RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 31 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Thirteen

by: Prince Novel

Receipt Thirteen

“Hum…” aku menatap Hazel yang ada di dapur. Tak berani masuk ke dalam. Tapi aku lagi memegang banyak piring, jadi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Hazel sibuk dengan adonannya dan tidak menyadari aku yang ada di belakang. Punggungnya bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Aku ini sebenarnya lagi ngapain sih?

“Alex, minggir. Kau menghalangi jalanku tahu.”

Felix menganggetkan aku dan mendorongku untuk masuk ke dalam. Hazel menoleh dan mata kami bertemu. Tapi Hazel cepat-cepat menyudahinya dan kembali repot dengan pekerjaannya.

Tadi aku sempat melihat kalau ujung bibirnya sedikit terluka. Mungkin lukanya karena aku tonjok kemarin. Rasanya perasaaan bersalahku padanya semakin besar saja. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat, meletakan piring kotor ke westafel dan hendak keluar sampai kemudian Felix menarik bahuku.

“Mau kemana?” katanya.

“Keluar. Pesanan.”

Felix mengerutkan dahinya. “Kau disini saja. Cuci piring.”

Ha? “Ah…eh—euh… ng—”

Felix mengacak rambutku dan keluar dari dapur sambil bersiul-siul. Sial aku tak bisa membantah. Dia menjebakku. Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja bersama Hazel kalo berduaan begini? Aku mengeluh dan bergerak perlahan dan mulai melakukan perintah Felix.

Jujur saja. Diam dalam keadaan begini membuat suasana canggung yang tak biasa. Beberapa hari lalu kami bisa ngobrol dengan rileks, tapi sekarang malah tak bisa saling pandang sama sekali. Oh, iya, aku juga harus berterima kasih padanya soal hadiah ulang tahun itu dan meminta maaf karena sudah memukulnya dan mencoba mencampuri urusannya.

Tapi, berkutat dalam pikiranmu sendiri justru membuatku jadi terlihat menyedihkan.

“Alex.”

Aku terkejut dan piring yang kupegang meluncur turun kembali ke air dan memuncrati wajahku. Aku cepat-cepat mengeringkannya dan merasakan kalau tanganku gemetar dan jantungku berdetak cepat.

Hazel baru saja memanggilku. Dia pasti akan membahas masalah kemarin dan memarahiku. “Y-y-ya?” suaraku bergetar. Tidak berani melihat wajahnya secara langsung dan menyibukan diri dengan piring.

“Hari ini aku bikin cake baru. Kau mau mencobanya?”

Aku diam beberapa saat, mencerna kalimat barusan. “Ha?”

“Aku mau tanya pendapatmu. Lidahmu kan paling sensitif,” Hazel menyodorkan sendok yang terisi sepotong kecil cake yang berwarna-warni. Aku diam. Bengong. Tangannya menungguku untuk mencoba cake buatannya. Perlahan, aku memakan cake yang dia sendok dan merasakan kalau cake itu sangat enak. Tidak manis, tidak asam, tapi ada kesan tersendiri yang membuatku ingin mencobanya sekali. Aku seakan terhipnotis dengan rasanya. Bagaimana dia bisa membuat cake seenak itu sih?

“Enak,” kataku pelan. Dari tadi dia menatapku, membuatku tak nyaman.

“Ah… begitukah…” kuperhatikan ekspresinya. Dia sepertinya tidak terlalu puas. Apa aku salah bicara ya?

“Kenapa? Wajahmu kelihatannya—”

“Hari Minggu ini kau ada acara?” katanya tiba-tiba.

“Minggu? Tak ada. Kenapa?”

“Kalau begitu jam dua siang kutunggu di bioskop.”

He? Aku semakin tak mengerti.

“Aku harus mengantar cake baru ke toko. Aku keluar dulu.”

