STAR BOY
by: Prince
Novel
=====================================
7.
Shan
Kedua saudara itu mungkin sudah lama berpisah. Tapi
anggota StarBoy tahu kalau hubungan mereka tidak baik dan tampaknya cara mereka
berpisah juga sama buruknya dengan kepribadian mereka. Satu Reon saja sudah
cukup memusingkan, apalagi dua yang sifatnya ternyata tak kalah dengan Reon.
“Reon!”
Leon tidak menyerah. Dia membuka pintu dan mengejar Reon yang buru-buru kabur.
Dengan gesit dia menarik Reon untuk berhadapan langsung dengannya. “Tak bisakah
kau mengenyampingkan egomo yang kelewat besar itu cuma untuk bertemu Mom?”
“Tak
bisa! Pergi dari sini dan jangan ganggu aku!”
“Mana
bisa!” Leon ngotot. “Kalau kau tak mau pulang, aku sendiri yang akan
mendeportasimu dari sini!”
“Coba
saja kalau kau bisa!”
Suara
teriakan mereka berdua menarik perhatian yang berlebihan. Beberapa siswa
menatap kearah mereka dengan rasa ingin tahu dan kekagetan karena melihat ada
dua Reon. Andrean yang lebih dulu mengejar mereka segera menyeruak ke
tengah-tengah.
“Hentikan!
Jangan buat keributan disini!” katanya. Rasa cintanya pada Reon lebih besar
dari rasa cintanya pada music. Dia fans berat dari Reon jadi wajar saja jika
dia memihak Reon.
“Jangan
ikut campur!” Leon memelototi Andrean. Andrean dalam sekejap mundur, tidak
seperti saat melihat Reon. Dengan cepat Reon menyingkirkan Andrean dari hadapan
Leon.
“Kau
jangan membentaknya!” bisik Reon tajam. Flo merasakan kalau ada aura neraka
yang tiba-tiba muncul dari punggung Reon. Dalam sekejap dia merinding.
“Kuberitahu padamu, jika aku bilang tak mau pulang maka aku tak akan pulang.
Ini bukan masalahmu dan tak akan pernah menjadi masalahmu. Kalau kubilang Mom
akan baik-baik saja tanpa aku maka dia akan baik-baik saja. Dia lebih memilih
kau. Apa kau lupa?”
Leon
menelan ludah. Melihat tatapan marah Reon membuatnya jadi ciut dalam beberapa
saat. “Tapi kau harus pulang!” dia masih keras kepala.
Reon
memberikan tatapan bengisnya pada Leon untuk membuatnya diam. Efektif. Leon tak
berkata apa-apa lagi. Dia terpaku beberapa saat dan Reon pergi sambil menarik
Andrean.
***
Flo
memang punya rasa ingin tahu yang tinggi. Hanya saja rasa ingin tahunya sering
pada saat yang salah. Contohnya kali ini. Dengan entengnya dia mengundang Leon
ke Loker StarBoy dan bertanya padanya tentang apa yang terjadi tanpa adanya
basa-basi. Dalam sekejap keganasan Leon menguap.
“Jadi,
kalian itu teman-teman Kakakku yang menyebalkan itu?” katanya sinis sambil
melipat tangan. “Apa kalian yang menahannya di Indonesia?”
“Tuduhan
yang tidak beralasan,” kata Alex menutup agenda Osis. “Dia baru datang sekitar
dua bulan yang lalu dari Australia ke sekolah ini.”
Flo
tampak bersemangat. “Kau mirip Reon!”
katanya senang.
“Matamu
buta ya? Kami kembar! Tentu saja kami
mirip!” Leon kesal.
“Bukan
itu maksudnya,” Zacky melompat dari kursinya dan menatap Leon lekat-lekat.
“Baumu sama seperti Leon. Aneh… kembarnya begitu mirip luar dalam.”
Leon
mengangkat kedua alisnya. Apa maksudnya? Ah, tak penting. “Bisa kalian beritahu
dimana alamatnya? Aku tak punya banyak waktu untuk berlama-lama disini. Minggu
depan aku ada pertandingan. Sialan. Disaat begini kenapa Mom malah memintaku
menyuruh si Brengsek itu buat pulang? Bikin repot saja.”
Kali
ini Flo menaikan alisnya. Ada hal yang membuatnya bingung. “Hei, aku mau tanya,
kau ya yang mengirim surat beramplop biru itu pada Reon?”
Leon
menaikan alisnya. “Ya. Kau membacanya?”
“Mengintip
sedikit,” gumam Flo. “Aneh, di surat itu sepertinya kau sangat penyayang dan
lemah lembut. Apa ini sifat aslimu?”
