RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 14 Mei 2012

Philia-Chiko (Paper 6)


by: prince novel
Enam
Shan tercengang melihat Chiko tiba-tiba nongol di depan pintu rumahnya. Tanpa banyak bicara lagi, cowok itu langsung memintanya ikut untuk memata-matai Septo dan Philia.
“Dengar,” Shan mendengus jengkel sambil memperbaiki letak kacamata hitamnya. Dia mendelik jengkel pada Chiko sementara Philia dan Septo duduk berhadapan, tepat dua meja dari belakang mereka. “Aku sama sekali nggak tertarik buat menguntit mereka. Biarkan saja mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.”
Chiko membasahi bibirnya. “Kau tahu kalau aku tak bisa melakukannya. Aku akan kehilangan kesempatan.”
Shan memutar bola matanya. “Chik, kau sadar nggak sih kita berdua justru terlihat paling mencurigakan disini? Dua orang cowok duduk bersama di café buat orang pacaran,” lalu Shan melepas kaca matanya. “Aku juga tak bisa lihat apa-apa kalo gelap begini apalagi ditambahi kaca mata hitam. Kenapa kau tak mengajak teman wanitamu saja?”
“Masalahnya, kalo aku mengajak cewek kemari, mereka akan berpikir kalo aku tertarik pada mereka. Aku cuma tertarik pada Philia,” lalu dia terlonjak saat seorang pelayan datang.
“Mau pesan apa?” katanya dengan alis menaik dan penuh kecurigaan.
Shan buru-buru melihat menunya. “Lebih baik aku menikmati suasana daripada terjebak bersamamu, Chik,” tambahnya. “Aku pesan teh jahe hangat dan bisakah aku pesan lampu?”
Pelayan itu tersenyum kecil, “Ini tempat untuk pasangan.” Lalu dia pergi ke dalam.
“Oke. Sekarang tenang, kita tak akan bisa mendengarkan apapun yang mereka katakan kalau kau berisik.” Chiko melirik lagi pada Philia dan Septo yang didatangi seorang cowok berwajah tampan.
“Dia Mikho. Dia cowok brondong yang aku ceritakan waktu itu. Manis kan?” terdengar suara Philia.
Chiko dan Shan ternganga. Mereka bisa melihat jelas wajah kekagetan dari Septo.
“Wah Kak, pacarnya bisa cemburu kalo kau bilang aku ganteng di depan dia,” kata Mikho terkekeh.
“Kami nggak pacaran kok,” kata Philia cepat.
Alis Mikho menaik. “Oh, bukan ya?” kata Mikho lalu tertawa. “Aku masih punya harapan kalau begitu.”
Chiko mengepalkan tangannya.
“Tapi, waktu Kakak tepat banget datang kemari,” kata Mikho melirik ke dalam. “Bentar lagi band kami manggung. Ada acara live sedikit. Mungkin bakal ramai. Kak Philia nonton kan?”
“Kau masuk band?” kata Philia dengan mata membulat.
“Cuma band kecil-kecilan kok,” kata Mikho. Setelah itu ada suara yang memanggilnya dari dalam. “Aku pergi dulu ya. Selamat bersenang-senang,” setelah itu dia memberikan senyuman manisnya pada Philia.
Sekarang setelah Mikho pergi, Philia ganti menatap Septo. “Kita disini sampe nonton band mereka ya? Aku nggak pernah nonton live.”
Septo sebenarnya lebih sudi untuk angkat kaki dari tempat ini. Tapi, mengingat kalau Philia dan dia juga tak pernah nonton band apapun secara langsung kecuali di tv, Septo memilih untuk mengikuti suasana.
“Oke,” katanya mengangkat kedua bahunya. “Nggak masalah.”
Ariel datang membawa pesanan mereka. “Jika ada hal lain yang ingin kalian butuhkan, kalian bisa memanggilku atau pada temanku yang lain.”
“Thanks,” kata Philia memakan es krimnya lalu berkata, “Enak sekali.”
Ariel memberikan senyuman kecilnya lalu masuk ke dalam, melayani pelanggan baru yang masuk.
“Nah, kau mau bicara apa?” kata Philia memotong cakenya dan kelihatan begitu terpesona pada kecantikan isi di dalamnya.
Septo menyingkirkan kopinya yang baru sedikit diteguk. Jantungnya tiba-tiba saja berdegup tak karuan. Setelah teralihkan dengan Mikho, dia baru sadar kalau dia punya urusan disini.
