RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 14 Mei 2012

StarBoy Eps 8


STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
8.

Fight

Leon melipat tangannya dan mendelik jengkel pada Reon yang baru turun dari motornya.
“Kau belum kembali juga?” kata Reon sinis.
“Aku tak akan pulang sebelum membawamu pulang,” kata Leon.
“Aku tak akan pulang, Leon. Berhentilah bersikap keras kepala,” Reon meletakan helmnya dan memperbaiki letak ranselnya. “Aku ada kelas hari ini dan aku betah disini. Jadi katakan kepada Mama, kalau kau tak keberatan, bahwa aku tak akan pulang ke rumah itu apapun yang terjadi.”
Leon mempercepat langkahnya, mengimbangi langkah kaki Reon. “Kau cuma butuh pulang sehari saja. Mama sakit, Reon, dia cuma ingin melihatmu.”
“Dia yang mengusirku.”
Papa yang mengusirmu.”
“Dia tak percaya padaku.”
Aku percaya padamu.”
“Tidak. Kau tak percaya. Kau cuma mengatakan itu supaya aku pulang ke tempat terkutuk itu.”
Leon menggertakan gigi. “Aku capek mengurusmu. Setiap hari yang kudengar dari Mama cuma kau. Dia merasa bersalah dengan apa yang dia katakan padamu. Percayalah padaku kali ini saja, Reon. Rumah itu tak seburuk dugaanmu.”
Reon berhenti melangkah. “Pulanglah, Leon. Ini sekolah. Kita bicarakan ini nanti.”
Leon mengangguk perlahan dan hanya bisa memandang saudara kembarnya menjauh saat Reon memunggunginya.
Dari awal Leon tahu kalau tak akan semudah itu membawa pulang Reon. Reon sudah tak memiliki alasan untuk pulang. Rumah itu bukan tempatnya. Dan keberadaan Leon justru mempersulit keadaannya.
Leon juga tak tahu apakah harus percaya atau tidak pada Reon. Dia tahu kalau Reon sangat mempercayainya, tapi kenapa dia sendiri tak bisa mempercayai Reon? Rasanya, sejak dua tahun yang lalu—sejak kejadian menjengkelkan yang melibatkan polisi dan kematian sahabatnya Reon serta pesta narkoba itu—Reon seperti jauh dari jangkauan.
Dia tak lagi menyenangkan seperti dulu. Dia tak lagi menceritakan soal ide-ide cemerlang mengenai impiannya. Dia tak lagi bermain biola.
Lalu dia berubah menjadi seorang berandal yang suka berkelahi, seakan-akan cuma itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Dan Ayah mereka memperburuk semuanya.
Tapi masalahnya kali ini berbeda. Mama mereka sedang sakit dan dia membutuhkan Reon. Leon tak tahu untuk apa, apakah untuk meminta maaf atas semua hal yang telah dia lakukan, atau meminta penjelasan tentang kejadian dua tahun yang lalu, atau malah meminta Reon kembali menjadi violis karena tiba-tiba saja ada seorang produser yang ingin mempromosikan Reon kembali. Entahlah.
Yang pasti, dia harus membawa Reon pulang.
Apapun yang terjadi.
###StarBoy###
Flo melirik Reon.
Reon sedang menatap kertas ujiannya dan sama sekali tidak terganggu sedikitpun dengan sikap Flo. Malah Reon dengan sengaja pura-pura tak melihat Flo sejak kejadian kemarin malam.
Flo menggeleng. Rasa penasarannya harus dihentikan. Ada ujian yang harus diselesaikan.
Reon bergerak sedikit, mengamati soal di kertas putihnya. Pikirannya melayang pada pembicaraan antara dia dan Flo kemarin malam lalu pada Leon. Leon pasti sedang menunggu di depan gerbang. Anak itu bersedia menunggunya berjam-jam cuma untuk bertemu dengannya. Reon hapal betul dengan tingkahnya yang satu itu.