Hazel buru-buru mengambil kotak-kotak kuenya dan menghilang keluar. Kepalaku miring sejenak. Aku tak begitu paham apa yang sebenarnya terjadi disini. Apa kami sudah berbaikan? Apa dia tak marah lagi? Atau—

“Aaah, masa pembicaraan kalian canggung begitu?” Kevin tiba-tiba muncul, membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. “Padahal aku sudah tahan-tahan di luar, menunggu kapan kalian bisa bicara kayak biasanya. Tahunya cuma hal tak penting.”

“Bos,” aku meliriknya. “Jangan-jangan, ini rencanamu ya?”

“Kau harus berbaikan dengannya,” dia mengedipkan matanya dengan jahil. “Aku sama sekali tak suka karyawanku bertengkar hanya karena masalah sepele. Jadi kau harus berterima kasih padaku.”

“Tapi—”

“Oh, ya, jangan lupa cuci ini juga,” Kevin meletakan nampannya dan berlalu kegirangan.

Lihat kan? Tak ada satupun anak-anak dari Amour yang tidak mencampuri urusan orang lain.

Minggu siang, aku sudah bersiap berangkat. Aku memakai kaos putih dan diluarnya dilapisi jaket panjang berwarna hijau, lalu celana berkantong, sepatu tanpa tali dan topi. Well, aku merasa lebih aman jalan dengan Hazel dengan gaya cowok, karena kalau Rhea sampai melihatku kencan dengan pacarnya menggunakan rok, aku takut dia akan menerjangku. Lagipula, ini bukan kencan aku yakin sekali. Ini perjalanan antara dua sahabat yang sempat berantem. Entah kenapa aku merasa kalau ada sesuatu yang tak beres tentang ajakan Hazel walau aku tak tahu apa.

“Mau kemana lo?” Andre menegurku di depan pintu. Dia baru saja pulang, membawa kantongan plastik yang basah. “Padahal gue baru beli es krim buat dimakan bareng.”

“Aku mau keluar. Ada janji.”

“Sama siapa?”

“Hazel.”

“Hazel?” dia mengulang. Kerutan di dahinya semakin dalam. “Dengan dandanan begitu? Entar elo berdua dikira gay yang lagi nge-date tahu nggak.”

“Bodo amat,” gumamku dan berlari cepat menuju busway terdekat.

Dengan cepat aku naik dan duduk di kursi belakang. Aku berpikir kalau perkataan Andre ada benarnya. Tapi pikiranku yang lain menyangkal. Cowok kalo jalan sama teman cowoknya kan biasa. Itu sama sekali bukan hal yang luar biasa.

“Maaf,” aku menggeser sedikit. Seorang siswi SMA duduk di sampingku. Aku memperhatikan jalanan di luar. Panas. Macet dan sumpek. Kalo hujan dikit aja pasti banjir. “Maaf. Permisi.”

Aku menggeser lagi dan baru merasakan ada yang tak beres ketika melihat kalau semua orang yang ada di bus melirikku. Ah, tidak, tidak. Aku pasti salah lihat. Aku mencoba memastikan sekali lagi dan aku meyakini kalau aku tak salah. Mereka menatapku tanpa berkedip dan dengan sengaja melihatku.

Ada apa sih? Apa hari ini aku benar-benar salah pakaian? Ada sesuatu di wajahku atau…

Bus berhenti lagi dan penumpang masuk. Sejenak aku tampak peduli dengan pandangan mereka dan lebih memilih melihat keluar jendela.

“Ah, Alex?”

Mataku hampir saja keluar melihat Hazel masuk dan duduk di bangku kosong. Dia tersenyum ramah padaku. Aku merasa sedikit lebih rileks. Setidaknya aku tahu kalau dia tak marah lagi. Tapi, apa yang dilakukan orang kaya di busway?

Ah, lupa, motornya kan rusak.

