RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 03 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Two

by: Prince Novel

Receipt Two

Adriel memelukku dari belakang ketika bel pelajaran hari ini berakhir. Aku terkejut. “Lex, temenin gue shopping, ya.”

Shopping? Otakku berpikir cepat. Itu berarti menghabiskan waktuku sekitar dua sampai lima jam di mall. Keliling-keliling nggak jelas sementara aku nggak bisa membeli apapun dan harus membawa tas belanjaan Adriel dan mengikutinya dari belakang seperti suruhan yang setia. Nggak deh. Terima kasih.

“Sori, aku harus kerja,” aku mengarang alasan.

Dia mengerutkan dahi. “Elo udah dapat kerja? Dimana? Kok elo nggak cerita-cerita ke gue sih?”

Aku bohong. Tentu saja. “Yah… aku mau coba dulu kerja hari ini, kalo cocok ya lanjut, tapi kalo nggak…” aku mengangkat bahu. “Sori banget ya, aku benar-benar harus kerja nih. Udah telat banget.”

Aku buru-buru bangkit, mengambil tasku dan keluar kelas. Sejujurnya aku merasa bersalah sekali pada Adriel. Dia orang yang baik. Tapi hati kecilku berkata kalau sebaiknya aku menjaga jarak dengannya saat ini. Aku sudah terlalu sering mendengar cerita-cerita temanku yang tidak senang melihatku berteman dengan Adriel dan berusaha keras tidak mendengarkan mereka. Namun aku harus mengakui kalau aku tidak setangguh itu.

Adriel seorang putri yang dilahirkan dari keluarga kaya raya, berwajah cantik dan juga cerdas. Dia lebih cocok berteman dengan orang yang setara dengannya, bukannya denganku yang setiap hari bekerja untuk keluargaku yang miskin dan berantakan. Aku tahu kalau aku tidak boleh menyalahkan diriku sendiri karena itu. Hidupku benar-benar sangat menyebalkan. Aku ingin sekali menjadi orang lain, merasakan apa itu kebebasan dan rasa nyaman.

Itu tidak mungkin! Aku membatin jengkel pada diriku sendiri. Aku sudah lahir menjadi seperti ini. Menjadi seorang Alexie Selena.

Seharusnya aku tidak perlu menyesal…

“Haah…”

Napasku terasa berat dan kakiku sudah melewati gerbang sekolah. Kulirik cowok-cowok yang bergerombol sambil merokok tidak jelas. Bagaimana mereka bisa menghirup rokok di depan gerbang sekolah begitu? Pantas saja sekolah ini tak pernah mendapat peringkat bagus di daerah ini. Melihat cowok-cowok itu mengingatkanku pada adikku yang menjengkelkan.

Din Din

Jantungku nyaris saja copot. Aku menyingkir dari gerbang, membiarkan motor milik Ariel keluar terlebih dahulu. Ariel sempat melirik padaku, mungkin dia berpikir kalau aku cewek menjengkelkan, lalu berlalu pergi tanpa berkata apa-apa. Sudah kuduga kalau dia akan segera melupakan wajahku walau kemarin aku sempat bicara dengannya.

Semangatlah, Alex. Ingat kalau hari ini ada sesuatu yang penting yang harus kau lakukan! Kasihan sekali rasanya jika hanya dirimu yang bisa menyemangati diri sendiri. Tapi memang begitulah diriku. Aku biasa mandiri dan paling tidak nyaman jika diperhatikan. Aku biasa memperlakukan diriku dalam keadaan sulit sehingga orang-orang sulit masuk kedalam kehidupanku bahkan sulit sekali memahami diriku. Aku malah heran kenapa Adriel bisa bertahan berteman denganku yang punya sifat aneh seperti ini.

Aku berencana melihat lokasi Amour Café. Iklan itu tidak membuatku tertarik untuk bekerja, tapi justru membuatku penasaran. Biasanya iklan restoran atau akan lebih kreatif seperti membuat gambar makanan atau minuman sehingga membuat orang tertarik dan memperjelas kalau ada sesuatu pada iklan itu. Bukannya tulisan hitam di atas kertas putih.

Namun hati kecilku berkata kalau ada yang tidak beres pada café itu. Kubuka kembali ponselku dan membaca alamat café dengan cepat. Aku sudah cukup berkelana sesuai dengan alamat yang dimaksud, tapi kenapa aku belum juga menemukan cafenya?

