RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 Agustus 2011

Amour Cafe Receipt Fourteen

by: Prince Novel

Receipt Fourteen

“Kau menyuruhku masuk ke Amour dengan muka digambar begini? No way!

Aku menjerit frustasi dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan tarikannya. Tapi lagi-lagi, Adriel memelototiku dan aura bosnya keluar dalam sekejap sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa selain menurut begitu saja. Aku memasang tampang memohon padanya.

“Kumohon padamu, Adriel, aku benar-benar tak mau.”

Aku ingin kabur secepatnya dan tak mau kembali kesini dengan tampang begini. Tapi terlambat, Adriel sudah membuka pintu café dan lonceng berdering. Adriel mendorongku masuk.

Amour Café masih sunyi.

“Maaf, café kami belum buka,” terdengar suara Kevin dari dalam. Langkah kakinya yang mendekat justru membuatku semakin panik.

“Adriel…”

“Sssssh! Lihat reaksinya!” Adriel mendesis.

“Tapi—”

“Oh, kau Adriel dan—” Kevin muncul, membawa catatan panjang dan saat menyebut namaku, dia seakan tercekik. Dia membatu, menatapku dan tak bisa bicara.

“Kevin, kau membawa catatanku. Harusnya—” Hazel keluar dari dapur, memegang buku catatan besar dan menjatuhkannya ketika melihatku. Reaksinya sama persis seperti Kevin. Aku merasa perasaanku tak beres. Jika sisa yang lainnya muncul saat ini….

“Ngapain kalian ada di depan pintu?” Felix mengaggetkanku. Dia membuka pintu dan lonceng kembali berdenting. Dia masuk, awalnya tidak melihatku yang sengaja tidak menoleh ke belakang. “Kalian kenapa?” dia memperhatikan reaksi Kevin dan Hazel lalu melihat arah pandangan mereka. “A—” Felix menahan napas dan ikutan-ikutan terpaku.

Apa yang sebenarnya terjadi? Aku bukan medusa!

Kian keluar dari ruang ganti dan menatapku. Dia menabrak kursi sampai jatuh. Ariel membantunya berdiri dari belakang dan ketika melihatku, Ariel mengerjap dan seperti kehabisan kata-kata.

“A… Alex…” Kevin berhasil mendapatkan kesadarannya. “Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?”

Aku melirik Adriel, yang cuma bisa senyam-senyum, tak bisa mengatakan apa-apa. “Aku akan cuci muka dulu, Bos,” aku memberikan senyuman singkat dan buru-buru masuk kamar mandi. Menghindari tatapan mereka yang masih mengikutiku dari belakang.

Tampilan diriku di cermin menampilkan seseorang yang bukan diriku. Aku sampai tak menyangka kalau pantulan yang ada disana adalah diriku. Gadis yang ada di depan sana cantik sekali. Dengan rambut tergerai indah dan bando pink manis yang terlilit di kepala. Matanya besar dan lentik dengan buku mata panjang. Bibirnya pink dan kulitnya putih.

Aaaah! Apa yang sebenarnya dilakukan Adriel? Aku mencuci wajahku dengan air. Aku tak tahu kalau aku bisa secantik itu. Tapi aku tahu kalau aku tak pede dengan tampang begitu. Dalam sekejap aku bahagia juga sedih.

Sadarlah, Alex! Dia bermaksud baik!

Setelah mengeringkan wajahku, aku keluar dari kamar mandi. Adriel sudah tak ada tapi aku melihat Kevin. “Erm… siang, Bos.”

“Aku harus mengakui kalau kau ternyata cantik luar-dalam,” gumam Kevin membalik catatannya.

“Maksudnya?” dahiku mengerut.

“Alex, carilah pria yang baik ya?” kata Kevin. “Karel benar-benar beruntung jadi pacarmu. Dia bahkan tak melihat fisikmu.”

