RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 03 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Three

by: Prince Novel

Receipt Three

“Kau kenapa? Wajahmu kelihatan lain. Kurang tidur?”

Ketiga orang itu nyaris saja membuatku tidak tidur semalaman. Kevin mengirim SMS sepanjang malam, Hazel menelepon setiap sejam sekali dan motor Felix mendatangi rumahku dan membunyikan klakson pada saat jam tiga pagi, padahal aku nyaris tidur! Mereka benar-benar membuatku jengkel. Apa begini rasanya jika berteman dengan cowok?

“Alex?” Adriel mengerutkan dahinya. “Minum dulu.” Dia menyodorkan segelas teh manis. “Apa bos di tempatmu bekerja membuatmu bekerja keras? Kalau kau tak sanggup, keluar saja. Kau mau kucarikan tempat kerja lain?”

Aku yang belum bekerja saja sudah diperlakukan begini, apalagi jika sudah bekerja dengan mereka?

“Aku—”

Ponselku bergetar. Dengan jengkel, aku mengangkatnya. “Halo?”

“Jam berapa keluar sekolah?”

“Apa? Jam dua.”

“Aku akan menjemputmu di depan gerbang sekolah. Jangan kabur ya. Pip.”

Aku melotot. Itu tadi suara Kevin. Aargh! Kenapa tadi aku tak melihat siapa yang menelepon dan asal saja menjawab? Dia akan menjemputku di depan gerbang? Astaga!

“Alex? Siapa yang menelepon?”

Aku tak ingin bilang ini, tapi mulutku sudah menjawab, “Bos…”

Selama sisa pelajaran, aku sama sekali tidak menyimak apa yang ada disekitarku. Aku tak bisa menjawab, tugasku tinggal dan ada ujian dadakan. Rasanya hidupku kacau karena mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa menghancurkan hidupku hanya dalam waktu satu hari? Dan aku merasakan kehidupanku semakin kacau melihat motor Kevin sudah nongol di depan gerbang.

“Alex!” Kevin berteriak di atas motor sportbike-nya yang berwarna hijau cerah sambil melambai padaku. Dia tersenyum-senyum penuh kemenangan. Sesuatu yang membuatku merasa dia semakin aneh. Dia tak perlu tebar senyum seperti itu untuk menarik perhatian.

“Itu siapa?” Adriel mengerutkan dahi. “Kenalanmu?”

“Er… dia…”

“Alex!” Kevin masih berteriak. Mau tak mau aku tersenyum bersalah pada Adriel tanpa menjawab pertanyaannya dan menuju Kevin. “Lama banget sih. Itu siapa?”

“Temanku dan aku tak akan memperkenalkannya padamu,” aku tak perlu memperkenalkannya pada Adriel. Felix melarangku mengenalkannya dengan gadis manapun. Dia itu playboy. Aku tak mau dia mempermainkan Adriel.

Kevin merengut. “Aku Manager, jadi—”

“Ayo kita pergi dari sini, Bos,” aku mengambil helm dari tangannya dan naik ke boncengan. Jantungku deg-degan saat melihat perhatian yang tak perlu dari anak-anak. “Jalan, Bos.”

“Cewek tadi cantik,” Kevin berteriak ketika kami melesat, meninggalkan mobil-mobil yang ngebut di belakang kami. Kecepatan kami sungguh mengerikan. Aku heran kenapa polisi tidak menilang kami. “Siapa namanya?”

“Aku nggak mau bilang! Jangan dekati temanku!” aku balas berteriak, memeluk erat Kevin dari belakang.

“Pelit!” Kevin balas berteriak.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berbelok di tikungan dan masuk ke gang dan memarkirkan motor kami di depan café. Sudah ada jeep hitam terparkir di halaman. Aku penasaran itu punya siapa. Kemudian sebuah motor street fighter berwarna merah di samping motor milik Kevin.

