RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 15 September 2011

Amour Cafe Receipt Nineteen

by: Prince Novel

Receipt Nineteen

Kau tahu rasanya, ya kan? Tiba-tiba saja café terasa kosong walau ada tambahan dua karyawan baru disini. Hazel sudah berangkat sekitar jam sepuluh. Aku tak bisa mengucapkan selamat jalan padanya ke bandara karena aku ada kelas dan ujian dadakan—Adriel nyaris menangis karena ini. Jadi Hazel pergi sendirian tanpa ditemani siapapun.

Felix juga sedang sibuk-sibuknya mengurusi kepergiannya. Dia tak muncul di café dan saat kutanya di telepon, katanya dia sedang mencari baju-baju yang akan dia bawa ke Jerman serta buku-buku yang akan dia bawa kesana.

Kian ada di dapur, sibuk sendirian sementara pesanan datang silih berganti. Beberapa pelanggan yang mengenal Hazel dan Felix menanyai keberadaan mereka dan begitu mereka tahu kalau Hazel dan Felix tak akan datang ke café untuk sementara waktu, para pelanggan itu kelihatan cukup sedih.

“Apa kau sebegitu sedih karena pacarmu pergi jauh?” Ariel mendatangiku yang melamun sendirian di depan pintu. Dia tersenyum menenangkan. “Kenapa kau tak telepon saja dia? Tanya kabarnya. Kurasa kalau kau bilang bahwa kau rindu suaranya, Hazel pasti langsung meneleponmu.”

Itu masalahnya, aku membatin putus asa. Aku dan Hazel tak pernah benar-benar pacaran jadi aku sama sekali tak punya alasan untuk meneleponnya, apalagi ke luar negeri. Dan alasan menanyakan keadaannya sebagai sahabat rasanya terlalu berlebihan.

Ariel mendekat, memegangi dahiku. “Hum… kau tak sakit.”

“Aku memang tak sakit tahu,” kataku menyingkirkan tangannya.

“Kalian berdua,” Leo muncul, mengerutkan dahinya dan berkata dengan nada jengkel. “kalau kalian punya waktu berduaan kenapa tak bantu kami di dalam sana hah?”

Ariel nyengir, mengacak rambutku dan berkata, “Yuk, Lex, kurasa teman baru kita sedikit tak senang.”

Aku cuma bisa mengangkat bahu dan mulai bekerja lagi.

Amour memang café yang cukup menarik perhatian saat ini. Para pasangan yang berdatangan saling berpegangan tangan dan keluar dengan mata yang lebih berbinar dan lebih mesra daripada sebelumnya yang parah adalah saat mereka bertengkar. Tentu saja Amour pernah mengalami pengalaman terhadap pasangan yang broken heart. Ada beberapa kasus seperti: melihat pasanganganmu makan bersama orang lain—biasanya hanya ada tamparan disini, kemudian cowok yang melihat ceweknya kencan dengan cowok lain—kalau ini parah karena bisa jadi ada satu meja yang remuk sampai kemudian Hazel muncul dan menendang mereka keluar dari café, atau mungkin melihat cewek yang makan dengan empat selingkuhannya.

“Mau pesan apa?” aku menanyai salah seorang meja bernomor delapan. Dahiku sedikit mengerut melihat hanya ada dua cowok di meja ini. Pikiranku kembali bertanya: ini kan café untuk pasangan. Apa mereka pasangan ya? Aku penasaran sekali.

“Jus jeruk dan aku minta banana cake,” kata cowok yang kutanyai. Dia memberikan senyuman paling manis yang kulihat dan dahiku mengerut. Rasanya aku mengenali cowok itu. Tapi, siapa ya? “Kau?”

Capucinno,” kata cowok yang dihadapannya. “Charlie, aku sedikit protes dengan dandananmu hari ini. Kupikir aku bisa sedikit mesra padamu.”

Tanganku berhenti ketika mencatat pesanan mereka. Apa?