“Kau sering berhubungan dengan Mikho?” kata Septo.
“Iya,” Philia mengangguk. “Kami SMS-an tiap hari,” Philia mengangguk.
“Mereka SMS-an tiap hari?” ulang Shan tak percaya.
“Dan Philia tak pernah membalas SMS-ku,” kata Chiko lemas.
“Dia membencimu, ingat?” gumam Shan lagi.
Mereka melihat Septo melotot. “Apa dia mengirim SMS merayu?”
Philia menggeleng. “Dia cuma SMS hal biasa,” dia mencuil es krimnya lagi. “Aku mau tanya resepnya. Es krim dan kuenya enak sekali. Kau memilih tempat yang bagus, Septo. Lain kali kau harus ajak pacarmu kemari.”
Pacar, Septo mengulang dalam hati. Kata itu seperti mengatakan padanya untuk melihat bahwa ada orang yang bersedia menunggu di hadapannya.
“Ini yang ingin kukatakan padamu, Philia,” kata Septo serius.
“Apa? Mengenai pacar?” canda Philia, lalu dia tiba-tiba serius. “Kau sudah punya pacar? Kenapa kau nggak bilang padaku? Siapa?”
“Bukan, bukan aku. Aku sama sekali nggak punya pacar,” kata Septo cepat. “Ini mengenai kau. Aku mau tanya apa kau sudah punya pacar.”
Philia terheran. “Nggak ada,” katanya. “Kalau aku punya pacar, kau orang pertama yang akan kuberitahu.”
Septo menggangguk penuh perhatian. Dia membasahi bibirnya. “Aku mau tanya satu hal padamu. Jika kau tak keberatan, Philia.”
“Oke.”
“Apa kau punya orang yang kau suka?”
Ketika melihat wajah kekagetan di wajah Philia, Septo yakin kalau pertanyaan tepat sasaran. Philia menyukai seseorang. Itu sudah pasti!
“Kau tahu darimana?” kata Philia dengan tampang curiga. “Gina saja nggak tahu kalau aku punya orang yang kusuka.”
Septo mengangkat bahunya, menjawab dengan asal, “Aku rasa semua orang punya seseorang yang dia suka. Itu sudah ada sebagai sebuah peraturan yang tak bisa lagi dicegah. Jika kau tahu maksudku.”
Anehnya, Philia tertawa, “Ya ampun. Kau baca buku apa lagi sih? Emangnya buku elektronik nggak cukup untukmu?”
Wajah Septo bersemu merah. “Siapa cowok yang kau suka?”
Philia menggigit bibirnya. “Kalau aku bilang, kau nggak bakal marah kan?”
Septo menggeleng. Deg-degan tak karuan.
“Kalau aku bilang, kau nggak bakal tertawa kan?” kata Philia memastikan.
Septo menggeleng lagi. “Aku nggak bakal bilang apa-apa.”
Philia mencondongkan tubuhnya, sehingga Septo juga ikut-ikutan mencondongkan tubuhnya. Kemudian Philia berbisik pelan ke telinganya dan tak bisa kedengaran oleh Shan dan Chiko yang mengawasi mereka. Namun, mereka tak bertanya-tanya siapa cowok yang disebutkan oleh Philia karena Septo duduk terkaget dan berteriak sehingga dapat didengar semua orang, “HAH? SHAN? KAU SUKA SHAN?”
Shan yang sedang meminum teh jahenya menyemburkan semua isinya sampai dia tersedak. Sedangkan Chiko yang duduk di dekatnya ternganga. Wajahnya penuh kekagetan.
“Ssssh!” kata Philia jengkel. “Jangan teriak-teriak!”
Jadi, selama ini Philia naksir sama Shan? Shan sialan. Kenapa dia bilang kalau Philia naksir padaku? Batin Septo jengkel. Hampir aja aku melakukan hal gila.
“Kenapa-kenapa-kenapa kau suka padanya?” kata Septo tercengang. “Kau bahkan selalu datang padaku kalau kau punya masalah, ya kan?”
Wajah Philia bersemu merah. “Begini, Sep. Aku nggak mau menunjukan kelemahan pada Shan. Kau tahu kan kalau dia punya banyak penggemar. Aku kan nggak mungkin manja-manja padanya. Nanti dia mikir aku cewek pecicilan lagi.”
Septo mengerjapkan mata nggak percaya. “Kau serius suka beneran pada Shan?”
