STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
8.
Fight
Leon melipat
tangannya dan mendelik jengkel pada Reon yang baru turun dari motornya.
“Kau belum
kembali juga?” kata Reon sinis.
“Aku tak akan
pulang sebelum membawamu pulang,” kata Leon.
“Aku tak
akan pulang, Leon. Berhentilah bersikap keras kepala,” Reon meletakan
helmnya dan memperbaiki letak ranselnya. “Aku ada kelas hari ini dan aku betah
disini. Jadi katakan kepada Mama, kalau kau tak keberatan, bahwa aku tak akan
pulang ke rumah itu apapun yang terjadi.”
Leon
mempercepat langkahnya, mengimbangi langkah kaki Reon. “Kau cuma butuh pulang
sehari saja. Mama sakit, Reon, dia cuma ingin melihatmu.”
“Dia yang
mengusirku.”
“Papa
yang mengusirmu.”
“Dia tak
percaya padaku.”
“Aku
percaya padamu.”
“Tidak. Kau
tak percaya. Kau cuma mengatakan itu supaya aku pulang ke tempat terkutuk itu.”
Leon
menggertakan gigi. “Aku capek mengurusmu. Setiap hari yang kudengar dari Mama
cuma kau. Dia merasa bersalah dengan apa yang dia katakan padamu. Percayalah
padaku kali ini saja, Reon. Rumah itu tak seburuk dugaanmu.”
Reon berhenti
melangkah. “Pulanglah, Leon. Ini sekolah. Kita bicarakan ini nanti.”
Leon
mengangguk perlahan dan hanya bisa memandang saudara kembarnya menjauh saat
Reon memunggunginya.
Dari awal Leon
tahu kalau tak akan semudah itu membawa pulang Reon. Reon sudah tak memiliki
alasan untuk pulang. Rumah itu bukan tempatnya. Dan keberadaan Leon justru
mempersulit keadaannya.
Leon juga tak
tahu apakah harus percaya atau tidak pada Reon. Dia tahu kalau Reon sangat
mempercayainya, tapi kenapa dia sendiri tak bisa mempercayai Reon? Rasanya,
sejak dua tahun yang lalu—sejak kejadian menjengkelkan yang melibatkan polisi
dan kematian sahabatnya Reon serta pesta narkoba itu—Reon seperti jauh dari
jangkauan.
Dia tak lagi
menyenangkan seperti dulu. Dia tak lagi menceritakan soal ide-ide cemerlang
mengenai impiannya. Dia tak lagi bermain biola.
Lalu dia
berubah menjadi seorang berandal yang suka berkelahi, seakan-akan cuma itu
satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Dan Ayah
mereka memperburuk semuanya.
Tapi
masalahnya kali ini berbeda. Mama mereka sedang sakit dan dia membutuhkan Reon.
Leon tak tahu untuk apa, apakah untuk meminta maaf atas semua hal yang telah
dia lakukan, atau meminta penjelasan tentang kejadian dua tahun yang lalu, atau
malah meminta Reon kembali menjadi violis karena tiba-tiba saja ada seorang
produser yang ingin mempromosikan Reon kembali. Entahlah.
Yang pasti,
dia harus membawa Reon pulang.
Apapun yang
terjadi.
###StarBoy###
Flo melirik
Reon.
Reon sedang
menatap kertas ujiannya dan sama sekali tidak terganggu sedikitpun dengan sikap
Flo. Malah Reon dengan sengaja pura-pura tak melihat Flo sejak kejadian kemarin
malam.
Flo
menggeleng. Rasa penasarannya harus dihentikan. Ada ujian yang harus
diselesaikan.
Reon bergerak
sedikit, mengamati soal di kertas putihnya. Pikirannya melayang pada
pembicaraan antara dia dan Flo kemarin malam lalu pada Leon. Leon pasti sedang
menunggu di depan gerbang. Anak itu bersedia menunggunya berjam-jam cuma untuk
bertemu dengannya. Reon hapal betul dengan tingkahnya yang satu itu.
