RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 03 September 2011

Amour Cafe Receipt Eighteen

by: Prince Novel

Receipt Eighteen

“Alex!” Adriel menyambutku di pintu gerbang sekolah. Belum lagi aku turun dari mobilnya Hazel, dia sudah memelukku. Aku bisa melihat dengan jelas perhatian yang berlebihan dari anak-anak Merah Putih ketika Hazel turun dan aku baru menyadarinya kalau Hazel tak pernah sekalipun memunculkan diri ke sekolahku. “Pagi, Koki Tampan, tumben gue ngeliat elo ngaterin Alex, biasanya juga Kevin.”

Hazel melirikku. Aku tak perlu tahu alasannya kenapa. Kevin pasti memaksanya mengantarkan aku walau aku sudah menolak mati-matian.

“Selamat pagi, Adriel,” Hazel menyapa dengan kilauan yang tampaknya tak perlu. Aku bisa merasakan desahan napas bahagia dari cewek-cewek yang lewat. Stop. Stop. Ini cuma imajinasiku!

“Dia tampan seperti biasa,” Adriel berbisik di telingaku, kegirangan setengah mati.

“Aku ada kelas Alex, jadi lebih baik aku pergi dulu. Sampai juma, Adriel. Aku kirim salam untuk Ariel,” Hazel melambai dari balik jendela mobilnya.

“Dia nggak tahu kalau Ariel nolak gue?” Adriel bertanya dengan nada keheranan padaku. “Elo nggak ngasih tahu dia?”

“Kenapa juga aku harus ngasih tahu dia?” kataku keheranan dan Adriel memelukku lagi.

“Alex, thanks banget! Itu yang gue suka dari elo!” katanya lagi. Dia tersenyum dan menarikku melewati lapangan sekolah. “Gue khawatir banget kalo gue nggak bisa nongol lagi di Amour. Elo beruntung banget sih Alex bisa deket sama cowok-cowok Amour. Udah ganteng, baik lagi!”

Dahiku mengerut. Sepertinya aku merasa ada yang aneh dengan tingkah sahabatku yang satu ini. “Adriel, kau udah nggak suka lagi sama Ariel?” kataku keheranan.

“Masih… tapi…” dia berhenti, memberikan senyumannya pada anak-anak cowok kelas satu yang menyapanya. “kupikir aku juga harus menikmati kehidupanku dan mencari cinta baru dan aku tertarik pada Hazel.”

Ha? “Kok bisa?”

“Ya ampun, Alex, sadar dong, siapa sih yang bisa nolak charismanya dia? Udah cakep, smart, jago masak, ngeband lagi. Dia calon suami idaman!” Adriel menepuk tangannya, matanya berbinar. Tentu saja, dia belum tahu hal jelek dari Hazel. “Gue pengen banget punya cowok yang bisa nyanyi romantis buat gue, masak bareng sama gue di dapur terus ditambahi karena Hazel itu anak seni yang nggak bergaya seniman, udah pasti dia jago ngelukis. Gue bersedia jadi modelnya dia!”

Haha, sepertinya Adriel punya obsesi baru.

“Gimana kalau tiba-tiba Ariel suka padamu?”

“Itu nggak mungkin,” jawabannya yang tegas dan cepat itu menganggetkannya. Dia begitu percaya diri sekali mengatakannya. Lalu dia menatapku dan berkata, “Karena Ariel suka sama elo.”

Aku melotot, terkejut dengan pernyataaan barusan. Kenapa Adriel tiba-tiba bisa tahu hal itu? Perasaan aku nggak pernah bilang kalau Ariel pernah bilang suka padaku. Biasanya aku menghindari cerita yang berhubungan dengan Ariel yang suka pada seseorang jika berhadapan dengan Adriel dan lebih sering kalau aku yang mendengarkan “tentang Ariel” dari Adriel.

Tapi, kenapa—

“Lo pasti terkejut,” Adriel manggut-manggut, mengibaskan rambutnya kembali ke belakang.

Tentu saja aku terkejut, aku membalas dalam hati.

“Awalnya gue ngerasa kalo Ariel naksir sama gue, tapi matanya bicara lain, Lex,” Adriel mengadah, menatap langit. “Gue sering datang diam-diam ke Amour dan memerhatikan dia dari jauh terus…” dia berhenti sejenak, mengambil napas. “gue ngeliat dia selalu memperhatikan elo dari jauh tiap ada kesempatan.”

Aku mengerjap. Pekerjaan penguntit Adriel membuatku sedikit terbengong. Dia memang tidak ada kerjaan lain selain menyelidiki diam-diam. Dan Ariel pernah menjadi obsesinya dan sekarang giliran Hazel. Namun sekali lagi aku ragu, jika Adriel memilih Hazel maka Adriel harus menuangkan waktu selama dua puluh empat jam mengamati Hazel, karena Hazel sepertinya hampir tidak pernah tidur kalau malam muncul.

“Gue heran sama elo, Lex,” Adriel berhenti.

Dahiku mengerut. “Kenapa?”

“Soalnya elo bisa santai menghadapi lima cowok cakep Amour. Kalo gue disuruh berkeliaran di sekitar mereka, bisa mati deg-degan gue,” kata Adriel lagi. Aku ingat lagi kata-kata Karel yang mengatai kalau aku ‘lain’. “Lex, elo serius nggak jatuh cinta sama salah satu dari mereka?”

“Itu—”

“Gue nggak keberatan ngasih Ariel sama elo karena gue rasa Ariel bakal beruntung karena dapat elo. Dia pasti bahagia.”

“Tapi—”

“Pagi,” Ariel menghentikan motornya di samping kami. Dia membuka kaca helmnya dan tersenyum. “Tumben aku lihat kalian berduaan di lapangan.”

Aku mencubit Adriel yang menyodok perutku sambil tersenyum-senyum. Ariel menaikan alisnya, terlihat heran.

“Jangan lupa entar datang ke Amour ya, Adriel.”

Adriel melotot. “Kenapa?”

“Soalnya kami mau ngerayain jadiannya Alex sama Hazel.”

Aku melotot, ternganga. Apa yang—AAARGH!

“Sudah ya?” Ariel melambai dan motornya membawa dia melewati lapangan, meninggalkan masalah yang harus kuselesaikan sendiri karena ulahnya.

Jantungku deg-degan tak karuan. Tak berani sama sekali melihat wajah Adriel. Adriel baru saja bilang kalau dia tertarik pada Hazel tapi sekarang malah mendengar dia jadian denganku. Mati aku. Mampus aku.