“Sini, Lex. Duduk disebelahku.” Hazel menepuk kursi disebelahnya, kemudian menarik tanganku dengan tangan yang satunya. Aku bergerak dan duduk disampingnya. Sedikit lega karena berhasil menjauhkan perhatianku dari pandangan manusia di bus. “Aku nggak nyangka kita bakal ketemu disini.”

“Gimana motormu?” sialan. Kenapa aku justru nanya soal motor bukannya mulutnya yang terluka begitu?

“Di bengkel. Cukup parah. Kurasa aku harus beli motor baru.” Dia menghela napas. “Kevin berniat membelikan aku mobil, tapi aku tak mau.”

“Kenapa?”

“Kenapa? Ya, ampun, Alex, ini Jakarta. Kalau aku pake mobil, ya pasti makin lambat geraknya. Kalau pakai motor, aku kan bisa menyelip.”

“Gimana kalau pakai sepeda saja, seperti Kian? Lebih murah, hemat BBM, tidak menambah polusi dan kau lebih sehat karena sering berolahraga.”

Hazel menatapku, menggigit bibirnya. Aku bisa melihat kemarahan dari matanya. He?

“Kau selalu saja membicarakan Kian.”

Aku mengerjap. “Kenapa? Apa perkataanku ada yang salah?”

Hazel menghela napas. “Nggak. Tapi…” dia berhenti dan menggeleng. “Aku bisa minta tolong nggak?”

“Apa?”

“Aku tak mau dengar nama salah satu anak-anak Amour hari ini.”

Kali aku benar-benar merasa ada yang tak beres. Pasti ada masalah. Aku yakin. “Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi diantara kalian?” Baik mereka semua tak mengatakan soal apapun padaku. Jadi aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Setelah kau pergi, mereka menceramahiku. Aku tak tahu mereka mengatakan apa. Tapi yang pasti membuatku jengkel,” dia melipat tangannya. Bisa kurasakan kemarahannya menguap dari tubuhnya.

Aku tak tahu harus bilang apa. Mereka berempat mencermahi Hazel—yang jelas-jelas lebih muda daripada mereka—bisa kupahami kalau emosinya menaik. Aku tertawa dan menepuk-nepuk punggungnya. “Sabar… sabar… mereka jauh lebih dewasa daripadamu jadi mereka menganggapmu seperti anak kecil.”

Hazel menghela napas lagi. “Ya… aku juga merasa begitu. Mereka orang dewasa yang tak biasa bersikap dewasa.” Gumamnya dengan nada jengkel.

Hahaha. Benar sekali. Mau tak mau hati kecilku juga merasakan demikian. Mereka orang dewasa yang tak bisa bersikap dewasa… eh—em… apa aku juga termasuk yang dia sindir barusan ya?

“Aku mau tahu tanya padamu,” aku berbisik pelan ke dekat telinga Hazel, “Kenapa dari tadi aku merasa kalau aku diawasi sama em… seseorang?” aku mengganti kata “penumpang angkot”, takut mereka merasa tersinggung.

Kulihat Hazel mengangkat alisnya. Dia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik, “Kau tak merasa kalau hari ini kau tampan sekali?”

“Apa?” dahiku mengerut dalam.

“Aku saja sempat mengira kau tadi itu aktor atau model nyasar tahu,” tambahnya lagi dan mengedipkan matanya. Haha. Dia menyindirku. Itu berarti penampilanku kali ini sangat buruk. Harusnya aku mendengarkan kata-kata Andre dan memakai rok. Sebaiknya aku mengubah kebiasaanku ini kalau jalan bareng dengan anak-anak Amour, pantas saja mereka memperkirakan kalau aku bakal jadi “sejenis” dengan mereka.

Kami turun dari busway dan jalan sedikit lagi untuk masuk ke bioskop. Harus kuakui, jalan dengan Hazel membuatku tak nyaman. Dia begitu menarik perhatian. Tubuh jangkung, wajah tampan dan penampilan menarik ditambahi nilai plus sebagai orang baik hati. Berjalan di sekitarnya membuat bulu kudukku sedikit merinding. Aku bahkan bisa merasakan kalau dia mengeluarkan aura berkilauan kayak efek ditivi-tivi itu.