“Apa yang kupakai bukan menjadi urusanmu, Diaz, jadi diamlah. Aku memang tak mau sok mesra-mesra denganmu karena kalau bukan karena ulahmu, aku tak akan ada disini,” lalu si Charlie mendelik jengkel padaku. “Ketinggalan pesawat karena pesta semalaman denganmu dan yang lain. Bodoh benar aku merasa kalau kalian bakal melepaskanku.”

Aku buru-buru berbalik dan menuju dapur, mengatakan cepat-cepat pesanan mereka pada Kian.

“Kau bisa ambil cake-nya disana, akan kubuat kopinya,” Kian tidak melihatku ketika memerintah karena dia sibuk menata piring. “Yang pesan meja nomor berapa?”

“Delapan,” aku menjawab cepat. “Sepertinya pasangan homo.”

“Aku tak yakin,” Mikho tiba-tiba saja nongol, membawa bertumpuk piring kotor dan meletakannya ke westafel. Dia melirik dari celah kosong menuju meja nomor delapan. “Diaz dan Charlie, mereka musuh bubuyutan.”

“Kau kenal mereka berdua?” aku bertanya keheranan.

Mikho memutar bola matanya seakan tak percaya dengan pertanyaanku barusan. “Ya ampun, Lex, kemana aja kau selama ini? Diaz itu fotograper terkenal saat ini dan Charlie itu salah satu model yang lagi ngetop. Aku yakin kalau kau tanya Adriel, dia bakal ngasih semua informasi tak perlu tentang mereka. Coba kau perhatikan pengunjung kita, cewek-ceweknya dari tadi cuma melihat mereka berdua doang. Penyamaran seperti itu rasanya tidak menutup kemungkinan kalau mereka teman baik.”

“Oke, cukup, bawa ini,” Kian memberikan piring padanya. “Kita tidak menggosipkan pelanggan. Bisa gawat kalau ada paparazzi disini.” Ketika Mikho menghilang, Kian mengambil cangkir dan menyiapkan kopi. “Apa Hazel sudah menghungungimu?”

Pertanyaan itu lagi. “Belum.”

“Kau tak merindukannya, ya?”

“Hazel baru pergi tadi pagi, Kian.”

“Setidaknya kau bisa tanya padanya kalau dia sampai dalam keadaan selamat,” Kian berputar memunggungiku, mengambil jeruk dan memotongnya kecil-kecil. “Itu pertanyaan wajar kan?”

Entahlah. Aku juga tak tahu apakah aku ingin meneleponnya atau tidak. Perasaanku masih belum jelas. Semakin dipikir semakin pusing. Aku mengaku pada Hazel kalau aku menyukai cowok di hadapanku ini. Tapi saat Hazel pergi, entah kenapa aku merasa saat kehilangan. Terlebih lagi saat aku mengetahui kalau dia… yah, kau tahu, ternyata menyimpan banyak kesedihan yang tak terucapkan.

Aku merasa kecewa sekaligus sedih kenapa Hazel tidak mengatakan apapun soal luka hatinya. Apakah karena aku tak bisa dipercaya? Atau karena dia merasa kalau tak pantas menceritakan hal itu padaku? Atau mungkin Hazel merasa kalau aku adalah cewek yang mengganggu?

“Oi, Alex,” aku terlonjak mendapati Kevin menimpuk kepalaku. “Ngapain bengong aja. Nih, cake pesanan meja nomor delapan.”

“Oh, oke,” aku gelagapan, menerima cake itu dan terburu-buru dan meletakannya ke nampan perak. Saat aku keluar mengantarkan pesanan, aku mendengar dari jauh kalau Kevin mengatakan sesuatu pada Kian.

“Hazel mungkin akan tinggal di Amerika untuk sementara waktu.”

“Kok bisa?” Kian bertanya keheranan. “Waktunya diperpanjang?”

“Bukan. Tapi Ayahku meminta dia mengurus beberapa bisnis disana. Aku tak tahu apa keputusan Hazel. Walau bagaimanapun, dia salah satu penerus di keluarga kan?”

Aku tak ingin mendengar apa-apa. Aku membatin, berusaha menutup telingaku. Aku benar-benar tak ingin mendengar apapun.