“Kalau
tidak seperti ini dia akan sok hebat,” kata Leon. “Aku sudah hampir melayangkan
tinjuku padanya. Kalau besok dia tak mau pulang juga, kuracuni dia.”
Dia benar-benar iblis!
Batin Esar.
Leon
bangkit. “Sudahlah. Alamatnya akan kucari sendiri. Dia pasti buat alamat palsu.
Entah apa maksudnya berbuat begitu.” Dia pergi sambil membanting pintu.
“Aku
tidak menyukainya,” kata Flo setelah hening beberapa saat.
***
“Kenapa
aku ikut-ikutan menarik tanganmu sih?” Reon mendesah ketika melihat Andrean
yang ada di belakangnya saat mereka ada di parkiran. “Kembali ke Loker sana.”
Reon mengambil helmnya dan menaiki motor besar miliknya.
“Kau
mau kemana?” kata Andrean.
“Kemana
saja. Moodku buat belajar hilang. Kenapa sih anak itu harus datang ke sekolah?
Bikin jengkel saja,” gerutu Reon, dia menstater motornya.
“Leon
itu adikmu kan? Kalau tak salah dia itu atlet taekwondo kan?”
Reon
mengerjap. Bagaimana mungkin Andrean bisa tahu mengenai hal itu?
“Iya.
Memangnya kenapa?”
“Agak
heran saja kenapa dia jadi atlet taekwondo padahal dia punya sifat yang lembut sedangkan
kau jadi musisi padahal kau sangat kasar.”
Reon
kaget kali ini. “Darimana kau tahu kalau dia punya sifat lembut?”
“Hanya
menebak,” kata Andrean mengangkat bahunya.
“Well, karena dia lembut, Ayahku tak mau
dia jadi cengeng karena itu dia memaksanya jadi atlet sedangkan aku yang brutal
ini dia paksa jadi musisi. Mungkin maksudnya baik, tapi hasilnya nihil. Kau
sekarang bisa lihat jadi apa kami sekarang kan?”
Andrean
memutar matanya. “Aku tetap tak mengerti”
Motor
Reon menderu dan dia melesat meninggalkan Andrean di arena parkiran. Andrean
mengerucutkan bibirnya.
“Tapi
Reon,” gumamnya. “Kau sangat ahli memainkan biola yang lembut. Itu artinya kau
tidak brutal kan?”
***
Dipo
merupakan kepala preman. Dia suka agar Reon menuruti keinginannya. Namun, ada
beberapa hal yang membuat anak Australia itu berbeda dari biasanya. Kali ini
dia sama sekali tak bisa diajak kompromi, apalagi diancam.
“Bad
mood?” kata Dipo memberikan sebotol bir pada Reon. Reon menaikan alisnya.
“Minumlah. Ini gratis. Aku tak akan bilang walimu kalau kau minum.”
Reon
menepis tangan Dipo. Botol itu jatuh menghantam lantai.
“Bagaimana
kalau hari ini kita main Reon? Satu lawan satu. Peraturannya kau buat sendiri,”
kata Dipo lagi meremas jemarinya. Reon memberikan tatapan mengerikan padanya.
“Tidak mau ya? Hari ini sepertinya kau pendiam sekali. Tak biasanya kau datang
ke pub pada saat jam belajar.” Sindir Dipo. “Oi!” dia memanggil salah satu
budaknya. “Bersihkan ini!”
“Dipo,
aku mau keluar dari geng,” kata Reon.
Dipo
duduk disebelahnya. “Kenapa tiba-tiba kau mau keluar?”
“Aku
tak mau berkelahi lagi,” kata Reon.
“Wow!”
Dipo bertepuk tangan. “Sejak kapan kau berubah? Luar biasa!”
Reon
bangkit. Dia tak mau berlama-lama di tempat Dipo. “Aku cuma mau bilang itu.
Jangan hubungi aku lagi. Kalau kau memintaku berkelahi dengan cara mengancam
waliku, akan kupastikan adik perempuanmu tak akan selamat.”
Dipo
menelan ludah. “Kau—”
“Kaget?
Kemarin adikmu menyatakan cintanya padaku dan mengaku kalau kau adalah
kakaknya.” Reon tersenyum penuh kemenangan “Jangan sentuh waliku maka aku tak
akan menyentuh adikmu. Apa kau mengerti?”
Reon
menghela napas. Akhirnya setelah sekian lama dia berhasil lepas dari geng
bermotor sialan itu. Dia duduk di salah satu palang jalanan dengan tangan di
atas kepala. Pikirannya tiba-tiba melayang pada masa kelam yang ingin segera
dia lupakan.
Kejadian
yang telah dia janjikan pada diri sendiri tak akan diulanginya lagi untuk kedua
kalinya.