Tangan Reon kembali menjawab soal. Dahinya mengerut sedikit.
Aku percaya padamu
Andai saja Leon mengatakan itu lebih cepat. Tentunya dia tak akan menjadi seperti ini.
“Reon, apa kau membunuhnya?”
“Kenapa kau membunuh anakku? Apa salahnya padamu?”
Konsentrasi!
Reon menggigit bibirnya, tangannya gemetar ketika telinganya seakan mendengar suara dari masa lalu.
“Kau pesta alkohol dan narkoba! Kau tak tahu apa yang kau lakukan, ya kan Reon?” suara Leon kembali terdengar. “Kau tak mungkin membunuh sahabatmu kan? Kau tahu kalau dia tertabrak kan?”
“Kau tak memercayaiku, Leon? Aku sadar sepenuhnya!”
“Dengar, kau cukup berbohong dan bilang kalau kau tak tahu apapun.”
“Aku tahu benar apa yang terjadi. Ini tak seperti yang kalian pikirkan.”
“Percayalah padaku. Papa akan menyelesaikan masalah ini. Yang kau butuhkan cuma diam saja dan ikuti jalan ceritanya.”
“Kau tak mengerti, Leon. Aku tidak membunuhnya. Dia sendiri yang—”
Reon memaksa dirinya untuk sadar. Dia membalikan kembali kertas jawabannya dan memeriksa satu per satu soal yang dia jawab. Dahinya mengerut dalam ketika melihat satu adegan yang rasanya seperti baru terjadi kemarin.
“Reon,” dia masih bisa mengenali suara itu, sejelas saat orang itu disampingnya. “kau membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon. Kau tak akan keberatan kan? Aku juga ingin jadi sepertimu, Reon. Aku ingin kau juga merasakan yang kurasakan saat ini, Reon. Kebahagiaan.”
Bel berdering keras sekali sehingga menyelamatkannya dari pikirannya sendiri.
Dengan kedua tangannya, dia menyapu wajahnya. Pikirannya lelah.
“Minum?” kata Flo mengulurkan minuman padanya.
Reon mengambilnya dan meminumnya tanpa banyak komentar.
“Mengenai kejadian kemarin malam,” Flo berhenti sejenak, menunggu Reon bereaksi, tapi Reon tak mengatakan apapun sehingga dia melanjutkan. “Aku akan mendengarkan saat kau siap.”
Reon mendelik padanya.
“Kehidupanku lebih parah dari kehidupanmu, Flo,” kata Reon. “Jadi lebih baik jangan ikut campur.”
Reon bangkit dari tempatnya, lalu kelihatan sibuk dengan game ponselnya sampai kemudian Andrean muncul mengagetkannya.
“Aku beli cake,” kata Andrean, lalu melirik pada Flo. “Kau juga mau, Flo?”
“Aku tak suka manis,” kata Reon menutup ponselnya.
“Kau tenang saja. Ini tak manis,” kata Andrean lagi. “Dan aku yakin ini sesuai dengan rasamu.”
Reon hampir saja melupakan kalau Andrean salah satu fans beratnya. Anak itu pasti tahu segala hal mengenai dirinya. Semua majalah dan koran sudah mempublikasikan tentang kehidupannya, benar-benar menjengkelkan.
###StarBoy###
Dugaan Reon benar. Leon sudah menunggunya di depan pintu gerbang sekolah. Dia berjongkok seperti kutu busuk dan mengadah saat motor Reon berhenti di sebelahnya. Reon menaikan kaca helmnya dan mendelik jengkel.
“Kau belum pulang juga?” kata Reon.
“Kan aku sudah bilang kalau aku—”
“Naik,” Reon menyerah. “Kita bicara di tempat lain.”
Leon terbengong sejenak. Ia cepat-cepat bangkit dan naik ke atas motor Reon. Reon mendecak sebal kemudian menggas motornya.