Tangan Reon
kembali menjawab soal. Dahinya mengerut sedikit.
Aku percaya
padamu
Andai saja
Leon mengatakan itu lebih cepat. Tentunya dia tak akan menjadi seperti ini.
“Reon, apa
kau membunuhnya?”
“Kenapa kau
membunuh anakku? Apa salahnya padamu?”
Konsentrasi!
Reon menggigit
bibirnya, tangannya gemetar ketika telinganya seakan mendengar suara dari masa
lalu.
“Kau pesta alkohol
dan narkoba! Kau tak tahu apa yang kau lakukan, ya kan Reon?” suara Leon
kembali terdengar. “Kau tak mungkin membunuh sahabatmu kan? Kau tahu kalau
dia tertabrak kan?”
“Kau tak
memercayaiku, Leon? Aku sadar sepenuhnya!”
“Dengar,
kau cukup berbohong dan bilang kalau kau tak tahu apapun.”
“Aku tahu
benar apa yang terjadi. Ini tak seperti yang kalian pikirkan.”
“Percayalah
padaku. Papa akan menyelesaikan masalah ini. Yang kau butuhkan cuma diam saja
dan ikuti jalan ceritanya.”
“Kau tak
mengerti, Leon. Aku tidak membunuhnya. Dia sendiri yang—”
Reon memaksa
dirinya untuk sadar. Dia membalikan kembali kertas jawabannya dan memeriksa
satu per satu soal yang dia jawab. Dahinya mengerut dalam ketika melihat satu
adegan yang rasanya seperti baru terjadi kemarin.
“Reon,”
dia masih bisa mengenali suara itu, sejelas saat orang itu disampingnya. “kau
membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon. Kau tak akan keberatan kan? Aku
juga ingin jadi sepertimu, Reon. Aku ingin kau juga merasakan yang kurasakan
saat ini, Reon. Kebahagiaan.”
Bel berdering
keras sekali sehingga menyelamatkannya dari pikirannya sendiri.
Dengan kedua
tangannya, dia menyapu wajahnya. Pikirannya lelah.
“Minum?” kata
Flo mengulurkan minuman padanya.
Reon
mengambilnya dan meminumnya tanpa banyak komentar.
“Mengenai
kejadian kemarin malam,” Flo berhenti sejenak, menunggu Reon bereaksi, tapi
Reon tak mengatakan apapun sehingga dia melanjutkan. “Aku akan mendengarkan
saat kau siap.”
Reon mendelik
padanya.
“Kehidupanku
lebih parah dari kehidupanmu, Flo,” kata Reon. “Jadi lebih baik jangan ikut
campur.”
Reon bangkit
dari tempatnya, lalu kelihatan sibuk dengan game ponselnya sampai kemudian
Andrean muncul mengagetkannya.
“Aku beli
cake,” kata Andrean, lalu melirik pada Flo. “Kau juga mau, Flo?”
“Aku tak suka
manis,” kata Reon menutup ponselnya.
“Kau tenang
saja. Ini tak manis,” kata Andrean lagi. “Dan aku yakin ini sesuai dengan
rasamu.”
Reon hampir
saja melupakan kalau Andrean salah satu fans beratnya. Anak itu pasti tahu
segala hal mengenai dirinya. Semua majalah dan koran sudah mempublikasikan
tentang kehidupannya, benar-benar menjengkelkan.
###StarBoy###
Dugaan Reon
benar. Leon sudah menunggunya di depan pintu gerbang sekolah. Dia berjongkok
seperti kutu busuk dan mengadah saat motor Reon berhenti di sebelahnya. Reon
menaikan kaca helmnya dan mendelik jengkel.
“Kau belum
pulang juga?” kata Reon.
“Kan aku sudah
bilang kalau aku—”
“Naik,” Reon
menyerah. “Kita bicara di tempat lain.”
Leon
terbengong sejenak. Ia cepat-cepat bangkit dan naik ke atas motor Reon. Reon
mendecak sebal kemudian menggas motornya.
