RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 20 Oktober 2011

Philia Chiko (Paper 1)

by: Prince Novel

Satu

Chiko Handanamuda, begitulah dia dipanggil. Baru kembali dari Kanada karena bosan setengah mati di negeri orang sana dan sadar betul kalau tampangnya cakep. Selama di Kanada, tak habisnya cewek-cewek itu mengekorinya kemana-mana. Dia mulai suntuk dengan tingkah bebas disana.

Walau berat hati meninggalkan Kanada, dia toh berangkat juga. Awalnya dia merasa kalau Indonesia tak jauh beda dengan Kanada. Tapi ternyata dia salah.

Jika di Kanada tak ada cewek yang membuatnya tertarik, maka disini dia menemukan satu orang yang membuatnya penasaran setengah mati.

Philiana Anastasia, Chiko tak hentinya menyingkirkan nama itu dari pikirannya sejak dia bertemu gadis itu. Malah, semakin dia berusaha menyingkirkannya, wajah gadis mungil itu muncul terus seperti di depan matanya sendiri. Chiko masih bisa membayangkan wajah gadis itu: dia cantik, mungil, imut, matanya bulat berwarna hitam dengan bulu mata yang lentik, rambutnya tak pernah lepas dari bando putih, membuat gadis itu semakin manis di matanya.

Cewek itu tak seperti yang lain. Philia membencinya.

Pertama kali Chiko melewati gadis itu saat hari pertamanya masuk sekolah, Philia tidak memandangnya. Bahkan Chiko sempat mendengar pernyataan mengejutkan dari gadis itu mengenainya, “Siapa? Chiko siapa? Nggak tahu.”

Astaga. Chiko benar-benar tak percaya kalau gadis itu tak mengenalnya. Padahal kan dia sudah cukup terkenal pada semua gadis di sekolah itu. Dan Chiko semakin tertarik lagi begitu mengetahui kalau gadis yang satu itu hampir menolak seluruh lelaki yang nembak dia. Apaan sih? Emangnya dia begitu sombongnya sampai-sampai nggak tertarik sama cowok?

“Idih, Gina!” Philia kelihatan gemas pada Gina karena mengomentarinya menolak cowok super ganteng dari kelas tiga. “Nggak ada yang lebih ganteng daripada Albert Einstein.”

“Dasar gila!” gerutu Gina. “Albert Einstein itu udah beruban, tua, jelek lagi! Sadar dong, Li. Mau sampe kapan sih pacaran sama sains?”

“Sampe ada cowok yang lebih keren dari sains!”

“Mana ada cowok begituan.”

“Bodo!”

Chiko geli sendiri mendengar percakapan mereka di taman. Ya, ampun. Di dunia ini masih ada aja cewek yang ngidolain Einstein? Luar biasa!

Akhirnya karena penasaran, Chiko memberanikan diri untuk mengenal Philia. Kalau tak salah, waktu itu Chiko mengulurkan tangannya pada Philia di perpustakaan, menanyakan namanya dan meminta berteman dengannya. Jujur saja, Chiko belum pernah berkenalan dengan gadis terlebih dahulu dan endingnya benar-benar memalukan.

“Oh, hai. Bye,” kata Philia melenggang pergi, meninggalkan tangan Chiko yang masih menjulur.

Astaga, cewek itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Emangnya aku kuman apa sampai-sampai dia bahkan tak mau menjabat tanganku?

“Aku ngeri ngeliat cowok yang nongol tiba-tiba, terus mengulurkan tangannya dan bertanya namaku. Gimana kalau dia orang jahat?” Philia curhat sama Gina sambil memeluk bukunya. Langkah kakinya cepat sekali.

“Dia itu Chiko,” kata Gina.

“Nggak kenal. Bodo amat deh.”

Akhirnya Chiko sadar kalau Philia lebih tertarik pada cowok terpintar di dunia daripada cowok terganteng di dunia. Lihat aja, dia hapal nama Kunabalang dan segudang prestasinya di biologi padahal tampangnya aja bikin Chiko mau muntah. Atau Si Auna, anak A-1 yang kacamatanya aja lebih tebal dari pantat botol. Bahkan dia berteman dengan akrab pada Luka yang bahkan tak mau bicara kalo bukan soal Matematika melainkan dengan rumus-rumus belibet yang jelas-jelas bukan bahasa umum.

