup topeng palsu berwajah malaikat baik hati itu sekarang. Reon akan
menghadapi kematiannya dengan gagah berani.
Shan mencengkram tangannya. “Kau harus mati sesuai caraku, Reon.”
“Sayang sekali, aku akan membeberkan kau sebagai pembunuhnya kalau aku
mati,” kata Reon.
Shan menatapnya dengan berang. “KEMBALI!”
Reon menyingkirkan tangannya. “Tidak akan! Kau ingin aku mati sendirian?
Well, tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Setidaknya kalau aku mati nanti,
kaupun tak akan hidup dengan tenang.”
Shan meraung marah. Dia menarik tangan Reon, memaksanya untuk kembali ke
hotel. Tapi kesadaran Reon kembali sedikit demi sedikit. Dan berkat amarahnya
yang meluap karena dikhianati oleh sahabatnya bahkan sampai berniat membunuhnya
segala, membuat Reon punya tenaga ekstra untuk melawan.
“JANGAN MEMBUATKU MARAH!” raung Shan.
“MINGGIR! JANGAN MENYENTUHKU!” Reon melawan dengan berjalan ke arah
sebaliknya.
Kilat kembali menyambar. Mobil-mobil lewat dengan suara menderu.
Pandangan Reon kabur lagi.
“Ikut denganku atau aku yang akan membunuhmu dengan tanganku,” Shan
mencengkram kerah baju Reon dan mendelik marah.
Reon tersenyum kecil. “Kau sudah melakukannya kan? Kau yang menyuntikan
obat itu padaku. Jika aku mati nanti, kau akan dicurigai sebagai pelakunya.”
Rupanya Shan beranggapan bahwa perkataan Reon benar. Dengan berang dia
kembali menarik paksa Reon. Reon melawan dengan sekuat tenaga. Mereka
berteriak-teriak, dan melangkah mendekati jalan raya yang begitu berisik.
Dan saat itulah ketika Shan mengatakan, “Aku akan membunuhmu!” Reon
mendorongnya sekuat tenaga. Pegangan Shan terlepas. Reon masih melihat wajah
Shan yang terkejut begitu tubuhnya jatuh ke belakang, ke jalan raya dan sebuah
mobil menabraknya sampai mati.
Reon terhenyak begitu melihat bahwa tubuh Shan tak bergerak lagi
sementara darah mengucur keluar dari tubuhnya, membasahi jalan raya yang basah
karena hujan. Ia tak mendengar suara tetes hujan, atau suara orang-orang yang
menjerit histeris, atau decitan mobil, atau bahkan sirine ambulan dan polisi.
Hanya ada satu kalimat yang terus berputar di kepalanya: Shan sudah mati.
Kejadian itu memberikan dampak yang begitu drastis. Tak ada hiruk-pikuk
lagi. Ayahnya membencinya dan Momnya menangis tak karuan. Leon tidak memercayai
kata-katanya. Dan walau tak ada bukti, fans, wartawan, bahkan semua orang
mencibirnya. Orang tua Shan menyalahkannya dan menuntutnya untuk segera di penjara.
Tapi Reon lepas dari segala tuntutan.
Hanya Rudolph yang memercayainya.
Ketika Reon merasa bahwa hanya ada dia dalam dunia ini tanpa seorang pun
yang mendukung, Rudolph yang cuma seorang guru violis, yang memercayainya.
“Jangan khawatir. Aku memercayai semua perkataanmu, Reon. Aku tak pernah
meragukan kata-katamu.”
Rudolph-lah yang menjadi sumber cahayanya selama ini. Sehingga Reon bisa
melewati gunjingan-gunjingan orang, pandangan tak menyenangkan dari Momnya,
tuduhan dan cacian dari Ayahnya bahkan diam seribu bahasanya Leon.
Pada akhirnya, Reon memutuskan untuk menyimpan biolanya. Tak ada kenangan
yang menyenangkan dari kematian Shan. Tapi dia juga tak bisa memungkiri bahwa
Shan pernah menjadi sahabat baiknya. Shan menjadi seperti itu karena biola ini.
Karena ketenarannya yang membuatnya tak bisa menjadi nomor satu. Juga karena
rasa bersalah yang menumpuk di jantung Reon.
Rokok, alkohol dan narkoba
Reon berhasil meninggalkan mereka. Tapi dia belum sanggup untuk
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tua Shan. Reon tahu betul
bahwa Shan merupakan anak kebanggaan orang tuanya dan Kakak yang sangat baik
bagi kedua adiknya. Reon belum sanggup untuk menghancurkan sosok Shan yang
sempurna. Biarlah mereka hidup dengan Shan yang baik hati. Mungkin itu lebih
baik.
Lebih baik menyalahkannya daripada menyalahkan Shan.
Bagaimanapun Shan hanya dikuasai api cemburu dan keserakahan. Untuk
selebihnya, Shan merupakan orang yang baik.
Lalu, ketika Ayahnya memecat Rudolph, Reon memilih untuk ikut dengannya.
“Reon.”