Andrean dan Aster yang melihat kepergian Reon dan Leon cepat-cepat menyusul mereka dengan mobil. Mereka memberikan SMS pada yang lain kalau pada saat ini mereka membuntuti Reon dan Leon karena khawatir kalau Reon akan melakukan sesuatu jika amarahnya meledak pada Leon.
Leon bertanya-tanya kemana Reon akan membawanya. Bukan berarti dia takut menghadapi Reon sendiri, bahkan kalau bisa Leon ingin sekali menghadapi Reon—satu lawan satu. Akan lebih mudah membawa Reon pulang jika Leon berhasil mematahkan satu dua tulangnya. Setidaknya, Reon tak akan bisa bergerak beberapa waktu.
Tapi, bagaimana jika sebaliknya?
Itu adalah masalah yang tak ingin dia pikirkan. Masih ada pertandingan yang akan dia ikuti dan Leon tak ingin cedera sebelum saat itu tiba.
Motor Reon berhenti di depan sebuah bangunan kosong di dekat pelabuhan. Dia melepas helmnya dan memilih untuk duduk di bebatuan besar yang berderet rapi di pinggiran jalan. Leon memilih untuk duduk di sampingnya.
Untuk sejenak terjadi kesunyian yang mencekam di antara mereka.
“Jadi,” Reon memulai, “kau memilih untuk tetap keras kepala?”
“Aku punya tugas untuk membawamu pulang,” kata Leon dengan nada dingin.
Reon menghela napas, menyisir rambutnya dengan jari. Dia menatap lurus dengan pandangan kosong dan diam sejenak.
“Leon, dulu kau kenal betul siapa aku. Kau tahu aku tipe orang yang keras kepala.”
“Memang. Tapi kau juga tahu betul siapa aku. Aku juga tipe orang yang keras kepala. Kita ini kembar, kau tahu,” kata Leon lagi.
“Aku capek bertengkar terus denganmu.”
“Aku juga capek. Apa susahnya sih pulang sebentar saja? Paling hanya satu dua hari, lalu kau bisa kembali kemari.”
Reon membasahi bibirnya. “Kau sangat mengenal sifat Ayah. Saat aku pulang, dia tak akan mau melepasku. Dia pasti tak akan membiarkanku kembali ke sini.”
Leon mengangkat kedua bahunya. “Itu mungkin saja. Ayah sangat menyayangimu tahu. Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bangga.”
Reon tertawa mengejek. “Maksudmu menghasilkan uang?”
Leon terdiam sesaat. Kata-kata Reon seperti menusuknya. Memang benar kalau selama ini Reon-lah yang menopang keuangan keluarga sementara Ayah mereka memanfaatkan penghasilan Reon untuk bisnis yang lain. Hasilnya tentu saja sangat memuaskan, andai saja tak ada kejadian itu.
“Aku yakin kalau dia menyayangimu,” kata Leon.
Reon tertawa lagi. “Sekarang kau berbohong.”
“Aku tidak berbohong.”
“Oh, jelas kalau kau berbohong. Aku sangat mengenalmu, kau tahu,” Reon geleng-geleng kepala. Dia kembali menatap kejauhan, seakan tak melihat apa-apa.
“Terserahlah. Yang aku inginkan kau pulang sekarang juga atau kita berkelahi satu lawan satu. Pilih yang mana?” Leon melipat tangannya. “Mom memintaku membawamu pulang dan aku menyanggupinya. Jadi apapun yang terjadi, aku akan membawamu ke Mom.”
“Aku memikirkan kata-katamu kemarin, Leon dan aku berpikir bahwa sebagiannya mungkin saja benar,” kata Reon lagi.
Dahi Leon mengerut tak mengerti. “Yang mana?”
“Mungkin aku memang membunuh Shan,” kata Reon.
Leon kehabisan kata-kata.