*** Amour Café ***

Aku berusaha sekeras mungkin untuk cuek pada apapun saat ini. Pikiranku tersita untuk pekerjaan, sekolah dan Andre. Baru kusadari kalau Andre benar-benar belajar. Mama bahkan sampai dipanggil ke sekolahnya segala dan bertanya bagaimana cara mengubah anak itu menjadi jauh lebih baik. Setidaknya Andre tidak lagi macam-macam untuk sementara waktu. Rambutnya sudah hitam, sudah dipangkas pendek dan dia tak memakai tindik lagi bahkan tato di naganya juga menghilang. Saat aku tanya kenapa dia berubah sedrastis itu, Leo terkekeh dan berkata, “Oh, Andre punya pacar.”

“Apa?” Oke, sekarang aku tak bisa cuek. “Siapa?”

“Teman sekelasnya. Cewek terpintar sekaligus cewek tercantik di sekolahnya. Aku tak tahu namanya siapa. Tapi cewek itu rasanya memberikan efek yang bagus untuk Andre. Kau tahu, Andre jadi jauh lebih penurut.”

Waow, aku terkejut sekali. Bagaimana caranya Andre—yang begitu nakal—bisa mendapatkan cewek yang luar biasa begitu? Kok dia nggak bilang-bilang sih?

Lonceng berbunyi dan saat kukatakan selamat datang pada pelanggan yang baru masuk, mataku membulat melihat Andre menggandeng seorang gadis amat manis dengan pakaian krem disampingnya.

“Andre?” aku ternganga.

“Oh, hai, Kak,” Andre mendatangiku, menarik tangan cewek itu untuk mendekat. Kuperhatikan cewek itu terlihat malu-malu saat digandeng Andre. “Aku datang untuk makan, yah, sekaligus mengenalkan pacarku padamu.”

“Dia cuma mau pamer,” kata Leo lalu ngacir pergi setelah dipelototi Kevin.

“Namanya Okta. Ini Kakakku, namanya Alex.”

Mungkin ini perkenalan yang paling kaku. Aku cuma bisa bengong saat Okta mengulurkan tangannya padaku dan aku menjabat tangannya hanya dalam waktu sedetik sampai kemudian Andre melepasnya, mengajaknya ke salah satu meja kosong dan memesan menu makanan.

“Bagaimana menurutmu?” Ariel menanyaiku. “Kelihatannya mereka cukup oke kan?”

Aku melirik meja Andre dan Okta. Bisa kulihat bunga-bunga merah beterbangan di sekitar mereka dan aura pink yang terpancar dimana-mana. Ternyata cupid sedang bekerja saat ini. “Aku tak keberatan sama sekali.” Kalau Okta membawa efek positif pada Andre, kenapa pula aku harus marah?

Lonceng berbunyi lagi.

“Selamat da—heeeeh?” aku tercekat melihat cewek yang berdiri di depan pintu. Rhea. Tidak salah lagi. Penampilannya masih seperti dulu, hanya saja rambutnya yang pendek membuat dia jadi terlihat lebih galak.

Rhea menatapku, memberikan tatapan paling kejam kemudian duduk di bangku kosong. “Blueberry cake dan jus apple,” katanya padaku dan ketika dia melihatku terkesikap, dia kembali menambahkan. “Aku boleh pesan pelayan juga kan?”

“Apa?” aku kaget.

“Oooh, aku tak keberatan,” kata Leo, mendorong minggirku dan duduk berhadapan dengan Rhea. “Halo, Rhea, kau makin cantik saja. Potongan rambut yang diberikan Kian lumayan juga.”

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Leo dan kembali ke dapur. Belum lagi aku menginjakan kakiku ke dapur, lonceng kembali berbunyi. Felix dan Maggie masuk bersama.

“Kopi dan green tea,” kata Felix pada Ariel.

Ada apa hari ini? Aku terkaget.

“Cupid sedang bekerja. Kurasa,” gumam Kian, menatapku. Sejenak, kurasakan dia mengharapkan sesuatu padaku tapi dia cepat-cepat menyudahi pandangannya karena Mikho masuk dan membawa piring kotor.