Andrean dan
Aster yang melihat kepergian Reon dan Leon cepat-cepat menyusul mereka dengan
mobil. Mereka memberikan SMS pada yang lain kalau pada saat ini mereka
membuntuti Reon dan Leon karena khawatir kalau Reon akan melakukan sesuatu jika
amarahnya meledak pada Leon.
Leon
bertanya-tanya kemana Reon akan membawanya. Bukan berarti dia takut menghadapi
Reon sendiri, bahkan kalau bisa Leon ingin sekali menghadapi Reon—satu lawan
satu. Akan lebih mudah membawa Reon pulang jika Leon berhasil mematahkan satu
dua tulangnya. Setidaknya, Reon tak akan bisa bergerak beberapa waktu.
Tapi,
bagaimana jika sebaliknya?
Itu adalah
masalah yang tak ingin dia pikirkan. Masih ada pertandingan yang akan dia ikuti
dan Leon tak ingin cedera sebelum saat itu tiba.
Motor Reon
berhenti di depan sebuah bangunan kosong di dekat pelabuhan. Dia melepas
helmnya dan memilih untuk duduk di bebatuan besar yang berderet rapi di
pinggiran jalan. Leon memilih untuk duduk di sampingnya.
Untuk sejenak
terjadi kesunyian yang mencekam di antara mereka.
“Jadi,” Reon
memulai, “kau memilih untuk tetap keras kepala?”
“Aku punya
tugas untuk membawamu pulang,” kata Leon dengan nada dingin.
Reon menghela
napas, menyisir rambutnya dengan jari. Dia menatap lurus dengan pandangan
kosong dan diam sejenak.
“Leon, dulu
kau kenal betul siapa aku. Kau tahu aku tipe orang yang keras kepala.”
“Memang. Tapi
kau juga tahu betul siapa aku. Aku juga tipe orang yang keras kepala. Kita ini
kembar, kau tahu,” kata Leon lagi.
“Aku capek
bertengkar terus denganmu.”
“Aku juga
capek. Apa susahnya sih pulang sebentar saja? Paling hanya satu dua hari, lalu
kau bisa kembali kemari.”
Reon membasahi
bibirnya. “Kau sangat mengenal sifat Ayah. Saat aku pulang, dia tak akan mau
melepasku. Dia pasti tak akan membiarkanku kembali ke sini.”
Leon
mengangkat kedua bahunya. “Itu mungkin saja. Ayah sangat menyayangimu tahu. Kau
satu-satunya orang yang bisa membuatnya bangga.”
Reon tertawa
mengejek. “Maksudmu menghasilkan uang?”
Leon terdiam
sesaat. Kata-kata Reon seperti menusuknya. Memang benar kalau selama ini
Reon-lah yang menopang keuangan keluarga sementara Ayah mereka memanfaatkan
penghasilan Reon untuk bisnis yang lain. Hasilnya tentu saja sangat memuaskan,
andai saja tak ada kejadian itu.
“Aku yakin
kalau dia menyayangimu,” kata Leon.
Reon tertawa
lagi. “Sekarang kau berbohong.”
“Aku tidak
berbohong.”
“Oh, jelas
kalau kau berbohong. Aku sangat mengenalmu, kau tahu,” Reon geleng-geleng
kepala. Dia kembali menatap kejauhan, seakan tak melihat apa-apa.
“Terserahlah.
Yang aku inginkan kau pulang sekarang juga atau kita berkelahi satu lawan satu.
Pilih yang mana?” Leon melipat tangannya. “Mom memintaku membawamu pulang dan
aku menyanggupinya. Jadi apapun yang terjadi, aku akan membawamu ke Mom.”
“Aku
memikirkan kata-katamu kemarin, Leon dan aku berpikir bahwa sebagiannya mungkin
saja benar,” kata Reon lagi.
Dahi Leon
mengerut tak mengerti. “Yang mana?”
“Mungkin aku
memang membunuh Shan,” kata Reon.
Leon kehabisan
kata-kata.