Apa sih? Aku cuma bisa nyengir kecil dan masuk ke kamar ganti. Tapi mataku cepat-cepat merapat dan aku berbalik frustasi, nyaris berteriak, melihat Hazel, Felix, Kian dan Ariel sedang mengganti baju mereka. Dalam hati aku memaki Kevin. Kenapa dia tak bilang kalau mereka sedang ganti baju?

“Alex, ketok pintu dulu sebelum masuk!” Felix menggerutu. Entah apa yang dia lakukan. Tadi waktu aku sempat masuk, dia baru saja melepas celananya. “Jangan mengintip! Lihat kebelakang!”

“Ini juga koridorku!” aku balas berteriak, membalikan tubuhku yang gemetaran sekaligus merinding.

“Kau selalu mengusir kami kalau kau yang ganti baju!” suara Felix terdengar lagi.

“Karena aku perempuan!” aku berbalik, berteriak jengkel dan mereka bersama-sama berteriak, “JANGAN LIHAT!”

Jika situasinya lucu, aku akan tertawa. Tapi tidak saat aku dalam perubahan drastis tadi. Aku kembali berteriak dan memandangi dinding. Mendengus dongkol. “Sudah belum?”

Mereka tidak menjawab. Aku mendengar suara gerakan mereka yang cepat. Aku melipat tangan, menghentak-hentakan kakiku dengan tidak sabar. Lama sekali mereka berganti pakaian.

“Sudah, Alex,” Hazel mengacak rambutku dari belakang. Dan saat aku berbalik, mereka semua sudah berpakaian lengkap dan kelihatan lelah dengan wajah memerah dan keringatan. “Apa saja yang sudah kau lihat tadi?”

“Tak ada,” kataku cepat.

“Jangan bohong! Kau melihatku ganti celana dan bahkan memelototi Kian yang melepas seragamnya!” tukas Felix.

“Bukan aku yang bilang tapi kau!” aku membalasnya.

“Kenapa kalian selalu saja bertengkar karena masalah sepele?” Ariel geleng-geleng kepala. “Kalau Alex bilang tidak ada, ya tidak ada, ngapain di permasalahkan?” dia melewati Hazel dan keluar.

Hazel tersenyum dan juga ikut keluar. Felix mendekat, menatapnya, menggigit bibir dan keluar tanpa mengatakan apa-apa. Dan saat aku mendekati Kian yang tak bergerak, dia melonjak, mundur ketakutan.

“Kau tak ingin keluar atau ingin melihatku ganti baju?” kataku padanya. Wajahnya merah padam dalam sejenak. Dia menelan ludah dan buru-buru keluar lalu membanting pintu. Aku tersenyum. Dari semua anak-anak Amour, Kian memang yang paling manis.

Sepanjang hari, harus kuakui kalau semua anak-anak Amour benar-benar tidak konsentrasi pada pekerjaan masing-masing. Hazel keluar dari dapur sejam sekali, cuma ingin memastikan kalau menu yang dipesan benar-benar tepat. Ariel berulang kali membersihkan meja yang sama. Felix menabrak setiap kali aku lewat dan mendesis sambil melotot padaku seakan ini semua salahku dan Kian selalu menyenggol barang terdekat yang dia pegang ketika aku berada satu meter di dekatnya.

Yeah…aneh… aku mulai tak nyaman.

“Bos, aku boleh jaga kue saja kan?” aku meminta Kevin mengganti peranku di café dan dia setuju. Setidaknya, aku berpikir jika menjauhkan diri dari mereka, mereka akan konsentrasi pada apa yang mereka kerjakan.

“Boleh saja.”

Aku menghabiskan waktuku selama sepuluh menit dalam keheningan sampai kemudian beberapa cewek sekolah berdatangan dan membeli kue bahkan meminta nomorku. Dengan senyuman paling manis yang bisa kucoba, aku menolak memberikannya dan menantang mereka, jika mereka bisa membeli seluruh isi toko ini baru aku mau memberikan mereka nomorku. Mereka awalnya menggerutu lalu sedetik kemudian menganggap aku keren. Aku bisa merasakan apa yang dirasakan Hazel. Perhatian dari cewek-cewek itu benar-benar membuatku tak nyaman.