Jeep itu punya Felix dan motor yang sana punya Hazel,” Kevin menjelaskan saat melihat pertanyaan di wajahku. “Ayo masuk, Lex. Kupikir mereka sudah mulai.”

Aku mengikutinya dan dia memersilakan aku masuk terlebih dahulu dan membukakan pintu untukku. Dia memang gentleman, pantas saja para wanita takluk padanya. Tapi percuma saja, itu tak berpengaruh padaku. Semakin aku diperhatikan, semakin aku merasa tidak enak pada orang tersebut. Rasanya susah sekali membalas kebaikan seseorang jika aku terlalu diperhatikan.

“Ah, siang, Alex!” Hazel muncul dari balik pintu, membuatku melonjak kaget dan dia kembali tertawa. “Maaf, maaf. Aku harus mengganti kebiasaanku ini. Rasanya kau selalu kaget tiap kali aku muncul.”

Felix menimpuk kepalanya dengan koran dari belakang. “Apanya yang kebiasaan, kau memang merancangnya.” Lalu dia menaikan alisnya saat melihatku. “Kau menculiknya langsung dari sekolah? Bagaimana dia bisa kerja kalau pakai rok begitu?”

Kevin mencerna kalimat Felix lalu tertawa kekeh. “Lex, kamu pakai seragamku aja ya? Lain kali bawa baju ganti.”

“Memangnya kita mau ngapain?”

“Bersih-bersih,” jawab Felix sambil lalu.

Aku tak punya celah untuk kabur. Hazel memberikan pakaian olahraga yang cukup besar padaku dan memintaku untuk mengganti pakaian di sebuah kamar kosong dengan dia menunggui dibalik pintu. Katanya untuk jaga-jaga, siapa tahu nanti Kevin mencoba masuk dengan tidak sengaja. Tak lama setelah itu aku disibukan dengan urusan sana-sini.

Kevin memintaku menyapu, memindahkan kotak-kotak kardus yang masih bisa kutangani, kemudian membuang sampah dan banyak lagi. Felix sama sekali tidak membantu banyak, dia malah sering sekali membuatku kesal.

“Bawa ini ke depan,” katanya. Tangannya menyodorkan sebuah kardus coklat tua yang besar, bahkan aku sampai tak bisa melihat ke depan.

“Ya ampun, Felix. Sini biar aku aja yang bawain,” Hazel mengambil alih kardus yang kupegang. “Alex pindahin yang gampang-gampang saja. Urusan otot serahin aja sama cowok.”

“Aneh, kita kan nggak punya karyawan cewek,” kata Felix menyindirku.

Dia memang menyebalkan. Aku heran kenapa dia tak bisa berbuat baik padaku. Memangnya aku punya salah padanya? Rasanya aku tak merasa pernah berbuat salah padanya.

“Nggak usah didengerin, Lex.” Kevin berbicara dari langit-langit. Dia mengikatkan tubuhnya ke salah satu penyangga dan sibuk mengecat serta membuat dekorasi dibagian atap. “Dia memang begitu. Rajanya Kritikan.”

“Aku dengar itu ya?” Felix balas berteriak dari dalam. “Uhuk-uhuk-uhuk. Gedung ini memang neraka! Berapa banyak sih debu disini?”

“Dan Rajanya Ngeluh,” tambah Hazel tersenyum kecil padaku dan berlalu menuruni tangga.

Menjelang gelap, Kevin menyuruh kami untuk berhenti. Dia kelihatan puas karena rencana hari ini berjalan lancar. Dengan bangga dia menunjukan lampu yang berhasil dia pasang dan dekorasi atap yang dia buat. Sebuah lukisan malaikat kecil yang membawa panah hati. Kevin bilang sih kalau namanya cupid, tapi bagiku kelihatan seperti sekumpulan anak-anak yang tidak pakai baju.

