by: prince novel
Enam
Shan tercengang melihat Chiko tiba-tiba nongol di
depan pintu rumahnya. Tanpa banyak bicara lagi, cowok itu langsung memintanya
ikut untuk memata-matai Septo dan Philia.
“Dengar,” Shan mendengus jengkel sambil memperbaiki
letak kacamata hitamnya. Dia mendelik jengkel pada Chiko sementara Philia dan
Septo duduk berhadapan, tepat dua meja dari belakang mereka. “Aku sama sekali
nggak tertarik buat menguntit mereka. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalah
mereka sendiri.”
Chiko membasahi bibirnya. “Kau tahu kalau aku tak
bisa melakukannya. Aku akan kehilangan kesempatan.”
Shan memutar bola matanya. “Chik, kau sadar nggak
sih kita berdua justru terlihat paling mencurigakan disini? Dua orang cowok
duduk bersama di café buat orang pacaran,” lalu Shan melepas kaca matanya. “Aku
juga tak bisa lihat apa-apa kalo gelap begini apalagi ditambahi kaca mata
hitam. Kenapa kau tak mengajak teman wanitamu saja?”
“Masalahnya, kalo aku mengajak cewek kemari, mereka
akan berpikir kalo aku tertarik pada mereka. Aku cuma tertarik pada Philia,”
lalu dia terlonjak saat seorang pelayan datang.
“Mau pesan apa?” katanya dengan alis menaik dan
penuh kecurigaan.
Shan buru-buru melihat menunya. “Lebih baik aku
menikmati suasana daripada terjebak bersamamu, Chik,” tambahnya. “Aku pesan teh
jahe hangat dan bisakah aku pesan lampu?”
Pelayan itu tersenyum kecil, “Ini tempat untuk
pasangan.” Lalu dia pergi ke dalam.
“Oke. Sekarang tenang, kita tak akan bisa
mendengarkan apapun yang mereka katakan kalau kau berisik.” Chiko melirik lagi
pada Philia dan Septo yang didatangi seorang cowok berwajah tampan.
“Dia Mikho. Dia cowok brondong yang aku ceritakan
waktu itu. Manis kan?” terdengar suara Philia.
Chiko dan Shan ternganga. Mereka bisa melihat jelas
wajah kekagetan dari Septo.
“Wah Kak, pacarnya bisa cemburu kalo kau bilang aku
ganteng di depan dia,” kata Mikho terkekeh.
“Kami nggak pacaran kok,” kata Philia cepat.
Alis Mikho menaik. “Oh, bukan ya?” kata Mikho lalu
tertawa. “Aku masih punya harapan kalau begitu.”
Chiko mengepalkan tangannya.
“Tapi, waktu Kakak tepat banget datang kemari,” kata
Mikho melirik ke dalam. “Bentar lagi band kami manggung. Ada acara live sedikit. Mungkin bakal ramai. Kak
Philia nonton kan?”
“Kau masuk band?” kata Philia dengan mata membulat.
“Cuma band kecil-kecilan kok,” kata Mikho. Setelah
itu ada suara yang memanggilnya dari dalam. “Aku pergi dulu ya. Selamat
bersenang-senang,” setelah itu dia memberikan senyuman manisnya pada Philia.
Sekarang setelah Mikho pergi, Philia ganti menatap
Septo. “Kita disini sampe nonton band mereka ya? Aku nggak pernah nonton live.”
Septo sebenarnya lebih sudi untuk angkat kaki dari
tempat ini. Tapi, mengingat kalau Philia dan dia juga tak pernah nonton band
apapun secara langsung kecuali di tv, Septo memilih untuk mengikuti suasana.
“Oke,” katanya mengangkat kedua bahunya. “Nggak
masalah.”
Ariel datang membawa pesanan mereka. “Jika ada hal
lain yang ingin kalian butuhkan, kalian bisa memanggilku atau pada temanku yang
lain.”
“Thanks,” kata Philia memakan es krimnya lalu
berkata, “Enak sekali.”
Ariel memberikan senyuman kecilnya lalu masuk ke
dalam, melayani pelanggan baru yang masuk.
“Nah, kau mau bicara apa?” kata Philia memotong cakenya dan kelihatan begitu terpesona
pada kecantikan isi di dalamnya.
Septo menyingkirkan kopinya yang baru sedikit
diteguk. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup tak karuan. Setelah teralihkan
dengan Mikho, dia baru sadar kalau dia punya urusan disini.
“Kau sering berhubungan dengan Mikho?” kata Septo.