“Alex,” Karel turun dari mobilnya, menggandeng seorang gadis disampingnya. Gadis yang cantik. Aku bersiul takjub padanya. “Kenalin, nih, pacarku.” Dia berbisik dan menambahkan. “Mudah-mudahan calon Kakak Ipar Sepupumu.”

Aku tertawa. “Kau gadis yang cantik.” Pujiku.

“Namanya Kitty. Aku akan mengundangmu kapan-kapan dalam kencan kami kalau kau mau.”

“Dan menjadi anti-nyamuk di sekitar kalian? Tidak. Terima kasih.”

Karel dan Kitty tertawa.

“Lalu, kalian mau ambil kue apa? Tentunya aku tak berpikir kalian cuma pamer kemesraan kan? Kalian harus membeli sesuatu untuk menambah kemesraan kalian.”

“Kau memang pandai memuji.”

Karel dan Kitty masing-masing memilih cheesy purny dan berry cake lalu melambai dengan wajah bahagia kemudian menghilang ketika mobil mereka melaju. Karel kelihatan bahagia sekali. Dia memang pantas mendapatkan itu karena dia orang baik. Tapi aku penasaran, sejak kapan dia punya gadis secantik itu disekitarnya?

“Apa itu tadi?” Felix mengejutkanku. Aku mengelus dadaku.

“Apa?” kataku tak mengerti.

“Itu. Karel. Bukannya dia pacarmu? Kenapa dia jalan dengan cewek lain sambil bergandengan tangan begitu?”

“Memangnya kenapa?”

“Kau sedang diduain! Apa kau tak melihat kemesraan mereka?”

Aku mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa? Karel sudah biasa begitu.”

“Apa?” sekarang Felix yang tampak kaget. “Dia biasa jalan sama cewek bergandengan begitu selain kau?”

Aku mengangguk. Tak berani menjawab. Emosi Felix menaik.

“Putus hubungan dengannya!”

Ha? “Kenapa?”

“Karena kau pantas mendapatkan yang lebih baik! Bukannya kau melarang Hazel untuk berhubungan dengan gadis tak benar? Tapi kenapa malah kau yang terlibat sama playboy begitu?”

“Aku—” Oh, iya! Goblok! Mereka kan tahu kalau aku pacaran dengan Karel tapi tak tahu kalau Karel itu sepupuku. Karel sialan! Udah ngarang cerita bohong, tapi malah dia yang bikin rusak. Merepotkan aku saja. “Aku akan melakukannya.”

Emosi Felix mereda. “Bagus. Cepat bilang putus dan jangan bertemu dengan dia lagi. Kau mengerti?”

Aku mengangguk cepat. Tak bisa bilang apa-apa.

Sepulang dari Amour, aku buru-buru keluar. Bahkan pamit tak jelas. Andre baru saja SMS kalau tangannya ngilu lagi dan tak bisa bergerak. Dia nggak bisa keluar kamar, takut Mama khawatir berat. Dia juga udah SMS Karel, tapi Karel lagi kencan dan ponselnya mati.

Motor Ariel berhenti di depanku dan membuatku berhenti mendadak. Dia tersenyum ramah, “Naik. Kuantar.”

“Rumah kita berlawanan, Ariel.”

“Tapi aku cowok yang bawa motor, bukannya cewek yang jalan kaki,” katanya lagi. “Naik. Kau kelihatan terburu-buru. Lebih cepat kalau naik motor kan?” dia memperhatikan raut wajahku. “Tenang. Aku nggak bakal ngebut kok.”

Aku berputar dan duduk di boncengannya. Dia memasangkan helmnya padaku. Lalu tersenyum lagi. Melihat dia tersenyum di dekatku, diteramangi cahaya lampu jalanan membuat dia kelihatan seperti Pangeran betulan. Sadarlah, Alex, dia gebetan sahabatmu!