*** Amour Café ***

Jadi, alasan kedatangan Rhea ke café bukan untuk cari gara-gara atau apa, tapi karena dia pingin balik dengan Hazel. Begitu mengetahui kalau aku pacaran dengan Hazel dari Leo—dia tahu darimana sih kabar itu?—Rhea mendatangiku. Dia tidak marah-marah seperti dulu tapi mengulurkan tangannya dan berkata “Selamat” walau dengan wajah pahit.

Aku gatal sekali ingin mengatakan kalau aku tak ada apa-apa dengan Hazel tapi kenapa pula aku mau repot-repot mengatakannya? Bukankah dengan begini akhirnya Hazel benar-benar lepas dari Rhea? Kemudian, begitu Rhea menyerah, Leo datang menyongsongnya dan meminta Rhea jadi pacarnya.

“Aku tak keberatan,” itu kata Rhea dan dia jadian pada Leo hari itu juga.

Leo benar-benar aneh. Kenapa dia mau pada Rhea yang merupakan bekas pacar Hazel? Aneh, benar-benar aneh.

Felix dan Maggie lain lagi. Mereka tidak berbaikan. Sungguh. Felix cerita kalau dia bertemu dengan Maggie di toko buku dan mengajaknya makan bersama karena Felix akan pergi besok, jadi itu akan jadi makan terakhir mereka bersama. Felix berkata kalau dia mengharap bertemu seorang bidadari nanti saat di Jerman dan membawanya ke Jakarta.

Namun Kevin menjawab sinis, “Aku ragu. Soalnya kau tak bisa melihat cewek cantik baik dari sisi manapun.”

Yeah, mereka bertengkar hebat karena ini.

Seminggu kemudian berlalu dengan hari-hari yang rasanya sangat janggal bagiku. Kevin tak lagi datang setiap pagi ke depan rumah untuk mengantar-jemputku, Adriel juga sepertinya sedikit menjauhiku—akhir-akhir ini dia kelihatan lebih senang menyendiri, Andre lebih sering di rumah untuk belajar bersama dengan Okta, Ariel sibuk dengan kegiatan Osis karena dia mau pensiun sebentar lagi, cuma aku yang tak ada kerjaan.

Rasanya, kehidupan membosankanku kembali.

Aku merasa kesepian.

“A-Lex, ayo kuantar,” Kian menghentikan sepedanya kesisiku. Aku juga merasa kalau cowok yang satu ini sedikit berubah. Dia jauh kelihatan lebih tenang daripada sebelumnya dan akhir-akhir ini tak pernah melakukan kesalahan apapun. “Kau mau pulang kan?”

“Erm…”

Aku menyukai Kian. Tapi kenapa aku tak pernah merasa betul-betul bahagia jika dia didekatku? Kenapa aku merasa sangat kesepian saat Hazel tak ada disampingku? Dan aku begitu marah sekaligus sedih karena Hazel tidak memberikan kabar apapun padaku. Apakah keberadaan Hazel saat ini lebih besar daripada keberadaan Kian?

“A-Lex,” Kian menepuk bahuku. “kalau kau begitu merindukan Hazel, kenapa kau tak telepon dia saja?”

Aku begitu merindukan Hazel, aku tahu itu. Setiap hari dia selalu menyambutku sambil tersenyum bahagia. Dia memang sedikit menakutkan tapi dia tak pernah menunjukan itu padaku sehingga membuatku bertanya-tanya kenapa dia tak pernah menunjukannya padaku.

Apa sebenarnya keberadaanku bagi Hazel? Apa kami hanya sekadar sahabat? Tapi, bukankah seorang sahabat harus saling memercayai? Apa sebenarnya yang kuharapkan dari Hazel? Apakah aku begitu berharap kalau dia akan menyukaiku?

“Ayo naik, jangan lama-lama lagi,” Kian menarik tanganku dan menyuruhku naik ke atas boncengan. “Kau harus bicara dengan Hazel, dengan begitu kau akan lebih lega.”