“Iya,” Philia mengangguk. “Kami SMS-an tiap hari,”
Philia mengangguk.
“Mereka SMS-an tiap hari?” ulang Shan tak percaya.
“Dan Philia tak pernah membalas SMS-ku,” kata Chiko
lemas.
“Dia membencimu, ingat?” gumam Shan lagi.
Mereka melihat Septo melotot. “Apa dia mengirim SMS
merayu?”
Philia menggeleng. “Dia cuma SMS hal biasa,” dia
mencuil es krimnya lagi. “Aku mau tanya resepnya. Es krim dan kuenya enak
sekali. Kau memilih tempat yang bagus, Septo. Lain kali kau harus ajak pacarmu
kemari.”
Pacar,
Septo mengulang dalam hati. Kata itu seperti mengatakan padanya untuk melihat
bahwa ada orang yang bersedia menunggu di hadapannya.
“Ini yang ingin kukatakan padamu, Philia,” kata
Septo serius.
“Apa? Mengenai pacar?” canda Philia, lalu dia
tiba-tiba serius. “Kau sudah punya pacar? Kenapa kau nggak bilang padaku?
Siapa?”
“Bukan, bukan aku. Aku sama sekali nggak punya
pacar,” kata Septo cepat. “Ini mengenai kau. Aku mau tanya apa kau sudah punya
pacar.”
Philia terheran. “Nggak ada,” katanya. “Kalau aku
punya pacar, kau orang pertama yang akan kuberitahu.”
Septo menggangguk penuh perhatian. Dia membasahi
bibirnya. “Aku mau tanya satu hal padamu. Jika kau tak keberatan, Philia.”
“Oke.”
“Apa kau punya orang yang kau suka?”
Ketika melihat wajah kekagetan di wajah Philia,
Septo yakin kalau pertanyaan tepat sasaran. Philia menyukai seseorang. Itu
sudah pasti!
“Kau tahu darimana?” kata Philia dengan tampang
curiga. “Gina saja nggak tahu kalau aku punya orang yang kusuka.”
Septo mengangkat bahunya, menjawab dengan asal, “Aku
rasa semua orang punya seseorang yang dia suka. Itu sudah ada sebagai sebuah
peraturan yang tak bisa lagi dicegah. Jika kau tahu maksudku.”
Anehnya, Philia tertawa, “Ya ampun. Kau baca buku
apa lagi sih? Emangnya buku elektronik nggak cukup untukmu?”
Wajah Septo bersemu merah. “Siapa cowok yang kau
suka?”
Philia menggigit bibirnya. “Kalau aku bilang, kau
nggak bakal marah kan?”
Septo menggeleng. Deg-degan tak karuan.
“Kalau aku bilang, kau nggak bakal tertawa kan?”
kata Philia memastikan.
Septo menggeleng lagi. “Aku nggak bakal bilang apa-apa.”
Philia mencondongkan tubuhnya, sehingga Septo juga
ikut-ikutan mencondongkan tubuhnya. Kemudian Philia berbisik pelan ke
telinganya dan tak bisa kedengaran oleh Shan dan Chiko yang mengawasi mereka.
Namun, mereka tak bertanya-tanya siapa cowok yang disebutkan oleh Philia karena
Septo duduk terkaget dan berteriak sehingga dapat didengar semua orang, “HAH?
SHAN? KAU SUKA SHAN?”
Shan yang sedang meminum teh jahenya menyemburkan
semua isinya sampai dia tersedak. Sedangkan Chiko yang duduk di dekatnya ternganga.
Wajahnya penuh kekagetan.
“Ssssh!” kata Philia jengkel. “Jangan
teriak-teriak!”
Jadi, selama ini
Philia naksir sama Shan? Shan sialan. Kenapa dia bilang kalau Philia naksir
padaku? Batin Septo jengkel. Hampir aja aku melakukan hal gila.
“Kenapa-kenapa-kenapa kau suka padanya?” kata Septo
tercengang. “Kau bahkan selalu datang padaku kalau kau punya masalah, ya kan?”
Wajah Philia bersemu merah. “Begini, Sep. Aku nggak
mau menunjukan kelemahan pada Shan. Kau tahu kan kalau dia punya banyak
penggemar. Aku kan nggak mungkin manja-manja padanya. Nanti dia mikir aku cewek
pecicilan lagi.”
Septo mengerjapkan mata nggak percaya. “Kau serius
suka beneran pada Shan?”
Philia mengangguk pelan. “Udahlah. Itu bukan apa-apa
lagi. Sekarang, kita lupakan masalah itu dan aku mau nanya, apa kau punya cewek
yang kau suka?”