Amour Café… Amour Café…

Kuulang nama itu dan mataku mengadah, memperhatikan nama-nama toko dari jalan yang kulewati. Toko Buku Alvin, Rental CD dan DVD Film De Buss, Angel Florist, Paper Blackswitt…

… Amour… Café…

Kakiku berhenti melangkah dan tercengang melihat toko lapuk tua yang nyaris rubuh dan satu-satunya bangunan kecil di tempat itu.

Bangunan itu terletak di sudut jalan, di paling ujung gang dan luput dari pandangan. Gerbang kayu yang mengelilingi bangunan itu juga sudah rontok semua dan dinding-dinding batunya malah sudah dirambati oleh tumbuhan dan nyaris ditutupi dengan daun. Jendela-jendelanya berdebu dengan ruangan di dalam kelihatan gelap dan tak tersentuh. Atapnya bolong dan kelihatannya tinggal menunggu waktu saja sampai bangunan ini runtuh sempurna jika saja ada gempa.

Aku kembali membaca alamat di ponselku dan mencocokannya dengan nama yang ada di gerbang. Tidak salah. Aku ada di tempat yang benar. Bagaimana mungkin ada orang yang datang ke café menakutkan begini? Kulirik lagi papan nama Amour Café yang miring dan nyaris terbelah dua di depan pintu kaca berdebu. Astaga… café ini benar-benar—

“Sedang apa?”

Aku berteriak kaget ketika mendengar suara seseorang di dekat telingaku. Aku makin berteriak kaget saat menoleh kebelakang dan mendapati wajah tengkorak disana. Wajah tengkorak itu tertawa dan seseorang keluar dari café.

“Siapa yang berteriak?”

“Sori, sori, aku cuma main-main. Nggak nyangka kamu bakal teriak begitu,” tengkorak itu bicara lagi. Dan tangannya yang berdaging, melepas kepalanya dan memunculkan wajah seorang pemuda tampan. Kalian penasaran seperti apa tampangnya? Baiklah akan kudeskripsikan.

Dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahunan dengan kulit putih, tubuh tinggi dan rambut sedikit panjang. Dia punya anting di telinga kirinya. Postur tubuhnya sempurna dibalut dengan kemeja biru kotak-kotak dan celana jins robek. Dia memakai sepatu berwarna merah dan ada gelang kulit di tangan kirinya.

“Hazel, berhentilah bermain-main. Kita sedang bekerja disini,” cowok yang baru keluar dari Amour Café menuruni anak tangga yang berderik dan melirik padaku. “Kau siapa? Pelanggan?”

Ha? Pelanggan? Siapa yang bersedia makan di tempat begini? Walau aku miskin, aku juga tak sudi!

Nah, yang satu ini kelihatan seperti seorang pria dewasa. Dia punya rambut hitam yang disisir rapi, wajahnya tampan, kulitnya bersih—dan aku sedikit iri karena dia tak punya jerawat—matanya berwarna hitam cemerlang. Dia memakai kemeja bersih mirip orang kantoran tanpa dasi.

“Mana mungkin ada yang mau makan di tempat begini!” kali ini ada lagi suara cowok yang terdengar. Dia memunculkan kepalanya dari jendela besar yang terbuka. Cowok yang satu ini sedikit lebih berantakan daripada yang pertama. Dia punya mata yang jenaka dan rambutnya coklat. Dia mengenakan dasi dengan asal dan kemejanya tidak dimasukan. “Siapa gadis cantik itu?”

Ha? Siapa? Aku? Aku cantik?

“Kevin, matamu buta atau gimana? Setiap cewek selalu kau bilang cantik. Kalau ada cewekmu yang dengar kau bilang begitu, cewek ini bisa dalam bahaya,” kata si cowok rapi.

Apa maksudnya coba?

Kevin tidak mendengar. Dia menghilang dari jendela dan muncul dari pintu yang tadi dilewati si cowok kedua. “Nona, ada yang bisa kubantu?”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku harus bilang apa? Mungkin logisnya aku bilang kalau aku mau makan. Tapi, makan di tempat yang tidak bisa dikatakan sebagai tempat makan seperti ini bisa membuatku keracunan! Aku juga tak bisa mengatakan kalau aku mau melamar pekerjaan. Well, bahkan sebelum aku bekerja, café ini sepertinya sudah bangkrut.

“Aku…”

“Dia mau melamar pekerjaan,” jawab si cowok kedua melipat tangannya. Kevin dan Hazel mengerutkan dahi. “Pikirkan kalian, mana ada orang yang bersedia makan di tempat begini. Lain cerita kalau cewek ini mencari cerita tentang kisah hantu. Tapi kupikir itu juga tak mungkin. Dia tadi ketakutan waktu dikageti sama Hazel.”