“Tapi—”

Namun Kian tidak mendengarkan. Dia mengangkat tangannya dan tidak peduli jadi aku hanya bisa naik ke sepedanya dan mendekapnya dari belakang. Kurasakan tubuhku bergerak ringan melewati angin malam. Sepeda Kian menembus kegelapan.

Pikiranku melayang saat pertama kali bertemu Hazel. Si wajah tengkorak yang tertawa ketika melihat wajah kekagetanku. Seseorang yang selalu tertawa ketika aku berkomentar betapa anehnya dia. Orang selalu membantuku ketika dikerjai Felix. Cowok yang selalu ada di dapur dan meminta pendapatku soal makanan. Sahabatku yang selalu tahu apa yang kupikirkan walau hanya melihat ekspresiku saja. Aku selalu menguatirkannya saat dia ngebut di tengah jalan. Jengkel dan kelelahan melihat tingkahnya yang kadang seperti anak-anak. Silau dengan aura dan kharismanya yang luar biasa sekaligus salut pada keberanian dan kepeduliannya ketika memelukku dan berkata tidak tahan melihatku kedinginan.

“Karena biasanya, manusia baru bisa menghargai sesuatu jika kita tidak memilikinya atau saat kita kehilangan sesuatu itu.”

Mungkin perkataan Adriel benar. Mungkin aku baru merasakan kalau Hazel berharga setelah dia pergi jauh dariku.

“Oke. Disini bisa juga,” kata Kian menghentikan sepedanya. Dia menurunkan satu kakinya dan melihat sekeliling. Kuperhatikan kalau kami berhenti di sebuah taman anak-anak. Aku bisa melihat ayunan, bundaran besi besar, pelesetan dan macam-macam lagi. Dahiku mengerut dalam.

“Ngapain kita kesini? Ini bukan rumahku,” kataku terheran.

“Memang. Tapi disini lebih aman. Tak ada banyak orang yang lewat.” Kian mengangguk-angguk. “Turun.”

Terbengong-bengong dengan pernyataan barusan, aku turun dengan berbagai pertanyaan baru yang berkelebatan di kepalaku. Kenapa Kian menurunkan aku berduaan di tempat gelap begini?

“Kau duduk yang tenang, nanti aku jelaskan,” Kian menarikku untuk duduk disalah satu kursi yang terbuat dari semen. Kemudian dia mengambil ponselnya, menunggu beberapa detik sampai kemudian dia bilang, “Ah, Hazel?”

Apa? Aku melotot tak percaya. Kenapa dia menghubungi Hazel?

“Ah, aku tak ada urusan penting tapi aku ingin kau bicara pada A-Lex. Dia sedikit stres. Kupikir sebagai pacar kau harus bertanggung jawab sedikit.”

Aku panik. Dimana tempat aku bisa pergi? Aku tak ingin ngobrol dengan Hazel saat ini. Tak mau. Aku belum siap.

“Nih,” Kian memberikan ponselnya padaku.

Aku harus ngomong apa pada Hazel?

“Ambil,” Kian mengambil tanganku dan memberikan ponsel itu lalu pergi menjauh beberapa meter.

Gemetaran, aku meletakan ponselnya ke telingaku. Suara “Halo”ku terasa seperti bukan suaraku.

“Hai, Alex, apa kabar?” suara Hazel terdengar di seberang telepon. Aku juga bisa mendengar suara kebisingan di sana. Tampaknya Hazel ada di luar. Suaranya gaduh sekali. “Sori aku nggak ngubungin kau, soalnya perbedaan waktu disini dengan di Indonesia cukup besar juga. Aku takutnya kau sibuk.” Hazel terkekeh sesaat. “Kudengar dari Kian kau ingin bicara denganku ya? Wow, kalian makin akrab ya. Bagus. Aku akan tunggu kabar baik darimu.”

Aku cuma bisa tersenyum. Suara Hazel yang begitu bersemangat membuatku yakin kalau Hazel baik-baik saja. “Baik. Kau sendiri bagaimana?”

“Yah… sibuk,” kata Hazel lagi. “Setelah sampai aku langsung melesat ke Museum, belum tidur langsung pergi lagi ke universitas terdekat. Dalam tiga hari aku turun lima kilo. Bisa gawat kalau nanti aku pulang malah kelihatan seperti tengkorak beneran.”