“Alex…”

“Aku bisa jelaskan. Sungguh—”

“Selamat ya. Akhirnya elo punya pacar juga!”

Aku semakin terbengong. Adriel menyalamiku dan wajahnya terlihat bahagia sekali. Apa-apaan—

“Bukannya tadi kau bilang kalau kau suka Hazel?” kataku.

Adriel menghela napas. “Iya, sih. Aku sedikit kecewa. Tapi aku kan cuma bilang tertarik, nggak suka beneran.” Dia melipat tangannya, meniru gerakan tangan lady. “Kalau begitu aku akan cari incaran lain. Hum…. Siapa ya?” Dia mengatup-katupkan tangannya ke dagu. “Felix sih oke, tapi dia kelihatan galak. Kevin terlalu tua, playboy lagi. Ariel udah nolak gue. Hazel udah jadi pacar elo. Berarti tinggal satu: Kian!”

DEG! Kali ini jantungku terasa berhenti.

“Kian manis, tampangnya oke, smart, drummer, terus jago masak, mirip banget sama Hazel tapi sifatnya lebih kearah Felix.” Adriel masih memberi komentar. “Menurut lo, Lex, gue sama Kian—loh? Alex? Lex, mau kemana?”

Aku tak mau mendengar komentar Adriel lagi. Kakiku sudah melangkah cepat meninggalkannya, melewati lapangan, dan terengah saat melewati koridor. Ketika otakku yang panas sedikit mencerna apa yang terjadi, aku tersadar kalau aku sudah masuk ke perpustakaan. Perpustakaan masih sunyi dan kosong.

Lemari-lemari yang berisi buku-buku tebal merapat di sekitar ruangan. Bau apuk dan lembab membuatku sedikit bergidik. Ini pertama kalinya aku perpustakaan pagi-pagi sekali dan aku tak menyangka kalau sensasinya sedikit berbeda jika siang menjelang. Lebih segar, lebih sunyi dan lebih…

“Kian?” aku terheran melihat Kian duduk disalah satu kursi di dekat jendela dan asik membaca disana. Dia mengadah sejenak. “Kau sering disini?”

Kian mengerutkan dahinya. “Harusnya aku yang tanya begitu padamu kan? Rasanya aku tak pernah melihatmu di perpustakaan selama ini,” katanya dengan nada keheranan. “Perpustakaan sudah seperti rumah kedua bagiku. Amour nomor tiga. Kau ngapain ada disini?”

“Aku—” aku harus jawab apa? Kakiku melangkah sendiri kesini karena jengkel pada Adriel dan justru membawaku ke “rumah kedua” Kian. Apa ini yang namanya jodoh ya?

Yang benar saja! Aku menjawab tegas di dalam hati.

“Aku mau ambil buku. Untuk makalah,” jawabku bohong. “Um… aku cari data dulu ya?” kataku cepat. Dia mengangguk dan aku cepat-cepat bersembuyi ke balik lemari. Aku ini ngapain sih? Makalah apaan? Kebohongan yang menyedihkan dan akan segera ketahuan kalau Kian menanyai Adriel soal makalah buat-buatan ini. Aku malah merasa ngeri kalau ada tugas makalah beneran.

Tanganku menelusuri deretan buku di rak. Hum… makalah apa yang bisa diambil dari judul-judul buku yang justru membuatku semakin stres? Ini karena Adriel ngomong yang nggak-nggak makanya jadi begini. Kenapa dia bisa dengan mudah berganti hati dari satu tempat ke tempat lain sih? Beberapa minggu lalu masih Ariel, lalu berubah jadi Hazel, semenit dia mendengar kabar “jadian” dia malah mengubah target menjadi Kian. Jiwanya itu benar-benar sulit dimengerti.

Aku mengambil buku biologi, membolak-balik beberapa lembar dan membaca beberapa baris isinya dengan tidak berminat. Tak lama kemudian aku melirik melalui celah buku dan melihat bayangan Kian. Dia masih asik dengan bukunya—dan kelihatan berkonsentrasi dengan isi bukunya.

Kenapa cowok yang satu ini cakep banget sih? Aku menggerutu dalam hati. Jantungku sudah berdetak tak karuan hanya melihatnya. Tenanglah! Kalau kau berisik bisa kedengaran sama orangnya.

“Ehem.”

Aku berbalik cepat, mendapati Adriel ada di belakangku. “A-Adriel?”

Mata Adriel menyipit. “Alex, rasanya aku tahu kau suka sama siapa.”

Aku mundur merapat ke rak buku. Jantungku yang sempat tenang kembali berdetak keras. Adriel melangkah mendekati, membuatku tak bisa kabur kemanapun.

Kau suka sama Kian kan?

Aku menjerit tertahan, mendorong tubuhku yang sudah terhimpit rak semakin ke balakang. Rak buku goyah dan perlahan jatuh ke belakang, menabrak rak di belakangnya. Aku jatuh terjungkal ke belakang diiringi suara teriakan dan gedebukan dan berpuluh-puluh buku yang jatuh di belakang punggungku.

Tubuhku tak bisa bergerak. Keheningan yang menjalar membuatku terpaku beberapa saat dan aku bisa merasakan sakit yang menjalar dari punggungku. Aku bisa melihat Adriel di dekatku, berdiri dengan mata melotot menutupi mulutnya yang penuh keterkejutan.

“A-Lex! Apa yang—Demi Tuhan—”

Aku mendengar suara Kian. Tak lama dia muncul, menginjak beberapa buku dan membantuku berdiri. Aku bisa melihat wajahnya yang penuh kecemasan.

“Kau nggak apa-apa? Kenapa kau bisa jatuh sih?” kata Kian menahan tubuhku. Dia masih memegangi bahuku—rupanya dia takut aku bakal menabrak rak buku lagi.

“Alex nggak apa-apa?” kata Adriel setelah dia kembali sadar. Dia melewati rak buku yang tumbang, memegangi tanganku kemudian melihat kesekeliling dengan wajah panik. “Kita bakal dibunuh penjaga perpustakaan.”

Perpustakaan kini dalam keadaan hancur berantakan. Dua rak tumbang, menumpahkan isinya keluar, satu pot bunga pecah dan airnya mengotori buku yang ada di lantai, kursi dan meja yang tadi sempat diduduki Kian sudah patah dan terhenyak ke lantai.

