RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 18 November 2011

Philia - Chiko (Paper 2)

by: Prince Novel

Dua

Philia menguap sambil meregangkan tubuhnya. Setelah dia pulang dari ibadah Minggu pagi, dia segera mengganti bajunya dan tidur dua jam. Terry ada di lapangan, bermain dengan anjing Samoyed milik Shan yang namanya Dhito, dari tadi dia menggonggong terus. Kalo peliharaan Septo adalah maltase seputih salju dengan bulu-bulu panjang, jadi nggak bisa bebas main dengan anjing superbig seperti Terry dan Dhito. Septo lebih sering mengurungnya. Anjing yang malang.

Suara biola Shan terdengar dari balkonnya. Dia mengintip sejenak dan mendapati cowok itu lagi bermain dengan biolanya. Philia bisa melihat Shan ada di kamarnya, dari jendela kamarnya yang terbuka lebar. Cowok itu benar-benar kelihatan keren banget kalo udah mainin biola, bahkan cewek-cewek yang kebetulan lewat sempat berhenti cuma untuk melihatnya.

Philia manyun. Aduh, cewek-cewek itu bikin jelek pemandangan aja! Kakinya segera melangkah menuju tempat tidurnya dan menyambar ponsel terdekat. Dia menghubungi seseorang dan cepat-cepat melihat ke balkon lagi.

Shan berhenti memainkan biolanya, bergerak sedikit dan menempelkan sesuatu di telinganya. “Halo?” katanya.

“Ada tiga cewek nangkring di depan rumahmu!” kata Philia.

Shan bergerak, membuka lebar jendelanya dan menyusup keluar. Dia menunduk dan melambai pada tiga cewek yang balas melambai padanya sambil cekakak-cekikik. Kemudian dia ganti melihat Philia dan tersenyum. “Thanks ya!”

“Sejak kapan kau punya banyak secret admirer begituan?” kata Philia.

Shan tertawa. Suaranya enak sekali. “Sejak SD! Mana Septo? Suruh dia keluar dari kamarnya, gih.”

Philia menutup ujung ponselnya, mengisi udara di paru-parunya kemudian bereriak, “SEPTO! KELUAR GIH!”

Septo muncul lima detik kemudian dari sebelah jendela kamarnya. Cowok itu memegangi Maltesa di tangan kirinya dan tangan yang satunya menyingkirkan gorden. “Apaan sih? Berisik tahu! Aku lagi main!”

Philia dan Shan tertawa berbarengan.

“Apa itu yang kau tempel pada Maltesa?” Philia mengerutkan dahinya melihat Maltesa—yang bulunya tak lagi berwarna putih—dipenuhi dengan kabel-kabel panjang dan tempelan tak jelas.

“Aku sedang menguji coba penemuanku yang terbaru,” kata Septo dengan nada penuh kebanggaan.

“Apa? Alat untuk bicara dengan anjing?” suara Shan terdengar di balik telepon dan Philia menyampaikannya.

“Tepat!” kata Septo cepat. “Kalo penemuanku berhasil, maka aku akan tercatat sebagai salah satu orang berbakat di dunia,.”

“Kau akan tercatat sebagai siswa SMK paling gila sejagad raya,” tukas Shan dari telepon dan Philia tertawa. “Ah, Philia, ada tamu datang ke rumahmu tuh.”

“Siapa?”

“Nggak tahu. Cowok.”

Philia mengerutkan dahinya. Dengan cepat dia menutup teleponnya dan berlari-lari kecil menuju depan pintu. Memang ada seseorang yang datang ke rumahnya. Bel di rumahnya berdering begitu keras saat dia sudah memasuki ruang depan. Terry menggong-gong keras sekali sementara Dhito juga ikut-ikutan.

“Terry! Dhito! Jangan!”

Philia melompati kebun kecilnya dan segera membuka pintu gerbang lalu ternganga, nyaris saja pingsan melihat Chiko ada disana.