Felix mencibir pedas, “Huh, cuma itu yang kau lakukan sepanjang minggu sementara kami tersiksa dibawah sini sambil bertarung dengan debu dan tikus?”

Hazel mencairkan suasana disaat yang tepat. Dia membawakan nampan berisi roti yang masih hangat dan tiga cangkir teh yang harum. Kevin segera menggelar kain ke tengah ruangan, dibawah lukisan atapnya yang berpedar dan Felix membantu Hazel mengambil sisa makanan lain dari dapur. Aku sama sekali tidak menyangka kalau dapur sudah bisa dipakai. Maksudku, apa dapur itu benar-benar sudah bersih?

“Jangan khawatir, Lex, dapur tempat yang pertama yang kami bersihkan saat kami datang kemari,” Hazel benar-benar bisa membaca pikiranku. Tanpa aku tanya, dia sudah menjawabnya. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Apa aku ini mudah dibaca ya?

“Makan, Lex. Nggak ada makanan yang nggak enak kalau dibuatin sama Hazel.” Kevin mengambil roti tanpa ragu sedikitpun—yeah, tanpa memikirkan kalau tangannya masih kotor dan ada cat yang menempel—dan memakannya sampai habis.

“Seperti biasa, nggak ada kritikan,” Felix berkomentar, mengunyah rotinya secara perlahan. Cara dia makan mengingatkanku sama presenter acara kuliner. Hazel melirikku. Aku belum menyentuh makananku dan dia menungguku memberikan komentar. Perlahan, aku mengambil rotinya dan memakannya.

Jujur. Ini pertama kalinya ada orang yang memasak untukku selain Mama dan Penjaga Kantin jadi rasanya berbeda sekali. Aku harus bagaimana ya mendeskripsikannya?

MASAKAN HAZEL ENAK BANGET! Aku ingin meneriakan itu keras-keras. Aku sugguh-sugguh merasa kagum. Bagaimana mungkin ada cowok yang bisa bikin makanan seenak ini? Aku saja nggak bisa megang panci dengan benar dan selalu gosong kalo masak. Sampai-sampai Andre menjulukiku “Si Koki Gagal” tiap kali aku masuk dapur. Apa anak yang satu ini nggak ada kekurangannya?

“Ya?” Hazel mengerutkan dahinya. Menatapku dengan penuh perhatian.

Aku tersenyum. “Enak.”

Hazel tersenyum. Ekspresinya sedikit aneh. Apa dia tidak bahagia saat aku bilang enak?

“Besok kesini lagi ya, Lex, jangan lupa bawa baju ganti.” Kevin menepuk-nepuk bajunya yang berdebu. “Kalau mau pulang bilang aja ya, biar kuantar.”

“Oh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri,” aku menolak cepat. Aku tak mau dia datang ke rumahku dan mendatangiku setiap malam.

“Ya sudah aku aja yang antar,” kata Hazel lagi.

“Oh, nggak perlu repot-repot, nggak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri. Lagipula, aku masih punya urusan—”

“Tapi anak perempuan jalan di tengah malam sendirian kan bahaya. Biar aku antarin aja deh. Memangnya mau kemana sih?”

Felix menguap, memotong perkataan Kevin. “Biarin aja. Kalian ini bego atau gimana sih? Jelas aja dia nggak mau diantarin sama kita. Kita kan baru kenal dia kemarin. Jangan merasa sok akrab deh.”

Aku mengutuki Felix dalam hati. Apa maksudnya coba? Tapi yang dia katakan memang benar. Aku baru kenal mereka kemarin dan sama sekali tidak berniat untuk akrab dengan mereka begitu cepat. Tingkah mereka yang selalu berusaha mendekatkan diri justru membuatku merasa sesak.

“Ya sudah. Kalau Alex maunya begitu,” Kevin mengangkat bahu. “Tapi, hati-hati di jalan ya, Lex. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Terus—”

“Ya, ya, ya,” Felix memotong lagi. “Kau ini Bokapnya ya? Cemas banget. Dia bisa jaga dirinya sendiri, Vin. Lagian, cewek kayak gini mana ada cowok yang mau.”