Philia mengangguk pelan. “Udahlah. Itu bukan apa-apa lagi. Sekarang, kita lupakan masalah itu dan aku mau nanya, apa kau punya cewek yang kau suka?”
Kali ini giliran wajah Septo yang memerah, “Aku kan udah bilang nggak ada,” gumamnya. Tapi dia merasa ada yang tak beres dengan dadanya. Ng? Apa ini? Apa ini sakitnya sakit hati? Atau jangan-jangan ini perasaan orang yang sedang patah hati? Patah hati? PATAH HATI? GARA-GARA SIAPA?
Septo melirik sedikit pada Philia yang sibuk memakan es krimnya. Sial. Kalau bukan perkataan Chiko dan kalau saja bukan karena perkataan Philia yang jujur, dia tak mungkin merasakan hal yang begini.
Tamu-tamu berdatangan lagi. Kali ini suasana lebih ramai daripada sebelumnya. Terdengar suara dari dalam yang meminta mereka untuk masuk. Acara manggung secara live akan segera dimulai. Meja-meja bundar kecil yang sebelumnya memenuhi ruangan dalam entah sejak kapan digeser dan menempatkan sebuah drum, gitar, keyboard dan beberapa sound system dikelilingi oleh penonton.
Dengan sangat bersemangat, Philia menarik Septo untuk ikutan masuk ke kerumunan. Shan dan Chiko memilih saat ini untuk mengendap-endap kabur dari café. Misi mereka sudah terlaksana.
Tapi walau Philia menikmati suasana musiknya, Septo tidak sama sekali. Dia ingin cepat-cepat pulang dan menghajar Shan. Lalu dia berpikir kalau dia tak akan mungkin bisa melakukannya. Shan sahabatnya. Begitu juga dengan Philia. Jika dia memberitahu Shan apa yang terjadi pada malam ini, maka Philia yang akan tersakiti. Dia sudah berjanji pada Philia untuk tak mengatakan apa-apa.
Namun, lagi-lagi Septo bertanya pada hati dan pikirannya sendiri. Apakah dia bisa bersikap biasa saja pada Philia dan Shan untuk seterusnya? Apakah persahabatan mereka masih bisa utuh walau sudah tercampur dengan roman picisan? Bagaimana dia bisa bersikap seolah tak tahu apa-apa sementara hatinya sendiri berontak dengan pilihan Philia?
Septo terdiam lagi. Dia melirik Philia yang ikut berjoget mengikuti irama musik. Mungkin dia memang patah hati. Tapi ketika melihat kegembiraan di wajah Philia, entah kenapa dia bisa meyakini kalau dia akan baik-baik saja.
^^^***^^^
“Yang dikatakan Septo waktu di festival sekolahmu memang benar. Kau cowok bego yang buta. Kau sama sekali tak bisa melihat cinta di mata Philia,” kata Chiko mencengkram setirnya. Rahangnya mengeras. Entah bagaimana caranya dia bisa menahan emosinya hingga tidak melayangkan tinjunya pada Shan dan justru dengan aman ada di mobil, mengantar Shan pulang.
Shan sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun sejak Septo meneriaki kalau Philia menyukainya. Otaknya terasa membeku. Seperti es. Dia bahkan tak bisa merasakan apa-apa.
“Aku heran melihat persahabatan kalian berdua. Ada dua orang cowok yang selalu menjaga seorang cewek. Tidak satupun dari kalian yang menyukai Philia lebih dari seorang sahabat? Kalau aku sih aku bakal tak menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Chiko jengkel.
Shan akhirnya menemukan kemampuannya berbicara, “Aku sedang bermimpi.”
Chiko mencubit pipi Shan sampai cowok itu mengerang, “Sakit kan? Itu bukti kalau kau tak bermimpi. Mimpi gundulmu. Aku sama sekali tak ingin ada di mimpimu, tahu.”
Shan mengelus pipinya yang dicubit Chiko. “Lalu apa yang harus kulakukan? Aku sama sekali tak menyangka kalau Philia menyukaiku.”
“Terus menurutmu apa yang harus kukatakan? Aku melihat cewek yang kusukai menyatakan cinta pada orang yang saat ini duduk disampingku. Apa menurutmu aku harus mendukungmu? Yang benar saja. Aku tak mungkin sebaik itu. Udah untung kau tak kutinju.”