“Mungkin akulah yang membuat dia mati,” kata Reon. “Dengan alasan seperti itu, apakah Mom tetap akan menerimaku?”
Leon tak bisa berkata apa-apa. Dia harus menjawab apa dengan pertanyaan Reon itu? Selama ini Reon selalu menyangkal kejadian Shan. Tapi kali ini? Kejujuran Reon yang tiba-tiba ini membuat jantung Leon seakan berhenti berdetak.
Reon membunuh Shan.
Reon-lah yang membunuh Shan.
Tidak. Itu tak mungkin!
Leon berdiri, mencengkram kerah baju Reon sampai membuatnya berdiri. Wajahnya penuh dengan amarah. “Kau berbohong kan? Ini sama sekali tak lucu!”
Anehnya, Reon kembali tertawa. “Kau memintaku mengatakan kejujuran. Setelah kau mendengar kejujuran kenapa kau sendiri yang tak percaya? Apa kau lebih percaya kebohonganku?”
Dulu Reon benar-benar mengatakan kalau bukan dia yang melakukannya. Apa karena ketakutan waktu itu makanya dia berbohong? Dan sekarang, setelah semuanya beres ditangani, dengan entengnya anak ini mengatakan kejujuran?
Leon membencinya.
“Brengsek!” Leon mengangkat tinjunya dan menghantamkannya ke wajah Reon. Reon jatuh ke jalanan. “Percuma saja aku mempercayaimu! Jadi selama ini memang kau yang membunuh Shan? Kemana kesadaranmu? Apa yang dia lakukan padamu sehingga kau membunuhnya?”
… kau membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon
Leon memegang kerah baju Reon lagi dan meninjunya. Setiap teriakannya seiring dengan tinjunya. “Apa kau tak melihat kalau Ibunya Shan masih menangisi kepergiannya? Shan masih memiliki dua orang adik! Apa kau tahu seberapa banyak orang yang menangis karena kepergiannya? Jawab aku, brengsek! Kenapa kau diam saja disaat seperti ini? Lawan aku! Kenapa kau tak mau membalasku?”
Mobil Andrean dan Aster tiba. Mereka turun dengan terburu-buru dan berlari kearah mereka. Aster segera menarik Leon untuk menjauh.
“Lepaskan aku!” teriak Leon.
Andrean membantu Reon bangkit. Tapi Reon cepat-cepat menepis tangan Andrean dan berdiri sendiri. Wajah Reon babak belur, tapi dia masih tak berekspresi.
“Kau sudah mendengar kenyataannya dan sama seperti mereka kau tak bisa menerimaku kan? Jadi kau tak perlu repot-repot membawaku pulang,” Reon menyeka darah yang mengucur dari sudut bibirnya. “Tak ada yang beda dari kalian semua. Baik kau, Ayah dan Mom. Cuma Rudolph yang menerimaku dengan tangan terbuka. Jadi kenapa aku harus pulang?”
Reon menaiki motornya dan pergi dengan suara mendecit.
“Brengsek!” Leon melepaskan pegangannya. Dia berteriak jengkel.
“Apa yang terjadi? Kalian membicarakan apa?” kata Andrean takut-takut.
Leon meliriknya dengan tatapan bengis. Tapi tak mengatakan apa-apa.
Mobil Alex menyusul tak lama kemudian. Wajah mereka tercengang.
“Apa yang terjadi?” kata Alex dengan dahi mengerut. Aura yang tak menyenangkan menguap di sekitar kelompok kecil itu. “Aster, ada apa ini?”
“Leon dan Reon bertengkar,” jawab Aster. “Kami tak tahu karena apa.”
Leon mendelik mereka. “Kenapa kalian semua tiba-tiba ada disini? Apa kalian mengikuti kami?”
Flo mengangguk. “Kami khawatir. Kalian selalu bertengkar karena masalah sepele.”
Leon mendengus. “Kalian memang tukang ikut campur.”