GRRRR. Aku ingin sekali menempeleng kepalanya. Sabar. Sabar diriku! Kau pasti akan menemukan waktu dimana kau bisa membalasnya. Kau harus bersabar. Tunggu waktu yang tepat.

*** Amour Café ***

Kerja sebagai cowok memang lebih capek dua kali, eh tidak, tiga kali lipat. Thanks to Felix. Berkat dia aku merasa semua otor-ototku menegang dan sama sekali tak punya tenaga untuk diajak belajar lagi. Mengeluh memikirkan berapa lama lagi aku sampai ke rumahku sementara mataku mulai mengantuk, ada sinar yang menyorotiku dan sebuah motor mendekatiku.

“Lex, ayo kuantar. Kau udah lemas begitu masa mau jalan kaki? Nggak ada angkot yang lewat lagi,” aku bisa mendengar suara Hazel dari balik helm hitam.

“Nggak usah, Zel. Beneran aku bisa sendiri kok. Rumahku udah dekat sini,” aku menolak dengan halus, tapi Hazel menarik tanganku. “Apa?”

“Naik. Mana bisa aku ngebiarin teman aku jalan sendirian sementara aku naik motor. Naik, Lex, kalau nggak nanti aku yang turun loh.”

Well, dia mulai mengancam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu dia serius. Aku memang belum mengenalnya, tapi menurutku dia memang orang baik. Jadi, tanpa melakukan perlawanan berarti, aku sudah naik ke atas motornya dan memegang punggungnya dari belakang.

Dia… dia benar-benar gila membawa motor! Lebih parah daripada Kevin. Motornya dengan mulus melewati tikungan-tikungan kecil, melewati celah-celah mobil dan melewati motor-motor dengan kecepatan tinggi. Kami bahkan sempat dikejar sama polisi lalu lintas namun kami bisa lolos dengan mudah. Aku menahan napas sambil mendekap dia dari belakang dan mataku menutup.

Aku berdoa dalam hati. Semoga kami tidak jatuh. Semoga kami tidak ditilang polisi. Semoga kami tidak disenggol, menyenggol, ataupun—

“Kita sudah sampai, Lex.”

He? Sudah sampai?

Aku mengadah dan terkejut melihat wajah Hazel dari dekat. Cepat-cepat aku turun dari motornya sementara jantungku berdegup tidak karuan. Aduh, apa sebenarnya yang aku lakukan?

“Oh, jadi ini rumahmu? Aku bisa mampir?”

Dan membiarkan kau melihat isi rumahku? Tidak, terima kasih!

“Erm, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertamu,” kataku cepat. Mataku berputar cepat mencari alasan. Aku sama sekali tidak ingin dia bertamu ke rumahku. Bagaimana kalau Mama ada di dalam sana? Bagaimana kalau Andre yang ada di dalam sana? Bagaimana kalau rumahku berantakan? Ah, sebenarnya aku tak ingin dia masuk karena itu saja, tapi karena aku tak ingin terlalu akrab dengan Hazel. Dia orang yang baru kukenal.

“Nih, untukmu,” Hazel menyodorkan sekotak kue padaku. “Tadi aku bikin banyak. Kevin dan Felix udah bosan makan ini. Kau mau kan?”

Aku memelototi kotak kue yang dia sodorkan. Apa? Dia bilang apa barusan? Ini untukku? Kotak kue yang isinya kue enak yang kami makan di café? Tanganku segera mengambil kotak kue itu secara perlahan, tersenyum, lalu berkata, “Terima kasih.”

“Aku pulang dulu ya,” motor Hazel berderum. Dia tersenyum sekali lagi dan dia melesat menembus kegelapan.