“Hai,” sapa Chiko.

“Hai, bye!” kata Philia dan buru-buru menutup gerbang kembali. Tapi Chiko lebih cepat, dia mengulurkan tangannya melewati pintu gerbang dan hampir saja terjepit kalau saja Philia tak segera menghentikan pintunya. “Mau apa kau ke rumahku?” kata Philia jengkel.

“Mau main. Bolehkan?”

“Nggak boleh! Sekarang pulang! Aku nggak mau lihat tampangmu di hari Minggu!” Philia menjerit frustasi.

“Jangan gitu dong. Aku malah pengen lihat tampangmu tiap detik,” kata Chiko lagi. “Aku bawa makanan nih. Kita makan bareng-bareng yuk.”

“Nggak mau. Sekarang pergi!” gerutu Philia jengkel.

“Aku bawa spaghetti kesukaanmu nih,” kata Chiko lagi.

Philia menyipitkan matanya. Habis sudah kesabarannya. Dia menarik napas dan berteriak, “SHAN! SEPTO!” keras sekali dan membuat telinga Chiko berdenging.

“Li, aku kan nggak menculikmu atau apa. Jangan teriak-teriak napa?” gerutu Chiko menggosok-gosong telinganya. “Aku cuma mengajakmu makan. Emangnya nggak bisa ya?”

“Nggak! Sekarang pulang!” Philia mendengus jengkel. Dia mencoba menutup kembali gerbangnya. Tapi lagi-lagi Chiko menghalanginya. “Aduh, kau ini sebenarnya mau apa sih?”

“Ada masalah disini? Kau siapa?”

Philia melonjak kesenangan. Dia membuka gerbang dan segera menyusup ke belakang punggung Shan dan Septo yang sudah nongol di belakang Chiko. Gaya mereka berdua memang seperti bodyguard sejati: tangan dilipat, mata penuh menantang dan tampang yang oke.

Chiko menaikan alisnya. Oh, jadi ini dua pengawal yang dimaksud Steave.

“Hai, aku Chiko,” kata Chiko ramah.

“Suruh dia pulang,” kata Philia mendesis jengkel pada Shan.

“Chiko?” Septo mengulang, mengerutkan dahinya. “Ah, kau cowok yang gangguin Philia selama ini di sekolah kan?” katanya lagi menjentikan jarinya. Lalu dia menatap Philia. “Kau nggak bilang kalau dia lumayan cakep.”

Philia mencubit Septo. Jengkel. “Apanya yang cakep?” gerutunya.

“Kau mau apa disini?” kata Shan pelan. Matanya menatap Chiko dengan pandangan tak senang. “Rasanya Philia udah mengusirmu, jadi kenapa kau masih nongol disini?”

Chiko harus mengakui kalau perkataan Steave benar lagi. Pasti cowok ini yang namanya Shandy. Kalau diperhatikan baik-baik, dia memang kelihatan seperti seorang malaikat. Tampang oke, gaya oke dan charisma. Heh. Di luar dugaan, saingannya lumayan boleh juga.

“Aku sudah beli makanan. Mana mau aku makan sendirian,” kata Chiko enteng, menunjukan bungkusan plastik yang dari tadi dia pegang. “Dia nggak bilang kalau kami lumayan akrab di sekolah?”

Philia melotot. “Usir dia,” desisnya lagi. “Aku mau melalui hari Mingguku dengan tenang.” Dia memaksa Shan.

Shan menghela napas.

“Itu apa?” kata Septo dengan mata berbinar.

Sphagetti,” jawab Chiko.

“Kau makan denganku saja. Ayo ke rumahku. Lagipula aku sedang lapar. Ini kan jadwal makan siang.”

“Apa?” Chiko terbengong. Shan berdeham, menyamarkan tawanya.