Motor Ariel menderu, dia menjalankan motornya dengan kecepatan biasa. Harus kuakui kalau dia bukan salah satu dari ketiga sepupu itu. Lampu-lampu jalan raya menghilang cepat dan suara angin membawa jauh kebisingan. Angin dingin berhembus dan aku menghela napas ketika motor Ariel berhenti di depan rumahku.

Dahiku mengerut, mobil Karel terparkir di depan pintu.

“Makasih ya,” kataku turun dari mobilnya.

“Pacarmu datang ya?” Ariel melirik mobil Karel. “Kelihatannya dia cukup akrab dengan keluargamu.”

Aku tersenyum. Tak bisa mengarang kebohongan.

Pintu rumahku terbuka dan Karel keluar dari rumah diantar Mama. Aku mendengar sedikit ucapan mereka.

“Tante, Andre nggak apa-apa kok. Dia kan anak yang kuat.”

“Dia selalu membuatmu khawatir.”

“Andre kan sudah seperti adikku sendiri,” Karel memeluk Mama dan Mama mengecup dahinya dengan sayang. Karel berbalik dan menatapku, “Alex, aku berusaha menghubungi tapi kau tak angkat telepon.”

“Andre gimana?” kataku mengalihkan perhatian.

“Dia tak apa-apa,” Karel melirik Ariel. “Cepatlah masuk. Ini sudah malam. Dah, Alex.” Dia tidak menyapa Ariel dan masuk ke mobil.

“Maaf, dia—”

“Tak apa-apa. Setiap orang punya sudut pandangan berbeda terhadap orang lain.”

Aku tak tahu maksudnya apa, tapi Ariel tersenyum dan menghidupkan mesin motornya lalu menghilang di kegelapan.

*** Amour Café ***

Aku menguap, pelajaran hari ini benar-benar melelahkan. Adriel mencetak foto yang dia potret dan dia berikan padaku. Hasilnya bagus, jadi aku menyimpannya dengan aman di dompetku. Sambil tersenyum bersemangat, Adriel memelukku dan pulang terlebih dahulu sementara aku masih di perpustakaan, mencari buku untuk tugas makalah.

Tadi aku SMS Kevin dan bilang kalau aku akan agak terlambat, dan dia memberiku konspensasi sepuluh menit. Jadi aku berjalan cepat, melewati jalanan sunyi, dengan ransel berat penuh buku dan napas memburu.

Sebuah mobil menyerempetku, menyenggolku dari belakang dan aku jatuh ke tepi jalan. Lututku menghantam aspal dan aku merintih. Mobil yang menyerempetku berhenti dan sekitar lima cewek turun dari sana. Aku mengerutkan dahi, merasa ada yang tak beres.

Dari kelima cewek itu aku mengenali Rhea. Dia lebih ganas dan tampak marah. Tangannya melipat dan dia kelihatan angkuh. Keempat temannya juga sama menyeramkannya dari dia. Mau ngapain dia?

Aku mencoba berdiri, tanganku sekarang berdarah, begitu juga dengan kakiku yang mulai senat-senut. “Rhea, ada apa ini?”

Rhea tersenyum licik. “Oh, jadi elo tahu siapa gue?”

Aku tak berani menjawab. Dia datang kehadapanku dalam keadaan tiba-tiba bahkan menyerempetku dengan sengaja membawa teman-temannya. Aku merasakan mereka akan mengeroyokku. Lima lawan satu. Huh, dasar pengecut.

“Gue akan buat elo ngerti siapa gue,” kata Rhea mendekat.

“Maksudmu?” aku tak mengerti. Tapi kalau ini ada hubungannya dengan Hazel, maka ini adalah masalah.

“Jangan pura-pura nggak ngerti ya elo!”

Dua teman-teman ceweknya memegangiku dari belakang. Tanganku di pelintir dan aku menjerit tertahan. Rhea mendekat, menarik rambutku yang tak bisa melawan. “Elo udah bikin gue sama Hazel putus! Masih sok polos lagi lo! Dasar cewek muka dua!”

Ini memang tentang Hazel.