“Er… apa perasaanku saja kalau semua orang memang melihat kita?” kataku. Ah, tidak, tidak, lebih tepatnya melihat “kau, Hazel”.

“Perasaaanmu saja kali.”

Mana mungkin! Aku membantah dalam hati. Mereka jelas-jelas melihat kita tanpa berkedip. Kau mungkin sudah terbiasa diperhatikan begitu, tapi tidak untukku.

Kami masuk ke bioskop. Kukutuki Hazel dalam hati. Perhatian dari orang-orang membut konsentrasiku buyar. Hazel menarikku melihat daftar film yang akan diputar. Matanya kelihatan berbinar dan bersemangat sekali. Dia kelihatan jadi seperti remaja. Yeah, dia memang remaja yang terlalu cepat dewasa.

“Aku udah lama nggak nonton. Hampir setahun,” katanya dengan pandangan penuh minat. Masa dia nggak pernah nonton dengan Rhea selama setahun ini? “Jadi aku nggak tahu mau nonton apa. Kau suka yang mana, Alex, biar aku traktir.”

Aku membaca daftar. Berusaha sebisa mungkin mengalihkan perhatianku dari cewek-cewek yang seharusnya ada lima meter dari dekat kami dan sekarang jaraknya menjadi semeter. “Harry Potter.” Aku menjawab refleks saat melihat nama itu dan tidak melihat nama yang lain.

Great. Aku beli tiket dulu. Kau beli popcorn ya?” dia menjauh tanpa bantahan. Aku cuma bisa melihat punggungnya dan menghela napas. Kulangkahkan kakiku, mengantri beli popcorn. Sesekali aku melihat antrian Hazel yang cukup panjang. Film “Harry Potter” kan lagi populer.

“Berapa, Mas?” si penjual bertanya padaku.

“Masing-masing dua ya,” aku mengeluarkan uang dan memberikannya. Mengambil dua popcorn besar dan minuman dalam sekali gendongan. Aku sengaja beli yang besar. Selain bisa mengenyangkan, sisanya bisa kujadikan untuk jahil: melempari orang yang pacaran di bioskop dengan popcorn. Hehe.

Kusandarkan bahuku ke dinding dan sesekali memakan popcorn-ku, memerhatikan lalu lalang di dekatku. Dan aku baru sadar kalau aku memperlajari satu teknik baru. Kalau ada orang yang memperhatikanmu dari atas sampai ke bawah, maka lakukanlah hal yang sama, karena dengan begitu mereka tidak akan berani melirikmu. Hehe.

Antrian Hazel menipis, bisa kulihat dia mengobrol dan tersenyum seramah mungkin sama cewek-cewek yang coba-coba kenalan padanya. Dia memang populer. Aku sudah tahu itu sebelumnya. Jadi pemandangan hari ini bukanlah hal yang aneh. Lagipula, Hazel memang anak yang suka bersosialisasi. Tidak seperti Kian dan Felix.

Dia mendekat padaku dan melambai, mengacuhkan cewek-cewek yang baru saja mengeluarkan ponsel mereka. “Oke. Sini aku bawa,” dia mengambil popcorn dan minuman, kemudian memberikan tiket padaku. Aku cuma bisa menggeleng melihat tingkahnya.

Kami menyarahkan tiket. Duduk di kursi nomor dua dari belakang, tepat di tengah-tengah. Posisi yang bagus. Gumam penonton yang masuk dalam beberapa menit berhenti ketika lampu dimatikan. Aku segera rileks di bangkuku, mengambil popcorn dan memasukannya ke mulutku.

Film dimulai dengan musik awal yang seperti biasa ketika menonton Harry Potter sebelumnya. Aku sudah hapal.