Kali ini giliran wajah Septo yang memerah, “Aku kan
udah bilang nggak ada,” gumamnya. Tapi dia merasa ada yang tak beres dengan
dadanya. Ng? Apa ini? Apa ini sakitnya sakit hati? Atau jangan-jangan ini
perasaan orang yang sedang patah hati? Patah hati? PATAH HATI? GARA-GARA SIAPA?
Septo melirik sedikit pada Philia yang sibuk memakan
es krimnya. Sial. Kalau bukan perkataan Chiko dan kalau saja bukan karena
perkataan Philia yang jujur, dia tak mungkin merasakan hal yang begini.
Tamu-tamu berdatangan lagi. Kali ini suasana lebih
ramai daripada sebelumnya. Terdengar suara dari dalam yang meminta mereka untuk
masuk. Acara manggung secara live akan segera dimulai. Meja-meja bundar kecil
yang sebelumnya memenuhi ruangan dalam entah sejak kapan digeser dan
menempatkan sebuah drum, gitar, keyboard dan beberapa sound system dikelilingi
oleh penonton.
Dengan sangat bersemangat, Philia menarik Septo
untuk ikutan masuk ke kerumunan. Shan dan Chiko memilih saat ini untuk
mengendap-endap kabur dari café. Misi mereka sudah terlaksana.
Tapi walau Philia menikmati suasana musiknya, Septo
tidak sama sekali. Dia ingin cepat-cepat pulang dan menghajar Shan. Lalu dia
berpikir kalau dia tak akan mungkin bisa melakukannya. Shan sahabatnya. Begitu
juga dengan Philia. Jika dia memberitahu Shan apa yang terjadi pada malam ini,
maka Philia yang akan tersakiti. Dia sudah berjanji pada Philia untuk tak
mengatakan apa-apa.
Namun, lagi-lagi Septo bertanya pada hati dan
pikirannya sendiri. Apakah dia bisa bersikap biasa saja pada Philia dan Shan
untuk seterusnya? Apakah persahabatan mereka masih bisa utuh walau sudah
tercampur dengan roman picisan? Bagaimana dia bisa bersikap seolah tak tahu
apa-apa sementara hatinya sendiri berontak dengan pilihan Philia?
Septo terdiam lagi. Dia melirik Philia yang ikut
berjoget mengikuti irama musik. Mungkin dia memang patah hati. Tapi ketika
melihat kegembiraan di wajah Philia, entah kenapa dia bisa meyakini kalau dia
akan baik-baik saja.
^^^***^^^
“Yang dikatakan Septo waktu di festival sekolahmu
memang benar. Kau cowok bego yang buta. Kau sama sekali tak bisa melihat cinta
di mata Philia,” kata Chiko mencengkram setirnya. Rahangnya mengeras. Entah
bagaimana caranya dia bisa menahan emosinya hingga tidak melayangkan tinjunya
pada Shan dan justru dengan aman ada di mobil, mengantar Shan pulang.
Shan sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun
sejak Septo meneriaki kalau Philia menyukainya. Otaknya terasa membeku. Seperti
es. Dia bahkan tak bisa merasakan apa-apa.
“Aku heran melihat persahabatan kalian berdua. Ada
dua orang cowok yang selalu menjaga seorang cewek. Tidak satupun dari kalian
yang menyukai Philia lebih dari seorang sahabat? Kalau aku sih aku bakal tak
menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Chiko jengkel.
Shan akhirnya menemukan kemampuannya berbicara, “Aku
sedang bermimpi.”
Chiko mencubit pipi Shan sampai cowok itu mengerang,
“Sakit kan? Itu bukti kalau kau tak bermimpi. Mimpi gundulmu. Aku sama sekali
tak ingin ada di mimpimu, tahu.”
Shan mengelus pipinya yang dicubit Chiko. “Lalu apa
yang harus kulakukan? Aku sama sekali tak menyangka kalau Philia menyukaiku.”
“Terus menurutmu apa yang harus kukatakan? Aku
melihat cewek yang kusukai menyatakan cinta pada orang yang saat ini duduk
disampingku. Apa menurutmu aku harus mendukungmu? Yang benar saja. Aku tak
mungkin sebaik itu. Udah untung kau tak kutinju.”
Kepala Shan terkulai lemas ke kaca jendela. “Aku
juga sudah mengatakan hal yang aneh pada Septo. Aku yakin dia akan menghajarku
setelah ini. Dia sudah mendengar hal yang tak seharusnya dia dengar.” Kemudian
dia mengerang. “Ya ampun. Kenapa kejadiannya jadi berantakan begini sih?”