Masalah… aku bisa merasakannya dan Kian juga menyadari hal itu.

Tak lama kemudian suara-suara kaki yang mendekat membuat kami semakin takut. Siswa yang rupanya mendengar suara luar biasa dari perpustakaan berdatangan untuk melihat apa yang terjadi. Penjaga perpustakaan masuk dengan tergopoh-gopoh. Kacamatanya berkilat marah dan shock melihat apa yang terjadi.

“KALIAN BERTIGA!” dia menjerit memekakan telinga. “IKUT SAYA KE KANTOR GURU!”

Kami menelan ludah. Tamat riwayat kami.

*** Amour Café ***

Jeez!” Kian menggosok telinganya, mendesis jengkel. Aku juga tak bisa menyalahkannya—karena ini semua salahku. Setelah kejadian itu, Penjaga Perpustakaan menceramahi kami selama dua jam, kemudian menghabiskan waktu seharian membereskan kerusakan yang aku perbuat—berulang kali aku minta maaf pada Kian karena menariknya dalam masalah ini—dan pulangnya masih diceramahi sama guru BK. Kami diberikan peringatan dan untung saja bukan SPO—Andre bakal mengolok-olok aku karena itu—tapi kami bertiga dilarang “mengunjungi” perpustakaan selama dua bulan, hal yang membuat Kian frustasi.

“Maaf ya Kian, kau jadi harus dilarang pulang ke rumah keduamu karena aku,” aku semakin merasa bersalah.

Kian menatapku sejenak. “Yah… sekolah bukan satu-satunya yang punya perpusatkaan, A-Lex,” katanya menghela napas. Bagiku dia seperti berusaha menaham amarahnya. “Aku cuma heran, kenapa kau bisa menabrak rak buku yang jelas-jelas lebih besar darimu.”

Adriel menyikut perutku, memainkan matanya sambil tersenyum-senyum. Aku memelototinya, menyuruhnya diam.

“Ya sudah, aku tak keberatan jika kalian tak mau cerita, tapi Kevin bakal menceramahi kita lagi,” Kian melirik arlojinya. “Kita sudah telat.”

“Biar gue antar,” kata Adriel cepat. “Pakai mobil kan lebih cepat.”

Kian tak membantah dan aku merasa lebih baik menurut. Setelah menaikan sepedanya ke bagasi, mobil Adriel melaju cepat melewati jalan. Aku duduk di depan, disamping Adriel dan Kian di belakang—berulang kali mengecek arlojinya.

“Alex,” Adriel melirikku. “pokoknya elo harus cerita apa yang terjadi sama gue. Gue bakal nginap di rumah elo malam ini. Gue mau tahu.”

Aku melirik Adriel, mencibir. “Besok aja.”

“Nggak bisa, harus sekarang. Ini menyangkut masa depan gue.”

Segitu amat, batinku jengkel.

“Kalian berdua ngomongin apaan sih?” Kian membungkuk mendekat. Dia menatapku, meminta penjelasan tapi aku memilih pura-pura tidak melihatnya. “Baik, terserah kalian! Cewek memang suka main rahasia.” Gerutunya jengkel.

“Nah, itu elo tahu jadi ngapain nanya lagi,” kata Adriel sedikit geli. Dia benar-benar menikmatinya. Sialan!

Tak lama, kami sudah sampai di Amour. Seperti biasa, pengunjung Amour yang kebanyakan berpasangan terlihat mengantri. Antrian di toko kue mini kami juga dipenuhi cewek-cewek sekolah. Terburu-buru, kami masuk melewati dapur dan Felix sudah menunggu kami dengan tangan melipat dan tampang jengkel, meminta penjelasan.

“Ariel udah cerita,” Kevin yang lewat membawa nampan berisi piring kotor menyingkirkan Felix. “Sekarang cepat ganti baju dan bekerja. Kita sibuk sekali, entah apa yang terjadi hari ini.”

Lega rasanya. Kami harus berterima kasih pada Ariel walau sedikit memalukan karena dia tahu kejadian itu. Ya ampun Alex, wajar saja dia tahu, dia Ketua Osis Merah Putih. Kian memilih mengganti pakaiannya di kamar mandi dan masuk kembali tak lama kemudian cuma untuk mencampakan pakaiannya. Dahinya berkeringat ketika keluar kamar dan melayani tamu.

Kesibukan kami melayani pelanggan membuat kami lupa apa yang terjadi bahkan untuk berkomunikasi saja sulit. Aku baru tahu dari salah satu pelanggan kami bahwa Amour Café sedang ngetren saat ini: Enam Pangeran Tampan—aku termasuk di dalamnya?—yang bersatu di dalam satu café, menarik perhatian cewek-cewek.

Saat jarum jam menunjuk ke jam sebelas, Felix mengantarkan tamu terakhir ke depan pintu dan kami akhirnya bisa melemaskan otot-otot kami. Hari yang sangat-sangat sibuk.

“Minum dulu,” Hazel meletakan nampan minuman berisi jus buah. Kevin muncul membawakan pudding caramel. Aku dan Kian segera mengambil minuman dan baru merasakan ketenangan setelah rasanya bisa merasakan kehidupan.

“Kok bisa sih kalian menghancurkan perpustakaan?” Ariel geleng-geleng kepala, menyendok pudingnya. “Aku hampir aja pingsan waktu dengar kabar itu dari anak-anak Merah Putih.”

“Yeah, aku juga mau tahu kenapa, A-Lex,” Kian melirikku. “Aku hanya kebetulan ada di perpustakaan saat kejadian itu terjadi. Dia bersama Adriel, sepertinya membicarkan sesuatu yang rahasia.”

Hazel tersedak ketika memakan pudingnya. Ariel yang ada di dekatnya segera menepuk-nepuk punggungnya.

“Jangan-jangan Adriel tahu ya?” kata Hazel menatapku dan ketika dia melihat ekspresiku, dia mengangguk sok tahu. “Ah, sudah kuduga.”

“Rahasia apaan sih? Kok kau bisa tahu juga?” kata Kian jengkel.

“Sori banget, Kian. Tapi aku emang nggak bisa ngasih tahu apa-apa. Tanya aja langsung sama Alex,” Hazel memberikan senyumannya yang menyebalkan.

Aku menahan napas, melihat rasa ingin tahu dari wajah-wajah yang menatapku. Aku cepat-cepat menghabiskan minumanku dan buru-buru bangkit. “Aku pulang dulu, Adriel sudah menungguku di rumah.”