“Jadi, kau suka film fantasi begini ya?” Hazel bergumam, wajahnya terlihat putih akibat bayang-bayang dari proyektor. Aku mengangguk, memasukan tanganku ke popcorn. Memerhatikan film-nya dengan seksama.

“Aku tak pernah nonton filmnya. Aku selalu baca bukunya. Apa filmnya sama dengan apa yang dibuku?”

Dalam usahaku menelan popcorn yang asin, aku menjawab pelan, “Sayangnya, aku belum pernah baca bukunya dan selalu nonton filmnya.”

Hazel mendengus. Bisa kudengar kalau dia lagi memakan popcornnya.

Untuk selanjutnya, kami tidak bicara dan lebih terfokus pada gambar di depan kami dan sesekali terlonjak karena suara yang tiba-tiba dari speaker. Dalam adegan tertentu, penonton tertawa, bergumam “Oh…” atau bersiul tak jelas saat adegan ciuman dan bertepuk tangan.

“Aku mau tanya, yang mana Harry Potter-nya?”

Perhatianku benar-benar teralih sekarang. Dalam beberapa menit terakhir dia belum tahu siapa si Harry? Aku menatapnya. Memperhatikannya dengan penuh keheranan dan dia membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya, “Yang pakai kacamata bulat.”

“Ah, berarti yang ada disekitarnya tadi Ron dan Hermoine,” Hazel manggut-manggut. “Lalu, yang berambut putih siapa?”

Aku menghabiskan sepanjang sisa film dengan menjawab pertanyaannya. Menjelaskan tiap-tiap tokoh dan sesekali mengomentari pendapat Hazel yang mengatakan kalau filmnya tidak sesuai dengan apa yang tertulis dengan buku. Lalu, dengan jengkel aku menjelaskan padanya lagi, “Kalau sutradaranya menampilkan seluruh isi keluruhan buku dalam film, mungkin kita masih akan duduk disini untuk delapan jam berikutnya.”

Hazel tertawa seiring dengan menyalanya lampu. Dia berdiri dan meregangkan tubuhnya. Bunyi tulangnya membuat dahiku mengerut. Oh, yeah, dia menarik perhatian. “Lex, ayo makan siang.”

“Makan siang?” dahiku makin mengerut.

“Kau, tentunya, jalan denganku bukan cuma karena ingin nonton Harry Potter kan?” dahinya menaik. “Kita makan. Aku lapar.”

Aku merinding. Berpasang-pasang mata melihat kami dengan keheranan. Tenang. Tenang, Alex, kau pasti bisa mengatasi Hazel saat ini. Dia cuma sedang gundah dan bimbang. Sifat anak-anaknya sedang kumat dan dia cuma mau membalasku. Itu saja. Cepat-cepat aku berdiri dan memimpin jalan keluar dari bioskop. Aku bisa melihat semangatnya yang menggebu.

“Kita mau makan dimana?” tanyaku.

“Kau mau makan apa?” dia malah penasaran.

“Aku tak pernah punya keinginan untuk makan sesuatu. Aku cuma memakan apa yang bisa kumakan,” aku menjawab jujur. “Kau saja yang pilih, bukannya kau yang lapar?”

“Kau tak lapar?”

“Belum.” Tadi aku makan popcorn dan menghabiskan minumanku, jadi aku masih kenyang.

“Kalau begitu, ayo ke Ancol.”

Ha?

*** Amour Café ***

Hazel begitu menikmati perjalanan sepanjang bus. Kelihatannya sih begitu. Dia tersenyum sepanjang jalan, kadang bersenandung dan bersiul, mengambil perhatian yang cukup berlebihan. Aku tak tahu kenapa dia terlihat bersemangat begitu, tapi jika itu membuatnya senang, kurasa aku akan baik-baik saja.

