RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 03 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Four

by: Prince Novel

Receipt Four

Ulangan Fisika dan Kimia dalam waktu bersamaan bisa membuatku terkena serangan jantung betulan ditambah lagi ada voli buat pelajaran olahraga di siang harinya. Energiku habis dalam sekejap ketika aku berjalan lunglai menuju Amour Café. Aku jadi bertanya-tanya sendiri apakah aku bisa melewati hari ini dengan selamat. Apalagi ada Felix yang sering membuatku jengkel setengah mati.

“Sore, Alex!” Hazel menyapaku di depan gerbang. Aku memberikan senyuman simpul padanya. Oh, ternyata dia sedang menanam bunga dan Kevin sibuk mencabuti rumput. Dia tidak menyapaku, kurasa dia tidak melihatku. Aku memperhatikan sekelilingku.

“Felix mana? Kok aku nggak lihat mobilnya ya?” aku tak mau bertanya sih, tapi karena kami saat ini akan jadi teman setim, ada baiknya aku bertanya. Demi sopan santun. Hehe.

“Dia bilang kalau dia mau ngejar ceweknya,” Hazel menjawab dengan susah payah saat dia mencangkul tanah dan memasukan sekumpulan bunga tulip yang cantik.

Aku melotot. “Hah? Felix punya pacar?”. Orang seperti Philip, yang menyebalkan dan menjengkelkan, serta tidak diketahui sifatnya juga lidahnya yang tajam seperti ular berbisa itu, bisa punya pacar juga?

“Ah, tidak, tidak,” Kevin bangkit berdiri, menghapus keringatnya yang mengucur dari dahi. “Felix itu jatuh cinta sama orang tak dikenal. Begonya, dia sendiri juga nggak tahu apakah dia bisa menemukan cewek itu atau tidak.”

Erh… kalian tahu kan, aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Kevin. Apa mereka tak bisa menggunakan kata-kata yang biasa saja agar membuatku mengerti maksud mereka? Aku belum mengenal mereka dan tentunya aku tak tahu seperti apa kehidupan mereka.

“Felix jatuh cinta sama cewek yang menyelamatkan hidupnya sekitar setahun yang lalu,” Hazel mengangkat kepalanya dan tersenyum. Thanks, Hazel. Kau memang tahu cara membaca pikiranku. “Dulu, Felix itu sempat punya pacar—gadis itu pacarnya sejak SMP—lalu gadis itu selingkuh di belakang Felix dengan sahabat Felix sendiri. Kau pasti tahu sehancur apa Felix saat ini. Nah, singkatnya, Felix mencoba bunuh diri dengan melemparkan dirinya ke jalan.”

Whoah! Ekstrim banget si Felix!

“Felix luka parah waktu itu dan tak ada menolongnya dalam waktu beberapa menit. Namun malaikat penolong muncul, nah gadis yang dicarinya saat inilah yang menolongnya saat itu. Kata Felix sih, saat itu, perkataan gadis itu yang memotifasinya untuk hidup.”

Ow, jadi dia jatuh cinta pada pandangan pertama sama gadis berhati malaikat yang menolongnya. Hum… lebai juga ya si Felix. Aku jadi geli sendiri. Masih ada ya orang sejenis Felix di dunia ini.

“Dari Dokter yang merawat Felix waktu itu, gadis itu yang membawa Felix seorang diri ke rumah sakit. Katanya gadis itu juga yang membayar semua pengobatan Felix dan katanya gadis yang cantik. Nah, saat Felix sadar, gadis itu tak pernah datang menjenguknya dan Dokter bilang kalau gadis itu tak pernah menjenguknya sejak saat Felix masuk rumah sakit. Kemudian, Felix memutuskan untuk mencari gadis itu.”

“Oooh,” aku merespon sambil manggut-manggut.

“Begonya, Felix nggak tahu namanya bahkan wajahnya saja samar-samar. Mau cari dimana gadis begitu?” Kevin memotong. “Felix cuma mengandalkan perkataan Dokter dan suster yang waktu itu merawatnya. Aku sudah bilang padanya untuk menyerah saja, tapi dia keras kepala.”

“Apa boleh buat kan, namanya juga Felix sedang mengejar cinta sejatinya,” gumam Hazel.