“Tapi kita masih mau mulai pesta,” kata Kevin cepat. “Bukannya—”

“Dah.” Aku tak mendengarkan dan mengambil tasku, membuka pintu café dan berlari keluar.

*** Amour Café ***

“Jadi begitu!”

Adriel bertepuk tangan. Puas sekali mendengar ceritaku.

“Ini sudah jam satu, ayo tidur,” aku menarik selimut menutupi tempat tidur kecil yang sekarang kami tiduri berdua. Aku lelah sekali hari ini.

“Aku tak sangka kalau kau suka Kian,” gumam Adriel, dia menatap langit-langit, menutupi selimut ke mulutnya. “Tapi, Lex, apa benar Hazel nggak naksir elo? Nggak keberatan kalau dia nanti pacaran dengan gue?”

Dahiku mengerut heran. “Kok tanya begituan?”

Adriel diam sejenak. “Karena biasanya, manusia baru bisa menghargai sesuatu jika kita tidak memilikinya atau saat kita kehilangan sesuatu itu.”

Itu kalimat yang mengejutkanku.

“Tapi, yah… selamat malam, Lex.”

Aku tak membalas dan memilih berpikir, bertanya-tanya dalam hatiku sendiri. Manusia baru bisa menghargai sesuatu jika kita tidak memilikinya atau saat kita kehilangan sesuatu itu, berulang kali aku mereview kalimat itu. Hazel sahabatku, aku tahu hal itu dari lubuk hatiku yang paling dalam. Tentunya aku tak keberatan jika dia—suatu hari nanti—pacaran dengan Adriel. Ada banyak cewek di dunia ini, dia bisa memilih salah satu dari mereka dan tentunya aku tidak keberatan, ya kan?

Entah kenapa aku merasa tak yakin dengan jawabannya.

Bersama Hazel aku selalu nyaman walau banyak yang bilang dia berbahaya atau sejenisnya tapi aku tahu kalau Hazel berusaha untuk melindungiku apapun yang terjadi. Dan tentunya aku juga akan berusaha untuk melindungi sahabatku dari apapun yang menyakitinya.

Kenapa aku marah padanya dan minta dia putus pada Rhea?

Karena Rhea selingkuh dan dia tutup mata soal masalah itu. Rasa khawatirku sama besarnya ketika membuntuti Felix bersamanya.

Kenapa aku menutup mata soal keburukannya padahal dia sudah menunjukan sisi dirinya yang begitu gelap?

Dia sahabatku dan aku bisa menerima keadaannya.

Dan kenapa kau marah saat melihat cewek-cewek penari itu?

Itu karena hal yang dia lihat bukan sesuatu yang baik.

Dan kenapa juga aku ikut campur pada kehidupannya? Bukannya dia berhak memutuskan apa yang harus dia lakukan?

Kali ini aku tak bisa menjawab. Rasanya sebagai sahabat, aku terlalu ikut campur dalam kehidupannya. Benar… aku ini sebenarnya menganggap Hazel sebagai apa sih?

“Matamu bengkak,” Hazel mendekatkan wajahnya, telunjuk matanya menotol-notol kelenjar mataku. “Apa Adriel memborbardirmu dengan pertanyaan makanya kau sampai tak tidur?” dia berbalik, membuka kulkas.

“Nggak, sih,” aku menatap langit-langit. “Aku cuma tak bisa tidur.”

“Bisa kulihat,” Hazel menutup kulkas, tangannya memegang timun yang masih segar. Dia memotongnya bulat-bulat dan memberikannya padaku. “Tempelkan di matamu selama lima belas menit, itu akan membantumu sedikit. Kau duduk saja di dekat pintu dapur, tak ada orang lewat dari sana.”

“Kalau Kevin tanya gimana?”

“Biar aku yang jawab,” Hazel mendorongku ke dekat pintu dapur. Langit memerah, sore sudah datang. Dia mendudukanku, menyuruhku untuk bersandar dengan nyaman dan menempelkan kedua timun itu di mataku. “Tidur saja dulu, nanti aku yang bilang kalau ada apa-apa.”

Akhirnya aku bisa menenangkan pikiranku.

Adriel benar-benar membuatku menghabiskan tenaga dan pikiran. Kalimatnya tadi subuh membuatku tak bisa tidur. Di jam pelajaran aku tidur dan pelajaran olahraga kakiku tersandung sementara memar di punggungku karena menabrak lemari perpustkaan terasa nyeri sampai ke tulangku.

Hatiku tak tenang. Kalau kemarin aku begitu yakin kalau aku menyukai Kian maka kali ini aku tak seyakin itu. Apakah aku yakin tidak apa-apa jika suatu hari nanti Hazel tidak disampingku?

“Mana Alex?” terdengar suara Kevin.

“Dia kusuruh istirahat,” jawab Hazel, suara pisaunya berkeretakan.

“Kau suruh istirahat? Kita sedang repot,” kata Kevin tak sabar.

“Daripada dia pingsan lebih baik dia kusuruh istriahat kan?”

Kevin sepertinya mencerna kalimat barusan. Dia diam lama sekali. “Lalu, bagaimana soal Amerika itu? Kau benar-benar akan pergi?”

Ha? Aku mempertajam pendengaranku. Aku tak salah dengar kan? Amerika?

Suara tumisan membahana di dapur. Aku bisa mencium bau bawang yang menyengat, Hazel menjawab di antara suara yang berisik, “Belum ada pemberitahuan. Sepertinya aku tak jadi pergi.”

“Fuh… syukurlah,” Kevin terdengar lega. “Aku tak tahu siapa yang bisa diandalkan di dapur selain kau.”

“Kan ada Kian.”

“Aku belum yakin dengan kemampuan newbie.”

Suara langkah Kevin menjauh. Selanjutnya Hazel terdengar sibuk dengan pesanan yang berdatangan bergantian dari suara Ariel, Felix atau Kian. Dalam hati aku penasaran dengan pembicaraan Amerika. Ada apa di Amerika sampai Hazel harus pergi? Kok dia nggak ngasih tahu apa-apa sih?

“Pesananku mana?” suara Felix terdengar diantara cincangan bumbu dapur. “Ngapain si Alex disana? Kau menyuruhnya bertapa?”

“Aku menyuruhnya istirahat,” kata Hazel sambil lalu.

“Tapi kita tak punya karyawan perempuan—”

“Ya, ya, ya,” kata Hazel lagi.