“Sini sini sini,” dia menarikku seperti anak kecil, membawaku mencoba dari satu permainan ke permainan lain. Dari permainan lucu sampai yang ekstrim. Kami berteriak, tertawa dan ketakutan—yeah, untukku saja.

Wajahnya memerah seperti anak kecil ketika dia fokus dari satu hal ke hal yang lain. Hal ini membuat dia bercerita banyak dan aku baru tahu kalau kedua orang tuanya sudah meninggal sejak dia berusia enam tahun. Katanya orang tuanya meninggal dalam perjalanan bisnis berdua dan mobil mereka mengalami kecelakaan. Ayahnya meninggal di tempat, dan Ibunya sempat selamat selama beberapa hari tapi kemudian meninggal.

Dia bercerita kalau sejak saat itu dia tinggal dengan almarhum Kakeknya. Jadi bisa dikatakan kalau hubungannya dengan Kakeknya begitu dekat. Dia juga bilang kalau Kakeknya berniat memberikan hak waris sepenuhnya pada Hazel tapi seperti yang sudah diketahui oleh semua orang, Kevin adalah cucu tertua dan dialah yang paling berhak atasnya. Walau Kevin memang tidak terlalu peduli, tapi dia menjalani posisinya dengan sangat baik. Tapi sekali lagi, Kakeknya meninggal, dan Hazel masih begitu belia—kata Kevin, jadi untuk sementara dia tinggal dengan Kevin.

Mendengar ceritanya membuatku termangu beberapa saat. Aku sama sekali tak tahu kalau Hazel punya cerita yang cukup menyedihkan. Aku tak pernah berani bertanya padanya tentang kehidupannya karena aku pikir itu akan merusak privasinya dan persahabatan kami sendiri. Tapi kemudian aku merasa begitu bodoh. Merasa bisa memahami seseorang tanpa latar belakang yang aku sendiri tak tahu.

“Alex, aku menang lagi!”

Aku berjongkok. Kelelahan. Hazel berteriak kegirangan, merayakan kemenangannya yang mengalahkanku dalam game shooting. Baru kali aku merasa secapek ini dan baru kali ini aku melihatnya tertawa bahagia. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Bermain dengannya benar-benar menghabiskan tenagaku.

“Kita main lagi.”

Lagi? Kita sudah main itu sebanyak enam kali!

Tapi aku melayaninya. Dua puluh menit kemudian, barulah aku bisa melemaskan kakiku dan duduk di tempat kosong. Hazel kembali membawa es krim dan roti. Kami makan dalam diam, memperhatikan hiruk pikuk Ancol.

“Alex, aku benar-benar senang dan bersyukur bertemu denganmu,” Hazel tiba-tiba bicara. Aku menatapnya, tak jadi menelan rotiku. “Baru kali ini aku dipukul sampai tak bisa membalas.”

Oke. Sekarang bukan saja tak bisa menelan. Aku malah hampir mengeluarkan semuanya. Perutku seakan mengejang. Aku tak tahu kalau dia akan membahas masalah itu sekarang. “Er—uh, aku…” aku harus minta maaf padamu karena sudah memukulmu waktu itu. Harusnya aku sadar akan posisiku. Tidak seharusnya aku masuk kedalam masalah pribadimu. Aku ingin mengatakan itu dengan cepat, tapi aku malah diam lama sekali.

“Tak perlu minta maaf.” Hazel menganggkat tangannya dan tersenyum. “Itu bukan luka besar, cuma luka kecil.” Dia memakan rotinya. “Kevin dan Felix serta orang-orang yang lebih tua dariku memang biasanya menasehatiku saja tanpa memberikan tindakan. Kau pasti tahu seperti apa posisiku.”

Aku tak tahu dia berkata apa. Tapi, oke, aku akan mendengarkannya.