Aku tertawa, mengingat saat pertama kali bertemu dengannya. Hazel memang jauh, tapi dia bisa membuatku merasa sangat nyaman sekaligus bahagia. “Erm, ya, Hazel, kupikir aku cuma mau mendengar suaramu saja. Aku cuma sedikit khawatir kalau kau kenapa-napa, soalnya kau tidak menghubungiku dan yang lain juga tak bilang apa-apa. Kupikir aku saja yang terlalu cemas. Kau pasti sangat sibuk, jadi—”

“Alex,” Hazel memotong dari sana. “Aku minta maaf.”

Dahiku mengerut. “Kenapa? Kau kan tak salah apapun.”

“Yah…” kata Hazel lambat-lambat. “Menurutku lebih baik kau mendengarkan apa kata orang disekelilingmu, Alex. Aku bukan cowok yang baik buat cewek polos sepertimu.”

Tenggorokanku terasa kering. Tiba-tiba saja udara dingin di sekitarku terasa memanas. Mataku seperti akan menumpahkan sesuatu. Tunggu. Tahan. Tahan dulu. “Ngomong apaan sih?”

“Kian itu cowok yang baik. Aku akan mendukungmu jika kau benar-benar serius dengan perkataanmu waktu itu. Seratus persen.” Hazel melanjutkan. Aku ingin lari. Aku tak mau mendengar apapun. Namun tanganku tak bisa diturunkan dari telinga. “Kian akan marah sekali kalau aku buat kau nangis dan Felix pasti akan eh, mungkin membawa gunting untuk memotongku kalau itu sampai terjadi. Tapi aku harus bilang ini, Alex.”

“Hazel, dimana museum—”

“Alex,” Hazel tidak mendengarkan walau aku ingin mengubah topik. “Bagiku kau tak lebih dari sekadar sahabat.”

Air mataku tumpah juga. Itu bukan kata-kata yang ingin kudengar saat ini dari mulutnya. Dari dulu aku tahu dia sahabatku. Sejak pertama kali bertemu dengannya aku tahu kalau dia hanya akan jadi “teman” dan tak akan pernah lebih dari itu.

Tapi mendengarnya saat ini jauh lebih menyakitkan.

“Baiklah, aku mengerti,” gumamku perlahan.

“Alex, dengarkan aku, saat ini kau cuma bingung.” Kata Hazel lagi. “Aku tahu kau cuma suka Kian, tapi karena kau menghabiskan waktu yang lebih banyak denganku, kau jadi bingung.”

“Yeah, aku tahu.”

Aku tak ingin dengar apa-apa. Aku berusaha untuk tidak membuat suaraku yang serak terdengar begitu menyedihkan.

“Kau belum pernah dekat dengan cowok sebelumnya,” kata Hazel lagi. “Dan ada enam cowok muncul dalam waktu bersamaan—”

“Karel sepupuku.”

“Oh, ya, baiklah, tapi kalian masih bisa pacaran.”

“Dia sudah kuanggap sebagai Kakakku sendiri.”

Hazel berhenti. Dia menyadari nada dingin dari suaraku. “Maaf. Aku bukan orang yang pantas menghiburmu saat ini. Maafkan aku.”

Kutatap sepatuku, mataku masih kabur. “Tak apa-apa.” Aku menunggu dia mengatakan sesuatu. Udara disekelilingku terasa sesak dua kali lipat. Aku tahu kalau Hazel juga merasakan hal yang sama di sana. Aku tahu kalau Hazel mungkin tak tahu harus berbuat apa.

Dia baru saja menolak perasaan seorang cewek melalui telepon dan cewek itu tak lain adalah sahabatnya sendiri. Aku tak ingin membuat Hazel lebih menderita karena semakin lama kami saling diam di telepon, semakin sulit juga menahan tangisanku yang bakal pecah.

“Oke, Hazel,” kataku setelah hening cukup lama. “Erm, kau pasti sibuk sekali. Aku tutup dulu.”