“Kudengar dari Kevin kau tak jadi pergi,” kata Felix.

“Cepat sekali kabarnya menyebar,” gumam Hazel. Suara air dari westafel membuat mereka diam. “Bagaimana denganmu? Jadi praktek ke rumah sakit?”

Felix menghela napas. “Ya… aku juga khawatir apa bisa masuk kerja atau nggak,” gumamnya. “Aku tak bisa tak peduli pada kuliahku kan? Kurasa Kevin bakal membunuhku kalau dia tahu aku cuti.”

“Lebih baik dia merekrut karyawan baru,” kata Hazel lagi. “Kalau tidak, mungkin seumur hidup kita akan bekerja untuknya.”

“Selera Kevin sangat tinggi dan dia paling susah dibuat puas,” kata Felix lagi. “Ingat waktu koki di resto sebelumnya memasak? Dia membandingkan kemampuannya denganmu. Dia sudah gila. Aku tak yakin ada karyawan yang bisa betah dengannya.”

“Tapi managemennya oke,” kata Hazel.

“Kalau tidak oke apa gunanya tamatan luar negerinya itu?”

“Jangan protes. Bawa makananmu. Kalau Kevin melihatmu ngobrol denganku, kita bakal habis.”

Aku tak mendengar apa-apa lagi. Sebenarnya sudah berapa lama aku duduk di luar? Kok Hazel nggak mengatakan apa-apa.

“A-Lex,” Kian mengambil timun yang menutupi mata kiriku. Aku mengintip sedikit, melihat Kian menunduk, menatapku sambil tersenyum. “Waktunya minum teh.”

“Hah?” aku terkaget, mengeluh, memegangi leherku yang menegang.

“Hazel sepertinya sengaja menyuruhmu istirahat. Kau pasti ketiduran,” Kian mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. “Yang lain udah di ruang tengah.”

Aku melotot. Apa? Sialan si Hazel, dia meninggalkanku sendirian di dapur! Aku menggerutu jengkel. Itu artinya seharian ini aku tak melakukan apapun. Menyebalkan. Menjengkelkan.

Ruang tengah sudah bersih dan kosong. Tikar sudah telentang di lantai dan anak-anak Amour duduk-duduk disana, menikmati teh mereka.

“Kau meninggalkan Alex sendirian di dapur?” Kevin mengerjap. “Kalau dia masuk angin gimana? Kan kita juga yang repot!”

“Aku emang sengaja,” kata Hazel. “Di dapur suhunya lebih hangat karena kompor, jadi dia bisa tidur dengan tenang. Tidurmu enak, Alex?”

“Bukannya tadi kau bilang cuma menyuruhku istirahat lima belas menit?” kataku.

Hazel manggut-manggut. “Memang. Tapi waktu mau aku bangunin kau sudah tidur, mana berani aku ganggu.”

“Aku justru tak bisa tidur nanti malam ini!” aku berseru jengkel.

Hazel mengerjap. “Kau kenapa, Lex? Kok hari ini rasanya emosimu meledak-ledak ya? Bukannya sudah tidur dengan cukup?”

Ah… aku memerhatikan sekelilingku dan baru menyadari apa yang baru saja kukatakan. Benar saja. Rasanya aku tak seperti diriku hari ini. Tidak. Tidak. Ini karena aku kurang tidur.

“Ah, maaf, aku…”

“Nggak apa-apa lagi, Lex. Kau kan udah biasa marah-marah,” Ariel memberikan senyuman pada Kevin dan Kevin membalas senyumannya. Mereka seperti memberikan kode yang aku tak tahu.

Ada apa sebenarnya denganku hari ini?

*** Amour Café ***

Kevin memaksaku untuk mengantarku pulang ke rumah setelah seharian bekerja hari-hari berikutnya dengan alasan kalau Hazel sedang sibuk berkutat dengan band-nya. Kupikir The Music Angel tak akan main untuk sementara waktu karena Andre sedang sakit, tapi rupanya tidak begitu dan akhirnya aku tahu alasannya. Sepertinya Kevin berusaha mencari kesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi dan hendak mengatakan sesuatu karena itu dia memaksaku untuk mampir ke café dua puluh empat jam yang penuh warna-warni dan memaksaku duduk di salah satu meja bundar merah bernomor tujuh belas.

“Ada yang ingin kau katakan kan?” aku sudah menduga hal ini.

“Ya,” Kevin menjawab tegas, menyerahkan menu pada pelayan yang menatapnya dalam beberapa detik dengan penuh kekaguman selama beberapa detik kemudian menghilang. “Ini mengenai Hazel.”

Aku memberikan respon tanda mengerti. “Ada apa dengannya?”

“Kau benar-benar pacaran dengan Hazel atau tidak?”

Lagi-lagi pertanyaan itu. “Memangnya kenapa?”

“Aku rasa kalau kau tidak pacaran dengannya. Aku tahu cara Hazel jika pacaran dengan seseorang,” Kevin bersandar, melipat tangannya, memerhatikan kesekeliling café itu dengan dahi mengerut. “Aku mengenal Hazel lebih dari siapapun. Dia akan langsung bilang sama semua orang jika dia pacaran, mengumumkan nama ceweknya bahkan pada anak-anak band dan kelompoknya, tapi dia tidak mengumumkanmu.”

Aku diam sejenak, mencerna kalimat barusan dan berpikir tak ada gunanya menyimpan ini lebih lama. “Kau benar, memang tidak.”

Anehnya, Kevin menghela napas lega. “Syukurlah. Aku tak ingin kau bergaul dengan Hazel. Jangan salah paham dulu, Alex,” tambahnya buru-buru ketika melihat dahiku yang mengerut. “Aku mengatakan ini karena Hazel—eh—tidak cocok denganmu.”

“Kenapa? Apa Hazel begitu jahat?”

“Tidak sih. Dia sebenarnya baik,” Kevin kelihatan salah tingkah. “Hanya saja dia bukan tipe orang yang bisa mencintai. Dia tidak lagi jadi tipe seperti itu. Dan kupikir gadis polos yang mengharapkan cinta sepertimu tak cocok untuknya.”

Dahiku mengerut lebih dalam. Aku semakin tak mengerti.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada Hazel?”

Kevin menatapku beberapa detik. “Kalau dibandingkan dengan Felix, maka penderitaan Hazel berkali-kali lipat lebih susah. Dulu—yah—ketika dia masih memakai perasaannya—erm—sebelum dia berhenti menggunakan itu.”