Aku menghela napas lega. Fuh, akhirnya dia pergi juga. Setidaknya satu masalah sudah selesai. Kupikir aku harus mandi dulu dan beristirahat sebentar lalu membuat makan malam. Apa Mama sudah pulang ya? Kemarin dia bilang kalau dia pergi ke rumah saudara yang sedang sakit keras. Terus—

“Hoi, Kakak, gue lapar.”

Aku kaget melihat Andre ada di rumah dan duduk dengan santai di ruang keluarga. Rumah kelihatan berantakan. Di atas meja ada kumpulan kulit kacang dan sampah jajanan kecil serta berkaleng-kaleng soda. Televisi masih menyala, menampilkan adegan mengharukan dari salah satu sinetron dan ada bertumpuk-tumpuk pakaian di sofa. Thanks God, untung aku tidak membiarkan Hazel memasuki rumahku.

“Kupikir kau tak mau pulang lagi,” aku berkomentar pedas, meletakan ranselku ke salah satu meja. “Apa aja yang udah kau lakuin? Rumah kita kok berantakan begini?”

Andre bangkit dan mengambil bungkusan di tanganku tanpa menjawab pertanyaanku. Dia membukanya dan matanya berbinar saat melihat isinya. “Woah, siapa yang ngasih beginian? Tadi diantar sama siapa? Cowok lo?”

Aku mengambil bungkusan itu dari tangannya. “Aku nggak akan ngasih makanan kalau kamu nggak beresin sampahmu itu. Kalo Mama lihat dia bisa kena serangan jantung.”

Andre merengut dan mencibir. Tapi dia berbalik dan membereskan sampah makanannya. Andre sebenarnya anak yang baik dan penurut, hanya saja teman-temannya sering membuat dia melupakan siapa dirinya sebenarnya.

“Mama kemana?” kata Andre, tangannya memasukan berkantung-kantung sampah plastik ke tong sampah.

“Ke tempat Paman,” jawabku sambil lalu.

“Ngapain sih ngurusin orang tua itu, kemarin bukannya dia yang ngusir kita dari rumahnya? Kenapa sekarang malah kita yang direpotin?”

Tanganku yang hendak melepas seragam terhenti. Tiga tahun yang lalu kami sempat tinggal di rumah Paman di Surabaya setelah kematian Papa. Itupun karena kami tidak punya tempat tinggal lagi. Uang habis dan rumah dijual. Namun tinggal disana memang tidak enak. Paman orang yang keras sementara Andre selalu dimanja. Didikan Paman membuatnya sering berkelahi. Mungkin itu sebab musababnya kenapa Andre jadi seperti ini, apalagi saat Mama juga setuju untuk mendidik Andre dengan cara begitu.

Lalu, sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi dua bulan setelah kami tinggal disana. Kami dituduh mencuri dan diusir. Herannya, tak ada satupun dari kami yang bersalah, tapi Paman bersikeras kalau Andre yang melakukannya.

“Aku nggak mencuri. Aku sungguh-sungguh nggak mencuri, Kak,” itu dulu yang dikatakan Andre padaku. Dia menangis padaku dan kelihatan lelah sekali dengan tuduhan Paman. Dia masih SD, tentu saja itu membuatnya tertekan. Dan aku memercayai Andre lalu membelanya sekuat tenaga. Hasilnya ya seperti ini. Mama memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan akhirnya kami tinggal di Jakarta.

“Udah selesai beres-beres, Ndre? Hari ini kau ke sekolah kan?” aku mengalihkan pembicaraan.

“Gue lapar! Kuenya mana?” Andre balas berteriak.

Yah, seperti itulah Andre. Saat ditanya apa dia sekolah atau tidak, dia akan mengalihkan pembicaraan. Dia lebih memilih bersama temannya yang berandalan itu daripada bersama keluarganya. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku dan Mama bekerja keras di luar dan sama sekali tak punya waktu untuk dia dan aku tahu seberapa besar kesepiannya.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.