“Kedua orang tuaku meninggal dan mereka begitu menyayangiku. Kakekku juga begitu menyayangiku dan tak pernah memarahiku. Lalu kemudian, Kevin yang biasanya membawa pulang gadis dan lebih sibuk dengan pekerjaannya dan kencan. Felix juga tak banyak membantu. Dia lebih sering memarahiku kalau aku masuk kamarnya.”

Dia berbuat begitu? Pada sepupunya sendiri? Aku melotot.

“Aku dalam posisi keras kepala dan hanya menganggap diriku benar. Dan kalaupun mereka memintaku melakukan hal yang benar, aku cuma menganggap kalau perkataan mereka seperti angin lalu. Tidak ada artinya sama sekali. Mereka tak pernah mengatakan secara jelas mana yang benar dan salah. Tapi waktu itu kau—” Jangan katakan! “—memukulku—” aku menghela napas. Dia mengatakannya juga. “dan aku merasa berterima kasih. Kalau tidak kau lakukan itu, mungkin aku akan tetap keras kepala dan makin menutup diri.”

“Jadi…er…” aku tak ingin mengatakan ini, tapi firasatku mengatakan kalau dia akan membawa berita mengejutkan.

“Aku sudah putus dengan Rhea.”

Aku melotot. What?

“Sehari setelah kau menyuruhku begitu.”

Aku nyaris pingsan. Aku benar-benar lemas sekarang. Dia benar-benar mematuhi perintahku? Aku memang menyuruhnya putus. Tapi… tapi… TIDAK SECEPAT ITU! APA DIA TAK PERNAH BERPIKIR KALAU DIA HARUS MEMIKIRKAN DULU APA YANG KUKATAKAN SEBELUM BERTINDAK?

“Ah… uh…” aku tak bisa berkata-kata. Ini kejutan. Kejutan besar.

“Aku memang merasa menjalin hubungan dengannya tidak akan berjalan mulus seperti yang kubayangkan,” Hazel menghela napas, meminum soft drink-nya dan tertawa melihat salah satu anak kecil yang baru saja melompat-lompat. “Aku tahu dia selingkuh di belakangku.”

Aku kembali melotot. Apa lagi sekarang yang dia katakan?

“Aku juga tahu kalau dia cuma memanfaatkan uangku dan ketenaranku di atas panggung saja. Untuk membuatnya terlihat lebih keren,” dia terkekeh.

“Lalu kenapa…” aku tak habis pikir dengan jalan pikiran Hazel. “…kalau kau tahu, kenapa masih mempertahankannya?”

Hazel diam beberapa saat. “Karena aku masih membutuhkannya.” Dahiku mengerut. Tidak mengerti. “Dia ada saat aku memanggilnya untuk datang. Walau kami selalu bertengkar, tapi, yah…” bahunya terangkat, “…aku harus mengakui kalau dia bisa menjauhkan aku dari cewek-cewek itu.”

Oh, ya, aku sekarang bisa menangkap apa maksudnya. “Kau…” aku bergumam pelan, berharap kalau firasatku benar, “jangan bilang kalau kau mempertahankannya jadi pacar cuma untuk membuatmu menjauh dari gadis-gadis fans club-mu itu?”

Hazel menaikan alisnya, tersenyum dan berkata,”Ya” dengan ringannya.

“Ya? Kemana otakmu?” emosiku naik. Hazel mundur ke ujung kursinya. “Kalau kau begitu menginginkan supaya gadis-gadis itu menjauh darimu, jangan jadikan dia untuk merusak image-mu! Kevin mengira kalau kau merusak dirimu sendiri tahu! Dia menguatirkanmu!”

Hazel mengerjap. Tampaknya tak menduga sama sekali kemarahan yang muncul. “Ah… er… makanya aku bilang kalau kata-katamu benar waktu itu…”

Aku menunjuk-nunjuknya sambil kembali mengomel. “Kalau kau merasa cewek-cewek itu mengganggumu, kenapa kau tak menyewa pengawal pribadi saja? Bukannya malah memanfaatkan gadis seperti dia! Rhea itu membawa pengaruh buruk padamu! Apa kau tak sadar itu?”