“Felix, kau memang tidak bisa lembut sedikit sama perempuan?” Hazel geleng-geleng kepala. “Jadi Nona, kau benar-benar mau melamar pekerjaan disini?”

Aku hendak menjawab, tapi lagi-lagi si Felix memotong cepat dan menjawab dengan logika yang membuatku semakin bungkam, “Café kita cuma bikin iklan untuk penerimaan karyawan baru dan dia sepertinya sedikit kecewa karena menemukan kenyataan bahwa Amour Café seperti itu.” Dia menunjuk ke café. “Dan seperti yang sudah kukatakan berulang-ulang, Kevin, mustahil bagi kita merekrut pegawai jika kau bikin iklan yang tak jelas. Sekarang kau suruh saja cewek ini pulang. Percuma baginya untuk datang kemari, toh kau cuma membutuhkan pelayan laki-laki.”

Kau manusia menjengkelkan! Aku memaki dalam hati. Kau pikir aku tak capek apa datang kemari?

“Di iklan tak ada keterangan kalau kalian membutuhkan pegawai laki-laki,” kataku dengan nada sedikit jengkel.

Kevin mendelik jengkel pada Hazel. “Hazel?”

“Aku sudah minta kau memeriksanya kan? Tapi kau bilang kau sudah setuju dengan keputusanku,” Hazel tersenyum. “Aku cuma tak ingin ada pelayan wanita. Maksudku, kau tahu sendiri kan kalau aku sedang laris saat ini.”

Laris? Laris apa?

“Kita ini sedang bikin café, bukannya pub,” Kevin kelihatan jengkel. “Padahal aku berniat kalau ada pelayan cantik. Pantas saja tak ada satupun gadis yang muncul, rupanya kau membuat iklan yang tak beres.”

“Kalaupun ada pelayan cewek, mereka tak akan mau kerja di tempat begini, apalagi jika managernya playboy sepertimu Kevin,” timpal Felix. “Sudahlah, menyerah saja. Kita jual saja tempat ini dan bagi rata uangnya. Aku heran kenapa Kakek memberi kita harta warisan yang tua begini.”

“Berapa kali aku harus bilang padamu kalau aku tak mau,” kata Kevin lagi. “Kita mau jual sama siapa? Daripada dijual, lebih baik kita buka kembali cafenya. Kita pasti bisa mendapatkan untung kan? Kau tak pernah belajar ekonomi ya?”

“Aku cuma tahu caranya membedah manusia,” gerutu Felix. “Seharusnya itu jadi urusanmu. Apa kau tak bisa memanfaatkan sarjana Manajemen Ekonomi Bisnismu itu? Apa gunanya kau belajar jauh-jauh ke Amerika kalau ujung-ujungnya jadi pengangguran?”

Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Sebaiknya aku cepat-cepat minggat dari tempat ini. Tak ada gunanya aku berlama-lama disini.

“Lalu, siapa namamu, Nona?” Hazel bertanya dengan nada lembut.

“A—Alex.”

“Alex?” Hazel mengulang. Dahinya mengerut. “Namamu unik.”

Dia berkomentar dengan nada aneh. Well, dia bukan orang pertama yang bilang begitu. Haha.

“Namamu Alex?” Kevin berbalik dan tidak mempedulikan omelan Felix. “Ambigu sekali namamu. Kau benar-benar ingin bekerja disini?”

“Er—anu, sebenarnya aku…”

“Kau diterima.”

Aku mematung. DIA BILANG APA BARUSAN?

“Aku Kevin, Manajer Amour Café—yang akan bangkit sekali lagi setelah empat puluh tahun tutup,” tambahnya mengangkat tangannya dan memaksa tanganku untuk menjabat tangannya. “Setelah aku pikir-pikir, aku punya rencana sendiri mengenai sistem pelayanan yang harus kita lakukan untuk membuka kembali café ini dan aku membutuhkan kerja sama darimu, Alex.”

Aku tidak mengerti. Maaf saja, processorku masih kecepatan rendah.

“Dia tidak mengerti, Kevin dan kau sedikit menakutinya,” Hazel melepaskan tangan Kevin. “Biar aku menjelaskan. Dia Kevin, kalau bisa kukatakan, dia akan jadi manager café ini. Aku Hazel, em… rencananya, aku akan jadi koki disini dan Felix,” dia menunjuk cowok yang duduk di tangga. “akan jadi pelayan dan kami kekurangan orang. Jadi Kevin ingin kau bergabung dengan kami dan menjadi pelayan—”

“—cowok untuk membantu Felix,” sambung Kevin bersemangat.

