RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 28 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Twelve

Receipt Twelve

Adriel menarik paksaku ke taman belakang di pojok tangga ketika hari ini jam bebas—waktu bebas dimana guru sedang bolos dan kami disuruh mengerjakan soal bertumpuk. Aku tak bisa berkutik. Dia bilang kalau dia sangat penasaran dengan hadiah yang diberikan anak-anak Amour padaku. Matanya berbinar ketika bertanya dan memohon sehingga aku tak bisa menolak. Sialan. Kenapa dia harus melakukan itu padaku sih?

Aku memutuskan memulainya dari orang yang pertama sekali memberiku kado: Karel. Dia membuatku senang sekali karena memberiku itu. Sebuah kamera digital. Dari dulu aku suka motret. Dia memang sepupu paling pengertian.

“Kamera digital?” Adriel mengerutkan dahinya. Dia membuka buku yang dari tadi dia bawa-bawa.

“Apa itu?” aku penasaran dengan apa yang dia kerjakan sekarang.

“Ini? Buku ‘Arti Sebuah Kado’. Buku ini sengaja gue beli buat mencari tahu siapa cowok yang benar-benar naksir sama elo.”

Lagi-lagi dia beli buku aneh dan tidak berguna. Aku yakin setelah ini dia akan membelikan sesuatu bagi Ariel dengan buku petunjuk itu.

“Elo harus membuka mata sama cowok yang naksir sama lo dan dekati dia sampai dapat. Apa lo nggak pernah sadar sinyal itu?”

Aku sangat tak suka jika dia berprinsip begitu. Kalau orangnya tak bilang secara langsung, bagaimana aku bisa mengerti?

Jika ada yang memberimu kamera, itu berarti dia ingin merekam setiap momen penting dalam hidupmu. Dia ingin kau mengambil gambar dari setiap kejadian manis dan sesuatu yang indah yang kau rasakan.” Adriel mengerutkan dahinya. “Maknanya masih belum jelas cinta atau tidak. Yang lainnya apa lagi?”

“Orang yang memberiku hadiah kedua…” adalah Hazel, aku menambahkan dalam hati. Pura-pura berpikir. “Sebuah album kosong.” Hazel memberiku sebuah album dengan cover yang berhiaskan namaku. Aku suka kadonya. Kreatif sekali. Walau tak seberapa, aku lebih suka kadonya yang tidak mewah dan sederhana tapi sangat berkesan.

“Album foto kan?” tangan Adriel bergerak lincah membolak-balik buku itu. “Ah, ketemu. Disini album foto itu artinya kenangan. Dia ingin kau mengabadikan semua kejadian. Sesuatu yang akan mengingatkan dirimu pada hal-hal yang luar biasa dalam hidup. Sehingga pada saat kau membuka dan melihat gambar itu, pikiranmu akan melayang segera.” Adriel memiringkan kepalanya. “Ini juga tak jelas cinta atau bukan. Nyokap gue juga sering ngasih gue album walau gue nggak ultah.”

Baguslah. Hazel sudah punya pacar. Jadi aku bisa memastikan diriku kalau Hazel sama sekali tertarik padaku. Fakta kedekatan kami adalah karena kami ini sahabat baik.

“Aku juga dapat kalung.” Kataku lagi. Yah, kalung. Kalung cantik dari emas putih dan sebuah mainan sayap malaikat yang menggantung. Itu barang mahal. Aku tahu itu. Masalahnya aku tak bisa mengembalikannya walau ingin karena itu hadiah ulang tahun dari Felix. Aku juga bertanya-tanya kenapa dia memberiku barang mahal begitu.

Dia cuma ingin berterima kasih. Batinku mengatakan itu, membuatku bisa menerima hadiahnya.

“Kalung?” tiba-tiba Adriel kembali bersemangat. “Gue pernah baca, kelihatannya disini. Ah, benar juga. Ini dia. Kalung. Jika cewek mendapatkan sebuah kalung dari cowok, itu berarti cowok itu tak ingin melepaskan cewek itu dan menginginkan si cewek diikat seperti rantai anjing—”

“Apa?”

Kata terakhir membuatku kaget.

Si cowok ingin memonopolimu dan dia ingin kau menurut apa yang dia katakan. Dia akan menjagamu seperti hewan peliharaan.”

Aku bengong. Ya, Tuhan. Apa yang barusan itu benar-benar arti sebuah kalung? Kalau begitu, Felix menginginkanku jadi anjing peliharaannya begitu? Aku tak heran. Sifatnya memang begitu. Kepalaku tiba-tiba saja jadi sakit.