“Kau juga, lebih baik cepat putus sama Rhea. Aku nggak suka kau dekat-dekat sama cewek nggak benar itu. Dia itu cuma memanfaatkanmu, Hazel,”

Aku mengerutkan dahi. Jadi Hazel sudah punya pacar?

“Aku ngerti kok, tapi saat ini aku baik-baik saja. Biar aku yang memutuskan jalan hidupku, oke?” Hazel tersenyum hangat pada Kevin.

“Terserah, deh,” Kevin tidak peduli. Dia kembali membungkuk dan mengais rumput. “Alex, jangan cuma berdiri aja. Kau masih punya urusan disini. Cepat bantuin kami. Hari ini bagian taman harus selesai.”

Aku melonjak dan meringis. Cepat-cepat aku masuk ke café lalu mengganti pakaianku. Kepalaku rasanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan dari cerita mereka. Jadi, Felix punya pacar lalu dikhianati bahkan oleh sahabatnya dan Hazel punya pacar tak benar yang ditentang Kevin. Sementara Kevin sendiri playboy. Aku tidak mengerti. Ketiga sepupu ini sama sekali tidak memiliki ciri khas yang sama.

Felix kembali saat langit sudah gelap. Dia memarkirkan mobilnya dan turun dengan dahi mengerut dalam. Auranya gelap sekali.

“Kopi?” Hazel menawarkan kopi padanya tepat di depan pintu. Felix menatapnya sejenak, kemudian melewatinya dengan tidak peduli. Kopinya tidak digubris. “Kenapa? Ada apa?”

Aku meneguk kopiku dengan perlahan, sama sekali tidak mau melihat wajah Felix yang penuh aura pembunuh.

“Gagal lagi ya?” Kevin tersenyum kecil padanya. “Sudahlah, menyerah saja.”

“Aku sebal banget sama dokter dan suster di rumah sakit itu. Yang satu bilang kalau ceweknya cantik, yang satu lagi bilang kalau ceweknya sederhana. Gr… bikin sebal aja. Masa ada dua orang sih yang nolong aku di waktu bersamaan?”

“Kau kan nggak sadarkan diri waktu itu—”

“Aku bisa mengingat dengan jelas hangatnya tangan cewek itu waktu kupegang dan suaranya yang lembut.” Felix menggerutu. “Sialan. Ini udah setahun. Gimana kalau cewek itu udah punya pacar, atau jangan-jangan dia malah udah married.”

“Susah amat. Cari aja yang baru.”

Pintar kau, Kevin. Tapi Felix tak senang.

“Emangnya aku sama sepertimu yang gonta-ganti pacar tiap hari?” gerutu Felix. Aku mengerti dia sedang gundah. Ternyata Felix sangat mengerikan jika dia marah-marah begini. Erk! Aku mengalihkan pandangan ketika mataku bertemu dengan mata Felix. “Alex, kau nggak pulang? Udah gelap begini masih aja nongol disini.”

Hazel meletakan cangkir kopinya. “Felix, jangan melampiaskan kemarahanmu pada Alex. Bersikap dewasalah sedikit. Kau itu lebih tua darinya tahu. Lagipula kau ini laki-laki, masa setiap hari selalu marah-marah padanya. Bisa tidak sih bersikap lembut sama perempuan?”

Felix mendengus. “Berapa kali aku harus bilang, kita nggak punya karyawan perempuan.”

“Tapi—”

“Kalau begitu kau tidak perlu peduli aku mau pulang kapan,” aku memotong cepat perkataan Hazel. Habis sudah kesabaranku. Semakin aku diam, semakin aku terinjak-injak. Orang seperti Felix memang harus diladeni. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi. Jika dia masih saja bikin sebal, maka aku menaikan bendera perangku sekarang. Dia pikir aku takut padanya?

“Apa?” Felix mengerutkan dahi.

“Kau sendiri yang bilang kalau café ini tak punya karyawan perempuan. Nah, sebagai laki-laki, harusnya kau tak perlu takut kalau temanmu laki-laki pulang sendirian tengah malam kan?”

Felix berdiri. “Ngajak berantem?”