“Kenapa memangnya kalau Hazel minta putus? Pasokan pacarmu nggak ada lagi?” aku melawan. Sama sekali tak takut.

Rhea kelihatan geram. Dia berteriak dan memukul perutku. Aku merasakan nyeri yang luar biasa baru saja menekan otot-ototku. “Lo pikir bisa lari gitu aja udah ngambil cowok orang?”

Dia memukulku lagi, rasanya tenagaku habis dalam sekejap. Lututku goyah. Dalam sekejap aku merasa ketakutan dan juga marah yang menyatu. Aku gemetaran menahan amarah.

“Hazel putus denganmu karena dia merasa kau bukan cewek yang baik!” aku balas menerikinya. Setidaknya walau aku tidak melawan, aku bisa membuatnya sakit hati.

“Apa? Elo pikir elo lebih baik dari gue?” dia menamparku, menarik rambutku sampai ikatannya putus dan rambutku menjuntai berantakan. “Cantik nggak, seksi nggak, pintar nggak, kaya apa lagi! Elo itu cuma cewek miskin. Nyokap elo cuma ngemis-ngemis di jalan! Sadar diri dong lo!”

Mendengar mereka menghina Mamaku membuat emosiku semakin naik dan aku mendapatkan energi entah dari mana sampai bisa menyingkirkan dua orang di belakangku sampai ke belakang. Mereka harus menyesal berani menghina Mamaku.

“Minta maaf!” aku menyerang Rhea, menjambaknya dengan membabi buta. Dia berteriak dan mencakarku. Aku tak kalah berangnya dan ikut-ikutan mencakarnya. Kami bergulat dalam teriakan tak jelas sampai berguling-guling di tanah. Masalahnya, Rhea membawa teman-temannya dan membantu dia. Jadi sebisanya aku mengamuk sampai pada batas kemampuanku, sebelum akhirnya mereka menarikku menjauh dari Rhea dan mengeroyokku.

Aku terjatuh di tanah, merasakan sakit baik dari tubuh dan kakiku ketika mereka menendangku dengan tidak berperikemanusiaan. Aku bangkit sekali lagi dan berusaha menerjang mereka. Tapi mereka menangkapku dan melemparku ke jalan. Kaki menghantam jalan dan bisa kudengar bunyi “krek” dari salah satu kakiku.

“Dasar pela***” Rhea menarik rambutku dan menamparku lagi. “Elo besar kepala karena Hazel dekat sama elo? Jangan munafik dan mimpi lo ya? Dia pasti bakal campakin elo dan balik sama gue! Ngert—aaaah!”

Rhea menjerit kesakitan. Aku melihat kalau Kian memegangi tangan kanannya yang mencoba menamparku. Aku bisa melihat urat kemarahan dan kebencian yang berdenyut cepat di leher Kian. Tangannya memegang lengan Rhea dengan kekuatan penuh, membuat cewek itu berteriak histeris.

“Elo nggak pernah belajar dari pengalaman, ya,” gumam Kian yang membuatku merinding. Auranya persis ketika aku melihatnya di café ketika kami membagikan brosur. “Gue udah peringatin elo kan buat ngejaga tingkah laku elo dan teman-teman lo yang nggak berguna. Tapi kelihatannya itu percuma ya?”

Rhea menangis, memegangi tangannya, “Rafa, Rafa, tangan gue sakit…”

Kian tersenyum sinis. “Oh, elo bisa merasakan sakit juga ya? Jadi waktu elo nyerang Alex itu apa?”

Air mata berjatuhan di pipi Rhea. “Fa, plis… tangan gue…”

“Harusnya elo bakal tahu kan kalo ini akibatnya melanggar apa yang gue bilang sama elo.”

Aku ketakutan melihat Kian. Jujur saja. Ini pertama kali aku melihat emosinya meledak. Aku dan teman-teman Rhea terpaku di tempat. Aku tak berani bicara, tapi melihat ketakutan dan kengerian di wajah Rhea, aku tahu kalau kekuatan tangan Kian bisa menghancurkan tangannya.