Kepala Shan terkulai lemas ke kaca jendela. “Aku juga sudah mengatakan hal yang aneh pada Septo. Aku yakin dia akan menghajarku setelah ini. Dia sudah mendengar hal yang tak seharusnya dia dengar.” Kemudian dia mengerang. “Ya ampun. Kenapa kejadiannya jadi berantakan begini sih?”
Chiko memindahkan kopling dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap Shan dan berteriak jengkel, “Kaulah yang membuat ini semua terjadi!”
Shan menghela napas. “Chik, aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku bahkan nggak tahu apa aku bisa melihat wajah Philia lagi.”
“Kau tak suka Philia?”
“Aku tak punya alasan untuk membencinya.”
Chiko memutar bola matanya. Dia kembali menghidupkan mesin mobilnya dan membawanya ke rumah Shan tanpa banyak bicara lagi.
“Bye, Chik. Thanks udah ngantarin aku,” kata Shan dengan nada lemas. Dia menutup pintu di belakangnya dan tak melihat mobil Chiko yang pergi.
^^^***^^^
Gina dan Philia terkaget ketika Chiko muncul tiba-tiba dari balik koridor. Cowok itu emang selalu bikin kaget. Tapi yang mengagetkan bukan hanya itu saja, melainkan karena auranya juga buruk. Mukanya ditekuk dan kantong matanya terlihat berat. Mungkin dia nggak tidur semalaman.
“Mukamu jelek banget,” komentar Philia dengan nada pedas.
Chiko menatapnya sejenak. “Thanks,” katanya.
Gina dan Philia saling pandang. Nggak biasanya Chiko bertingkah seperti ini. Dia selalu tersenyum nggak jelas, tebar-tebar pesona dan bertingkah sebagai cowok paling cakep di muka bumi ini. Bukannya kayak cowok nggak punya harapan.
“Kau kenapa?” kata Philia dengan dahi mengerut.
Chiko tersenyum kecil, “Aku nggak apa-apa.” Setelah itu dia melewati mereka berdua dan berjalan dengan lunglai ke kelasnya.
“Dia kenapa sih?” kata Philia heran.
Gina mengangkat kedua bahunya. “Dia kayak orang frustasi,” komentar Gina.
Philia mengakuinya. Muka Chiko kayak orang yang baru saja terkena badai yang luar biasa. Manyuuuuuuun sepanjang hari, setidaknya itulah yang dikatakan teman-temannya padanya. Rasanya mengherankan sekali melihat cowok “periang” kayak Chiko tiba-tiba jadi pemurung yang nggak punya nyawa.
Aku ini kenapa sih? Aku harus peduli apa padanya? Dia mau murung kek, mau happy kek, mau frustasi kek atau apapun yang dia lakukan, itu nggak ada urusannya denganku. Kenapa pula aku repot-repot memikirkan cowok itu?
Harusnya aku lebih berbahagia karena dia nggak berisik!
Tapi Philia entah kenapa merasa kesepian melihat tingkah cowok itu nggak seperti biasa. Melihat cowok itu nggak bertebaran di sekitarnya seperti ruang kosong yang belum terpenuhi. Philia merengut masuk ke kamar Septo bahkan sebelum dia masuk ke rumahnya.
Septo berteriak, memakai kembali celananya yang nyaris saja dia buka. Wajahnya merah padam saat berkata jengkel, “Philia, ingat kata ketuk pintu nggak sih?”
Philia duduk di tempat tidur. “Kita bertiga kan dulu sering mandi bareng.”
“Waktu kita umur tiga tahun,” kata Septo menarik risleting. Dia duduk di dekat meja komputer, masih memakai seragam sekolahnya. “Nah, ada apa sekarang?”
“Kau mengatakan sesuatu pada Chiko ya?” kata Philia.
“Nggak. Aku nggak pernah ketemu dia akhir-akhir ini.”
“Yakin?” kata Philia dengan nada penuh curiga. “Kau belum melakukan apa-apa untuk membuatnya jauh dariku kan?”
“Belum tuh. Emang kenapa?” kata Septo penasaran.
Philia berpikir sejenak. “Hari ini dia agak aneh.”
Septo mengerutkan dahi. Jangan-jangan Shan mengatakan sesuatu soal aku? Apa Shan bilang sama Chiko mengenai telepon itu? Tapi kan kenyataan sebenarnya Philia suka pada Shan, bukan padaku—hal yang tak diketahui Shan maupun Chiko. Septo bahkan nggak bertemu Shan dan membicarakan masalah ini lebih lanjut sejak dua hari lalu.
