by: prince novel
Tujuh
Philia memakan cakenya dengan alis menaik karena
Shan—diseberang telepon—tidak mengatakan apa-apa. Septo yang ada di sebelahnya
menatapnya dengan kebingungan.
“Kenapa?” kata Septo heran.
“Dia tak mengatakan apa-apa,” kata Philia. “Apa
menurutmu dia mendengarku? Kurasa tadi aku sudah mengulang kalimat yang sama
dua kali.”
“Berikan padaku,” Septo mengambil alih ponsel
Philia. “Shan, ini aku.”
Masih tak ada jawaban dari seberang.
“Shan? Kau ada disana? OI SHAN!” Septo berteriak dan
telepon berdenging lalu mati. Septo mengerinyitkan dahinya, menatap telepon itu
dengan keheranan. “Mati,” katanya pada Philia. “Mungkin dia tak bisa angkat
telepon.”
“Oh, iya, tadi dia bilang kalau dia ada di
perpustakaan,” kata Philia lagi.
“Oh, mungkin penjaga perpustakaan meliriknya dengan
aura neraka karena ngobrol keras-keras di telepon. Nih,” Septo memberikan
kembali ponsel Philia. “Nah, kita tak perlu minta pendapat Shan. Kupikir dia
pasti setuju. Jadi, kau bakal pakai apa di pesta dansa sekolahku? Setidaknya
nanti aku bisa menyamakan pakaianku dengan gaunmu.”
Philia menopang dagunya. Ia melirik Septo dengan
pandangan menilai. Jika diperhatikan baik-baik, Septo cukup tampan dengan wajah
menyenangkan dan bersahabat, ditambah lagi kalau dia anaknya humoris. Masa tak
ada sih cewek yang bersedia jadi pacarnya dia?
“Sep, apa nggak ada cewek yang bisa kau ajak ke
pesta dansa selain aku? Emangnya anak cewek di SMK stoknya terbatas ya?”
kata Philia.
Septo mengerjap, lalu tertawa terbahak-bahak. “Nggak
terbatas kok. Cuma aku nggak mau aja mengajak mereka. Kan ada kau yang kukenal.
Kalau ngobrol sama orang lain mungkin aku bakal keki.”
“Apa nggak ada cewek di sekolahmu yang kau taksir?
Kau kan bisa mengajaknya,” kata Philia lagi.
“Hmm,” Septo menggosok-gosok dagunya dengan gaya
yang sok berpikir. “Sayangnya, nggak ada yang secantikmu, Lia. Malu dong, masa
cowok seganteng aku jalannya sama cewek nggak jelas.” Lalu dia terkekeh geli.
“Tapi, kalau kau tak mau entar aku ajak aja yang lain. Mungkin aku bisa ajak
Gina.”
Mata Philia menyipit lagi. “Kau naksir Gina ya?”
tanyanya penasaran.
Shan mengerjap lagi. “Gina, ya? Dia sih cantik, tapi
aku kan nggak kenal amat dengan dia. Jadi, kau pergi bareng denganku apa kagak
nih? Kalo nggak mau, aku kan bisa cari cewek lain sebelum semua yang cantik
diembat orang.”
“Emang pesta dansanya ngapain?”
“Sama kayak tahun kemarin. Tahun lalu kau kan sakit
jadi nggak bisa kuajak, kalo nggak salah Shan yang jagain kau ya. Tahun lalu
aku pergi sama siapa ya? Aku lupa ngajak siapa.”
Benar juga. Philia baru ingat kalau waktu itu dia
demam tinggi, padahal Septo sudah begitu semangat untuk ke pesta. Kalo tak
salah Septo terpaksa harus mengajak anak SMP sebagai pasangannya waktu itu ke
pesta dansa. Lucu mengingat kejadiannya.
Dan karena Philia belum pernah ikut pesta dansa, ia
berpikir tak ada salahnya jika mencoba. “Aku ikut. Aku harus pakai apa kesana?”
“Terserah sih. Namanya juga pesta anak muda. Tapi
jangan yang seksi ya, aku bisa repot menjagamu nanti,” kata Septo.
Philia terbahak.
^^^***^^^
Chiko kembali menjadi dirinya keesokan harinya.
Wajahnya cerah ceria bak diterangi sinar mentari, bahkan senyumannya yang lebar
tak bisa terhapus walau Philia sudah menyindir.