Aku juga ikutan berdiri. “Iya! Kau pikir aku takut?”

Hazel dan Kevin menyeruak ke tengah-tengah. Kevin memegang tanganku sementara Hazel memegangi Felix.

“Sabar. Sabar, Lex. Felix memang begitu. Jiwanya labil,” kata Kevin, tapi perkataannya justru menyulut api. Suara Felix naik satu oktaf.

“Apa? Siapa yang jiwanya labil?”

“Lix, kecilin suaramu! Nanti kalo orang dengar, dikirain ada masalah besar!” Hazel mendesis.

Felix menyingkirkan tangan Hazel. “Minggir. Dari awal aku emang nggak senang ada orang asing yang masuk café ini dan bertingkah sesuka hatinya terlebih lagi orang seperti—AAAW!!” Felix menjerit ketika dia menunjuk-nunjuk padaku dengan tidak sopan dan aku menggigit telunjuknya.

Aku bisa melihat ekspresi kekagetan dari Hazel dan Kevin.

“Cewek gila!” Felix berteriak, mengibas-kibaskan tangannya yang membekasi gigiku. “Sembarangan aja! Gimana kalau aku rabies?”

“Kau pikir aku anjing?”

Hazel dan Kevin kembali menyeruak ke tengah-tengah. Felix baru saja mengulurkan tangannya, hendak mencekikku. Untung saja Hazel dengan sigap menghalangi di depan dan Kevin menarik mundurku.

“Minggir! Sini kau cewek! Dia harus diberi pelajaran!” Felix berkutat.

“Sabar! Lawanmu itu perempuan!” Hazel bersusah payah menghalangi Felix.

“Aku nggak peduli! Hazel, minggir!”

“Kabur!” Kevin menarik tanganku. “Hazel, tahan Felix!”

“Hei, mau kemana? Jangan kabur!”

Kevin memasangkan helm padaku dan menyuruhku cepat-cepat naik ke atas motornya. Aku tak punya waktu untuk membantah. Aku naik dan memeluknya dari belakang sementara dia menghidupkan mesinnya. Kami melesat tepat pada waktunya karena Felix baru saja keluar dari café dan berteriak, “Besok kau pasti akan kubalas! Alex! Ingat itu!”

Aku sudah membangunkan singa tidur.

“Kenapa kau melayani dia bertengkar sih?” Kevin berteriak, mendahului angin dan bunyi klakson dari belakang. “Dia itu sifatnya seperti anak-anak! Tidak perlu diladeni!”

“Tapi dia membuatku kesal!”

“Kalau dia marah, dia memang sering ngomong nggak jelas dan selalu menimpakan kesalahan sama semua orang!”

Jenis manusia yang merepotkan.

“Tapi kau nggak perlu takut, Lex. Aku sama Hazel akan mengurusnya!”

“Aku nggak takut kok.”

Yeah, siapa yang takut sama jenis begitu?

*** Amour Café ***

Mengenai rasa takut, sebaiknya aku menarik kembali kata-kataku kemarin. Jenis seperti dia memang tidak perlu diladeni.

“Aw-aw-aw,” aku mengeluh, memukul tangan Felix, yang baru saja memiting leherku. “Ampun, ampun, ampun.”

“Kau pikir kau bisa lari setelah menggigit tanganku hah? Pembalasan pasti datang. Kau tak takut ada hukum karma?” dia berbisik menyebalkan.

Manusia yang satu ini muncul dari balik pintu saat aku sampai di café keesokan harinya. Ternyata dia menungguiku disana. Hazel sama Kevin tak tahu mengenai rencana gilanya ini dan aku menjadi korban.

“Sakit, sakit, sakit. Aku nggak bisa bernapas,” keluhku lagi. Dia malah mengucek-kucek rambutku. “Tanganmu belum dicuci! Aku baru keramas!”

“Sejak kapan ada cowok yang mikirin rambutnya dikeramas atau nggak?”

Aku menjerit dalam hati. Dia sadis sekali! Seseorang, tolong aku!

“Cukup sampai disitu. Aku ini penjujung tinggi wanita, Felix.” Kevin muncul, dia memegangi kuas yang catnya masih basah. “Kalau kau tak melepasnya, akan kupastikan kalau wajahmu akan berubah warna.”