“Wah, gue yakin kalau orang yang ngasih elo ini dia pasti benar-benar suka sama elo sampai ingin memonopoli begitu,” Adriel geleng-geleng kepala. “Apa lagi?”

Mendengar penjelasan barusan, aku jadi tak berminat mendengar kelanjutan berikutnya. “Cincin.”

Mata Adriel membulat. “Cincin? Arti cincin kan dalam banget!” dia merasa seperti mendapatkan sesuatu yang luar biasa. “Cincin. Ah, ini dia. Cincin adalah salah satu benda yang dijadikan sebagai bentuk pengikat yang paling sering digunakan. Jika cincin yang dipakai di jari tengah, itu artinya single. Jika cincin dipakai di jari manis tangan kanan, biasanya hanya untuk persahabatan. Tapi jika cincin di jari manis di tangan kiri, digunakan untuk mengikat janji suci. Tentu saja itu tergantung terhadap tradisi masing-masing. Jika ada seseorang yang memberikan cincin sebagai kado itu berarti dia ingin mengikat sesuatu kepadamu yaitu sebuah perjanjian tak tertulis dimana dia ingin melihat sebuah masa depan bersamamu.”

“Rasanya seperti bentuk pelamaran,” gumamku.

“Elo memang dilamar, Alex!” Adriel terlihat yang paling girang. Apa dia tak melihat tampang lesuku ini?

Kok bisa-bisanya ya Kian memberiku cincin sebagai kado ultahku. Untukku lagi. Aku benar-benar tak habis pikir apa yang dia inginkan sebenarnya. Dia jarang bicara mengatakan isi hatinya, jadi aku tak tahu harus bertingkah seperti apa padanya.

“Terus apa lagi?” Adriel penasaran.

Ariel memberiku sebuah gelang manik-manik yang terbuat dari kayu dan batuan alam. Sangat unik, artistik dan berkesan. Benda yang manis, jadi aku berharap artinya juga tidak macam-macam. “Gelang.”

“Gelang?” dia mengulang. Butuh beberapa lama dia membuka bukunya sampai kemudian dia membaca. “Gelang sama artinya dengan rantai polisi. Dia ingin dirantai berdua selamanya denganmu dan tak ingin berpisah denganmu. Wah… gue nggak tahu kalau gelang punya arti yang begitu dalam.”

Aku tercengang lagi. What? Ariel memberiku gelang. Apa dia benar-benar ingin terantai berdua denganku? Ah, tidak, tidak. Ini pasti karena Ariel cuma berpikir kalau gelang itu cantik dan merasa aku cocok memakainya. Pasti begitu.

“Bagaimana dengan sebuah buku diary?” Kevin memberiku buku diary dengan kunci berbentuk mawar. Harus kuakui kalau seleranya sangat tinggi.

“Diary? Hum… tunggu,” dia membaca. “Diary… dia ingin kau menulis seluruh hatimu melalui buku itu dan dia menunjukan betapa kau sangat berarti baginya dan dia tak ingin kau lepas dari ingatannya.”

Apa lagi ini? Apa Kevin sudah gila?

“Lalu kau memberiku bando,” kataku menatap Adriel. “Kenapa kau kasih itu?”

“Gue ingin elo tampil cantik. Setiap hari elo kan selalu mengikat rambut. Gue bosan melihatnya. Jadi kalau elo pakai bando, elo pasti akan sangat cantik.”

Aku tak membalasnya dan berterima kasih atas perhatiannya.

“Gue ingin sekali menerima bunga dari Ariel,” gumam Adriel.

“Memangnya bunga punya arti apa?”

“Cinta. Itu artinya dia sangat menyayangimu dan menganggapmu special. Ah, gue juga tak keberatan dikasih coklat karena coklat mengatakan kalau wanita itu manis. Boneka juga oke karena artinya cowok itu ingin selalu ada disamping elo.”

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Kuharap bisa segera menyampaikannya pada Ariel kalau Adriel lebih suka hadiah begitu. Curang sedikit tak apa-apa. Demi kebahagiaan mereka berdua. Itu akan jadi bocoran yang berguna bagi Ariel.

Tapi, sebuah rantai besi, kalung anjing, diary dan lamaran…. Apa mereka sudah gila? Hah….