“Wah, sudah kembali si pengganggu kehidupan,” kata
Philia.
“Pagi, Philia. Hari ini kau cantik seperti biasa,”
kata Chiko berjalan di samping Philia setelah menyingkirkan Gina ke sisi yang
lain.
“Terima kasih. Aku tahu kalau aku memang cantik,”
kata Philia lagi.
Chiko tertawa kecil. “Apa hari ini kau ada kegiatan?
Bagaimana kalau kau jalan-jalan denganku? Aku tahu café yang enak, kau pasti—”
“Tidak. Terima kasih. Dan selamat tinggal,” Philia
berbelok ke kelasnya dan menutup pintu tepat di depan hidung Chiko. “Yang bukan
penduduk kelas ini silahkan minggat.”
Gina melirik Chiko dengan keheranan. “Sepertinya
hari ini kau kembali menjadi dirimu sendiri,” puji Gina. “Apa yang terjadi
kemarin?”
“Bukan apa-apa,” kata Chiko. “Aku cuma merefresh
ulang hatiku. Itu saja.”
Gina tertawa kecil. “Kau benar-benar sangat menyukai
Philia ya.”
“Oooh, sangat. Aku nggak bakal memberikannya pada
orang lain.” Chiko mengepalkan tangannya dengan mantap. Gina bisa melihat api
semangat yang membara di belakang punggungnya. “Gina, kau harus membantuku
mendapatkan hatinya. Bagaimana menurutmu?”
Gina berpikir sejenak. “Boleh sih. Hanya saja kau
juga harus membantuku mendapatkan hati cowok yang kusuka.”
“Itu sih gampang,” kata Chiko menjentikan jarinya.
“Siapa cowok yang beruntung mendapatkan hati sahabat terbaik kekasih hatiku
ini?”
“Septo.”
Senyuman Chiko menghilang dalam sekejap. “Septo? Kau
naksir Septo?” ulangnya tak percaya. Apa sih yang bagus dari anak itu? Kalau
Shan sih masih bisa dikatakan oke, tapi Septo? Selain otaknya kadang-kadang
bisa nyangkut di dengkul. Anak itu juga cerewetnya minta ampun dan blak-blakan.
Dibandingankan dengan Shan, Chiko tak terlalu dekat dengan Septo.
Dengan cepat Gina mengangguk. “Dia menyenangkan,
baik dan juga humoris. Aku suka tipe seperti itu. Gimana? Kau bantuin aku
dapatin Septo, aku bantu kau dapatin Philia.”
Chiko menimang-nimang. “Kupikir dulu.”
Ya. Chiko butuh pemikiran yang masak mengenai
keputusannya. Mereka tak sadar bahwa Philia mendengarkan dari balik pintu. Jadi
selama ini Gina naksir Septo. Astaga, ini berita bagus. Aku bakal jadi
makcomblang mereka berdua.
^^^***^^^
Septo mengangkat Maltesa dari tanah dan meletakannya
di pangkuannya. Hari ini dia merasa berbicara dengan Maltesa lebih efektif
daripada berbicara dengan Shan. Shan sedang uring-uringan tak jelas dan
semenjak tadi, ia sibuk memelototi Septo tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Dan Septo memilih tak peduli. Septo tak butuh ocehan
Shan di sore harinya yang cerah. Sambil mengelus-elus rambut Maltesa yang
panjang dan seputih kapas itu, Septo bergumam betapa cantiknya anjing
peliharaannya dan berniat mencarikan penjantan yang bagus untuknya—ia tak mau
anjing peliharaannya Philia atau Shan yang menjadi calon atas anak-anaknya
Maltesa, biar saja mereka mencari betina yang lain—dan tentu saja harus dari
jenis yang sama.
Maltesa menanggapi dengan menggogong nyaring—yang
dibalas Dhito dan Terry dari seberang—lalu menjilati Septo dengan sayang.
Akhirnya setelah lima belas menit diliputi suasana
tidak menyenangkan dari aura Shan, Septo memilih buka mulut, “Sampai kapan kau
bakal memelototiku begitu?”
Shan mendengus. “Kupikir kau tak mau bicara padaku.”
“Aku tak mau bicara pada orang yang mengeluarkan
aura neraka,” kata Septo memperbaiki letak Maltesa yang ada di pangkuannya.
“Kau kenapa sih? Lagi badmood ya?
