RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 03 Juli 2011

Amour Cafe Receipt One

by: Prince Novel

Receipt One

Aku menghela napas, berusaha berkonsentrasi pada penjelasan panjang logaritma yang membuat kepalaku justru berputar-putar. Kemarin aku kurang tidur dan banyak masalah rumah yang harus kuselesaikan dan adik cowokku yang menjengkelkan—yang lagi masa pubertas dan lebih suka pulang pagi atau tinggal di rumah temannya tanpa kabar—buat ulah kemarin malam.

Kubalik catatanku untuk memastikan bahwa semua yang ada di papan tulis sudah kucatat semuanya. Setidaknya, walau aku tidak mengerti, aku masih bisa mengulang pelajaranku nanti di rumah, walau aku tak tahu kapan. Catatan ini pasti dibutuhkan sehari sebelum ujian. Itu prinsip yang positif. Pantas diacungi jempol.

“Alex, seharian ini gue lihat elo nggak semangat,” teman terbaikku sejak masuk ke sekolah ini namanya Adriel. Cewek cantik yang punya tubuh aduhai dengan wajah cantik, kulit mulus, wajah kinclong, rambut sehalus sutra, pintar, anak orang kaya, baik hati dan bla-bla-bala lainnya, yang membuat cowok-cowok naksir padanya. “Kenapa? Kerja lagi?”

Aku menguap lebar dan dia tersenyum.

“Ayo makan ke kantin. Gue yang traktir,” dia menarik tanganku dan memaksaku untuk bangkit dari tempat duduk.

Seperti yang kalian tahu, jika berjalan dengannya aku jadi kelihatan seperti upik abu. Nggak kelihatan sama sekali. Disaat yang lain sibuk menatapnya dengan penuh kekaguman, aku juga dicela di belakang. Kok bisa ya, cewek biasa sepertiku ini dapat perhatian dari cewek secantik Adriel. Padahal Adriel ditawari buat masuk gengnya senior yang dikhususkan untuk cewek-cewek cantik namun Adriel lebih memilihku.

“Apa Pengeranmu hari ini datang lagi ke kantin?” bisikku ketika pesanan bakso kami datang. Wajah Adriel merah padam. Dua bulan yang lalu, Adriel cerita padaku kalau dia naksir sama cowok namun dia nggak mau ngasih tahu siapa cowok yang beruntung itu. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata Adriel naksir sama Ariel.

“Belum,” bisik Adriel. Dia memperbaiki rambut panjangnya.

“Tuh dia,” aku menunjuk ke pintu masuk dimana Ariel baru saja masuk dengan beberapa teman-teman Osisnya.

Adriel menggigit bibir dan menoleh ke belakang sambil sembunyi-sembunyi lalu tersenyum bahagia. “Hari ini dia cakep banget.”

Aku harus menjawab apa dengan pernyataan barusan? Sejujurnya, aku merasa jijik. Yeah, memang sih Ariel itu cakep. Dia punya rambut hitam yang rapi, wajahnya juga cocok buat tampil di majalah, tubuhnya tinggi dan oke dan dia juga kelihatan seperti cowok baik-baik. Tapi Ariel bukan seleraku. Idih… amit-amit. Rasanya aku jadi melihat Papaku kalau melihat orang seperti Ariel.

Terlalu dewasa. Tidak, bukan itu. Terlalu luar biasa. Bersanding dengannya hanya akan membuat cewek-cewek sepertiku sakit hati. Yeah, siapa sih yang rela membiarkan seorang Pangeran jalan dengan babu? Udah pasti tipe seperti Adriel-lah yang pantas bersanding dengan Ariel.

Mereka sama-sama cakep. Sama-sama kaya. Sama-sama baik. Sama-sama pintar. Sama-sama dikagumi. Sama-sama…

Aku memakan baksoku, sama sekali tidak ingin melanjutkan pemikiranku yang hanya akan membuatku sakit hati. Membayangkan saat fans-nya mengerjaiku jika berani dekat dengannya saja sudah membuatku merinding. Hi….

“Apa menurut lo dia sudah punya pacar? Dia kan populer, pasti banyak cewek yang naksir sama dia,” kata Adriel. Entah sudah keberapa kalinya dia bertanya hal yang sama setiap kali kami mengintip Ariel. Dan seperti yang sudah kukatakan sampai tenggorokanku kering aku menjawab.