*** Amour Café ***

Pulang sekolah, kakiku segera melangkah kesisi jalanan. Melewati toko-toko berjejer rapi dan beberapa mobil yang terparkir. Ada juga orang yang lewat di belakangmu, tapi kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk berjalan cepat dan memanggil taksi atau bus tak lama kemudian. Aku jadi berkeinginan membeli sepeda. Mengingat sekarang bensin sudah cukup langka, lebih baik aku mencari yang lebih mudah dan murah.

“Hum… beli jajan dulu, ah,” gumamku ketika melihat mini market terdekat dan masuk. Suasana dingin mengatakan halo dengan sangat terpuji pada kulitku yang kepanasan berada di luar. Ucapan salam dari kasir penjaga hanya membuatku tersenyum kecil dan aku kembali melirik barang-barang yang dipamerkan di rak-rak cantik.

Aku lapar dan haus, jadi aku mau beli roti terus es krim.

“Ah,” aku cepat-cepat sembunyi ketika melihat Rhea ada rak yang begitu dekat denganku. Aku mengintip perlahan untuk meyakinkan diriku bahwa dia tidak mengenaliku. Hari ini dia memakai seragam sekolah yang tidak aku kenal, dengan rok mini yang menunjukan kakinya yang jenjang. Ada gelang warna-warni di tangannya dan rambutnya di pelintir dengan indah.

Cewek ini… kok bisa ya jadi pacarnya Hazel? Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi disini. Melihatnya saja membuatku merasa kalau dia bukan gadis baik-baik. Aku memang tidak mengenalnya, mungkin saja dia baik terhadap Hazel. Tapi… ada sesuatu dalam diriku yang mengatakan kalau ada yang salah pada gadis itu tapi aku tak tahu apa.

“Sayang, elo mau beli apaan sih? Jangan jauh-jauh.”

Aku menundukan kepala, mengangkat tinggi-tinggi majalah menutupi wajahku ketika Rhea sempat menoleh padaku.

“Aduh, elo, gue kan disini. Ada yang mau gue beli nih.”

Secara perlahan aku menurunkan majalahku dan mengintip perlahan. Rhea kelihatan sedang bermesraan dengan seorang cowok dengan rambut pirang yang ada tindik di hidung. Mereka begitu mesra bahkan sampai gandengan dan peluk-pelukan segala.

Apa-apaan ini? Dia ngeduain Hazel?

“Beliin gue ini, ya? Gue pengen banget nih,” kata Rhea manja pada cowok di dekatnya.

“Rhea, nggak apa nih elo gandeng-gandeng gue? Entar kalo cowok lo liat nggak masalah? Bukannya dia lebih keren daripada gue?”

Rhea merengut. “Dia nggak punya waktu buat gue. Pagi dia latihan, menjelang siang di ke kampus, siangnya sampe malam kerja di café. Dia sama sekali nggak ada waktu tahu nggak. Sebel gue lama-lama dekat dia. Masa dia lebih mentingin kerjaan sih daripada gue? Apa kurangnya sih gue daripada mereka?”

Aku meremas majalahku. Hatiku terasa panas seketika. Hazel yang begitu baik, walau aku tak tahu dia sejahat apa seperti yang dikatakan Karel, dipermainkan sama cewek beginian? Aku sama sekali tak rela sahabatku patah hati sama cewek jenis beginian. Hazel harus dikasih tahu. Secepatnya. Matanya harus segera terbuka dengan apa yang terjadi.

“Ugh, cup cup. Rhea gue yang cantik pasti sedih banget. Ya udah, gue temenin aja elo deh. Mau beli apa?”

Aku melempar majalah di tanganku dan segera keluar. Kakiku berlari secepat yang aku bisa, menabrak orang-orang yang menghalangi jalanku. Bodoh. Bego. Gigi gemertakan menahan amarah. Apa sih yang diharapkan Hazel sama cewek yang begitu? Kevin sudah berulang kali mengatakan kalau cewek itu tak benar dan dia benar. Dan Hazel masih saja menganggap Rhea sebagai seorang dewi.

Dia polos atau bego sih?

Aku nggak habis pikir. Jalan pikiran Hazel benar-benar tak kumengerti. Sebagai sahabat, aku akan membuat pikirannya terbuka. Dia harus mengetahui siapa Rhea itu sebenarnya! Harus!

Tring…

“Alex—hei, mau kemana?”

Aku membuka pintu café dan masuk kedalam tanpa memedulikan Kevin. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku ke dapur. Disana sudah ada Hazel. Dia sedang mengaduk adonan. Aku melangkah ke arahnya, memegang kerah bajunya dan berteriak di depan wajahnya.