Gara-gara apa?”
“Jadi, kau dan Philia jadi pasangan sekarang?” Shan
mendelik jengkel.
Septo menaikan alis tidak mengerti. Pasangan? Oh,
soal kemarin ya. “Ya. Memangnya kenapa?”
“Jadi benar kalau Philia menyukaimu. Selamat kalau
begitu. Kapan perayaan jadiannya kalian berdua? Kurasa aku tak bisa dekat-dekat
kalian berdua mulai sekarang. Aku takut jadi pengganggu kemesraan kalian.”
Septo mencerna kalimat dan nada Shan selama beberapa
detik dengan mulut terbuka bengong. Mungkin ini cuma perasaannya, tapi entah
kenapa Septo merasa kalau Shan sama sekali tak senang dengan apapun itu. Septo
bertanya-tanya sendiri dengan kata-kata jadian dan kemesraan. Rasanya dia tak
merasa pernah jadian dengan Philia.
Waktu itu Philia jelas-jelas mengatakan bahwa dia
menyukai Shan, lalu buat apa Philia harus repot-repot jadian dengan Septo?
Rasanya Philia bukan tipe cewek yang bakal membuat Shan cemburu tak karuan.
Tunggu. Cemburu?
“Oh,” Septo sekarang mengerti apa yang terjadi
disini.
Shan tampaknya salah paham atas pernyataan Philia
kemarin. Siapa yang nggak bakal salah paham dengan kata “pasangan”? Tapi apapun
itu yang membuat Shan salah paham sudah membuat Shan menyadari perasaannya pada
Philia. Dan itu sudah pasti suka.
Hanya orang yang menyukai seseoranglah yang bisa
merasakan cemburu.
“Hai kalian berdua,” kepala Philia nongol di balik
gerbang rumah Septo. “Lagi ngapain?”
Untunglah Philia segera nongol karena Septo sendiri
tak tahu harus menanggapi apa. “Kami lagi lomba saling pelototan,” kata Septo
ngakak.
Bagus. Jika Shan memang cemburu pada Philia, itu
artinya Philia tak bertepuk sebelah tangan. Itu
artinya, mereka saling mencintai. Dan
itu artinya, Chiko tak boleh ada diantara mereka berdua.
Philia melompati gerbang dan melangkah mendekat.
“Philia, ada pintu disana. Harus banget ya
panjat-panjat tembok rumahku?” kata Septo.
Philia nyengir. “Sep, mengenai pesta dansa minggu
depan, kurasa lebih baik kau ajak Gina aja.”
Shan memotong. “Pesta dansa? Pesta dansa apa? Kok
aku baru dengar?”
Philia menatapnya dengan keheranan. Septo sendiri
menahan dirinya untuk tidak tertawa. “Loh? Kemarin kan aku udah tanya, Septo
mengajak aku jadi pasangannya di pesta dansa sekolahnya seperti tahun lalu,
tapi kau mematikan ponselmu.”
“Oh,” Shan mengerjap bengong. Ingin rasanya dia
menimpuk kepalanya sendiri.
Septo tak tahan lagi. Dia tertawa terbahak-bahak.
Maltesa melompat dari pangkuannya dan berlari masuk ke dalam rumah.
Philia menatap Septo dan Shan bergantian. “Ada apa
sih?”
“Bukan apa-apa,” kata Shan. Jantungnya berdegup
tidak karuan. Dia marah atas dasar yang tak jelas pada mereka berdua, bahkan
sampai membuat Septo bingung.
“Shan pikir kalau kita jadian,” kata Septo dalam
usahanya menahan tawa.
Wajah Shan berubah merah. “Aku nggak berpikir
begitu.”
Septo tak mendengarkan. “Tadi dia ngomong yang
aneh-aneh. Dia marah-marah tak jelas. Sepertinya dia cemburu, Philia.” Lalu dia
tertawa lagi. “Nah, lebih baik aku meninggalkan kalian berdua dan membicarakan
masalah ini serta menyelesaikannya. Aku nggak ikut-ikut.”
Septo tak mendengarkan protesan Shan yang
menyuruhnya untuk tinggal. Anak itu malah sengaja berteriak, “Lebih baik kalian
jujur sama perasaan kalian deh biar jangan ada salah paham lagi. Kasihan kan
aku terus yang dijadikan tumbal?” keras-keras.