Benar saja, begitu Chiko mengambil peringkat pertama Philia dalam salah satu ujian, gadis itu langsung mengingat namanya dan—tentu saja dengan tambahan—rasa permusuhan. Gadis itu tak bisa melihatnya dengan ramah apalagi penuh kelembutan. Chiko lama-lama terbiasa dengan sikapnya dan malah merasa kalau tingkah Philia sangat menggelikan.

Ya, ampun, cewek satu itu benar-benar membuatnya ingin tertawa terus. Entah kenapa dia merasa senang sekali menggoda cewek itu. Apalagi melihatnya marah. Gadis itu semakin terlihat manis.

^^^***^^^

Philia melipat tangannya, terlihat jengkel.

“Ya ampun. Aku kan cuma nganterin ke sekolahmu. Jutek amat,” kata Shan melepas helmnya. Dia memperhatikan ke dalam gerbang sekolah. “Mana cowok yang namanya Chiko?”

“Shandy Rukianto,” gerutu Philia. “Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.”

Shan masih melirik gerbang. Setengah berharap ada salah satu cowok yang dikerubutin cewek lalu memanggil Philia. Akhirnya, karena tak mungkin hal tersebut bakal ada, Shan memperbaiki letak gendongan tas biolanya dan tersenyum. “Iya, deh, aku percaya. Tapi, seperti yang kubilang tadi, Lia, kalau ada apa-apa kasih tahu aku oke?”

Philia menangguk cepat. “Udah, pergi sana! Entar telat lagi. Bukannya kau ada manggung?”

“Oh, ya, benar,” Shan memakai helmnya kembali. Dia menghidupkan mesin motornya dan seraya memberikan lambaian, motornya melaju pergi.

Philia geleng-geleng kepala. “Cowok satu itu benar-benar deh,” gumamnya.

“Ehem!” Gina nongol sambil menepuk bahunya dan kelihatan berbahagia sekali. Philia sampai melonjak sanking kagetnya.

“Ih, Gina! Ngagetin tahu! Gimana kalo aku tadi sakit jantung?” gerutu Philia.

Gina tak mendengarkan. Dia masih tersenyum penuh arti. “Siapa tuh?”

“Siapa apanya?” kata Philia bingung.

“Cowok super ganteng bak pangeran dengan motor keren dan seragam sekolah super elit. Cowok yang nganterin kau kesini,” kata Gina cepat.

Wah, kalau saja Septo dengar istilah itu, maka dia bakal ketawa ngakak. “Teman.”

“Yakin?” Gina kelihatan tak percaya. Philia menatapnya lekat-lekat lalu mengangguk mantap. “Tapi kok aku merasa dia sebagai cowok yang lebih dari teman ya?”

“Sahabat kalau begitu,” kata Philia cepat.

“Aduh, Lia. Aku serius. Cowok itu sebenarnya siapa sih?” gerutu Gina.

Philia masih melenggang. Ini bukan pertama kalinya ada cewek bertanya hal yang sama mengenai Septo ataupun Shan. Mereka berdua—walau Philia ogah jujur—emang ganteng dan menarik perhatian. Kalau Philia cerita, mereka berdua pasti sok keren. Apalagi Septo.

“Aku kan emang ganteng!” itu katanya dulu. Cuih. Amit-amit!

“Lia, itu cowok siapa sih?” kata Gina penasaran.

“Kenapa? Naksir?” kata Philia.

“Iya. Kalo dia emang belum punya cewek, kenapa nggak coba comblangin temanmu ini padanya? Kan jarang banget aku ketemu cowok keren,” kata Gina, lalu ketawa.

Philia memutar kedua bola matanya. “Waduh, gimana ya?” kemudian tertawa. “Masalahnya kau harus antri dulu. Soalnya ada banyak cewek ngantriiiiiiiiiiiii jadi pacarnya.”

“Salah satunya kau?” mata Gina menyipit menggoda.

“Aku cuma suka Albert Einstein,” timpal Philia cepat. “Aduh, udah, ah, Gin. Aku mau siap-siap buat tes besok. Mau ke perpus dulu.”

“Ini masih pagi tahu!” Gina mempercepat langkahnya, mencegah cewek cantik itu masuk kembali ke perpustakaan. “Lagian tesnya besok. Mau sampe kapan memelototi buku terus? Lama-lama matamu bisa berubah jadi buku.”