“Adriel, nggak ada seorang pun di sekolah ini yang bisa menandingi kecantikanmu. Harusnya kau tahu itu. Aku yakin kau hanya perlu berkenalan dengannya dan cinta akan berjalan.”

Dan pembicaraan akan berlanjut menjadi, “Gue nggak berani.”

Aku melirik Ariel sambil memasukan bakso bulat-bulat kedalam mulutku. Ariel sedang sibuk tertawa karena mendengar lelucon dari salah seorang dari temannya dan aku sama sekali tidak menyangka kalau dia mengalihkan pandangan dan melihat ke arahku. Oh, tidak. Aku mencoba berdiplomasi dalam kepalaku. Dia tidak melirikku, tapi pada Adriel dan dia memberikan senyumannya pada Adriel.

“Ah…” Adriel terpaku beberapa saat sampai kemudian dia memberikan sebuah senyuman kaku dan kembali melihatku. “Dia senyum sama gue?”

Aku mengangguk cepat, sekali lagi melirik Ariel yang masih memandangi kami sesekali. “Dia masih melihat kemari tahu nggak.”

Wajah Adriel memerah lagi, kali ini dengan sangat bahagia. Tiba-tiba, Ariel bangkit dari kursinya dan mataku hampir saja keluar saat dia mendekat ke meja kami. Rasanya seperti melihat seorang model jalan di catwalk, semua mata tertuju padanya.

“Halo, aku A-ri-el,” Ariel berbicara dengan nada tenang. Aku masih tidak bisa berkedip ketika dia tersenyum dan sibuk memperhatikan mata hitamnya yang kelihatan teduh. Melihat dia dari dekat membuat jantungku berdegup tidak karuan.

“Eh—eng—hai,” aku mencoba kembali ke alam sadarku dengan susah payah karena Adriel seperti membatu beberapa saat. Kulirik Adriel dan mencoba tersenyum seramah mungkin pada Ariel. “A-ada yang bisa kubantu?” aku yakin kalau suaraku terdengar aneh.

Ariel tersenyum. Manis sekali!

“Teman-temanku titip surat untuk meja kalian,” katanya dan menyodorkan beberapa lembar amplop pink. Dia kembali tersenyum dan berkata, “Sudah ya.” Lalu pergi begitu saja.

Aku masih membatu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ariel datang memperkenalkan dirinya dan memberikan berlembar-lembar surat pink atas nama temannya. Amplop pink. Surat cinta? Buat siapa?

Untuk Adriel, itu tertulis di suratnya. Harusnya aku tahu. Bagaimana mungkin aku merasa kalau akulah yang akan menerima surat-surat itu? Aku kembali berkonsentrasi pada baksoku dan memakannya dengan sedikit jengkel. Awalnya aku berpikir kalau Ariel akan memberi sesuatu padaku. Stop, Alex! Jangan pernah bermimpi begitu! Mana ada yang melirik Upik Abu jika ada Cinderella disampingmu?

“Mengecewakan,” gumam Adriel mengambil surat-surat itu setelah membolak-balik nama pengirimnya. “Nggak ada surat dari Ariel.”

Haha, aku tertawa getir. Apa dia tak merasa bersyukur kalau masih banyak cowok yang naksir dia walau bukan Ariel? Aku mengutuki nasibku sendiri, meneguk jusku dan melirik gerombolan Ariel. Apa mataku mulai rabun? Ariel masih melirik dan dia tersenyum kecil.

Ah, tidak. Aku pasti salah lihat.

*** Amour Café ***

Mamaku seorang guru. Dia wanita yang pekerja keras dan berharap anak-anaknya juga demikian. Sejak Papa meninggal, dialah tulang punggung keluarga. Namun Papaku buat ulah sebelum dia meninggal: meninggalkan segunung hutang yang membuat kami justru sengsara. Rumah kami harus dijual dan Mama masih harus mengutang sekitar dua puluh juta lagi untuk menutupi sisa hutang yang lain dan tinggal di Jakarta membutuhkan biaya tinggi.