Pada akhirnya wajah Philia dan Shan sudah semerah
kepiting rebus ketika kesunyian terjadi di antara mereka berdua.
“Erm…” Shan mencoba bicara. Tangannya bergerak-gerak
gelisah. Sialan. Ini semua karena Septo. Kenapa dia tak menjelaskan kalau
pasangan yang dimaksud itu justru adalah pasangan dansa dan bukannya pasangan—
“Aku menyukai Shan,” kata Philia tiba-tiba.
Shan mengadah, terkejut dengan pernyataan yang
tiba-tiba. Rasanya sungguh tak gantle
membiarkan seorang cewek bicara terlebih dahulu.
“Aku cuma mau bilang itu saja,” kata Philia lagi,
lalu ia cepat-cepat berbalik dan kabur ke rumahnya.
Shan berdiam diri disana, mematung dan tak tahu
harus mengatakan apa. Keheningan yang ditinggalkan Philia justru membuat
sensasi tersendiri. Jantungnya berdegup tak karuan seperti gong yang ditabuh
oleh ratusan orang, sangat berisik. Telinganya dari tadi hanya mendengar suara
Philia dan kalimat “Aku menyukai Shan” diiringi dengan nyanyian malaikat
sebagai latar belakangnya. Dan wajahnya memerah.
Tapi Shan tidak merasa terganggu.
Apapun itu yang membuat dadanya sesak, kepalanya
pusing, pipinya terasa panas dan jantungnya berdetak dengan ritme tak karuan
membuatnya senang.
Mungkin saja ia memang menyukai Philia.
Shan bangkit berdiri dari tempatnya dan menyadari
bahwa matahari sudah tidak ada lagi. Sebagai gantinya langit sudah gelap
ditaburi dengan bintang, dan cahaya lampu dari rumah Septo memberikan
penerangan di belakang punggungnya.
Sambil memasukan tangannya ke saku celananya, Shan
bertekad akan mengatakan pada Philia bahwa dia juga menyukai Philia. Ah, dia
juga harus menyingkirkan Chiko agar tak dekat-dekat Philia lagi.
^^^***^^^
Philia membenamkan kepalanya ke bantal.
Apa tadi kukatakan? Oh, Tuhan. Oh, Tuhan! Malunya!
Malunya!!! Bagaimana nanti aku harus berhadapan dengan Shan? Apa yang harus
kukatakan padanya? Tampang seperti apa nanti yang akan kuberikan padanya? Dan
seperti apa nanti aku bicara padanya? Kenapa tadi aku mengucapkan kata itu
tanpa berpikir? Shan pasti shock mendengarku langsung mengucapkan kata-kata
itu! Bagaimana ini? Bagaimana kalau gara-gara aku, persahabatan kami tak akan
sama lagi?
Kali ini Philia menarik selimutnya.
Jantungnya berisik sekali dan tak mau tenang.
Bagaimana dia bisa tidur dengan tenang kalau adegan yang sama terus-menerus
terlihat di depan matanya seperti video? Jangan-jangan saat dia tidur nanti,
mimpi yang sama akan terus muncul.
Philia menutup kepalanya dengan selimut.
Aaaaaaah, ia ingin sekali mengulang waktu!
^^^***^^^
Septo melipat tangannya, memerhatikan Maltesa yang
tidur dengan nyenyak di sampingnya—tepat di atas tempat tidurnya.
Philia sudah menyatakan perasaannya pada Shan dan
Septo yakin sekali bahwa Shan punya perasaan yang sama dengan Philia. Semua itu
hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan entah kenapa, Septo membayangkan
saat-saat dimana mereka bertiga tak akan bisa melakukan hal yang sama secara
bersama.
Septo tersenyum kecil, mengelus bulu-bulu Maltesa
dengan jari telunjuknya.
“Aku kesepian,” gumamnya pelan. “Tak ada yang abadi
di dunia ini ternyata.”
Bahkan persahabatan mereka yang mereka pikir akan
bertahan selamanya justru sudah mencapai endingnya.
Mungkin sudah saatnya mereka menjalani langkah mereka sendiri-sendiri. Hal yang
sama ketika mereka memilih sekolah yang berbeda.
Septo menggerakan kepalanya sedikit, memandang
jendela kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Philia. Bibirnya tersenyum kecil.
“Sudah saatnya membuat perubahan besar,” gumam
Septo.
