RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 12 Oktober 2011

Philia Chiko (Prolog)

by: Prince Novel

Prolog

“Dasar cowok sok pintar!” Philia menggerutu sebal. Dia mondar-mandir di depan kelas yang kosong sambil melipat tangannya. Kemarahan terpancar jelas di wajahnya. Sobatnya, Gina hanya bisa duduk dengan tenang di salah satu meja sambil melipat tangan.

“Udahlah, Li, si Chiko kan emang begitu. Buat apa ditanggepin,” Gina berusaha untuk menenangkan sahabatnya dan sedikit merasa prihatin pada cewek itu.

Sebenarnya beberapa menit lalu, mereka baru saja melewati papan pengumuman nilai yang terpampang jelas di depan ruang guru. Hari ini ada nilai Fisika yang keluar dan sayangnya bukan nama Philia yang ada diperingkat pertama, tapi Chiko, si anak A-4. Begitu mengetahui kalau namanya ada di peringkat pertama, Chiko sengaja mengeraskan suaranya pada mereka padahal ada banyak murid disitu.

“Sayang sekali, ya, hari ini aku yang ada di peringkat satu.”

Lalu meledaklah kemarahan Philia. Kalau saja Gina tak segera menarik Philia untuk segera mengungsi, mungkin cewek manis itu bakal maju ke depan dan memaki-maki Chiko di depan guru yang kebetulan lewat.

“Masalahnya bukan itu, Gina,” tukas Philia masih marah-marah. “Kenapa dia sengaja bilang itu padaku? Padahal ada banyak orang disana dan guru! Cowok yang satu itu benar-benar nggak tahu terima kasih. Jangan harap lain kali aku bakal membiarkan namanya ada di peringkat pertama. Kalo nggak dia bakal besar kepala—”

Gina memutar bola matanya. Dia udah tahu apa yang akan dikatakan Philia karena selama dua tahun berteman dengannya, Gina sudah hapal semua pidatonya.

Sesungguhnya Gina mengenal Philia sejak SMP dan kebetulan aja waktu itu mereka satu kelas hanya saja Gina tak pernah ngobrol dengan Philia. Menurutnya Philia itu tak cocok berteman dengannya karena Philia kelihatan seperti sosok cewek tempramental yang lebih suka menghabiskan waktu mengerjakan soal-soal fisika dan matematika. Lalu berakhirlah masa SMP itu dengan sedikit ketenangan. Masalahnya di SMA tidak bisa seperti itu lagi karena Philia adalah satu-satunya orang yang dia kenal waktu itu.

Di luar dugaan, mereka cocok berteman. Philia tak seperti sosok gadis yang dipikirkan Gina waktu SMP, justru sebaliknya. Philia itu asyik. Dia gampang diajak kemana-mana, pengetahuannya luas sehingga PR selalu bisa dikerjakan dengan baik, juga tipe humoris. Hanya satu saja kelemahannya: dia tak suka kalah.

Gina udah tahu dari dulu mengenai itu. Gina pernah dengar kalau Philia selalu nomor satu hampir di semua pelajaran. Dan kedatangan Chiko merusak semuanya.

Chiko Handanamuda, anak dari pemilik yayasan mereka yang baru saja pindah dari Kanada, masuk saat awal semester dua. Bisa ditebak seperti apa reaksinya. Dia seorang tuan muda dengan wajah tampan, dari luar negeri—cewek-cewek itu menjerit dan nyaris pingsan karena ini—lagi, otaknya pintar dan orang kaya. Tiba-tiba saja jadi banyak cewek cantik di sekolah mereka.

Philia sudah menduga kalau Chiko bakal merebut posisinya. Benar saja belum lagi si Chiko itu sekolah disini, dia udah mendapat peringkat dua di Tes Kimia waktu itu. Sejak saat itu secara permanen nilai Chiko dan Philia jadi saling memperebutkan angka pertama.

Ironis sekali.

“Akui ajalah, Li, kalau Chiko emang jago Fisika,” tukas Gina memotong perkataan Philia. “Kau kan tak pernah menang dengan dia kalo udah masuk Tes Fisika.”

“Kok kau jadi belain dia sih?” Philia berapi-api. Ups, salah pilih kalimat!