Septo cepat-cepat merangkul Chiko. “Namaku Septo. Aku benar-benar beruntung bertemu denganmu hari ini. Sepertinya kau orang baik. Aku ingin sekali ngobrol denganmu. Jarang-jarang Philia komentar soal cowok. Aku jadi penasaran setengah mati kau ini seperti apa.”

Chiko mengerjap mendengar Speto bicara tanpa henti. Ketika dia menoleh ke belakang, Shan dan Philia melambai padanya.

“Haha! Selamat mendengarkan Septo!” kata Philia tanpa suara, lalu menjulurkan lidahnya seperti anak kecil.

^^^***^^^

Steave segera menyambut Chiko di depan kelas saat cowok itu nongol di depan pintu. Tampangnya bête abis. Cepat-cepat dia ke sisi Chiko dan berkata pelan, “Gimana semalam pedekatenya? Berhasil nggak?”

“Apanya yang berhasil? Gue ngabisin waktu selama tiga jam cuma buat dengerin penjelasan nggak masuk akal soal arus bolak-balik,” gerutu Chiko meletakan tasnya ke mejanya. “Temennya si Lia yang namanya Septo itu benar-benar sinting. Gue heran kok cewek itu bisa tahan sama cowok yang bisanya ngomong bahasa mesin!”

Steave ngakak. “Gue kan udah ngasih tahu elo kalo mereka berdua itu berbahaya banget. Bukan saingan elo. Udahlah, menyerah aja!”

Chiko membuka tasnya, mengeluarkan buku Kimia. “Siapa bilang gue bakal nyerah gitu aja. Semakin susah di dapet, bukannya cewek itu justru jadi lebih menarik?”

Lagi-lagi, Steave geleng-geleng kepala. “Elo benar-benar perlu memeriksakan otak lo itu ke rumah sakit. Elo benar-benar nggak bisa lagi bedain mana cinta sama obsesi, Sob.”

“Berisik lo. Cinta sama obsesi kan sejalur,” gerutu Chiko. “Minggat sana lo. Jangan ganggu gue. Gue mau belajar buat ngalahin si Lia buat tes minggu ini.”

Tapi Dewi Fortuna tidak berpihak pada Chiko minggu ini. Cowok itu kalah lima angka dari Philia. Ketika dia ada di depan pengumuman, Philia tersenyum penuh kemenangan kemudian pergi sambil melenggang. Chiko nyaris saja ketawa melihat tingkah kekanak-kanakannya itu. Dia benar-benar lucu.

“Kalian itu kayak dua macan yang memperebutkan tanah kekuasaan kalian tahu nggak,” komentar Gina mengikuti Philia meninggalkan papan pengumuman. “Untung aja Chiko nggak ambil pusing soal tingkahmu itu dan bersikap dewasa, jadi aku nggak perlu khawatir kau bakal diapa-apain sama dia.”

Philia berbalik, memeluk buku matematika dengan jengkel. “Gina, aku baru aja merasakan kemenangan karena berhasil mengalahkan dia. Jangan rusak kesenanganku!”

Gina menghela napas. “Apa kau nggak sadar kalau dia suka padamu?”

Sekejap, Philia tampang bengong, lalu detik berikutnya, dia malah tertawa terbahak. “Mana mungkin! Dia itu kan seperti man on the earth yang nggak punya cewek lain yang bisa digangguin selain aku.”

“Tepat,” sambar Gina cepat. “Itu berarti dia naksir padamu kan?”

“Mana ada cowok di dunia ini yang sukanya mengganggu cewek yang dia taksir.” Philia membalas jengkel. “Kalaupun ada,” tambahnya saat Gina hendak membalas. “Itu berarti cowok itu udah gila. Nggak waras! Ada kelainan!”

Astaga, dia benar-benar tutup mata soal Chiko, batin Gina. “Mungkin aja Chiko sengaja berbuat begitu supaya kau menyadari keberadaannya,” Gina mencoba lagi.