“Tapi kita tak punya—”

“Ya, ya, whatever,” Kevin memutar bola matanya, tidak peduli.

Felix mendengus dan akhirnya melepas pitingannya. Dia mendelik jengkel padaku dan aku segera berlindung di belakang punggung Kevin. Matanya itu seakan bisa membunuhku dalam sekejap. Dia menghela napas dan berbalik pergi.

“Mau kemana?” kata Kevin.

“Mengecat.”

“Nggak. Nggak perlu. Biar aku sama Hazel saja,” Kevin mengambil tasnya yang besar. “Kau sama Alex kukasih tugas luar.” Kali ini dia mengeluarkan lembaran-lembaran iklan yang banyak sekali.

Aku melotot. Apa?

“Aku sama siapa?” Felix mengerutkan dahinya. Ternyata bukan hanya aku yang sering salah dalam pendengaran.

“Kau dan Alex. Alex dan kau,” Kevin mengulang dengan nada sabar. Dia meletakan lembaran itu ke tangan Felix. “Nah, tempelkan selebaran ini di tempat yang banyak orangnya. Ini untuk iklan café kita. Rancangan Hazel sama sekali tak bisa diharapkan,” dia mendelik pada Hazel. Hazel hanya senyam-senyum saja. “Aku mau semua selebaran ini habis pada hari ini juga dan kuharap akan ada hasilnya besok.”

“Aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Felix.

“Kerja sama tim sangat perlu. Lagipula, tak ada lagi yang bisa dikerjakan Alex disini,” Kevin melipat tangannya. Felix tak bisa membantah lagi. “Kuminta kalian jangan berantem disana.”

“Ayo, Alex,” Felix menggerutu.

“Tunggu sebentar,” Kevin memegang kepalaku yang baru saja hendak mengikuti Felix. “Kau mau pergi begitu saja dengan seragam? Aku kan sudah bilang kalau kau ini pelayan cowok. Ganti bajumu.”

Hehe, aku nyengir padanya.

Aku sungguh tak sudi. Benar-benar tak sudi untuk kerja sama dengan orang seperti Felix. Aku sudah sangat bersabar menghadapi orang sepertinya tapi kesabaranku benar-benar sudah putus. Dia bahkan lebih menyebalkan sepuluh kali lipat dari adikku.

“Pasang iklan yang benar dong. Masa miring begini?” dia menempelkan poster, yang dia tarik dari tembok dan yang baru saja kutempeli, ke dahiku. “Pake otak, dong. Mana ada yang mau—apa? Mau marah?”

Aku menyingkirkan poster dari dahiku. Darahku mendidih. “Jangan tempel poster di dahiku.”

“Bukankah ideku bagus? Dengan begitu orang bisa lihat ada manusia berwajah poster, dengan begitu café kita jadi laris. Kau pasti langsung jadi barang langka.” Tukasnya sinis.

IIIIIH dia benar-benar membuatku kesal! Aku mengepalkan tangan. Sabar. Sabar, Alex. Kau sudah sering mengalami hal seperti ini, malah lebih parah. Orang seperti dia tak akan bisa membuatmu keluar dari Amour. Sabar. Sabar.

“Oi, Alex.”

“Apa?” kataku ketus.

“Bawa posternya kemari, Babu.”

AAAARGH! Cowok itu memang masalah besar!

*** Amour Café ***

“Aku sudah baik-baik mau memberimu makan. Harusnya kau berterima kasih sedikit, bukannya mendiamiku seperti ini,” Felix mendentingkan garpunya ke piringku. “Kau masih marah padaku? Salahmu sendiri nggak kerja dengan benar.”

Dasar manusia perfeksionis yang tak bisa baca kondisi, aku memaki dalam hati. Seharian ini aku benar-benar tak mau bicara dengannya. Andai saja kalau bukan karena dia memaksaku makan disini, maka mungkin aku sudah pulang ke rumah.

“Apa lagi sekarang?” mataku melotot melihat tingkah Felix yang satu ini. Dia mengangkat piringnya yang masih penuh dengan sayuran dan menuangkan isinya ke piringku. “Kau seperti orang kelaparan, jadi habiskan saja punyaku.”