“Aku nggak belain, cuma—”

“Jadi kalian menggosipi aku nih ceritanya?”

Mata Philia melotot, nyaris saja menggelinding keluar dari rongganya. Gina tidak lebih parah, dia menganga melihat Chiko ada di depan pintu. Cowok itu melipat tangannya, menopangkan bahunya ke sisi pintu sehingga tubuhnya tampak miring. Wajahnya yang tampan dengan pipi kurus, hidung lurus, bibir yang mempesona, rambut hitam dipotong pendek dan disisir rapi, tubuhnya tinggi dan ramping dengan kaki-kaki yang panjang, terlihat sangat mempesona.

Tapi tidak bagi Philia. Segera saja cewek mungil itu membalas pedas, “Suka-suka kami, Tuan Nguping. Ini kelas kami. Ngapain kau nongol disini? Mau pamer?”

Chiko tersenyum. “Nggak baik kalau kau marah-marah terus, Lia. Nanti kau cepat tua.”

Gigi Philia menggertak, kakinya segera melangkah melewati ruangan dan menuju Chiko. Tangannya memegang dasi cowok itu dengan ganas. “Aku nggak mau lihat tampangmu saat ini. Jadi enyah secepatnya, oke?”

Chiko masih saja tersenyum. Heran juga kenapa cowok yang satu ini masih saja bisa tenang menghadapi singa betina seperti Philia. “Ah, Lia, apa kau memperlakukan semua cowok yang mendapatkan ranking satu dengan cara begini? Harusnya kau bilang selamat padaku.”

Gina memperhatikan dengan was-was. Chiko baru saja menarik salah satu bom pemusnah massal yang akan meledak setiap saat. Philia bisa sewaktu-waktu menonjok Chiko tanpa peringatan. Chiko nggak tahu kalau Philia jago karate.

“Kami pulang dulu, Chik dan selamat,” Gina buru-buru bangkit, mengambil tas Philia dan tasnya sekaligus kemudian menarik Philia. Dia mendorong Chiko cukup keras untuk membuat cowok itu minggir.

Philia masih sempat memberikan pelototannya pada Chiko. Tapi Chiko hanya bisa tergelak-gelak. Dia benar-benar menganggap Philia badut!

^^^***^^^

Terry tak memberikan reaksi ataupun komentar walau Philia menghabiskan separuh napasnya cuma untuk menceritakan kejadian hari ini.

“Terry, dia benar-benar menyebalkan. Iya kan?” kata Philia.

Terry menggonggong, keras sekali.

“Ngomong sama anjing nih yeee?” kata suara yang dikenal Philia dan meledaklah tawa di dekatnya. Segera saja Philia mengangkat kepalanya dan mendapati ada dua cowok di depan gerbang rumahnya. Yang satu cowok yang lebih pendek dengan gaya yang lebih berandal—namanya Septo—dan yang satu lebih tinggi dengan perawakan pemuda terpelajar bernama Shan.

“Sejak kapan kalian disitu?” gerutu Philia.

“Sejak…” Shan melirik arlojinya. “sudah hampir lima belas menit. Kami mendengar cukup banyak tentang Chiko. Apa dia sebegitu menyebalkannya?”

Philia memonyongkan mulutnya lalu memeluk Terry erat-erat.

“Udah pastilah cowok itu nyebelin, Shan. Kalo nggak, mana mungkin Philia mau ngomong sama Terry? Spesiesnya aja udah beda,” kata Septo lalu tertawalah dia.

“Haha,” kata Philia jengkel. “Terus aja ketawa.”

Septo dan Shan pandang-pandangan. Lalu, seakan saling mengerti, mereka melompati gerbang batu yang nggak terlalu tinggi itu dan mendatangi Philia. Mereka duduk mengapit gadis itu dan mengelus-elus kepalanya dengan sayang.

Philia udah kenal mereka sejak kecil karena rumah mereka berdekatan. Rumah Septo ada di sebelah rumahnya bahkan kamarnya menghadap kamar Septo. Kalo rumah Shan ada di depan rumahnya, tapi balkon kamarnya menghadap tepat ke kamar Shan juga. Sejak kecil mereka suka sekali duduk-duduk di dekat jendela kamar masing-masing dan saling teriak kalo ada hal penting sampai pada akhirnya mereka berhenti kalau tetangga udah ngamuk dan menyuruh mereka diam.

