RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 20 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Ten

by: Prince Novel

Receipt Ten

“No way,” Kian menolak terang-terangan. Alisnya menaik. Dia menatap Kevin lalu kearahku. Aura pembunuhnya keluar. “Kenapa juga aku harus menggantikan Hazel? Bukannya dia pemegang dapur saat ini? Kalau aku menyentuh dapur tanpa izinnya, dia bisa membunuhku. Lagian dia ada dimana sih? Liburan?”

“Hazel kecelakaan,” jawab Kevin. “Untung saja Alex cepat menyelamatkannya, kalau tidak entah jadi apa dia sekarang.”

“Aku juga menyelamatkannya tahu,” tambah Felix jengkel.

“Oh, jadi karena itu kau bolos, Lex. Harusnya kau bilang juga padaku, biar aku nggak salah paham,” kata Ariel menggaruk-garuk kepalanya. “Aku sempat kaget lihat kamu manjat-manjat tembok sekolah.”

Mereka menatapku keheranan.

“Kita memang tak punya karyawan cowok,” Felix geleng-geleng kepala. Tampak takjub.

“Tapi Hazel kan masih bisa kerja. Aku nggak harus mengambil tempatnya kan? Kenapa kau tidak menyewa orang lain saja untuk sementara waktu? Kalau tidak, tutup saja café ini menunggu kesembuhannya.”

“Menutup café karena masalah sepele begini bisa membuat citra café kita jelek di mata pelanggan tahu. Menyewa orang luar bisa membuat resep kita diciplak orang luar,” kata Kevin lagi. “Pokoknya, kau ambil alih dapur. Aku dan Alex akan membantu sebisa kami. Hazel punya resep seluruh bahan makanan di dapur, kau bisa meniru dari itu.”

Kian tak bisa mengatakan apa-apa lagi. “Mana bisa aku ahli dengan bahan makanan itu hanya dengan satu hari.”

“Aku tak mau tahu soal itu.”

Aku cuma bisa nyengir ketika Kian memelototiku. Dia menarik tanganku. Kami keluar café, dan berhenti di depan toko kue mini Amour. Dia mengecak pinggang. Jengkel sekali.

“Kenapa kau bilang kalau aku bisa masak? Aku tak seahli Hazel tahu.”

“Tapi masakanmu lebih enak dari aku, itu kata Andre.”

Dia semakin memelototiku.

“Kalau lain kali kau mengatakan hal yang tidak-tidak pada mereka mengenai keahlianku yang tak seberapa itu tanpa izinku, akan kubuat kau membayarnya. Kau mengerti?”

Aku mencibir. “Kenapa kau harus menyembunyikan keahlianmu itu?”

“Karena aku tak suka punya keahlian begitu.”

“Sayang sekali, padahal aku suka cowok yang jago masak,” gumamku menyingkirkannya dan masuk ke dalam café. Heran. Cowok-cowok di café ini punya segudang keahlian. Tapi mereka jelas-jelas menolak keahlian itu. Buat apa sih talenta itu kalo nggak bisa digunain?

“Kalian bicarakan apa?” kata Felix di depan pintu masuk. Dia melipat tangannya dan bertanya seperti seorang bos.

“Bukan urusanmu,” aku masih jengkel dengan sikapnya tadi di rumah sakit. Aku melewatinya dan masuk ke kamar ganti.

“Beritahu aku. Aku mau tahu,” dia membuntutiku.

Aku menghadapinya. Sekarang aku sudah mulai merasa terganggu dengan sikapnya itu. “Kenapa kau mau tahu? Kami tidak membicarakan masalah pribadi. Kalau kau penasaran, tanya sama Kian. Jadi, bisakah kau keluar? Aku mau ganti baju.”

Alisnya menaik. “Kau bukan perempuan kalau disini.”

Habis kesabaranku. Aku menyeretnya keluar dan membanting pintu lalu menguncinya rapat-rapat.

*** Amour Café ***

Café kami masih seperti biasa. Laris. Pengunjung berpasangan datang bergantian dan meminta kami membantu mereka dalam hubungan mereka. Tak lama kami buka sudah ada pengunjung sebelumnya yang berterima kasih karena berkat café kami, pasangan itu akan segera menikah. Kevin bilang itu bukan berkat kami tapi berkat mereka sendiri. Yeah, dia sedikit bermain kata disana dan dia bilang itu bisa meningkatkan image café kami.

Lalu ada beberapa pemuda yang melamar pekerjaan disini. Tapi mereka ditolak. Alasannya yang dibuat Kevin sama. Kami belum membutuhkan pelayan saat ini. Tapi Kevin memberitahuku bahwa bukan itu saja alasan dia menolak pemuda-pemuda itu tapi karena pemuda itu datang hanya karena melihat kemajuan café, jadi mereka hanya ingin bekerja bukan dari hati tapi karena uang.