“Jadi, Reon ada dimana sekarang?” Flo melihat sekeliling.
“Dia sudah pergi dengan motornya,” jawab Andrean.
“Oh,” desah Alex. “Lebih baik kita cepat kembali. Leon, naik ke mobil Aster.”
“Siapa kau berani menyuruhku?” gerutu Leon.
“Bukan siapa-siapa. Tapi kami tak mungkin membiarkan kau sendirian disini. Tak ada kendaraan yang lewat sini. Jadi lebih baik kau ikut kami pulang. Kau tinggal dimana? Hotel?” kata Alex dengan nada tenang. Tak ada gunanya tarik-menarik urat leher jika menghadapi kedua saudara kembar ini.
“Ya,” Leon menyerah. Lagipula, apa yang dia katakan benar. Tak ada satupun kendaraan yang lewat disekitar sini. Reon benar-benar mencari tempat yang baik untuk meninggalkannya sendirian di tempat ini.
Leon duduk di belakang, di samping Flo yang menatapnya tanpa berkedip. Tapi Leon memilih tak peduli. Dia sudah terlalu capek hari ini. Tak perlu membuang-buang energi untuk orang yang tak berguna.
“Apa yang kalian bicarakan?” kata Flo.
“Bukan urusanmu.”
“Apa kau mengajaknya pulang lagi?”
“Bukan urusanmu.”
“Dari tampangmu sepertinya dia tak berniat pulang ya kan?”
“Bukan urusanmu.”
“Jadi, apa kau bisa memberitahuku alasan kenapa kau begitu marah padanya?”
Leon mendelik jengkel padanya. Flo balas nyengir padanya. Mendengus jijik, Leon kembali mengalihkan pandangan keluar jendela.
Reon membunuh Shan.
Leon tak ingin memercayai itu. Tapi Reon sendirilah yang mengatakannya.
“... mungkin memang akulah yang membunuh Shan ...”
Hati Leon seakan teriris. Apa yang dipikirkan Reon sebenarnya?
“Eh?” Aster menurunkan kecepatan saat melihat ada kerumunan yang berada di pinggir jalan. “Ada apa sih?”
Andrean menurunkan kaca jendela mobilnya dan mengulurkan kepalanya. “Sepertinya ada yang kecelakaan.”
Sirine ambulan yang meraung-raung dikejauhan membuktikan kalau sudah ada yang memanggil bala bantuan. Sebuah mobil terparkir dipinggiran, begitu pula dengan beberapa motor yang menonton, mengerubuni orang sementara yang lain berbisik-bisik dan berteriak-teriak. Ada sebuah motor yang sudah porak poranda di kejauhan, lengkap dengan guratan panjang yang di sepanjang jalan.
“Ambulan! Ambulan!” orang-orang berteiak, mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Andrean mengerutkan dahinya sementara Aster mencoba menerobos kerumunan yang menghalangi jalan. Berulang kali dia memencet klakson.
“Itu motor Reon kan?” kata Flo tiba-tiba, mengerutkan dahi saat melewati motor yang sudah rusak parah. Jantung Flo seakan mencelos turun ke kaki. “Aster, berhenti,” katanya dengan suara gemetar.
Aster menurut. Tenggorokannya terasa kering saat mendengar kalimat Flo. Motor itu memang mirip sekali dengan motor Reon walau keadaannya sudah porak-poranda. Flo, Andrean dan Leon turun dengan terburu-buru.
Mereka menerobos kerumunan sementara ambulan tiba.
“Permisi... permisi... tolong beri jalan,” kata Flo mendorong dengan kasar. Saat dia mencapai pusat kerumunan, Flo nyaris seakan berada di dunia lain.
Reon tergeletak berlumuran darah.
“Ya Tuhan...”
Ini mengerikan sekali.
###StarBoy###

1 komentar:

Anonim mengatakan...

keren
ceritanya berat tpi ok punya

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.