“Mungkin
akulah yang membuat dia mati,” kata Reon. “Dengan alasan seperti itu, apakah
Mom tetap akan menerimaku?”
Leon tak bisa
berkata apa-apa. Dia harus menjawab apa dengan pertanyaan Reon itu? Selama ini
Reon selalu menyangkal kejadian Shan. Tapi kali ini? Kejujuran Reon yang
tiba-tiba ini membuat jantung Leon seakan berhenti berdetak.
Reon membunuh
Shan.
Reon-lah
yang membunuh Shan.
Tidak. Itu tak
mungkin!
Leon berdiri,
mencengkram kerah baju Reon sampai membuatnya berdiri. Wajahnya penuh dengan
amarah. “Kau berbohong kan? Ini sama sekali tak lucu!”
Anehnya, Reon
kembali tertawa. “Kau memintaku mengatakan kejujuran. Setelah kau mendengar
kejujuran kenapa kau sendiri yang tak percaya? Apa kau lebih percaya
kebohonganku?”
Dulu Reon
benar-benar mengatakan kalau bukan dia yang melakukannya. Apa karena ketakutan
waktu itu makanya dia berbohong? Dan sekarang, setelah semuanya beres
ditangani, dengan entengnya anak ini mengatakan kejujuran?
Leon
membencinya.
“Brengsek!”
Leon mengangkat tinjunya dan menghantamkannya ke wajah Reon. Reon jatuh ke
jalanan. “Percuma saja aku mempercayaimu! Jadi selama ini memang kau yang
membunuh Shan? Kemana kesadaranmu? Apa yang dia lakukan padamu sehingga kau
membunuhnya?”
… kau
membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon
Leon memegang
kerah baju Reon lagi dan meninjunya. Setiap teriakannya seiring dengan
tinjunya. “Apa kau tak melihat kalau Ibunya Shan masih menangisi kepergiannya?
Shan masih memiliki dua orang adik! Apa kau tahu seberapa banyak orang yang
menangis karena kepergiannya? Jawab aku, brengsek! Kenapa kau diam saja disaat
seperti ini? Lawan aku! Kenapa kau tak mau membalasku?”
Mobil Andrean
dan Aster tiba. Mereka turun dengan terburu-buru dan berlari kearah mereka.
Aster segera menarik Leon untuk menjauh.
“Lepaskan
aku!” teriak Leon.
Andrean
membantu Reon bangkit. Tapi Reon cepat-cepat menepis tangan Andrean dan berdiri
sendiri. Wajah Reon babak belur, tapi dia masih tak berekspresi.
“Kau sudah
mendengar kenyataannya dan sama seperti mereka kau tak bisa menerimaku kan?
Jadi kau tak perlu repot-repot membawaku pulang,” Reon menyeka darah yang
mengucur dari sudut bibirnya. “Tak ada yang beda dari kalian semua. Baik kau,
Ayah dan Mom. Cuma Rudolph yang menerimaku dengan tangan terbuka. Jadi kenapa
aku harus pulang?”
Reon menaiki
motornya dan pergi dengan suara mendecit.
“Brengsek!”
Leon melepaskan pegangannya. Dia berteriak jengkel.
“Apa yang
terjadi? Kalian membicarakan apa?” kata Andrean takut-takut.
Leon
meliriknya dengan tatapan bengis. Tapi tak mengatakan apa-apa.
Mobil Alex
menyusul tak lama kemudian. Wajah mereka tercengang.
“Apa yang
terjadi?” kata Alex dengan dahi mengerut. Aura yang tak menyenangkan menguap di
sekitar kelompok kecil itu. “Aster, ada apa ini?”
“Leon dan Reon
bertengkar,” jawab Aster. “Kami tak tahu karena apa.”
Leon mendelik
mereka. “Kenapa kalian semua tiba-tiba ada disini? Apa kalian mengikuti kami?”
Flo
mengangguk. “Kami khawatir. Kalian selalu bertengkar karena masalah sepele.”
Leon
mendengus. “Kalian memang tukang ikut campur.”