Ketika aku menurunkan ponsel, Hazel kembali memanggil, “Alex.”

Dengan enggan, kupasang lagi ponsel ke telinga. “Ya?”

Hazel menunggu beberapa lama sampai kemudian dia berkata dengan nada pelan, “Terima kasih sudah mencintaiku. Aku sangat senang.”

Aku menutup mulutku, menahan teriakanku.

“Terima kasih banyak, Alex.”

Dan Hazel memutuskan hubungan. Tangisku pecah seketika itu juga.

“Bodoh!” aku berteriak. Kenapa setelah sekian lama aku baru menyadari kalau aku menyukai Hazel? Kenapa aku bisa tidak melihat rasa sayang yang dia berikan padaku? Dan sekarang, setelah dia memutuskan untuk pergi dariku, aku sendiri yang menangis seperti orang bodoh, menyadari cinta yang begitu besar untuknya!

Kekhawatirkanku yang begitu besar saat Rhea selingkuh darinya bukan karena untuk dia tapi untuk diriku sendiri. Aku tak ingin Hazel terluka karena masih banyak cewek lain yang bersedia membuatnya bahagia dan waktu itu aku sempat berharap kalau dia akan memilihku. Alasan kenapa aku tak membantah tentang kesalahpahaman “pacaran” ini bukan karena aku tak peduli, tapi karena aku begitu senang karena orang-orang berpendapat begitu. Aku begitu cemburu pada Adriel karena dia menempel Hazel tiap saat di dapur sementara aku tak bisa melakukan apapun.

Aku memang bodoh. Si super idiot.

Tak lama, kurasakan ada gerakan lembut di bahuku. Kian. Dia sudah duduk di sampingku, menatapku dengan penuh rasa iba sementara dia memegangi bahuku.

“Aku tak apa-apa,” kataku menyingkirkan tangannya.

“Yah, kau kacau sekali,” kata Kian mengangguk perlahan. “Tidak apa-apa. Aku akan menunggumu sampai kau selesai menangis.”

Saat ini aku tak ingin Kian melihatku. “Pulanglah.”

“Sori. Tapi aku tak akan meninggalkan cewek patah hati sendirian di taman tengah malam. Apalagi aku sendiri yang membawanya kemari,” kata Kian lagi. Ucapannya lembut, tapi ada ketegasan dari nadanya.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, menghapus air mataku yang berjatuhan terus-terusan.

“Hazel itu sebenarnya cowok yang baik,” Kian memulai. Dia tahu kalau aku tak ingin mendengarkan, tapi kenapa dia malah meneruskan? “Jadi aku tak akan marah walau dia menolakmu. Aku juga tak marah kalau kau suka padanya. Tapi, A-Lex, kupikir ada baiknya kau ketemu cowok lain.”

“Aku tak tahu maksudmu apa.”

Kian diam sejenak. Untunglah. Sepertinya dia tak berniat melanjutkannya. Aku juga tak ingin mendengar apa-apa saat ini. Yang kubutuhkan saat ini adalah menyendiri. Sebuah ketenangan untuk membuat pikiranku jernih.

“Bagaimana kalau kau melihatku sebagai cowok juga?”

Dengan cepat pandanganku beralih padanya. Apa?

“Bagaimana kalau kau coba saja jatuh cinta padaku?”

Dahiku mengerut. Dia sudah gila!

“Karena aku menyukai A-lex, aku akan menunggumu sampai kapanpun, jadi kau tak perlu repot-repot berpikir saat ini. Akan kutunggu jawabannya sampai kapanpun.”

“Apa?” kataku. “Kian, aku baru saja patah hati disini.”

“Memang,” Kian menangguk kalem. “Tapi aku yakin sekali kalau kau akan suka padaku. Itu tak perlu diragukan lagi.”

Aku ngeri sendiri melihat kepercayaan dirinya yang meningkat itu. Memangnya, si Imut Kian, bisa berubah jadi percaya diri begini?

*** Amour Café ***

1 komentar:

Enggar.Putri mengatakan...

gmn ya
hmmm
bingung

no comment

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.