Chiko memindahkan kopling dan menghentikan mobilnya
di pinggir jalan. Dia menatap Shan dan berteriak jengkel, “Kaulah yang membuat
ini semua terjadi!”
Shan menghela napas. “Chik, aku benar-benar nggak
tahu harus bilang apa lagi. Aku bahkan nggak tahu apa aku bisa melihat wajah
Philia lagi.”
“Kau tak suka Philia?”
“Aku tak punya alasan untuk membencinya.”
Chiko memutar bola matanya. Dia kembali menghidupkan
mesin mobilnya dan membawanya ke rumah Shan tanpa banyak bicara lagi.
“Bye, Chik. Thanks udah ngantarin aku,” kata Shan
dengan nada lemas. Dia menutup pintu di belakangnya dan tak melihat mobil Chiko
yang pergi.
^^^***^^^
Gina dan Philia terkaget ketika Chiko muncul
tiba-tiba dari balik koridor. Cowok itu emang selalu bikin kaget. Tapi yang
mengagetkan bukan hanya itu saja, melainkan karena auranya juga buruk. Mukanya
ditekuk dan kantong matanya terlihat berat. Mungkin dia nggak tidur semalaman.
“Mukamu jelek banget,” komentar Philia dengan nada
pedas.
Chiko menatapnya sejenak. “Thanks,” katanya.
Gina dan Philia saling pandang. Nggak biasanya Chiko
bertingkah seperti ini. Dia selalu tersenyum nggak jelas, tebar-tebar pesona dan
bertingkah sebagai cowok paling cakep di muka bumi ini. Bukannya kayak cowok
nggak punya harapan.
“Kau kenapa?” kata Philia dengan dahi mengerut.
Chiko tersenyum kecil, “Aku nggak apa-apa.” Setelah
itu dia melewati mereka berdua dan berjalan dengan lunglai ke kelasnya.
“Dia kenapa sih?” kata Philia heran.
Gina mengangkat kedua bahunya. “Dia kayak orang
frustasi,” komentar Gina.
Philia mengakuinya. Muka Chiko kayak orang yang baru
saja terkena badai yang luar biasa. Manyuuuuuuun sepanjang hari, setidaknya
itulah yang dikatakan teman-temannya padanya. Rasanya mengherankan sekali
melihat cowok “periang” kayak Chiko tiba-tiba jadi pemurung yang nggak punya
nyawa.
Aku ini kenapa sih? Aku harus peduli apa padanya?
Dia mau murung kek, mau happy kek,
mau frustasi kek atau apapun yang dia lakukan, itu nggak ada urusannya
denganku. Kenapa pula aku repot-repot memikirkan cowok itu?
Harusnya aku lebih berbahagia karena dia nggak
berisik!
Tapi Philia entah kenapa merasa kesepian melihat
tingkah cowok itu nggak seperti biasa. Melihat cowok itu nggak bertebaran di
sekitarnya seperti ruang kosong yang belum terpenuhi. Philia merengut masuk ke
kamar Septo bahkan sebelum dia masuk ke rumahnya.
Septo berteriak, memakai kembali celananya yang
nyaris saja dia buka. Wajahnya merah padam saat berkata jengkel, “Philia, ingat
kata ketuk pintu nggak sih?”
Philia duduk di tempat tidur. “Kita bertiga kan dulu
sering mandi bareng.”
“Waktu kita umur tiga tahun,” kata Septo menarik
risleting. Dia duduk di dekat meja komputer, masih memakai seragam sekolahnya.
“Nah, ada apa sekarang?”
“Kau mengatakan sesuatu pada Chiko ya?” kata Philia.
“Nggak. Aku nggak pernah ketemu dia akhir-akhir
ini.”
“Yakin?” kata Philia dengan nada penuh curiga. “Kau
belum melakukan apa-apa untuk membuatnya jauh dariku kan?”
“Belum tuh. Emang kenapa?” kata Septo penasaran.
Philia berpikir sejenak. “Hari ini dia agak aneh.”
Septo mengerutkan dahi. Jangan-jangan Shan
mengatakan sesuatu soal aku? Apa Shan bilang sama Chiko mengenai telepon itu?
Tapi kan kenyataan sebenarnya Philia suka pada Shan, bukan padaku—hal yang tak
diketahui Shan maupun Chiko. Septo bahkan nggak bertemu Shan dan membicarakan
masalah ini lebih lanjut sejak dua hari lalu.