Mengherankan. Dia malah tersenyum, lalu tertawa. “Alex, aku benar-benar menyukaimu!”

Ha? Aku membatu. Kemudian duduk dengan cepat, memakan rotiku dan mengalihkan perhatianku dari apapun selain Hazel yang masih tertawa. Jantungku berdetak tak karuan saat mendengar kalimat barusan. Tunggu. Memangnya tadi dia bilang apa? Aku tak dengar sama sekali!

“Gimana tangannya Andre? Katanya dia tak bisa main untuk sementara,” tiba-tiba saja pertanyaan beralih dan aku menghela napas lega.

“Tangan kirinya harus sembuh total dulu baru dia bisa main,” jawabku cepat. Cepat-cepat aku meneguk minumanku.

“Alex, apa kau suka padaku?”

Aku menyemburkan minumanku. “Apa?”

“Aku cuma bercanda,” Hazel mengedipkan matanya dan kembali tertawa. Rasanya, aku baru saja dipermainkan hari ini.

*** Amour Café ***

Seninnya, Adriel tampak lebih jengkel. Dia bercerita kalau Ariel membatalkan “kencan” mereka. Ariel sedang mengurus kucingnya yang sakit. Dan dia lebih jengkel karena aku belum juga memakai kado darinya.

“Aku memakainya saat hari Minggu!” kataku.

“Dan aku tak melihatmu pada hari itu!” dia berteriak keras kepala. Menarikku masuk ke mobilnya kembali. Dia mengantar aku ke Amour untuk melihat Ariel. Kemudian memaksaku untuk menjadi kelinci percobaan. Saat aku meronta untuk melepaskan diri, dia memelototiku dengan aura neraka, jadi aku tak bisa bergerak lagi.

“Kau tahu kan kalau aku jadi pelayan cowok disini!” aku mendesis padanya, membiarkan dia menepuk-nepuk alas bedak ke wajahku.

“Kau bisa menghapusnya nanti ketika berubah,” dia menyindirku. “Aku cuma ingin melihat temanku tampil cantik dan aku mau melihat reaksi anak-anak Amour yang tak bisa melihatmu sebagai perempuan.”

Terserahlah. Aku tak bisa membantah lagi. Ketika selesai, dia melarangku melihat cermin dan menghalangi tanganku yang hendak memegang pipiku yang terasa gatal sekali.

“Jangan! Tunggu, aku potret dulu!” Adriel mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan kemeranya padaku. “Senyum dikit.”

“Adriel…” aku merengek. “Pipiku gatal dan bibirku terasa basah. Aku juga tak nyaman dengan rambutku yang tergerai apalagi ban—” Aku diam melihat pelototan Adriel.

“Senyum…” dia memaksa dan aku pun menarik ujung-ujung bibirku dengan susah payah. Gimana aku bisa tersenyum kalau aku sendiri tak mau? “Nah, cantik.”

“Lihat.”

Lagi-lagi Adriel menghalangi tanganku untuk menjangkau ponselnya. Dia tersenyum, keluar dari mobil, membuka pintu di sebelahku, menarik tanganku dan memaksaku turun.

“Kau menyuruhku masuk ke Amour dengan muka digambar begini? No way!

Aku bahkan tak tahu tampangku seperti apa saat ini!

*** Amour Café ***

2 komentar:

Enggar.Putri mengatakan...

ahahhaha
lucu seprti biasanya tpi gag nyangka aja Hazel ternyta mikirnya gtu kirain kenapa dia bisa suka sma yg namanya Rhea itu

dan oh iya
baru nyadar klo Adriel udh gag ngomong lo gue lgi ^^

prince.novel mengatakan...

@cloud: iya ya, Hazel emang lain. :D

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.