“Jadi, Reon
ada dimana sekarang?” Flo melihat sekeliling.
“Dia sudah
pergi dengan motornya,” jawab Andrean.
“Oh,” desah
Alex. “Lebih baik kita cepat kembali. Leon, naik ke mobil Aster.”
“Siapa kau
berani menyuruhku?” gerutu Leon.
“Bukan
siapa-siapa. Tapi kami tak mungkin membiarkan kau sendirian disini. Tak ada
kendaraan yang lewat sini. Jadi lebih baik kau ikut kami pulang. Kau tinggal
dimana? Hotel?” kata Alex dengan nada tenang. Tak ada gunanya tarik-menarik
urat leher jika menghadapi kedua saudara kembar ini.
“Ya,” Leon
menyerah. Lagipula, apa yang dia katakan benar. Tak ada satupun kendaraan yang
lewat disekitar sini. Reon benar-benar mencari tempat yang baik untuk
meninggalkannya sendirian di tempat ini.
Leon duduk di
belakang, di samping Flo yang menatapnya tanpa berkedip. Tapi Leon memilih tak
peduli. Dia sudah terlalu capek hari ini. Tak perlu membuang-buang energi untuk
orang yang tak berguna.
“Apa yang
kalian bicarakan?” kata Flo.
“Bukan
urusanmu.”
“Apa kau
mengajaknya pulang lagi?”
“Bukan
urusanmu.”
“Dari
tampangmu sepertinya dia tak berniat pulang ya kan?”
“Bukan
urusanmu.”
“Jadi, apa kau
bisa memberitahuku alasan kenapa kau begitu marah padanya?”
Leon mendelik
jengkel padanya. Flo balas nyengir padanya. Mendengus jijik, Leon kembali
mengalihkan pandangan keluar jendela.
Reon
membunuh Shan.
Leon tak ingin
memercayai itu. Tapi Reon sendirilah yang mengatakannya.
“...
mungkin memang akulah yang membunuh Shan ...”
Hati Leon
seakan teriris. Apa yang dipikirkan Reon sebenarnya?
“Eh?” Aster
menurunkan kecepatan saat melihat ada kerumunan yang berada di pinggir jalan.
“Ada apa sih?”
Andrean
menurunkan kaca jendela mobilnya dan mengulurkan kepalanya. “Sepertinya ada
yang kecelakaan.”
Sirine ambulan
yang meraung-raung dikejauhan membuktikan kalau sudah ada yang memanggil bala
bantuan. Sebuah mobil terparkir dipinggiran, begitu pula dengan beberapa motor
yang menonton, mengerubuni orang sementara yang lain berbisik-bisik dan
berteriak-teriak. Ada sebuah motor yang sudah porak poranda di kejauhan,
lengkap dengan guratan panjang yang di sepanjang jalan.
“Ambulan!
Ambulan!” orang-orang berteiak, mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Andrean
mengerutkan dahinya sementara Aster mencoba menerobos kerumunan yang
menghalangi jalan. Berulang kali dia memencet klakson.
“Itu motor
Reon kan?” kata Flo tiba-tiba, mengerutkan dahi saat melewati motor yang sudah
rusak parah. Jantung Flo seakan mencelos turun ke kaki. “Aster, berhenti,”
katanya dengan suara gemetar.
Aster menurut.
Tenggorokannya terasa kering saat mendengar kalimat Flo. Motor itu memang mirip
sekali dengan motor Reon walau keadaannya sudah porak-poranda. Flo, Andrean dan
Leon turun dengan terburu-buru.
Mereka
menerobos kerumunan sementara ambulan tiba.
“Permisi...
permisi... tolong beri jalan,” kata Flo mendorong dengan kasar. Saat dia
mencapai pusat kerumunan, Flo nyaris seakan berada di dunia lain.
Reon
tergeletak berlumuran darah.
“Ya Tuhan...”
Ini mengerikan
sekali.
###StarBoy###
1 komentar:
keren
ceritanya berat tpi ok punya
Posting Komentar