Septo bangkit perlahan dari tempat tidurnya. Ia
menuju meja belajarnya dan mengeluarkan peralatan mekaniknya dari laci. Dengan
langkah pelan, dia mendekat ke jendela kamarnya dan menutupnya.
“Jendela ini akan tertutup selamanya mulai sekarang,
Philia,” kata Septo lagi. “Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku. Mulai hari
ini tak ada lagi Septo yang sama.”
^^^***^^^
Shan melipat tangan dan bersandar dengan gugup di
gerbang rumah Philia.
Sudah lima belas menit dia menunggu. Tapi Philia
belum nongol-nongol juga. Apa dia saja yang terlalu cepat?
Gerbang pintu rumah Septo terbuka dan motor Septo
keluar. Septo ada di atas motornya, siap berangkat menuju sekolah. Kaca helm
Septo terbuka dan dia tersenyum, “Pagi, Shan. Ngapain kau di depan pintu
Philia?”
“Ah, ada sedikit urusan,” kata Shan dengan gelisah.
Septo terkekeh. “Selamat berjuang ya.” Ia menstater
motornya lalu melaju pergi tanpa mengucapkan apapun lagi.
Shan mengerutkan dahinya. Entah kenapa dia merasa
ada yang ganjil dengan Septo.
“Shan? Eh-ng-ngapain?” Philia muncul di belakang
punggungnya. Wajah Philia merona merah dan kelihatan begitu salah tingkah.
“Oh,” Shan seperti kehilangan kemampuan bicaranya. “Erm,
aku cuma merasa kalau… em… ingin mengantarmu ke sekolah.”
“Oh,” kata Philia lagi. “Oh… ya… em… tentu…”
“Em… tunggu, aku ambil motor dulu,” kata Shan.
“Oh… ok.”
Shan buru-buru masuk lagi ke dalam rumahnya dan
mengeluarkan motornya. Gerakannya jadi super kaku, bahkan tangannya terasa
lebih dingin begitu memegang motornya. Philia masih menunggu di depan pintu
rumahnya dan Shan merasa kalau dia menjadi cantik luar biasa.
“Ayo naik,” Shan menstater motornya.
Philia memakai helmnya dan naik dengan begitu
terburu-buru ke belakang motor Shan.
Sepanjang perjalan mereka tak mengatakan apapun.
Kecanggungan yang tak kentara ini seakan membuat oksigen di sekitar mereka
habis dalam sekejap mata. Bahkan, ketika Philia melompat turun dari motor Shan,
Shan tak bisa mengucapkan apapun selain, “Hati-hati.”
Shan mendesah, menghentikan permainan biolanya
ketika istirahat siang. Wajah Philia sejak kemarin muncul terus di pikirannya.
Sialnya sampai detik ini, Shan belum bisa mengucapkan apapun yang pantas untuk
Philia. Padahal Shan sudah bertekad akan mengatakan rasa sukanya. Tapi waktunya
tak tepat.
Ponselnya berdering dan dia terkejut melihat nomor
Chiko muncul di layarnya.
“Halo, Chik?”
“Selamat, akhirnya kau punya cewek juga,” kata Chiko
di seberang.
“Ha?” kata Shan tak mengerti.
“Nggak usah pura-pura lagi. Aku tahu kalau Philia
udah bilang suka padamu. Gina yang bilang padaku.”
“Gina yang bilang padamu?” ulang Shan tak mengerti.
“Ya, Philia curhat pada Gina dan Gina curhat
padaku,” gerutu Chiko. “Jadi, benar kan dugaanku? Kau ternyata naksir Philia
juga. Selama ini kemana saja kau simpan perasaanmu itu?”
“Aku—” Shan bingung harus mengatakan apa. Dia
sendiri malah belum mengatakan perasaannya pada Philia. Lalu bagaimana mungkin
dia dan Philia bisa jadian?
“Kau tak perlu merasa bersalah begitu, Shan. Aku
belum menyerah kok. Lagian, kalian kan baru pacaran bukannya mau nikah. Kalau
kalian mau nikah, barulah aku bisa kalang kabut, ya kan?” kekeh Chiko dari
seberang.
“Haruskah kau bilang itu pada cowoknya Philia? Kau
mau berperang melawanku?”
Chiko tertawa. “Lalu maksudmu aku harus berbuat apa?