“Kian…”

“A-Lex, aku tak bicara denganmu,” Kian menatapku, wajahnya melunak, tapi ketika melihat Rhea lagi, wajahnya mengeras, “Gue harus ngasih hukuman buat pelanggaran yang elo perbuat. Mukulin anak orang, menghina keluarganya, menyerempetnya dan bahkan main keroyokan. Elo emang nggak bisa dimaafin. Mungkin satu tangan patah bisa ngebuat elo jera.”

Aku melotot dan Rhea melonglong.

“Jangan jangan jangan, Rafa, gue minta maaf… gue minta maaf!”

“MINTA MAAFNYA JANGAN SAMA GUE!”

Aku terkejut melihat dia berteriak. Rhea semakin menangis. Air matanya berjatuhan, bahkan membuat make-upnya luntur, jelek sekali.

“Gue minta maaf, Alex… gue janji nggak bakal ngulanginnya lagi… gue janji ngga bakal ganggu lo lagi…” dia sesengukan. Aku jadi kasihan padanya. “…gue minta maaf buat Mama lo juga…. Gue udah ngehina dia… gue salah… tolong maafin gue…”

Melihatnya seperti itu justru membuatku kasihan. Aku menangguk dalam diam.

“Udah puas lo kan sekarang?” Rhea sesungukan. “Lepasin tangan gue… sakit… Rafa….”

Kian melepas tangannya dan mengambil sesuatu dari tasnya. Gunting. “Elo harus mengingat kejadian hari ini, Rhea. Supaya elo sadar, kalo elo bukan cewek tercantik di dunia.” Kian mengambil rambut Rhea dan memotongnya dengan acak. Rhea menjerit dan terduduk lemas ketika Kian mencampakan rambutnya yang indah ke jalanan.

“Rafa, elo jahat!” dia berteriak.

“Gue cuma menghukum elo. Udah untung gue nggak matahin tangan elo. Itu sebagai jaminan, kalo elo masih aja jahat, gue pastiin elo bakal jadi botak!” gigi Kian gemertakan. “Pergi! Kalian juga! Sebelum emosi gue naik!”

Teman-teman Rhea buru-buru menarik Rhea masuk mobil dan kabur. Kian menatapku dan berjongkok. Aku belum juga berdiri dan melihat kondisiku, aku memang tak bisa berdiri. Perubahan drastis Kian membuatku gemetar, ketakutan, rasa terima kasih dan entah apa lagi.

“A-Lex,” dia menyebut namaku dengan kaku dan lembut. Wajahnya diliputi kesedihan dan rasa iba. Kedua tangannya memegang pipiku. “A-Lex.”

Dengan serak aku menjawab, “Aku tak apa-apa.”

“Apa aku menakutimu?” katanya pelan.

Aku mengangguk dalam diam. Menatap bola matanya yang didalamnya bisa kulihat wajahku.

“Maaf. Aku tak akan mengulanginya lagi.”

Aku menggeleng. Hampir menangis. “Tidak apa-apa.”

“A-Lex.”

Dia masih belum menurunkan tangannya dan membuatku tak nyaman. Kepalaku tak bisa bergerak dan mataku jadi tak bisa melihat yang lain selain dia dalam jarak yang begitu dekat. “Apa?”

“Boleh aku memelukmu?”

Apa? Ini pertanyaan yang tak terduga dan tak mungkin bisa kujawab.

Kian tersenyum. “Dengan begitu, kau tak akan ketakutan lagi kan? Kau juga bisa menangis tanpa kulihat.”

Perkataannya barusan membuat perasaanku terasa lebih hangat. Dia mendekat secara perlahan dan meletakan kepalaku di dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang. Wangi tubuhnya yang tenang. Elusan perlahan dari tangannya dan suaranya yang lembut di telingaku ketika bertanya pelan, “Begini nyaman?”