“Bagus, dong, jadi waktu ujian otakku nggak perlu mikir lagi.”

Susah deh melawan Philia dan akhirnya Gina menyerah.

Saat Philia sudah menginjakan kaki ke perpustakaan ada satu sosok yang membuat keinginannya berubah total. Dengan cepat dia berbalik ke belakang dan buru-buru keluar dari perpustakaan sampai kemudian ada satu suara yang paling dibencinya menyapanya.

“Hai, Lia,” kata Chiko.

“Hai, bye,” kata Philia cepat.

Chiko belum menyerah. Cowok itu segera kesisi Philia dan tersenyum seperti orang gila. “Kok buru-buru sih? Bukannya tadi kau niat ke perpustakaan?”

Philia menggerutu. “Bisa nggak sih kau jangan ikuti aku terus?”

Alis Chiko terangkat. “Aneh, ini kan jalur menuju kelasku.”

Philia menggigit bibirnya. Perasaannya jengkel sekali menghadapi cowok yang satu ini. Kenapa dia tak menyerah saja dan segera enyah dari hadapannya? “Oke, kalau begitu silakan jalan duluan," kata Philia berhenti.

Chiko berhenti. “Lalu, kau mau kemana?”

“Perpustakaan.”

“Ah, aku juga mau ke perpustakaan. Gimana kalau kita sama-sama belajar?”

IIIIIH! Philia benar-benar kehabisan akal menghadapi cowok yang satu ini. Sabar. Philia menarik napas dalam-dalam. Melihat wajah menyebalkan Chiko—yang kelihatan begitu puas menggodanya—membuat Philia harus menahan keinginan untuk meninju cowok itu.

“Aku berubah pikiran. Aku mau ke kelas dan nggak mau dekat-dekat kau.”

Chiko tertawa. “Memangnya kenapa sih? Jangan bilang kau masih marah karena aku mengambil peringkat satumu lagi.”

“Aku—”

“Lia!”

Philia berhenti membalas karena mendengar namanya dipanggil. Segera saja rahangnya jatuh dan matanya melotot melihat siapa cowok yang baru saja memanggilnya. Septo. Ngapain anak itu ada disini?

“Siapa itu?” kata Chiko mengerutkan dahinya.

Philia tak menjawab. Cepat-cepat dia berlari menuju Septo yang memanggilnya dari gerbang. Septo benar-benar menarik perhatian. Lihat saja, murid-murid yang ada disekitarnya mulai meliriknya. Septo punya wajah yang tampan, baby face sekali dengan matanya yang jenaka, senyumnya yang tulus dan rambutnya yang coklat. Apalagi hari ini dia bawa motor sport bike-nya yang baru.

“Ngapain kau datang kesini?” desis Philia mengecak pinggang.

“Jahat ih, aku kan cuma mengantar pesanan Mamamu,” kata Septo. Dia mengambil tasnya, mengaduk-aduk isinya dan mengeluarkan sebuah buku ekstra tebal padanya. “Nih, katanya buku biologimu ketinggalan di ruang depan. Bukannya hari ini kalian ada praktikum?”

“Oh, iya!” Philia memukul kepalanya sendiri. “Bego bener deh.” Kemarin dia ketiduran dan meninggalkan buku itu di ruang depan. “Makasih, ya.”

“Eh, jangan cuma makasih aja dong. Imbalannya mana?” kata Septo lagi. Dan saat Philia memelototinya, cowok itu tertawa dan buru-buru pamit. “Nggak jadi deh. Aku takut dicakar.”

Philia hendak menimpuk Septo dengan buku itu. Gagal. Septo sudah pergi duluan sambil tertawa terbahak.

^^^***^^^

Chiko menguap, matanya memandangi whiteboard dengan tatapan kosong. Hari ini kelas kosong, gurunya sedang berangkat ke Semarang dan anak-anak sedang berpesta pora.

“Chik,” Steave, sang Ketua Kelas duduk di mejanya setelah menimpuk kepalanya dengan buku absensi. “kenapa lo? Bengong mulu dari tadi.”

“Elo sendiri ngapain gangguin gue mulu, Steave?” gerutu Chiko. Matanya kembali melirik buku matematika yang menampilkan gambaran grafik yang menyebalkan.