“Kau! Cepat putus dengan Rhea!”

Hening dalam sejenak. Aku bisa mendengar suara desahan napasku. Hazel bengong. Tampak bingung.

“Ha?” katanya.

“Apa perlu kuulangi lagi?” aku jengkel sekarang. “Aku minta kau cepat putus dengan Rhea! Dia bukan gadis yang pantas untukmu!”

Hazel menyingkirkan tanganku dan meletakan panci yang dia pegang. “Kenapa?”

“Karena aku melihat Rhea bermesraan dengan cowok lain selain kau di depan mata kepalaku!”

Suaraku naik satu oktaf. Aku bahkan bisa mendengar suaraku bergema.

“Alex, aku tahu apa yang aku lakukan.” Hazel tersenyum menenangkan, tapi itu sama sekali tidak berpengaruh padaku sekarang.

“Tidak. Kau tak tahu.” Aku membantahnya dengan cepat. Pikiranku kacau dan kata-kata keluar begitu saja dari mulutku seperti air bah. “Aku tak tahu alasan kenapa kau menjaganya begitu sampai tak mau mendengar perkataan apapun dari keluargamu. Tapi aku harus menjelaskan ini sebagai sahabatmu! Kau harus putus dengan cewek itu! Dia bukan cewek yang bisa menjadikanmu orang baik! Kau akan terpengaruh pada tingkahnya itu. Dia bukan orang yang bisa menerima keadaanmu dan akan mencampakanmu jika dia tak butuh kau lagi.”

“Alex—”

“Aku belum selesai. Kau harus mendengarkan semuanya!” aku balas meneriakinya dan begitu keras kepala sampai tak mau mendengar penjelasannya. “Aku mengatakan ini demi kebaikanmu sendiri. Demi masa depanmu. Kuberitahu padamu, bersama cewek itu lebih lama cuma akan membuat sakit hatimu lebih dalam dan kau hanya akan lelah dengan tingkahnya itu! Aku tahu kau menyukainya tapi dia bukan satu-satunya gadis di dunia ini yang pantas buatmu. Dan jika kau berpikir kau bisa mengubahnya, lupakan saja. Kau tak akan bisa melakukan itu. Waktumu kau habiskan bukan untuk dia tapi untuk dirimu sendiri dan dia tidak menyukai itu.”

“Alex, kau tak harus mengatakan itu!” Hazel berteriak, membating gelas di dekatnya. Aku diam, menatapnya dengan kedua mataku. Dia penuh amarah dan kelihatan frustasi. Apa aku sudah menyakiti hatinya? Apa perkataanku adalah kenyataan?

“Kuberitahu padamu,” kata Hazel dengan lebih pelan. “Jangan menasehatiku seperti apa yang dilakukan Kevin ataupun Felix. Apa kau mengerti? Ini hidupku sendiri. Dan aku ingin menghadapi kehidupanku sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain. Termasuk kau, Alex.”

Dia…

“Apa kau mengerti, Alex?”

Dia benar-benar…

“Hei, sudah,” Kevin mendekat, memegang bahuku. “Alex, ganti ba—Alex?” dia diam.

Aku menyingkirkan tangan Kevin.

“Apa lagi?” kata Hazel.

DIA BENAR-BENAR MEMBUATKU MARAH!

Tanganku terkepal dan melayang, meninjunya sampai dia menabrak meja dan menjatuhkan bahan adonan.

“Alex?” Kevin terkejut. “Asta—howah…”

Ini perasaan yang sama persis saat aku harus menjelaskan kepada Andre betapa salah hal yang dia lakukan dan betapa bodohnya dia tak mendengarkan nasihat orang!

“Jika kau berprinsip kalau orang lain tak bisa masuk ke dalam kehidupanmu dan mengurusmu, kau salah besar, Bung! Kuberitahu padamu hal yang akan membuatmu malu. Kevin dan aku serta orang-orang yang sayang padamu dan tahu hal yang benar serta salah—yang tak bisa kau lihat itu—tak akan hanya ada pada saat kau senang saja. Mereka juga akan berani bertindak jika kau melakukan kesalahaan. Dan hal yang kau lakukan sekarang kali ini adalah kesalahan. Kesalahaan besar yang akan merusak dirimu sendiri. Dan jika kau tidak segera membuka matamu lebar-lebar dengan apa yang terjadi, kau akan terpuruk!”