Pandangan Reon yang kabur berubah menjadi jelas sedikit demi sedikit. Dia
melihat wajah yang sama persis dengan dirinya berada di depan wajahnya.
“Leon,” katanya serak.
Leon tersenyum, matanya merah. “Tunggu. Kupanggilkan Dokter. Kau sudah
koma dua hari.” Kemudian dia melesat menjauh dan terdengar suara pintu menutup.
Dokter datang tak lama kemudian. Tangannya yang berbonggol memeriksa
denyutan jantung Reon dengan alis mengerut, begitu juga dengan mulut, mata dan
beberapa bagian patah lainnya. Lima menit kemudian dia melihat catatannya
dengan alis menaik. Tak ada tanda-tanda kepuasan di wajahnya.
“Kondisimu cukup oke, Reon,” kata si Dokter. “Sekarang kau hanya butuh
istirahat.”
Leon tersenyum menyemangatinya. “Bagus. Kau pasti bakalan sembuh.”
Si Dokter berdeham. “Dimana orang tua kalian? Aku ingin bertemu dengan
salah satu dari mereka. Wali kalian paling tidak.”
Senyuman Leon menghilang. “Oh. Orang tua kami di Australia.”
“Aku punya wali. Namanya Rudolph,” sambung Reon.
Dokter itu memperbaiki letak kacamatanya. “Baiklah. Aku akan bicara
dengan dia saja. Bisa kau suruh dia datang ke kantorku?” dia melirik Leon.
Leon mengangguk dalam diam. Ketika si Dokter pergi, Reon berbicara dengan
nada tenang seakan menerima kematian, “Aku tidak baik-baik saja. Itu sudah
pasti. Mereka akan membicarakan masalah serius.”
“Itu tak mungkin. Mereka pasti hanya membahas biaya pengobatanmu,” kata
Leon.
Tapi Reon rupanya bisa menangkap nada cemas dari suaranya. “Kau tak bisa
memungkiri kalau perkataanku benar, Leon. Aku bahkan tak bisa mengerakan jariku
saat ini.”
“Kau baru sadar. Apa yang kau harapkan?”
Reon memilih untuk mengubah pembicaraan. “Apa kau tak pulang? Mom mungkin
sudah menunggumu.”
“Kau masih sakit.”
“Ah, bukannya kau bakal membawaku pulang walau dalam keadaan babak belur
begini?”
“Tidak lucu!” Leon bangkit berdiri. “Aku tak pernah berharap bahwa kau
akan terluka parah begini tahu!”
“Benar. Untunglah bukan kau yang mematahkan tulangku, kalau tidak aku
pasti bakal dendam padamu.”
Leon tak membalas perkataan Reon. Diam lebih baik.
###StarBoy###
Rudolph terkejut ketika mendengar vonis yang mungkin terjadi pada tubuh
Reon.
“Maaf, Anda bilang apa tadi?” katanya dengan suara tercekat.
“Kemungkinan ada beberapa saraf Reon yang akan terganggu. Untuk sementara
ini respon geraknya sedikit terganggu. Kami sudah memeriksa dengan seksama
seluruh tubuh Reon. Baru kali ini aku melihat ada tubuh yang begitu tak
terawat. Tulang tangan kirinya retak dan pergelangan tangannya terkilir. Dia
akan sulit memegang benda berat untuk sementara waktu. Lutut kakinya cedera
cukup parah karena terbentul aspal dan terseret jauh. Dia butuh waktu untuk
berjalan normal.” Si Dokter membuka catatannya yang panjang. Jantung Rudolph
berdetak tak karuan mendengar semua penjelasan science yang disemburkan olehnya.
“Tapi yang seperti kukatakan tadi, bagian otaknya yang harus kita cemaskan. Aku
tak tahu apakah ini hanya sementara atau berkesinambungan. Kami baru bisa
mengambil keputusan jika Reon benar-benar sembuh total dengan tangan dan
kakinya. Lalu, kami juga mencemaskan penglihatan dan pendengarannya.”
Penglihatan dan pendengaran?
Si Dokter mendesah dan kembali melanjutkan dengan suara lelah. “Reon
sudah sering mengalami kecelakaan. Kepalanya juga sering terbentur, terutama
ketika dia berkelahi atau dipukuli atau jatuh. Saat ini bagian kepalanya yang
mungkin akan menjadi masalah baginya. Jika kepalanya mengalami cedera lagi,
besar kemungkinan kalau Reon akan kehilangan kemampuan penglihatan dan
pendengarannya. Bahkan dia bisa saja mati.”
Udara di sekitar Rudolph seakan habis. Vonis hukuman untuk Reon lebih
berat daripada yang dia bayangkan.
“Masa lalu Reon juga menjadi salah satu penyebabnya,” si Dokter membuka
catatannya lagi. “Menurut sejarah kesehatan Reon, empat tahun yang lalu dia
mengkonsumsi rokok, alkohol dan narkoba. Tak bisa kita pungkiri bahwa
kesehatannya terganggu karena itu. Oleh sebab itu, Tuan Rudolph, kami mohon
kepada Anda untuk menjaga Reon sebaik-baiknya. Jangan biarkan dia mengalami
emosi berlebihan dan banyak pikiran. Segala tindakan fisik juga akan
mempengaruhi kesehatannya. Aku akan memberikan beberapa catatan penting yang
harus Anda lihat. Ini resep dan terapi untuk Reon agar dia dapat menggerakan
kaki dan tangannya secara normal.”