Philia menggigit bibirnya. “Gina, kau naksir dia ya? Kok dari tadi bicarain dia mulu?”

“Iya. Aku suka dia,” kata Gina cepat.

Philia melotot. Apa?

“Dia cowok yang baik dan menurutku, kau dan dia akan jadi pasangan yang cocok. Sebagai teman, aku pengen banget kau punya cowok yang baik.”

Philia mendengus. Aku sekarang mengerti maksudnya apa. “Kau gila! G-I-L-A!”. Kemudian setelah menghentakan kakinya, dia berbalik dan berjalan cepat menuju kelas. Ponselnya berdering saat dia sudah duduk di mejanya.

“Apa?” katanya jengkel saat mengangkat telepon.

“Kau kenapa?” suara Shan terdengar di seberang. “Apa Chiko mengganggumu sampai-sampai aku pun jadi kena semprot?”

Ini karena pembicaraan nggak penting yang bilang Chiko naksir aku! Tapi Philia tak mungkin bilang itu pada Shan. Bisa-bisa Shan langsung lari terbirit-birit kemari, membawa cello dan menimpuk Chiko dengannya. Ngeri membayangkan hal itu bisa terjadi. Jangan sampai tangan Shan terpakai buat nimpuk orang, cukuplah buat main musik.

“Sori. Ini bukan karena Chiko kok. Ini gara-gara Gina,” gerutu Philia.

“Gina? Gina siapa?” kata Shan lagi.

“Sobatku di sekolah. Ah, sudahlah. Ada apaan sih? Tumben nelepon jam segini.”

Shan diam sejenak selama beberapa detik.

“Shan?” kata Philia mengerutkan dahi.

“Oh, sori, ada cewek yang baru ngasih aku syal. Tunggu bentar ya.”

Philia menatap ponselnya. Ada cewek yang baru ngasih Shan sebuah syal? Tiba-tiba Philia merasa jengkel. Apaan sih cewek itu? Nyebelin banget! “Shan! Kan kau sendiri yang nelepon aku. Kalo nggak ada hal penting, aku tutup nih.”

“Bentar, Li,” kata Shan, lalu suara cewek yang lain terdengar di telepon—dengan gaya manja super nyebelin, “Kak Shandy, aku buatin syal buat Kakak. Aku buat sendiri loh.”

Philia yakin seratus persen dan berani bersumpah atas seluruh bumi dan isinya kalau syal itu pasti dibeli.

“Makasih ya, tapi aku nggak bisa. Sori banget,” kata Shan lagi.

Bagus Shan! Seperti itu! Kau kan bukan pacarnya, ngapain dia ngasih kau benda begituan? Lagian cuaca kan lagi ekstra panas. Kau mau pake syal waktu kapan?

“Tapi, Kak—”

“Aku lagi nelepon, nih,” Shan memotong.

Philia melonjak kesenangan. “Yup, begitu Shan. Usir aja mereka!”

Shan tertawa waktu mendengar itu. “Mereka udah pergi kok. Sori, ya, kau jadi harus mendengar hal memalukan begitu.” Kemudian dia berhenti. Terdengar suara gerasak-gerusuk di seberang. “Langsung aja nih, sekolah kami kan bikin pentas seni. Nah, aku bikin acara solo konser. Cuma dua lagu, nggak banyak. Kau mau nonton? Tiketnya limited neh. Biar aku langsung pesan sama Osis.”

“Kau ngajak Septo nggak?” kata Philia.

“Udah. Tapi dia bilang ada seminar waktu acara aku. Dia bisa datang, tapi nggak bisa nonton aku pentas. Nah, kau sendiri mau nonton nggak?”

“Bisa aja, sih. Tapi masa aku nonton sendiri?”

“Nggak ada yang bisa kau ajak di sekolahmu? Temanmu si Gina itu gimana?”

Mata Philia membulat. “Oke. Aku sama Gina bakal datang.”

^^^***^^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.