Aku berbalik pergi. Melewati Kevin yang terngaga, lalu menyingkirkan Ariel, Kian dan Felix yang ada di depan pintu. Mereka menghalangi jalanku. Dengan penuh emosi aku melangkah keluar dari café dan mencibir kesal.

“Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa semua anak band seperti adikku? Sama sekali tak mau mendengar nasihat orang dan lebih suka bertingkah bodoh!”

Urakan. Menjengkelkan. Keras kepala dan egois. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri dan menutup mata dengan apa yang terjadi.

CKIIIT

“ALEX!”

Anak-anak Amour berteriak serempak. Sebuah mobil hampir saja menabrakku. Emosiku tadi hilang dalam sekejap dan menjadi sebuah keterkejutan. Itu mobil yang kukenal dan Karel keluar dari mobilnya.

“Alex,” dia memagang tanganku dan segera memaksaku naik ke atas mobil. Otomatis aku menolak dengan cepat.

“Apa, sih? Aku harus kerja!”

“Ini emergency, Alex,” kata Karel dengan wajah cemas. “Kita harus cepat.”

Lagi-lagi aku menyingkirkan tangannya dan anak-anak Amour sudah mendekat di belakangku. “Emergency apaan? Aku nggak mau pergi kalo nggak jelas!”

“Andre kecelakaan. Dia butuh darah. Kau satu-satunya orang yang bisa menyumbang saat ini.”

Ha? Otakku membeku. Apa? Andre kecelakaan? Andre?

“Alex!” Karel memegang pipiku. “Jangan nangis, Alex. Dia nggak apa-apa. Kita cuma butuh darah, oke? Ingat kan gue calon Dokter dan gue nggak pernah bohong.”

Air mataku tak terbendung lagi. Mereka mengalir begitu saja.

Andre… nggak mungkin…

Karel memelukku. “Oke. Tenang,” katanya dengan lembut. “Nggak apa-apa. Dia akan selamat, oke? Dia nggak baik-baik saja. Elo pasti bisa nyelamatin dia. Gue yakin.”

Aku mengangguk. Dia melepas pelukannya dan dia menarikku masuk ke mobil tanpa perlawanan dan mobil kami melesat. Aku tak bisa berpikir saat aku mengetahui apa yang terjadi pada Andre. Dia akan baik-baik saja kan? Adikku tak akan apa-apa kan? Selama ini aku sering memarahinya dan aku menyesal melakukan itu. Kalau dia tak apa-apa. Kalau dia bisa hidup dengan darahku, aku tak akan memarahi dan memukulnya lagi.

Andre… Andre… aku akan menyelamatkanmu.

*** Amour Café ***

Seharian ini perasaanku naik turun dalam sekejap. Aku mengalami penghinaan, kemarahan, keterkejutan dan kesedihan. Lalu sekarang aku merasa sangat lelah dan bersyukur karena Andre masih bisa terselamatkan.

Dokter bilang kalau Andre terserempet motor. Untung saja selain kehilangan darah karena tangannya yang berdarah cukup banyak, tak ada lagi yang mencemaskan kondisinya. Aku hampir saja menghela napas lega sampai kemudian Dokter berkata lagi.

“Untuk sementara ini, tangannya jangan terlalu sering digerakan dulu. Andre tak punya aktifitas lain yang mengharuskan tangan kirinya bekerja berat kan?”

Mama menggeleng tapi aku baru ingat sat hal, “Andre ikut band, sebagai bassis.”

Si Dokter menghela napas. “Katakan padanya untuk jauh-jauh dari gitar selama kurang lebih dua-tiga bulan, supaya kondisi tulangnya benar-benar pulih.”

Mengatakan pada Andre kalau dia harus menahan keinginannya berlatih pasti menjadi vonis hukuman mati baginya. Apa yang harus kulakukan?

“Apa yang dibilang Dokter?” Andre bertanya, begitu penasaran sampai dia duduk di tempat tidurnya. Tangannya digisp dan ada memar di wajahnya. Tapi walaupun begitu, aku masih bisa melihat semangat dan kejahilan di wajahnya.

“Kau tak apa-apa,” kata Mama mengacak rambut Andre. “Tapi Kakakmu harus makan banyak karena darahnya yang diberikan padamu. Kau harus menjaganya dengan baik.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Gue ini kuat kayak banteng! Cuma berdarah, itu mah keciiiiiiil,” kata Andre girang. Aku mencubit pipinya. Gemes.