Hazel mengerutkan dahi.

“Apa?” aku terkejut.

“Kau gila? Dia perempuan!” kata Felix.

“Ayo kita bicara di dalam, Alex.”

Kevin merangkulku dan menarik paksaku untuk masuk ke café. Aku meringis. Aku benar-benar tak bisa kabur lagi.

*** Amour Café ***

Aku menghela napas dan mengeluh. Memikirkan kejadian sore ini membuatku hampir gila. Aku bertemu dengan tiga cowok tampan yang sama-sama gila dan memintaku untuk gila bersama mereka. Kevin memaksaku masuk ke café dan tidak memedulikan usahaku untuk kabur dari tempat itu dan aku sudah duduk di sofa berdebu dengan mereka bertiga mengelilingiku.

Café itu gelap tanpa penerangan dan aku sudah mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku sudah merancang jurus apa yang akan kulancarkan jika mereka menyentuhku tepat saat Kevin bercerita tentang alasan mereka hendak membuka café itu kembali.

“Café ini didirikan Kakekku, Adrian Harianto enam puluh tahun lalu dan sempat berjaya selama dua puluh tahun. Bisa dikatakan, karena café inilah makanya ada beberapa café laris milik Kakek kami di Indonesia. Setelah itu Kakek lebih memfokuskan diri pada usaha restoran dan anak-anaknya lebih menyukai mendirikan usaha sendiri dan akibatnya café ini jadi terlupakan begitu saja.

Nah, dua tahun lalu, sebelum Kakekku meninggal, dia sempat berpesan padaku untuk membuka café ini sekali lagi. Dalam wasiat yang ditinggalkannya, Kakekku meminta kami bertiga untuk mengusahakan kembali café ini dan memberikan hak sepenuhnya café ini pada kami. Namun, saat kami datang untuk melihat seperti apa café yang dibanggakan Kakek—”

“—café ini lebih buruk dari dugaan,” sambung Felix. “Bangunannya hampir ambruk, barang-barang di dalam sudah hancur dan banyak yang hilang. Kupikir ada beberapa pencuri dan gelandangan yang masuk disini. Kami sempat memiliki masalah dengan beberapa penghuni tidak penting disini dan akhirnya bisa mengusir mereka. Tapi kurasa masih ada beberapa yang tertinggal.”

“Maksudnya tikus, kecoa, bangkai binatang dan sejenisnya, Alex. Kau seharusnya pakai bahasa yang lebih sederhana, Felix,” Hazel menjelaskan. “Bukan hantu seperti yang kau pikirkan. Aku sudah memanggil cenayang dan mereka bilang kalau bangunan ini aman seratus persen.”

Hazel benar-benar tahu membaca pikirkanku. Sepertinya aku sedikit menyukainya. Kepribadiannya lebih baik daripada Felix.

“Nah, kami sekarang sedang memilih cara untuk merombak kembali café ini dan kekurangan tenaga. Kami tak ingin merekrut orang luar dan sama sekali tidak ingin keluarga kami campur tangan dengan usaha kami ini.” Kevin melanjutkan dan aku mengerutkan dahi.

“Aku orang luar—”

“Aku tahu, tapi kau berbeda,” Kevin mengangguk.

Aku makin bingung. Apa yang membuatku berbeda dengan orang lain? Ah, aku tahu, pasti karena aku tidak cantik.

“Maksudmu?” Felix mengerutkan dahi. “Aku sama sekali tak paham cara pikirmu, Kevin. Dia sama sekali tidak cantik ataupun seksi. Malah seperti gadis biasanya. Dia bukan tipemu sama sekali. Apanya yang beda?”

Aku kesal. Apa sih yang dia maksud? Dia mau cari berantem?

“Otakku tadi langsung bekerja waktu tahu kalau Hazel bikin iklan yang tak biasa. Orang normal biasanya tidak akan datang begitu saja ke café yang tak jelas tapi dia datang. Itu yang membuat cewek ini beda.”

“Ah, begitu,” Hazel mengerti, mengangguk setuju. Tapi aku dan Felix sama-sama tak mengerti.

“Kau tahu siapa dia?” Kevin menarik Hazel ke depan wajahku. Aku mengerjap, lalu menggeleng. “Tidak? Apa pikiran yang pertama kali muncul saat melihatnya?”