Rudolph mendengarkan dengan cermat. Pikirannya berkecamuk mengingat apa
yang dialami Reon selama ini. Orang-orang memperlakukan Reon seakan dialah
penjahat kelas kakap padahal Reon orang yang baik.
Penglihatan dan pendengaran...
Bagaimana jika Reon tak lagi bisa melihat dan mendengar?
Lalu tangan kiri untuk memegang biola.
Reon mungkin saja sudah keluar dari dunia musik. Tapi Rudolph yakin kalau
Reon masih ingin kembali jika waktunya tiba.
Namun harapan itu, tampaknya akan segera musnah.
“Dokter bilang apa?” kata Reon begitu Rudolph masuk.
“Dia bilang kau akan sembuh,” kata Rudolph duduk di sampingnya. “Mana
Leon?”
“Memangnya ada Dokter yang tak bilang itu?” tukas Reon. “Leon pulang ke
hotel. Kusuruh istirahat. Sebentar lagi yang lain bakal datang katanya.”
“Anggota StarBoy?”
“Ya,” kata Reon sambil lalu. Dia melirik Rudolph dan bisa membaca
kemungkinan apa yang akan terjadi. “Apa keadaanku separah itu?”
“Kau ini bilang apa?”
“Nada bicaramu seakan bilang kalau tak ada harapanku untuk hidup.”
Rudolph menatapnya sejenak. Lalu dia berkata pelan. “Dokter bilang kalau
sampai kepalamu terbentur lagi, maka ada kemungkinan kau akan kehilangan
kemampuan penglihatan dan pendengaran. Juga kalau kau tak menjaga tubuhmu lagi,
mungkin kau akan cacat seumur hidup.”
Reon menatapnya beberapa detik.
“Berjanjilah padaku, Reon,” kata Rudolph dengan nada memohon. “Kau tak
akan melakukan apapun lagi untuk membahayakan nyawamu. Dokter bilang, jika
kepalamu terbentur lagi, ada kemungkinan kalau kau akan mati.”
Reon membuka mulutnya perlahan, tapi dia tak mengeluarkan sepatah
katapun.
“Tak apa,” Rudolph bangkit dari tempatnya. Dia memeluk Reon dengan
sayang. “Kau tak perlu takut. Aku akan menjagamu dengan baik. Kau aman
bersamaku.”
Rudolph dapat merasakan kalau tubuh Reon gemetaran.
Mereka berdua tak menyadari bahwa StarBoy sudah mendengar pembicaraan
mereka di luar pintu kamar. Masing-masing dari mereka tak bisa berkata apa-apa.
Semua tampak terkejut dengan ucapan Rudolph.
“Bagaimana ini?” kata Zacky menggigiti kuku jarinya dengan cemas. “Kita
baru saja mendengar hal yang tak boleh kita dengar.”
“Harusnya kita bersyukur mendengarnya,” Alex mendesah lelah. “Karena
dengan begitu, kita bisa bersikap ekstra hati-hati pada Reon sehingga kita bisa
mengantisipasi bila keadaan berubah drastis.”
Flo bersandar ke dinding. Tak berkomentar.
###StarBoy###
12 komentar:
aaaaaaiiiiish
ga enak kali kayaknya endingnya
Shan (philia chiko) violis, shan berwajah malaikat tp jg menyeramkan, tapi ini terlalu jahaattt... Apakh ini shan yg sama??!!! :'(
Lanjutiin thor... Dan, smoga gk akn sad ending 0:)
@anonim pertama: ==" ini belum ending, sobaaaaaaat
@anonim kedua: bukan!!! Ini bukan Shan di Philia-Chiko. Namanya kebetulan sama *kesalahan penulis*
PLAAAAAAAAAAAAAAAAAK
Ditunggu lanjutan nya donk....
waktu Reon gemeteran, saya juga ikut gemetaran, grrgrr... author, kenapa Rudholf gak mau dipanggil ayah? emang sih dia bukan ayahnya Rion, cuma yakan si Reon udah nganggep kayak bapaknya sendiri, terus Rudofl tu kagak punya keluarga yee?? sampe ngurusinsi Reon doang... olala~~
@fitri: aiiiih, yep, Rudolph baik ya :3
awawaw keren ceritanya hoho aku telat banget nih bacanya") btw, kapan dilanjut kak?
iihh.. telat ya aku bacanya
keren deh
suka kalau ada kisah tentang anak kembar
ini belum end ya?
ah Flo mungkin bisa jadi sahabat Reon. bte aku suka nama Reon. keren..
Kerennnnn.... Kapan dilanjut ya?
Kak, masih menunggu updatenya
2020 😭
Terakhir komen, September 2019. Dan kembali komen di Agustus 2020 😭
Posting Komentar