Kemana-mana mereka selalu bertiga: makan, main, les, karate dan piano. Mereka tak pernah terpisahkan sejak kecil. Hanya saja setelah masuk SMA, mereka mulai fokus untuk meniti bidang kesukaan mereka masing-masing.

Septo suka eletronik dan setengah mati membenci pelajaran IPA karena itu dia masuk SMK. Setiap hari Philia mendengarkan dia mengoceh soal arus pendek, kabel merah-kuning-hijau, bahasa mesin dan assembly, dan rencana-rencananya untuk prospek masa depan.

Kalau Shan lebih suka musik dan tanpa basa-basi lagi, dia sudah lulus di salah satu Sekolah Khusus Seni. Sejak kecil dia jago main piano, biola dan cello dan kadang-kadang membuat beberapa lagu untuk festival dan acara-acara kecil di sekolah. Berulang kali dia akan menanyakan pendapat mengenai nada pada Septo dan Philia kalau ada kesempatan.

Lain dengan mereka berdua, Philia suka sains. Hitung-menghitung sudah jadi makanannya sejak kecil. Bahkan Septo berpendapat kalau suatu hari nanti Philia bisa mendapat nobel fisika. Dan Philia paling tak suka kalah kalau ada orang yang mengambil kedudukannya. Benar saja. Mendapat saingan seperti Chiko membuatnya marah besar.

“Ya ampun, Li,” kata Septo menghela napas. “Jangan putus asa begitu dong. Mungkin aja waktu itu dia lagi beruntung kali. Tiba-tiba aja pensilnya bisa gerak sendiri terus jawabannya jadi benar semua. Kalo nggak guru yang meriksa jawaban lagi sakit mata waktu itu jadi—”

Shan tertawa, geli sendiri dengan pernyataan Septo. “Pensilnya bisa gerak sendiri karena ada chip yang terpasang begitu?”

“Bisa aja kan?” begitu hobinya tersentuh, mata Septo langsung berbinar. Tanpa bisa dibendung lagi dia mencerocos hal yang dia tahu mengenai itu. “Masa kau tak tahu kalau sekarang teknologi sangat berkembang pesat? Bahkan kita tak bisa tahu penemuan apa lagi yang bakal keluar selanjutnya. Apa kau tak tahu kalau manusia lumpuh jadi bisa jalan lagi karena dipasangin chip ke otaknya? Chip itu bakal memberikan arus listrik untuk menstimulan otaknya sehingga memberikan refleks pada gerakan kaki, jadi—”

“Aku nggak ngerti,” kata Shan menutup mulut Septo. “Jangan dengarkan dia, Li. Masalahmu nggak ada hubungannya dengan chip. Dia ngawur. Ngomong sendiri.”

Anehnya, Philia malah ketawa. Ternyata dikelilingi oleh teman-teman yang agak idiot seperti Septo dan Shan bakal bisa membuatnya tertawa. Mereka memang lebih baik dari segala cowok yang ada di muka bumi ini. Andai saja dia suruh memilih sepuluh ribu cowok ganteng atau mereka berdua untuk dibiarkan hidup, Philia akan memilih mereka berdua. Alasannya logis sekali, dia kan nggak kenal sama sepuluh ribu cowok ganteng itu.

“Gimana kalo kami sedikit memberi pelajaran sama—siapa tadi namanya?—oh, ya Chiko? Kurasa dia akan diam kalau diancam,” kata Shan lagi.

Shan sangat menakutkan kalau marah jadi Philia ragu apakah pantas baginya memberikan beban berat ini untuknya.

“Nggak. Nggak perlu,” Philia menggeleng. “Aku bisa menghadapinya. Lagi pula kau tenang aja, aku kan bisa menjaga diriku sendiri,” tambahnya memberikan satu gerakan tinju yang mantap.

“Benar benar benar,” kata Septo makin terbahak. “Pantas aja saat ini kau belum punya pacar. Mana ada cowok yang mau sama cewek yang beringasan sepertimu. Cuma kami aja yang betah menghabiskan waktu denganmu.”

Philia mencubit tangan Septo dan cowok itu pun mengaduh sambil tertawa.

^^^***^^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.