“Menurutku, dia pasti mengalami masalah di
keluarganya. Aku yakin,” kata Septo dengan sok tahu. “Kadang-kadang, masalah
keluarga bisa membuat seseorang menjadi jauh lebih buruk. Aku punya beberapa
contoh yang bisa terjadi pada perubahan sifat seseorang karena masalah
keluarga—”
“Ok, ok,” kata Philia mengangkat tangannya. “I got it.”
Septo mengerucutkan bibirnya. “Aku pengen balik ke
café kemarin. Cake mereka membuatku ingin makan lagi. Jadi aku beli cake mereka
tadi sepulang sekolah. Kau mau makan?”
Mata Philia berbinar. “Kau bawa apa?”
“Hari ini aku mau coba Angelicake sama Banana Pastriy,”
kata Septo. “Mereka menyarankan padaku untuk beli. Kata mereka rasanya enak.”
“Aku mau,” kata Philia menarik Septo untuk segera
turun ke bawah. Pikirannya mengenai Chiko hilang dalam sekejap.
^^^***^^^
“We need to
talk,” Shan menerobos masuk ke kamar Chiko. Dengan gelisah dia duduk di
bangku computer Chiko. Chiko sendiri kelihatan tidak begitu meresponnya—anak
itu menaikan alis melihat Shan nongol lalu memunggunginya dengan tampang
bermusuhan. “Dengar, aku tahu kau masih marah soal kemarin. Tapi aku sudah
memikirkan masak-masak apa yang harus kulakukan.”
Chiko tak merespon. Ia masih memunggungi Shan.
“Mengenai Philia, setelah kurenungkan dengan lebih
seksama, aku hanya menganggap dia sebagai sahabat. Tak lebih.”
Chiko merespon. Ia berbalik dengan alis menaik. “Kau
pikir aku bisa percaya dengan omong kosong itu?”
“Ini bukan omong kosong. Ini kenyataan. Aku cuma
menganggap Philia sebagai teman. Dan aku sangat yakin mengenai hal itu,” kata
Shan mantap.
“Ha,” Chiko geleng-geleng kepala. “Aku tak percaya mengenai
itu. Jika kau tanya aku, aku bisa melihat kalau kau sangat menyukai Philia.”
“Aku menyukai Philia sebagai teman!” ulang Shan
dengan nada jengkel.
“Kita lihat saja nanti. Waktu Philia tiba-tiba dekat
dengan cowok, kau bakal kebakaran jenggot,” Chiko berjalan menyebrangi ruangan,
mengambil buku tebal dan membolak-balik isinya dengan tidak focus.
Shan membasahi bibirnya dengan gelisah. “Tapi
kenyataannya waktu kau coba-coba mendekati Philia, aku tak merasa kebakaran
jenggot.”
“Itu karena Philia tak menyukaiku. Dia membenciku,”
Chiko menyerah mengalihkan perhatiannya dari buku. Kali ini dia menatap Shan
secara langsung. “Ah, sudahlah, kenapa aku justru membahas hal tak penting?
Kalian saling mencintai dan aku cuma pengganggu. Tamat.”
“Kau cuma terlalu berlebihan dan cepat menyerah.
Tunggu—” Shan mengangkat tangannya, menghentikan ocehan Chiko yang hendak
keluar ketika ponselnya berbunyi. “Dari Philia,” katanya.
“Nah, kan? Apa kau sekarang mau pamer?” gerutu Chiko
duduk di atas tempat tidurnya sambil melipat tangan dengan jengkel.
“Sssshhh,” desis Shan. “Ya, Philia?”
“Kau ada dimana?” suara Philia terdengar di
seberang.
Shan memutar otak. “Erm, aku masih di sekolah.
Perpustakaan.” Shan mengacuhkan dengusan Chiko. “Emangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa sih,” kata Philia. “Aku lagi bareng
Septo sekarang.”
“Oh,” Shan menanggapi dengan bingung. “Terus?”
“Septo minta aku jadi pasangannya. Bagaimana
menurutmu?”
Shan melongo. Otaknya terasa macet. Dia menatap
Chiko yang sama bengongnya dengan dia.
“A-a-a-apa?” kata Shan tergagap. “S-S-Septo bilang
a-a-apa?”
“Septo minta aku jadi pasangannya dan dia tanya apa
kau mengizinkanku pergi berdua dengan dia sebagai pasangan.”
Shan kehabisan kata-kata. Dia harus bilang apa?
“Apa kubilang? Kau bakal kebakaran jenggot,” kata
Chiko dengan nada menyebalkan.
^^^***^^^
0 komentar:
Posting Komentar