Mengingat
itu membuatnya mual.
“Reon,”
seseorang menepuk bahunya. Flo berdiri tepat disampingnya dengan dahi mengerut
dan tangan berisi penuh dengan bungkusan. “Ngapain kau disini?”
“Aku—kau
sendiri?” Reon balik bertanya.
“Aku
beli jajanan untuk nonton bareng yang lain,” kata Flo memerhatikan Reon dengan
lebih teliti. “Kau juga ikutan dengan kita. Kau kan anggota StarBoy.”
“Nggak.
Makasih,” Reon bangkit, berjalan menjauhi Flo. Tapi Flo memang keras kepala,
dia mengekor di belakang Reon dan mulai mengatakan sesuatu yang tak ingin Reon
dengar.
“Tadi
kami bicara sedikit dengan adikmu, Leon,” Flo memulai. “Aku menyukainya. Dia
sama sepertimu. Kalian memang kembar sejati.”
“Oh.”
“Tapi
Leon sama sekali tak senang saat kami bicara sedikit dengannya. Kau tahu, dia
begitu ingin membawamu pulang. Dia mengatakan sesuatu soal Mamamu. Dia bilang
Mamamu sakit dan memintamu untuk pulang. Maksudku, apa kau tak pernah khawatir
pada Mamamu? Bagaimana kalau Mamamu tiba-tiba mati dan kau menolak untuk
menemuinya? Dan lagipula, aku sedikit penasaran. Leon itu, bagaimana ya
mendeskripsikannya, juga tak senang disuruh datang. Dia menceritakan soal
pertandingan. Memangnya adikmu ikut pertandingan apa? Tangannya keras sekali—”
“Flo!”
Reon berteriak jengkel sehingga pengguna jalan menoleh keheranan pada mereka.
“Dengar, aku sama sekali tak ingin mendengar apapun soal Leon dan keluargaku.”
“Loh?
Kenapa?”
“Kau
tak mengerti apa yang terjadi pada keluargaku, Flo.”
“Kalau
begitu ceritakan maka aku bisa mengerti.”
“Ini
tak semudah yang kau pikirkan,” gerutu Reon jengkel. Dia kembali memasukan
tangannya ke saku celana dan berjalan kembali menjauhi Flo.
Flo
masih mengikuti dari belakang. “Aku akan mendengarkan.”
“Aku
tak akan mengatakan apa-apa!” tukas Reon.
“Kalau
kau tak mengatakan apapun, bagaimana kami bisa mengerti?” gerutu Flo menghadang
langkah Reon.
Reon
terpaksa harus berhenti kembali. Dia menatap Flo dengan kesal sementara
tangannya mengepal keras. Dia berupaya sekuat tenaga untuk tidak memukul Flo.
“Aku
juga dulu orang yang keras kepala,” kata Flo. “Kerjaku cuma berantem dan
membuat yang lain kesal. Tapi lihat seperti apa diriku sekarang.”
“Aku
tak melihat ada banyak perubahan,” balas Reon.
Flo
mendecak jengkel. “Ok. Aku memang tak banyak berubah. Tapi aku punya banyak
teman sekarang. Dan aku merasa hidupku lebih baik.”
Reon
tertawa sinis. “Oh, ya, teman-temanmu itu mendengarkanmu karena kau lebih jago
berkelahi dibandingkan mereka. Kau tak pernah tahu apa yang mereka pikirkan
karena kau selalu memaksakan kehendakmu pada setiap orang, sama seperti
yang kau lakukan padaku sekarang!” suara Reon menaik. “Dan aku minta
padamu untuk menyingkir dari hadapanku! Semakin kau bertingkah seperti ini,
maka kau membuat keadaanku menjadi lebih sulit!”
Reon
menyingkirkan Flo dengan jengkel lalu berjalan cepat meninggalkan Flo.
Flo
terbengong. Tak bisa berkata apa-apa.
###StarBoy###
Andrean
melonjak saat Flo masuk ke kamarnya sambil membanting pintu.
“Kau
kenapa?” kata Alex dengan dahi mengerut.
“Reon!”
“Kenapa
dengan dia?”
“Dia
membuatku jengkel!” gerutu Flo mondar-mandir.
“Bukannya
dia selalu membuatmu jengkel?” kata Zacky mengalihkan perhatian dari TV.
“Tapi
kali ini dia lebih menyebalkan,” kata Flo lagi tak sabar.
“Memangnya
apa yang dia katakan padamu?” kata Alex lagi. Dia duduk dengan tenang di atas
tempat tidur Andrean.
“Dia
menyuruhku untuk tidak mencampuri urusannya!” kata Flo jengkel.