“Menurutku, dia pasti mengalami masalah di keluarganya. Aku yakin,” kata Septo dengan sok tahu. “Kadang-kadang, masalah keluarga bisa membuat seseorang menjadi jauh lebih buruk. Aku punya beberapa contoh yang bisa terjadi pada perubahan sifat seseorang karena masalah keluarga—”
“Ok, ok,” kata Philia mengangkat tangannya. “I got it.”
Septo mengerucutkan bibirnya. “Aku pengen balik ke café kemarin. Cake mereka membuatku ingin makan lagi. Jadi aku beli cake mereka tadi sepulang sekolah. Kau mau makan?”
Mata Philia berbinar. “Kau bawa apa?”
“Hari ini aku mau coba Angelicake sama Banana Pastriy,” kata Septo. “Mereka menyarankan padaku untuk beli. Kata mereka rasanya enak.”
“Aku mau,” kata Philia menarik Septo untuk segera turun ke bawah. Pikirannya mengenai Chiko hilang dalam sekejap.
^^^***^^^
We need to talk,” Shan menerobos masuk ke kamar Chiko. Dengan gelisah dia duduk di bangku computer Chiko. Chiko sendiri kelihatan tidak begitu meresponnya—anak itu menaikan alis melihat Shan nongol lalu memunggunginya dengan tampang bermusuhan. “Dengar, aku tahu kau masih marah soal kemarin. Tapi aku sudah memikirkan masak-masak apa yang harus kulakukan.”
Chiko tak merespon. Ia masih memunggungi Shan.
“Mengenai Philia, setelah kurenungkan dengan lebih seksama, aku hanya menganggap dia sebagai sahabat. Tak lebih.”
Chiko merespon. Ia berbalik dengan alis menaik. “Kau pikir aku bisa percaya dengan omong kosong itu?”
“Ini bukan omong kosong. Ini kenyataan. Aku cuma menganggap Philia sebagai teman. Dan aku sangat yakin mengenai hal itu,” kata Shan mantap.
“Ha,” Chiko geleng-geleng kepala. “Aku tak percaya mengenai itu. Jika kau tanya aku, aku bisa melihat kalau kau sangat menyukai Philia.”
“Aku menyukai Philia sebagai teman!” ulang Shan dengan nada jengkel.
“Kita lihat saja nanti. Waktu Philia tiba-tiba dekat dengan cowok, kau bakal kebakaran jenggot,” Chiko berjalan menyebrangi ruangan, mengambil buku tebal dan membolak-balik isinya dengan tidak focus.
Shan membasahi bibirnya dengan gelisah. “Tapi kenyataannya waktu kau coba-coba mendekati Philia, aku tak merasa kebakaran jenggot.”
“Itu karena Philia tak menyukaiku. Dia membenciku,” Chiko menyerah mengalihkan perhatiannya dari buku. Kali ini dia menatap Shan secara langsung. “Ah, sudahlah, kenapa aku justru membahas hal tak penting? Kalian saling mencintai dan aku cuma pengganggu. Tamat.”
“Kau cuma terlalu berlebihan dan cepat menyerah. Tunggu—” Shan mengangkat tangannya, menghentikan ocehan Chiko yang hendak keluar ketika ponselnya berbunyi. “Dari Philia,” katanya.
“Nah, kan? Apa kau sekarang mau pamer?” gerutu Chiko duduk di atas tempat tidurnya sambil melipat tangan dengan jengkel.
“Sssshhh,” desis Shan. “Ya, Philia?”
“Kau ada dimana?” suara Philia terdengar di seberang.
Shan memutar otak. “Erm, aku masih di sekolah. Perpustakaan.” Shan mengacuhkan dengusan Chiko. “Emangnya kenapa?”
“Nggak apa-apa sih,” kata Philia. “Aku lagi bareng Septo sekarang.”
“Oh,” Shan menanggapi dengan bingung. “Terus?”
“Septo minta aku jadi pasangannya. Bagaimana menurutmu?”
Shan melongo. Otaknya terasa macet. Dia menatap Chiko yang sama bengongnya dengan dia.
“A-a-a-apa?” kata Shan tergagap. “S-S-Septo bilang a-a-apa?”
“Septo minta aku jadi pasangannya dan dia tanya apa kau mengizinkanku pergi berdua dengan dia sebagai pasangan.”
Shan kehabisan kata-kata. Dia harus bilang apa?
“Apa kubilang? Kau bakal kebakaran jenggot,” kata Chiko dengan nada menyebalkan.
^^^***^^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.