Aku prihatin pada Mama dan ingin membantu dia sebisaku. Oleh sebab itu aku kerja sambilan sehabis sekolah sejak SD dan tidak mau mengeluh dengan kehidupan kami tapi adikku itu sama sekali tak bisa diajak kompromi. Dia selalu mengeluh menjadi orang miskin. Tahunya cuma minta uang dan menghilang entah kemana tanpa memikirkan pendidikannya.

Hari ini pun dia berulah lagi. Aku melihat ada SPO di meja makan. Tanpa perlu bertanya, kubaca isi surat itu. Berkelahi. Darahku seakan mendidih. Kakiku melangkah cepat ke kamarnya dan tanganku melayang, menggetok kepalanya.

“Adoh! Apa-apaan sih lo?” dia bangun, memegangi kepalanya.

Aku melempar SPO itu ke wajahnya. “Bisa nggak sih sekali aja nggak bikin pusing orang tua? Kau nggak punya kerjaan lain selain berkelahi? Seminggu yang lalu kau kan udah janji nggak berkelahi lagi!”

Dia memonyongkan mulutnya dan aku melihat ada anting di telinga kirinya. Aku makin melotot.

“Itu. Kupingmu! Kenapa ada antingnya segala?”

Dia menguap lebar. “Entar aja deh ceramahnya. Gue ngantuk.”

Aku menggertakan gigi. Aku nggak habis pikir kalau aku punya saudara laki-laki yang begitu menjengkelkan. Kuambil seember air dari kamar mandi dan membawanya masuk ke kamar lalu menuangkan airnya tepat ke atas tubuhnya.

“Aaargh!” dia berteriak jengkel. “Elo ngga senang ya ngeliat gue tidur?”

Tanganku sudah memasukan ember ke kepalanya dan memukul ember itu sambil berteriak, “Kau ini anak laki-laki nggak berguna! Nggak berguna! Nggak berguna!”

“Apaan sih, Kak? Sakit tahu!” dia menyingkirkan ember dan membantingnya ke ujung ruangan. “Elo nggak senang gue pulang? Oke, kalo gitu gue pergi aja dari rumah!”

Oke! Fine!” aku berseru jengkel. “Pergi sono! Jauh-jauh! Setidaknya Mama dan aku nggak akan direpotkan dengan SPO-mu dan ulahmu yang menjengkelkan tiap hari! Jangan pulang kalo sakit!”

Dia memanyunkan mulutnya. “Aaargh!” dia bangkit, menyingkirkan aku ke pinggir, lalu keluar sambil membanting pintu. Dia nggak mendengarkan aku yang berteriak memanggilnya, “Andre! Andre!”

Kejadian seperti ini sudah terjadi berulang-ulang tanpa perbaikan. Andre selalu datang kalo dia lagi butuh dan pergi lagi jika dia nggak butuh. Tingkahnya membuat kesabaranku habis. Mama berjuang untuk kami tapi dia menyia-nyiakannya. Tingkahnya berubah sejak dia masuk SMP karena ulah teman-temannya. Walau kami sudah melarang dia untuk bergaul dengan orang-orang itu, Andre selalu beranggapan kalau kami membuatnya susah. Dia berperinsip kalau kami menghalangi kebebasannya.

Tanganku meremas SPO. Dia sudah pindah delapan kali dan belum bertobat juga. Bagaimana dia bisa lulus SMP jika begitu terus? Belajar tak penah. Tahunya cuma berkelahi dan tauran. Malam hari main game di warnet dan paginya baru pulang, itupun belum tentu akan pergi ke sekolah.

“Aku bisa stres kalau begini terus,” gumamku.

Apa yang harus kukatakan saat Mama membaca SPO ini?

“Us against the world… against the world… drrrt… drrrt… us against the world… against the world…”

Kantongku bergetar. Ringtone ponselku berbunyi. Cepat-cepat aku mengambil ponselku dan melihat nama yang muncul dari layar ponselku yang berkedap-kedip.

Bos Calling…

“Bos? Ngapain si Bos nelepon aku?” gumamku. “Halo, Bos?”

“Ah, Alex? Kamu ada dimana sekarang?”

Aku mengerutkan dahi. “Aku? Di rumah. Kenapa, Bos?”

Untuk beberapa detik tidak ada yang terdengar sampai kemudian.