Aster
menaikan alisnya. “Wajar kan? Dia memang individualis. Apa masalahmu?”
“Masalahnya,
aku penasaran sekali padanya!” kata Flo lagi. “Dia punya seorang adik kembar
yang bahkan tak dia sukai, lalu ayah yang suka memukulnya kemudian wali
sekaligus guru. Aku ingin tahu apa yang terjadi! Tapi dia melarangku!”
“Flo,
dia tak ingin kau mengusir privasinya,” kata Esar.
“Dan
aku begitu penasaran kenapa dia selalu luka-luka!” kata Flo lagi tak
mendengarkan.
Andrean
menghela napas dan mengambil bungkusan yang dibeli Flo sambil bergumam pelan,
“Aku tak menyangka kalau kau perhatian sekali pada Reon, Flo.”
Flo
berhenti melangkah. Dia menatap Andrean dengan tatapan bengong.
“Aku
tidak perhatian padanya. Aku cuma penasaran,” kata Flo.
“Aku
juga penasaran dengan apa yang terjadi pada Reon. Tapi kita tak bisa buru-buru,
Flo,” kata Andrean lagi. “Dua tahun yang lalu dia menghilang begitu saja dari
dunia musik dan sekarang muncul dengan keadaan yang sedikit mengenaskan. Aku
tahu pasti ada yang terjadi walau aku tak tahu apa.”
“Kau
fansnya, Andrean. Kau pasti tahu ada yang terjadi,” kata Flo menarik kursi dan
duduk menghadap Andrean. “Nah, ceritakan padaku apa yang terjadi. Kau pasti
tahu kehidupan Reon kan?”
Aster
kembali menaikan alisnya. “Aku tak yakin Andrean akan memberitahukanmu soal
Reon.”
“Memangnya
kenapa?” kata Flo lagi jengkel.
“Karena
memang tak ada soal kehidupan Reon selama ini,” jawab Andrean. Dia bangkit,
mengambil majalah, koran dan kliping yang seluruh isinya tentang Reon. “Lihat,
aku penggemarnya sejak dulu. Tapi masalahnya, tak ada yang satupun berita yang
bisa menembus kehidupan pribadinya. Dari cerita publik, aku cuma tahu dia hidup
rukun dengan keluarganya. Tak ada berita jelek tentangnya. Dan asal kau tahu
saja, di koran ini malah mengatakan kalau IQ Reon sekitar 143.”
Flo
mengambil koran yang ditunjuk Andrean dan membacanya dengan cepat. Setelah
beberapa detik, dia mengadah dengan mata yang lebih melotot.
“Wow,
aku punya saingan kalau begitu,” kata Zacky memakan es krimnya.
“Aku
memang mendengar ada rumor yang tak beres sebelum dia benar-benar menghilang
dari dunia musik. Tapi rumor itu musnah sebelum aku bisa membaca kejelasan
ceritanya. Kupikir Ayah Reon memiliki koneksi yang besar pada beberapa media
sehingga bisa meredam rumor itu. Jadi intinya, aku tak tahu apa yang terjadi.”
“Rumor
apa?” kata Alex penasaran. “Pasti kau tahu sedikit kan?”
“Yah...
aku dengar kalau Reon membunuh orang,” kata Andrean.
“APA?”
yang lain terkaget.
“Aku
juga kaget tahu. Tapi sama seperti kalian, aku tak bisa memastikan apakah rumor
itu benar atau tidak. Aku ingin sekali memastikannya pada Reon. Masalahnya, aku
yakin Reon tak akan mau membahasnya.”
Andrean
mengangkat kedua bahunya dan membuka bungkusan makanannya dengan susah payah,
sehingga Esar terpaksa bangkit dari tempatnya dan membantunya membuka bungkusan
itu.
“Apa
tak lebih baik kalau kita bertanya langsung pada walinya Reon, si Rudolph?”
kata Aster.
“Jangan,”
kata Zacky serius. “Kalian akan merusak kehidupan Reon.”
“Kenapa?
Kami cuma ingin tahu,” kata Flo.
“Flo,
lebih baik kau tidak mencampuri urusan Reon. Benar yang dikatakan Reon, kau
akan membuat keadaannya jadi lebih sulit,” kata Zacky. “Reon pindah kesini
untuk menghindari segala hal yang ada di Australia. Dia cuma ingin memulai
kehidupan yang baru. Jadi lebih baik kalian tidak merusak saat ini karena masa
lalu.”
“Zacky
benar, Flo,” kata Andrean menepuk bahu Flo. “Ada hal-hal yang tak ingin
diceritakan oleh Reon dan lebih baik kita membiarkannya jadi rahasia.”
###StarBoy###
0 komentar:
Posting Komentar