“Tapi Dokter bilang kau harus baik-baik dengan tanganmu. Kondisinya belum pulih benar. Kau dilarang pegang gitar band dan peralatan sejenisnya selama tiga bulan. Kau mengerti?” kata Mama.

“Apa?” Andre shock. “Tiga bulan? Gue bisa mati kalo nggak main band sehari.”

“Kau akan mati kalau tak makan,” kata Mama sebal. “Pokoknya nggak ada band selama tiga bulan. Kau harus tahu kondisimu. Kau tak ingin tambah parah dan nggak main band selamanya kan?”

“Tapi, Ma—”

“Terima saja kenapa sih?” kataku. “Kau mendekati ujian. Anggap saja kau mengalihkan pikiranmu sama ujian saat ini. Bisa kan?”

Andre merengut dan tampak tak rela.

“Aku akan bilang sama anak-anak band kalau kau tak bisa main untuk sementara. Kupikir mereka akan mengerti,” aku memegang pipi Andre dan menyemangatinya.

“Kak.”

“Hm?”

“Makasih ya. Elo jadi repot gara-gara gue.”

Aku mengacak rambutnya. “Ngomong apa sih?”

“Darah elo, pasti nggak bakal gue sia-siain.”

Aku mendengus. “Kita kan sedarah, Idiot.”

*** Amour Café ***

Pagi hari di hari Kamis yang basah. Hujan baru saja turun tadi malam dan aku menjaga Andre semalaman, setidaknya dia nggak bakal kesepian dan Mama bisa beristirahat dengan tenang. Aku menghubungi Kevin dan minta cuti. Dia bilang tak masalah karena pekerjaan masih bisa ditangani dengan prima. Aku tak berani bertanya kondisi Hazel dan apa yang terjadi setelah itu.

Erm… aku tidak takut. Tidak sama sekali. Tapi perasaan yang berat di dadaku ini lebih mengarah pada perasaan bersalah…

Kenapa juga aku harus menonjoknya waktu itu? Aku benar-benar menyesal.

“A-Lex!” Sepeda Kian mendekat dan dia berhenti disampingku. “Andre gimana? Dia nggak apa-apa kan? Rencananya aku mau jenguk dia malam ini.”

“Kata Dokter untuk sementara dia tak bisa pegang bass. Tangannya masih dalam masa penyembuhan.”

Kian mengerutkan dahinya. Dia kelihatan kaget. “Separah itu kah?” aku mengangguk perlahan. “Kami tak punya bassis cadangan yang lebih jago dari Andre, jadi aku juga tak tahu harus mengatakan apa.”

Aku juga tak bisa mengatakan apa-apa kau tahu.

“Aku bilang sama Hazel dulu ya?”

“Erm,” aku memegang sepedanya. “Hazel… dia… tak apa-apa… kan?”

Kian mengambil jeda. “Dia tak mengatakan apa-apa saat kau pergi. Tapi harus kuakui kalau aku sedikit takut padamu jika kau sedang marah.”

He?

“Tonjokanmu kemarin membuat dia berdarah sedikit. Tidak parah sih,” dia buru-buru menambahkan. “Tapi yang pasti dia cuma diam sepanjang malam dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Yang lain juga tak berani menegurnya. Kurasa untuk sementara dia butuh waktu menyendiri.”

Ah… tentu saja dia tak bisa bilang apa-apa kalau terluka. Apa tonjokanku kemarin sebegitu berbahayanya? Jujur saja aku terlalu marah kemarin dan memang mengerahkan seluruh tenagaku… tapi… membuat Hazel luka itu agak… er….

“Alex masuk saja duluan. Aku masih harus menelepon Hazel.” Kian mengeluarkan ponselnya dan sibuk memencet tombol. Aku mengangguk dan masuk ke gerbang.

“Aleeeeeex!” Adriel menghambur dari pintu kelas dan memelukku erat-erat. “Gue denger adik lo sakit. Gimana keadaannya?”

“Baik-baik aja. Dari mana kau tahu?”

Dengan girangnya, Adriel menunjukan ponselnya, dimana Ariel baru saja mengirim SMS untuknya. Heh, harusnya aku tahu. “Elo di rumah sakit semalaman ya?”

“Kok tahu?”

“Ada lingkaran di mata lo. Lo pasti nggak tidur kan?”

Tentu saja. Dengan kemampuan mataku yang bisa melihat hal-hal yang tak seharusnya tak boleh dilihat membuat mataku bahkan tak mau berkedip, apalagi terpejam. Tapi aku tak mungkin mengatakannya.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.