Oke. Aku benar-benar tak mengerti.

“Terima kasih,” kata Kevin ketika pelayan membawa nampan berisi jus jeruk dan kopi kental.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” kataku penasaran. “Apa maksudmu dia tidak memakai perasaannya? Apa yang—”

“Tenanglah. Aku akan menceritakan padamu. Kurasa aku bisa mengatakannya padamu karena kau sahabatnya, atau setidaknya, kau yang berpikir kalau dia sahabatmu.”

Aku mengepalkan tangan, khawatir dengan ekspresi Kevin, yang kelihatan lelah dan tak tahu harus berbuat apa.

“Kakekku punya tiga orang anak: pertama Ayah Hazel, Ayahku dan Ibu Felix. Singkatnya, ketika Ayah Hazel masih hidup, dia mewarisi seluruh harta kekayaan Kakek. Ayah Hazel punya dua orang anak: Kakak perempuan Hazel dan Hazel sendiri—”

“Apa?” hal ini mengagetkanku. “Hazel punya Kakak perempuan?”

“Yah… dulu…”

“Dulu?”

“Kau mau dengar atau tidak?” Kevin jengkel.

“Oh, ya, ya, tentu saja,” aku menahan rasa penasaran yang meluap-luap di dadaku. Aku belum tahu mengenai yang satu itu. Dia memang cerita soal keluarganya, tapi dia tak menyebut-nyebut soal Kakak Perempuan. Dulu aku memang keheranan, kenapa Hazel bisa menceritakan mengenai keluarganya dengan nada tenang begitu, padahal itu cerita sedih!

“Kakak perempuan Hazel namanya Hana, dia tiga belas tahun lebih tua dari Hazel. Dia baik, cantik, pintar, pokoknya sempurna,” aku merasa kalau dia sengaja mendekripsikan hal itu. “Aku mengaguminya, begitu juga dengan sepupuku yang lain. Dia begitu menyayangi Hazel, tapi dia tiba-tiba meninggal ketika Hazel berusia enam tahun.” Kevin berhenti sejenak, menerawang. “Awalnya tak ada yang tahu apa masalahnya, tapi ternyata Hana punya penyakit kanker otak yang selama ini dia sembunyikan. Kau pasti tahu perasaan Hazel seperti apa. Hazel mengurung diri di kamar selama sebulan karena itu. Alasan Hazel mengambil jurusan seni juga karena ingin melanjutkan impian Kakaknya menjadi musisi. Lukisan malaikat itu adalah Kakaknya Hazel, kau pasti lihat kan?”

Aku mengingat lukisan malaikat yang begitu cantik itu. Perlahan aku menangguk, masih diam.

“Kemudian, untuk mengurangi kesedihannya, kedua orang tuanya memberikan dia cinta yang berlebihan: perhatian, uang, dia tak pernah dibiarkan sendiri dan dia menyukai itu. Dia merasakan semua cinta dari kedua orang tuanya sampai kemudian mereka berdua juga meninggal dalam kecelakaan tepat saat Hazel berusia tiga belas tahun.”

Aku menyedot jusku, berusaha membasahi tenggorokanku yang kering.

“Lalu Kakekku mengambilnya. Dia dilimpahi kasih sayang sekali lagi. Hazel bukan tipe orang yang menyebalkan. Dia anak yang penurut jika dia diberikan kebebasan dan Kekekku tahu hal itu. Untuk sejenak Hazel menjalani kehidupannya dengan normal, hanya saja cinta pertamanya saat dia berusia lima belas tahun meninggalkannya tanpa alasan—”

“Ha?” aku memotong.

“Kau tentunya tak berpikir kalau dia tak akan punya pacar kan, Alex? Hazel begitu populer,” Kevin terkekeh sejenak. “Gadis itu cantik, baik, pintar, periang—agak sepertimu sesungguhnya, mungkin itu sebabnya dia bisa santai bersamamu. Tapi gadis itu meninggalkan Indonesia tanpa mengucapkan selamat tinggal. Kami berusaha mencarinya, tapi sulit sekali. Terakhir kami mendengar kabar kalau dia ada di Paris dengan pacar baru. Hazel melihat adegan yang tak ingin dia lihat dan memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Dia tidak berteriak atau menangis saat itu, dia hanya berdiam diri sepanjang minggu.”

Kevin menatapku sejenak, menelan ludah dan berkata, “Kakekku meninggal sebulan kemudian.”

“Astaga…”

“Yah…” Kevin meneguk kopinya, meletakannya dan menatap mataku. “Sejak Kakekku meninggal, dia berhenti mencintai. Menurutnya, jika dia memberikan cinta pada seseorang, mereka akan meninggalkannya. Hazel takut ditinggalkan, itu sebabnya dia tak suka berhubungan dengan perempuan lebih daripada teman. Kalaupun lebih, aku yakin dia tak akan serius.”

Aku meminum lagi jusku, cerita ini membuatku merasa tak nyaman.

“Bagi Hazel sekarang, yang berharga baginya saat ini hanyalah aku dan Felix. Kalaupun yang lain melarangnya, dia tak akan mendengarkan.”

Aku tak pernah menyangka kalau Hazel punya kesedihan yang datang bertubi-tubi padanya. Seorang kakak perempuan yang meninggal karena sakit, orang tua yang meninggal kecelakaan, pacar yang melarikan diri dan seorang Kakek. Maksudku, sejak aku bertemu dengannya, dia selalu tersenyum. Dia memang pernah marah, tapi aku tak pernah melihat dia menangis. Mungkin, kataku dalam hati, mungkin saja dia menghilangkan rasa itu.

“Aku senang Hazel bisa dekat denganmu, tapi Alex, demi kebaikanmu, lebih baik kau jangan jatuh cinta padanya.” Kevin tersenyum kecil. “Karena adik perempuan Felix naksir padanya.”

Aku tersedak. “Apa? Felix punya adik perempuan?”

“Oh, ya, Felix punya adik laki-laki dan perempuan. Mereka kembar, seusia Andre, kurasa dan Hazel berjanji padanya untuk menikah dengannya.” Kevin memainkan alisnya ketika aku menganga. “Kalau aku anak tunggal.”

“Oh,” aku mengangguk lagi. Aku tak menyangka kalau Felix punya saudara. Gayanya yang sok berkuasa seolah menunjukan kalau dia tak membutuhkan mereka.