Aku tertawa kecil, air mataku jatuh dan aku mendekapnya. Bahuku bergetar hebat. Baru kali ini aku merasakan kalau aku sangat bersyukur dia ada saat ini. Bahkan jika dia berubah jadi monster sekalipun untuk membantuku, aku akan tetap menerimanya.

“Tidak apa-apa. Menangislah. Kau akan merasa lebih baik.”

*** Amour Café ***

“Kau ada dimana? Apa kau mau kupecat? Kita kekurangan tenaga! Kau sudah telat selama lebih dari dua jam!” Kevin berteriak di telepon. Aku sampai harus menjauhkan telingaku dari telepon. “Aku cuma memberimu waktu telat sepuluh menit, apa kau lupa?”

Setelah insiden itu, Kian membawaku ke rumah sakit untuk diperiksa dan membawaku pulang. Dia melarangku bekerja. Aku juga merasa bekerja dengan kondisi kaki patah, wajah penuh cakaran dan babak belur ditambahi memar di tangan bukan kondisi yang oke. Itu akan memicu perhatian berlebihan dari anak-anak Amour dan jika mereka bertanya, aku tak mau mereka malah dendam pada Rhea dan membalasnya. Setelah apa yang dilakukan Kian pada Rhea, aku takut pembalasan selanjutnya justru akan semakin parah.

“Maaf, Bos. Aku benar-benar tak bisa ke Amour sekarang. Kondisiku tak memungkinkan aku bekerja. Harusnya aku menghubungimu lebih cepat, tapi aku benar-benar lupa,” kataku memijit kakiku yang senat-senut.

“Memangnya kau kenapa? Kecelakaan?” dia kaget. “Kau baik-baik saja kan? Kau ada dimana sekarang?”

Aku cepat-cepat menjawab. Sama sekali tak ingin membuat dia cemas. “Aku tak apa-apa. Sekarang aku ada di rumah, jadi Bos nggak perlu cemas.”

Dari telepon aku mendengar suara-suara berisik. Suara Hazel, Felix, Ariel dan Kevin. Tidak terlalu jelas sampai kemudian suara Kevin terdengar lagi di telepon, membentak mereka, “Diam! Kembali bekerja!”

Senyumku tak terbendung lagi. Mereka pasti berkumpul di sekitar Kevin, mendengarkan apa yang terjadi. Tapi tiba-tiba aku ingat sesuatu, “Bos, apa Kian ada disana?”

“Apa? Kian? Ya, dia ada. Dia datang terlambat sekali. Memangnya kenapa? Kau ingin bicara dengannya?”

Aku menggeleng cepat, “Ah, tidak, tidak. Tidak usah.” Sepertinya Kian tidak menceritakan apapun jadi aku bisa lega. “Baiklah, Bos, kututup dulu.”

“Hum… dan Alex,” aku mendengarkan lagi, “kalau ada apa-apa, katakan saja pada kami ya. Kami akan membantumu sebisa kami.”

Aku merasa terharu sekali dengan perhatian mereka. Kebaikan hati mereka sangat berbeda, sama berbedanya ketika mereka menunjukan perhatian. Pintu rumah terbuka dan Andre masuk ke rumah. Dia meletakan ransel dan masuk dengan sepatu yang belum dilepas. Dia meminum air dan melihatku dengan dahi mengerut.

“Kak, kenapa dengan lo?”

Aku tergagap. “Ah… jatuh dari tangga.”

“Kok bisa?” dia memperhatikan ekspresiku. Dia tahu kalau aku berbohong. “Kapan? Kok rasanya lebih parah daripada jatuh dari tangga?”

Aku tak menjawab dan dia tak bertanya lagi. “Gue mau keluar dulu. Elo bisa sendirian di rumah kan?”

“Mau kemana?” kataku refleks.

“Mau ketemu anak-anak band.” Dia melepas dasi dan mencampakannya ke sofa kemudian melepas seragamnya.

“Kau mau pergi dengan seragam?” kataku tak percaya. Tapi dia memakai jeketnya dan tidak mendengarkanku lalu keluar tanpa pamit. “Ya ampun, anak itu…” geramku jengkel.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.