“Ah, elo nggak usah pura-pura deh,” Steave menyingkirkan buku itu ke seberang meja. “Bilang aja lo lagi stres mikirin cowok yang tadi pagi nganterin buku buat si Philia, iya kan? Tebakan gue bener kan?”

“Sok tahu lo,” gerutu Chiko.

Anehnya, Steave tersenyum-senyum sendiri kayak orang goblok. “Ya iyalah, soalnya gue kan kenal sama cowok itu.”

Oke, perhatian Chiko teralih. “Oh, ya? Siapa?”

Steave nyengir lebar. “Nah, kan, bener dugaan gue? Elo stres mikirin cowok itu.”

“Rese lo!” Chiko mengumpat. “Nggak usah berbelit-belit napa? Itu cowok siapa sih? Kok kayaknya super lengket gitu sama Lia?’

“Itu Septo. Sobatnya si Philia sejak lahir. Anak SMK Dermaga jurusan Elektro dan Robotika. Payah lo, nggak usah saingan sama dia,” kata Steave lagi dan karena Chiko nggak ngerti maka dia melanjutkan. “Soalnya dilihat dari segi manapun, Septo tetap lebih oke dari elo.”

“Oh ya?” Chiko tak terkejut. “Kok gue ngerasa nggak kayak gitu? Kalo dilihat dari tampang, jelas-jelas gue lebih cakep dari Septo.”

Steave ngakak. “Pede banget sih lo! Lo kan tahu sendiri kalo Philia nggak pernah lihat cowok dari tampang! Ngaca dong lo.”

“Tapi gue kan jelas-jelas cerdas, kalo nggak mana mungkin Lia sampe sebegitu bencinya sama gue,” kata Chiko dan Steave semakin ketawa. “Eh, nyamuk! Jangan ketawa aja dong lo!”

“Nyerah aja lo, Chik, kalo nggak elo bakal terlibat cinta segiempat,” kata Steave lagi. “Gue aja nggak mau lagi naksir betulan sama si Lia.”

Dahi Chiko mengerut. “Cinta segiempat? Kan cuma gue, Septo ama si Lia kan? Ngaco lo, itu segitiga, bukan segiempat!”

Steave tersenyum lagi. “Ups, gue lupa bilang yang satu lagi. Ada satu lagi cowok super cakep disamping si Lia. Namanya Shandy, anak Seni dari Sekolah Music Gliendy. Wah, Sob, waktu gue ketemu cowok itu, langsung ciut gue.”

Chiko menegakan badannya. “Emangnya dia kenapa? Setan?”

“Setan? Parah lo! Dia kayak malaikat tahu!” Steave kembali tertawa. “Auranya, kharismanya, belum lagi dia bijaksana! Wah, elo sih kayak segumpalan debu di pantai. Nggak berarti!”

Hum… Chiko nggak pernah tahu ada cowok yang begitu disamping Philia. Selama ini Chiko cuma tahu kalau Philia berteman sama cowok-cowok super udik, super jelek dan super tidak terlihat, jadi jelas-jelas Chiko merasa kalau dia punya kesempatan. Siapa sih yang nolak cowok pintar yang ganteng? Tapi, kalau mendengar cerita dari Steave, mungkin saja itu benar.

Maksudnya, siapa sih yang bisa benci sama cewek semanis Philia? Oke, mungkin aja mulutnya berbisa, tapi tetap aja dia manis. Buktinya Steave pernah naksir sama Philia. Padahal jelas-jelas Steave cukup punya tampang untuk memecahkan kategori cowok ganteng di sekolahan.

“Darimana lo tahu soal Septo sama Shandy?” kata Chiko.

“Gue kan dulu satu tempat les sama mereka bertiga,” kata Steave. “Gue berteman sama Philia. Nah, selang dua minggu, dua pengawalnya muncul. Philia, Septo dan Shan—ya, ampun, mereka nggak terpisahkan. Kemana-mana selalu bertiga. Elo pasti tahu kan kayak apa serasinya mereka bertiga kalo jalan?”

Chiko manggut-manggut. “Elo tahu dimana rumah Philia?”

Dahi Steave mengerut. “Elo mau ke rumahnya? Mau cari mati? Elo kan nggak punya urusan apa-apa ke rumahnya. Apalagi elo sama Philia kan beda kelas.”

Chiko tersenyum penuh arti. “Alasan kan bisa dibuat.”

“Dasar sinting lo!”

^^^***^^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.