“Tapi, Alex, berjanjilah kalau kau tak akan menceritakan masalah ini pada siapapun. Ini rahasia. Kau bisa kan?” kata Kevin lagi.

Aku mengangguk. “Aku bisa.” Aku seorang penjaga rahasia yang baik.

*** Amour Café ***

Sejak Adriel tahu aku naksir Kian, dia lebih sering datang ke Amour—tepatnya ke dapur. Hari-hari terkakhir aku merasa tidak terganggu, tapi belakangan aku mulai sangat terganggu.

“Hazel itu cakep, baik, ramah, sopan, jago masak,” setiap ada kesempatan, dia akan mengulangi itu sepanjang hari. “Elo nggak tahu sih, Lex, betapa beruntungnya gue kalo gue bisa jadi pacarnya. Hazel and Adriel. Manis bangeeeeeeet. Walau bekasnya Rhea,” dia sedikit jengkel menyebut “Rhea” “tapi gue rasa kalo gue sama dia pasti bisa langgeng. Apalagi Hazel sering ngalah.”

Aku menghela napas, menatap Adriel yang matanya berbinar.

“Apa aja yang udah terjadi antara kalian berdua?” aku bertanya dengan nada bosan sambil memakan baksoku.

“Kami SMS-an bareng, teleponan bareng, masak bareng….” Dan dia mulai cerita lagi. Aku cuma bisa memutar bola mataku, bosan mendengar ceritanya. Sewaktu dia masih naksir Ariel, dia bercerita banyak soalnya dan sekarang giliran Hazel. Entah kenapa aku merasa jengkel pada Hazel.

Ariel masuk ke kantin bersamaan dengan Kian. Sejak ada di Amour, mereka jadi kelihatan lebih akrab dan kedekatan mereka menjadi gosip di sekolahan. Pangeran berkuda putih dan pangeran kegelapan. Mereka serasi sekali.

“Kau mau apa?” Ariel menanyai Kian.

“Mie ayam saja,” Kian menjawab, melirik kesekeliling. “Ah, A-Lex!” dia melambai ketika melihatku. “Aku kesana.”

“Oke,” Ariel memberikan jempolnya.

Aku memperhatikan sekeliling dengan panik ketika Kian mendekat. Gosip mengenai adanya Kian saat penghancuran di perpustkaan menyebar cepat di sekolah dan jika ditambahi kedekatan kami bertiga saat ini, bisa kubayangkan gosipnya akan justru tambah parah.

“Halo, Kian!” Adriel menyapanya.

Kian tidak merespon. “A-Lex, temani aku hari ini.”

“Kemana?”

“Perputakaan,” katanya cepat.

“Bukannya kalian ada kerja hari ini?” dahi Adriel mengerut.

Lagi-lagi Kian tidak merespon. “Ada tugas makalah dan satu-satunya buku yang kuingat bisa dipakai hanya di perpustakaan ini dan perpustkaan daerah.” Dia menatapku dan membuatku justru semakin merasa bersalah. Aku membuatnya tak bisa masuk perpustakaan sekolah. Hal ini pasti menyiksanya. “Kau harus membantuku mencarinya karena perputakaan itu besar sekali.”

“Kau bisa minta bantuan pada penjaga disana kan?” kata Adriel lagi, menopang dagunya dan menatap Kian.

Kian akhirnya meresponnya. Seakan baru pertama kali dia melihat Adriel, dia berkata dengan dingin, “Aku tak tanya pendapatmu.”

“Dia sedang kesal,” Ariel merangkul Kian dari belakang dan tersenyum menenangkan pada Adriel—dia kelihatan sedikit kaget dengan sikap Kian. “Jangan dimasukan ke hati ya, Adriel.”

Adriel terpaku sesaat. “Eh, ya.” Aku berani bertaruh kalau dia masih suka pada Ariel.

Ponsel Kian berdering. Dia mengangkatnya dengan setengah hati. “Halo, Bos?” oh, ternyata Kevin. “Rencananya kami mau ke perpustakaan. Aku, A-Lex, mungkin A-ri-el juga ikut. Kenapa?” dia berhenti sejenak, mungkin Kevin mengatakan sesuatu. “Ini tak bisa ditunda. Pen—”

“AKU YANG MENGATUR DISINI!” Kevin berteriak.

Kian mendesis. “Oke. Oke. Kami akan tiba lebih awal.” Dan dia menutup teleponnya.

“Dia bilang apa?” Ariel duduk di sebelahnya, mengerutkan dahi. “Tak biasanya dia marah-marah denganmu di telepon.”

“Entah, tapi sepertinya terjadi sesuatu dengan Hazel dan Felix.”

Jantungku merasa tak tenang.

“Apa yang terjadi pada Hazel?” kata Adriel cemas.

“Perasaan Hazel sama Felix baik-baik saja,” Ariel mengerutkan dahi. Dia mengeluarkan ponselnya. “Kuhubungi Hazel dulu.”

Tapi setelah lima kali dicoba, dia tidak mengangkat telepon.

“Mungkin dia lagi dalam kelas,” kata Adriel.

“Kalau begitu Felix,” Ariel kembali meletakan ponselnya ke telinga. “Ponselnya mati. Mungkin dia lagi di rumah sakit.” Dia diam sejenak, memperhatikan wajah kami satu per satu. “Kurasa tak ada cara lain selain menurut apa kata Kevin untuk cari tahu apa yang terjadi.”

“Kupikir juga begitu.”

Aku begitu penasaran dengan apa yang terjadi. Tak biasanya Kevin menghubungi Kian. Dan biasanya Kevin menghubungi Kian jika berurusan dengan keadaan mendesak. Ada sesuatu di Amour, aku yakin sekali.

*** Amour Café ***

Kian mengerutkan dahi ketika kami sudah sampai di café dan mendapati ada dua laki-laki yang tampak asing bagiku disana. Yang satu kelihatan jangkung dengan kulit coklat dan rambut yang hampir botak dengan anting di telinga kanannya dan yang seorang lagi seperti anak laki-laki rumahan, berwajah tampan dengan senyum memikat.

“Kenapa kalian ada disini?” kata Kian, sepertinya mengenal mereka berdua.

“Hazel menyuruh kami datang,” kata yang berwajah tampan. “Andre juga disuruh, hanya saja dia sedang belajar saat ini. Detensi.”

“Andre memang cuma tahu cara bikin guru sebal saja,” kata si jangkung dengan suaranya yang berat. Dia melirikku dan Adriel. “Heh, aku tak sangka kalau kau punya cewek juga.”