Kau pikir aku bisa saja menerima kenyataan? Pikirkan dulu, Bung. Cinta itu buat
diperjuangkan. Kita saingan secara sehat.”
Shan mulai berpikir kalau Chiko tampaknya harus
dikembalikan ke Kanada. Dia mulai bertingkah menyebalkan. “Kau lupa ya kalau
Philia cintanya sama aku? Kami saling menyukai.”
“Yah…” Chiko menggantung suaranya, kemudian terkekeh
lagi. “Mungkin saja beberapa bulan lagi tak begitu. Apapun bisa terjadi kan?
Kenapa? Apa sekarang kau sudah berubah menjadi pacar super cemburu? Kau mungkin
saja bisa bertemu tiap hari di rumah karena rumah kalian berdekatan. Kalian
pasti akan cepat bosan. Apalagi kalian sudah berteman sejak kecil.”
Shan sekarang mengerti kejengkelan Philia mengenai
Chiko.
“Pokoknya begitu deh. Selama Philia di sekolah,
berikan kesempatan padaku untuk menggodanya ya. Bye, Shan.”
Shan menatap bengong ponselnya yang berdengung.
DIA AKAN MEMBUNUH CHIKO SECEPATNYA!
^^^***^^^
Steave menaikan alisnya melihat Chiko yang
tersenyum-senyum sendiri.
“Kenapa lo? Kok kayaknya elo happy banget,” kata Steave duduk di meja Chiko.
“Philia baru aja jadian dengan Shan,” kata Chiko.
Steave melotot dan mulutnya menganga lebar. “Mereka
jadian?” Chiko mengangguk. “Dan elo senang mereka jadian?” Chiko mengangguk
lagi. “Lo masih waras apa kagak sih? Bukannya elo naksir Philia? Kok elo malah
senang dia jadian dengan Shan?”
“Karena gue tahu kalo gue bisa dapatin Philia dari
si Shan.”
Tangan Steave memegang dahi Chiko, memeriksa siapa
tahu sobatnya itu sakit beneran. Tapi suhu tubuhnya normal. “Maksudnya elo mau
jadi orang ketiga buat mutusin mereka? Gila lo ya. Nggak takut dirobek-robek si
Shan lo? Dia seram banget kalo marah tahu nggak.”
“Itu namanya tantangan,” kata Chiko lagi.
Steave menatapnya beberapa detik. “Lo gila,” katanya
pada akhirnya. “Terserah elo deh. Itu kan hidup lo.”
Chiko bergumam senang, menikmati hari ini. Dia punya
perasaan bahwa keberuntungan bakal berpihak padanya.
“Ngomong-ngomong, Chik, gimana kabar si Septo?
Emangnya dia nggak naksir Philia juga?”
Chiko mengangkat kedua bahunya. “Kagak tahu.
Kelihatannya sih dia oke-oke aja. Waktu gue tanya Gina, Gina bilang justru
Septo yang bikin mereka jadian.”
“Baik juga si Septo itu ya bikin teman sejak
kecilnya pada jadian—” Lalu Steave berhenti bicara begitu Gina menyerbu masuk
ke kelas mereka.
“Kenapa Gina? Buru-buru amat,” kata Chiko terheran.
Gina mengulurkan ponselnya dan menunjukannya pada
Chiko. Dengan keheranan, Chiko mengambil ponselnya dan membaca berita dari
ponsel itu.
Membuat Mesin Hidrolik Sederhana, Septo Lompat Kelas
Chiko membaca berita itu dengan dahi mengerut.
Setelah dia selesai membacanya, ia mengadah, menatap Gina yang sama herannya
seperti dirinya.
“Apa Philia tahu mengenai ini?” kata Chiko. “Dia
pasti senang melihat temannya masuk koran, ya kan?”
“Justru sebaliknya,” kata Gina. “Dia marah-marah
karena Septo tak mengatakan apa-apa. Bahkan Shan juga tak tahu mengenai hal
ini.”
Kerutan di dahi Chiko semakin dalam. Apa yang
terjadi? Tak biasanya Septo berubah menjadi sosok misterius.
^^^***^^^
4 komentar:
lanjut donk thor
seru ni ceritanya
Kapan lanjutnya nih? Penasaran tingkat dewaaa.
Uuuuh, sedang dalam masa "stuck"
idenya sekarang entah udah keman2
Lanjutin dong thor :))
Posting Komentar