Aku mengerutkan dahi. Heran. “Eng…” aku bingung dan mengulang kembali saat aku melihat Kevin. “Si Tengkorak?”

“Hahaha,” Hazel tertawa. “Itukah kesanku di matamu?”

“Kalau dia?” Kevin menyingkirkan Hazel ke samping dan sekarang menarik Felix. “Apa dia tampan?”

“Eng…” aku memerhatikan Felix dengan lebih teliti. “Ya…?”

“Tidak ada wanita yang bilang aku jelek,” gumam Felix.

Dia benar-benar membuatku jengkel. Tapi Kevin tidak mendengarkan gerutuan dan melanjutkan, “Kesan pertamamu? Jantungmu deg-degan tidak?”

Ok, aku sebenarnya tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Kevin tapi aku menjawab dengan nada jengkel. “Ini untuk apa sih? Aku benar-benar bingung. Kalau kau ingin tanya penilaianku, baiklah aku akan menjawab. Dia memang tampan, tapi aku sedikit tidak menyukainya karena dia menyebalkan dan kata-katanya membuatku kesal.”

Hazel kembali tertawa.

“Kalau aku?”

“Orang aneh.” Aku menjawab cepat. Aku ingin sekali keluar dari tempat ini. Mereka membuatku merasa aneh, takut dan ngeri juga bingung. Mereka orang-orang aneh. Seharusnya aku tahu saat aku melihat café ini pertama kali dan seharusnya aku minggat dari café ini begitu mengetahui ini dan bukannya terjebak bersama mereka.

“Ah, aku sepertinya sedikit mengerti,” kata Felix. Dia memeringkan kepalanya dan menatapku dengan penuh keheranan. “Dia benar-benar lain.”

Kevin tersenyum bersemangat. “Tampaknya aku benar-benar membutuhkanmu di café ini. Aku ingin merekrutmu. Aku janji akan membayarmu dengan harga tinggi.”

Otakku bekerja cepat. “Tapi kau memintaku menjadi pelayan cowok.”

“Memang. Itu karena kepribadianmu yang tangguh. Kalau ada wanita yang bekerja di café ini dengan gayamu, kupikir tak akan ada wanita yang datang ke café ini.”

“Maksudnya?” aku bingung.

“Kevin ingin membuka café yang isinya pelayan lelaki semua sehingga nanti konsumennya adalah wanita. Jika pelayan wanita bekerja disini, tentunya kau akan dibuli-buli oleh konsumen wanita. Gawatnya lagi jika mereka itu pacarnya Kevin.”

“Er…” aku mencerna dengan cepat. Tampaknya aku salah masuk tempat. Mereka cowok-cowok cakep yang disukai para wanita. Aku seharusnya tahu saat pertama kali mengenal mereka. “Apa tidak lebih baik kalau kalian—”

“Terima kasih, Alex. Mulai besok, datanglah kemari dengan pakaian lelaki. Aku bisa mendandani kepalamu dan kupikir kau akan jadi cowok tampan. Aku yakin,” Kevin memotong cepat dan tidak mendengarkan kalimatku barusan. “Berapa nomormu? Dimana alamatmu? Oh, iya, kupikir aku juga harus membuat surat kontrak denganmu dan bla… bla… bla…”

Otakku blank saat dia bicara dan akhirnya aku malah menuruti semua perkataannya. Ya, Tuhan, aku sudah terjebak!

“Lexie, makan malam,” terdengar suara Mama dari balik pintu kamarku. Aku segera bangkit.

Drrrt… drrrt… I still feel the pain… drrrt… drrt… it still beats the same…

Ponselku bergetar di meja belajar. Ada SMS. Aku melangkah dan membuka pesannya. Mataku melotot melihat siapa yang mengirim SMS.

From : Kevin

Jangan lupa datang!

Sialan! Sejak aku memberikannya nomorku, dia selalu memberikan SMS yang sama setiap lima belas menit sekali.

Drrrt… drrrt… I still feel the pain… drrrt… drrt… it still beats the same…

Ada lagi SMS yang masuk.

From : Felix

Aku sebenarnya tak ingin, tapi Kevin memaksaku untuk bilang: “Jangan lupa datang!”

Ap—Apa-apaan! Bahkan Felix juga ikut-ikutan! Belum lagi aku meletakan ponselku, sebuah pesan masuk lagi. Kali ini dari Hazel.

From : Hazel

Alex, jangan lupa perjanjian kita. Kau sudah jadi bagian Amour.

Aaaaaargh… mereka bertiga benar-benar membuatku gila!

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.