Wajah Kian merah padam. “I-i-i-itu.”

Kevin muncul bersama dengan Felix dan Hazel. Hari ini Kevin memakai stelan jas terbaiknya, dia berdeham, memberikan sedikit usaha kedewasaan dalam suaranya meskipun tidak berhasil karena si Jangkung terkekeh sedikit melihat tingkahnya yang konyol.

“Semua sudah datang?” kata Kevin memperhatikan sekeliling. “Rasanya aku tak mengundangmu, Adriel,” katanya lagi begitu melihat Adriel.

“Oh, gue cuma ingin tahu. Boleh kan?” kata Adriel.

Kevin menaikan alisnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. “Mana Andre?”

Si Tampan mengangkat tangan. “Detensi. Hari ini dia tak sengaja memecahkan kaca ruang kepala sekolah.”

Aku melotot. Apa?

“A-Lex, jangan memarahinya,” kata Kian.

Kevin berdeham lagi. “Baiklah. Andre juga sedang masa sibuk-sibuknya, aku tak bisa terlalu mengharapkannya. Aku sengaja menyuruh kalian datang kemari karena ada kemungkinan kalian tak akan bisa ngapa-ngapain selama sebulan ini.”

“Kami juga nggak ngapa-ngapain sejak Andre sakit,” kata si Jangkung. “Kami harus bersabar sampai tangannya benar-benar pulih.”

Dahiku mengerut.

“Akan kuperkenalkan pada kalian yang belum tahu, mereka personil The Music Angel, Leo,” Kevin menunjuk si jangkung. “dan Mikho,” katanya pada si Tampan. “Leo seusia Kian dan Mikho kelas satu SMA, benar begitu kan?”

“Yup,” kata Mikho cepat.

“Aku meminta mereka datang kemari untuk mengisi kekosongan di Amour Café selama Hazel dan Felix pergi untuk sementara.”

Terjadi hiruk pikuk berlebihan.

“Apa?” kata Ariel.

“Kau mau kemana?” kata Kian.

“Jadi siapa yang pegang dapur?” aku terheran.

“Aku tak setuju,” kata Adriel.

“Semuanya tenang!” Kevin mengereskan suaranya. Ruangan kembali sunyi walau ada desas-desus tak menyenangkan disana-sini. “Aku sebenarnya juga tidak senang mengenai pergantian ini tapi hal ini dadakan dan diluar kendaliku, jadi—” Kevin menghela napas. “Hazel, kau jelaskan apa yang terjadi.”

Sementara Kevin duduk, Hazel berdiri dan berbicara. Hari ini dia—kuperhatikan—mengenakan stelan casual yang nyaman. “Aku sengaja tidak menceritakan ini karena aku tak yakin kalau bakal diterima, tapi pemberitahuannya datang tadi pagi dan dadakan sekali jadi aku tak bisa berbuat apa-apa. Selama sebulan aku akan ada di Amerika.”

“Amerika,” Adriel mengulang dengan nada lemas.

“Untuk skripsiku, aku akan melakukan studi disana untuk sementara. Aku juga akan magang di Smithsonian American Art Museum sekitar dua minggu. Juga mengunjungi beberapa museum seni disana, seperti Metropolitan Museum of Art dan Museum Mile. Erm, karena ini dadakan, kupikir ini akan jadi hari terakhir kita bekerja sama bulan ini.”

Leo geleng-geleng kepala. “Kau kan suka musik, tapi kenapa malah lari ke seni lukis?”

“Aku tak mau cuma terfokus di satu bidang, Leo,” kata Hazel lagi.

Mungkin dia suka lukis, tapi demi Hana dia bersedia jadi musisi, aku membatin jengkel, sedikit merasa bodoh dengan sifat diam Hazel.

“Aku baru mendapatkan informasi ini pagi ini jadi aku tak tahu apa yang harus kuperbuat,” Hazel menggaruk bagian belakang kepalanya. “Felix, kau juga lebih baik ceritakan alasan kepergianmu.”

Felix menghela napas, tapi dia bangkit berdiri dan mulai menceritakan alasannya dengan ogah-ogahan, “Aku akan ke Jerman, ada pertukaran pelajar disana selama tiga bulan. Pemberitahuan ini juga dadakan walau aku sudah mengirim surat lamaran sejak enam bulan lalu,” katanya sedikit sakit hati. “Dan karena aku tak bisa meninggalkan pendidikan, jadi aku memutuskan untuk mengundurkan diri untuk selamanya karena setelah tiga bulan aku yakin kalau aku akan lebih sibuk daripada sebelumnya dan tak ada kesempatan untuk main-main di café.”

Kulirik Kevin. Kevin juga tampak tak puas dengan keputusan Felix. Jadi, pembicaraan di dapur beberapa waktu lalu adalah karena ini. Dan saat itu keputusannya belum jelas, jadi mereka sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.

“Lalu, siapa yang akan pegang dapur kalau Hazel pergi?” Ariel bertanya, melirik Kian.

“Tentu saja Kian.”

“Aku sudah bilang—”

“Dan tak ada bantahan,” Kevin tidak mendengarkan.

Leo dan Mikho saling lirik.

“Hazel akan berangkat besok dan Felix berangkat dua hari lagi. Kuminta kalian tidak memersalakan apa yang terjadi nanti setelahnya.” Kevin menatap Mikho dan Leo. “Aku tahu kalian tidak berpengalaman dalam pekerjaan ini tapi kuharap kalian juga melakukan hal yang benar dan terbaik. Aku sama sekali tak menerima kesalahan. Mengerti?”

Mikho dan Leo kembali saling lirik. Berbagai pertanyaan di tampang mereka membuktikan kalau mereka tak senang diperintah oleh siapapun selain Hazel.

*** Amour Café ***

4 komentar:

Anonim mengatakan...

hum.... jadi si Alex sekarang naksirnya sama Hazel?
Ah, nggak setuju, soalnya kan Alex lebih cocok sama Kian
--biar si Hazel sama aku aja.
*Ngarep banget!*

prince.novel mengatakan...

Hahaha, silakan mengambil Hazel, aku tak keberatan
=D

Enggar.Putri mengatakan...

heh?
kok jdi complicated kyk gni c

kenapa pada pergi??
ckckck

prince.novel mengatakan...

@cloud: itu yang namanya mengejar mimpi. Kelamaan di Amour Cafe jadi ga tahu kesibukan masing2

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.