“Tapi kau tak harus menuangkan—”

“Lagipula, aku karnivora,” dia tersenyum penuh kemenangan.

Aaargh! Dia benar-benar membuatku gila! Apa tak bisa sekali saja dia membuat emosiku menurun?

“Kian, sini, sini! Disini kosong!”

Aku hampir saja menuangkan seluruh isi di mulutku saat mendengar nama itu. Aku nggak salah dengarkan? Kian? Kian? Bukan Kian Rafael anak Merah-Putih kan? Aku memutar kepalaku perlahan dan nyaris pingsan melihat Kian baru saja melewati meja kami dan duduk tepat di depan kami. Aku cepat-cepat menunduk ketika Kian melihatku. Aduh, mampus!

“Kenapa?” kata Felix.

Bego! Aku memukul kepalaku sendiri. Saat ini aku kan jadi cowok, jadi mana mungkin dia mengenaliku. Lagipula, memangnya aku, Alexie Selena, bisa dikenali sama cowok sekeren Kian? Mustahil banget!

“Ada apa kalian memanggilku kemari?” Kian bersandar di bangkunya. Aku memerhatikan kalau dia memakai jeket hitam kulit dengan rantai di tangan. Dia tidak memakai kacamata seperti biasa. Rambutnya juga tidak serapi saat di sekolah. Bahkan—astaga, mataku mungkin memang rabun—ada sinar dari anting di telinga kirinya. Masa sih?

“Kita kan bisa bersantai sedikit.”

Di meja Kian ada sekitar empat orang laki-laki dan tiga orang wanita berpenampilan seksi. Semuanya merokok, kecuali Kian, dan semuanya sepertinya bukan dari orang baik-baik. Tidak ada satupun dari mereka yang tidak memakai anting di tangan atau bahkan tato. Aku melotot.

Kian membasahi bibirnya. “Aku sudah bilang kalau aku tak suka asap rokok.” Dia tersenyum licin.

Salah seorang dari wanita itu bicara, si rambut coklat yang cantik, “Oh, come on, Rafa. Kau tentunya tak ingin dibilang banci kan?”

Kian meliriknya. “Menjauh dariku,” gumamnya. Lalu melirik teman-temannya. “Jika kalian bermaksud merekrutku di geng kalian, maaf saja, aku menolak. Aku memang jago berantem, tapi itu bukan hobiku. Sebaiknya kalian cari orang lain saja.” Dia berdiri dan berdeham. “Oh, iya, kalian juga harus memikirkan masa depan kalian. Mabuk-mabukan, merokok, tauran atau sejenisnya bukanlah levelku. Itu level rendahan. Jadi jika kalian ingin merekrutku, kenapa kalian tidak meningkatkan level kalian saja. Misalnya, masuk sepuluh besar di kelas kalian?”

Aku ternganga. Benarkah itu Kian Rafael anak Merah-Putih yang pendiam dan tidak banyak bicara?

Kian tersenyum kecil lagi dan berlalu begitu saja. Teman-temannya itu sama sekali tak bisa membalasnya. Dia melewati meja kami. Aku bisa merasakan kalau seluruh mata melihat ke arahnya dan—

Goblok! Salah satu pelayan baru saja menabrak meja kami dan sisa poster yang ada di atas meja jatuh dan terbang ke arah Kian, tepat ke wajahnya. Aku menggigit jari sementara Felix menahan tawanya. Mati aku. Aduh, tamat riwayatku.

“Apa sih ini?” Kian mengambil poster itu dengan tak senang.

“Maaf, Tuan. Maaf,” si pelayan meminta maaf pada kami. Panik.

Kian menoleh ke belakang dan ketika aku sadar kalau mata kami bertemu cukup lama, aku segera menunduk. Jantungku berdegup kencang. Aduh, dia tidak melihat kearahku kan? Dia tidak mengenaliku kan?

“Aku ambil ini, ya, Kawan.”

Aku mengadah. Apa?

“Bawa aja,” kata Felix.

Kian tersenyum kecil, mengangkat lembaran poster di tangannya. Dia melirik sekilas padaku lalu berbalik pergi.

“Kau kenal dia?” aku tidak mendengarkan Felix lagi.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.