“Alex… erm… bagaimana, ya… mulai hari ini kamu tidak perlu datang ke resto.” Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti. “Omset kita sedang menurun drastis, Alex…”

Aku merasa ada yang tidak beres.

“Aku akan mengirim sisa gajimu untuk bulan ini ke rekeningmu.”

“Tapi, Bos,” aku seakan kehabisan kata-kata. “Apa—apa maksudmu?” aku menelan ludah sementara tanganku gemetar. “Apa—apa aku dipecat?”

“Maaf, Alex. Itu sudah jadi keputusan finalku.”

Aku ingin berteriak histeris. Ya Tuhanku! Apa yang sebenarnya terjadi hari ini?

*** Amour Café ***

Adriel meletakan secangkir es krim vanilla padaku. Dia menyendok miliknya sendiri dan memperhatikan sekelilingnya. “Jangan menyerah, Lex. Gue yakin kalo elo pasti bisa dapat pekerjaan baru.” Dia menepuk-nepuk bahuku.

Aku tahu dia bermaksud baik untuk menghiburku, tapi hati kecilku yang lain merasa jengkel. Enak banget sih jadi Adriel. Aku selalu saja iri padanya. Tentunya dia tak pernah merasakan penderitaan sepertiku. Menghadapi Andre saja sudah menghabiskan nyawaku separuh, apalagi kehilangan pekerjaan.

“Halo, Kak Adriel.”

Seperti biasa, cowok-cowok itu datang menghampiri Adriel dan kali ini giliran anak kelas satu. Wajah mereka masih lugu dan begitu polos. Tampang mereka malu-malu saat memberikan surat cinta lagi pada Adriel. Adriel memberikan senyuman simpul dan menerima semuanya dengan sopan. Lalu adik-adik itu, seakan puas dengan usaha mereka, segera minggat.

“Hari ini kau laris,” komentarku memakan es krim.

Adriel menghela napas. “Gue sih berharap Ariel yang ngasih surat.”

Aku berpikir positif. Dia teman baikku. Aku harus menjaga perasaannya. “Saat itu akan tiba. Aku yakin.”

Kuisi paru-paruku. Aku harus tenang. Dipecat merupakan hal yang biasa. Aku bisa cari pekerjaan lagi. Aku bisa mengerti alasan kenapa Bos memecatku. Mungkin karena aku kurang cekatan atau mungkin karena aku kurang cantik dibandingin yang lain. Apa boleh buat jika hal ini terjadi. Sejak awal aku memang tidak pernah mendandani wajahku.

Aku punya wajah yang biasa-biasa saja, sedikit putih. Namun jika kena terik matahari, maka aku bisa gosong. Mataku sedikit besar dengan bulu mata pendek. Tidak terlalu indah. Tubuhku biasa saja dan aku lebih tinggi dari Adriel sekitar tiga senti, jika dia tidak pakai high heels. Rambutku kemerahan, sepanjang bahu, tapi aku lebih sering mengikatnya. Aku tidak terlalu pintar, tapi lumayan jago bersosialisasi karena aku sering bekerja dari satu tempat ke tempat lain. Aku juga lebih jago olahraga dan tidak terlalu feminim, tapi lebih cendrung boyish. Dibandingkan dengan Adriel, tentu saja aku kalah jauh.

Kembali ke masalah pekerjaan, aku harus mulai mencari pekerjaan baru. Pertama-tama pekerjaan yang tidak terlalu banyak menyita waktuku dan masih bisa menyempatkanku belajar. Kedua, tempat kerjanya tidak terlalu jauh dari rumah. Dan terakhir, yang gajinya sedikit besar. Hehe, mungkin ini tak bisa terpenuhi.

Kakiku berhenti saat aku sekilas melihat ada iklan lowongan pekerjaan yang terpempel di tiang listrik. Iklan dari kertas hitam-putih, sama sekali tidak menarik perhatian.

Amour Café

DIBUTUHKAN

Pelayan dengan penampilan menarik dari usia 15 – 24 tahun.

Bagi yang tertarik, silakan datang ke Amour Café selama waktu kerja (12.00 a.m – 10 p.m)

“Amour Café…?” gumamku mengerutkan dahi. Memangnya ada nama café seperti itu di Jakarta? Aku menyipitkan mata, melihat alamat kecil yang ada di kotak sudut iklan.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.