Tak ada satupun pengunjung yang merasakan perbedaan masakan dan tak ada satupun dari mereka yang protes, jadi aku ke belakang dapur dan melihat apa yang dikerjakan Kian. Dia ada di dapur, memakai seragamnya Hazel dan sibuk memasak dari satu hidangan ke hidangan lain dengan sangat lincah dan handal. Jika saja ada anak Merah Putih yang melihatnya, mereka pasti tak henti-hentinya mengatakan kalau dia sungguh cute.

“Apa?” katanya meletakan piring pesanan nomor enam.

“Aku hanya penasaran apa kau butuh bantuan atau tidak.”

“Aku tak butuh apa-apa, sekarang pergilah.”

Aku cuma bisa tersenyum dan membawa pesanan itu.

Menjelang tutup Hazel datang ke Amour Café. Kami sampai terkejut melihat dia muncul dan kelihatan sehat bugar. Dia bilang kalau Dokter menyuruhnya istirahat di rumah, tapi karena dia khawatir dengan kondisi dapur, dia datang dengan taksi.

“Kau cocok sekali memakai seragam itu,” kata Hazel menepuk bahu Kian. “Aku tak sangka kalau kau bisa masak. Lain kali aku akan minta bantuanmu di dapur.”

“Kau tak apa-apa?” Kevin menarik kursi terdekat dan menyuruhnya duduk. “Kau tak harus datang kemari.”

“Aku cuma memar kecil,” jawab Hazel duduk perlahan. “Badanku masih sakit, tapi aku tak apa-apa. Makasih ya, Alex, aku tak sangka kalau kau begitu sigap. Padahal waktu itu aku cuma asal saja mengambil nomor.”

“Sama-sama,” kataku. “Kau sebaiknya duduk saja, makan kue buatan Kian. Bagaimana menurutmu?”

“Ide bagus.”

Kian menggerutu, tapi dia masuk kembali ke dapur dan membawa keluar piring berisi kue dan beberapa gelas minuman buah.

“Whoah, kelihatannya enak, apa namanya?” Hazel tampak terpesona.

“Banamora Cake. Ada sedikit anggur di dalamnya, jadi agak beralkohol,” Kian melipat tangannya dan menunggu penilaian dari Hazel.

“Enak,” kata Hazel mengunyah cake itu dengan lagak professional. “Harusnya kita jual beberapa mulai besok. Aku yakin pasti laris.”

“Aku tak tertarik menjadi penjual kue, anak band, dan pelayan dalam waktu bersamaan,” kata Kian ketus. Dia menatapku dan menunggu kue yang masih kupegang. “Bagaimana rasanya?”

Aku tersadar dan cepat-cepat makan. Hum… bagaimana mendekripsikannya ya? Kuenya sangat lembut, manis dan seakan melebur di dalam mulut. Wah, aku bukan seorang ahli mengatakan ini. Tapi rasanya memang sangat enak. “Enak. Enak sekali. Whoah, Kian, kau benar-benar luar biasa.”

Kian berdeham, lalu tersenyum kecil. “Lain kali aku akan buat lagi untukmu. Kau tak keberatan kan?”

“Tentu saja tidak,” kataku cepat. Andre pasti yang lebih senang. Dia kan pecinta cake.

Felix meletakan gelas minumannya dan bangkit lalu memakai jeketnya. “Alex, ayo pulang.”

He? Aku membulatkan mataku. Dia bilang apa barusan?

“Tak perlu, kau pulang sendiri saja, Felix, biar aku saja yang antar A-Lex. Hari ini aku juga harus mengajar Andre,” kata Kian melepas celemeknya. “Tunggu ya, A-Lex, aku ganti baju dulu.”

“Erm,” suaraku serak. “Eh, aku ada sedikit urusan, jadi aku pulang sendiri saja,” tentu saja aku tak punya urusan apapun. Tapi karena suasana di café mulai sedikit aneh, kuputuskan untuk pulang sendiri. Cepat-cepat kuambil tasku dan kabur.

Hah… hari ini mereka aneh sekali. Kenapa mereka sibuk menawarkan diri? Bahkan si Felix juga ikut-ikutan.

Felix ingin mengantarku cuma untuk balas budi, diriku yang lain menjawab pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku. Aku adalah gadis yang menyelamatkannya, si gadis malaikat, orang yang selama setahun dia cari.

Tunggu, dia tidak jatuh cinta padaku kan?

Alex, berhenti berkhayal. Kapan Felix bilang kalau dia jatuh cinta sama si gadis malaikat? Dia cuma bilang kalau dia mencari gadis itu.

Aku menggeleng perlahan, menghapus pikiran-pikiran aneh yang tak perlu. Lalu Kian? Apa alasan Kian mengantarku?

Dia cuma ingin mengajari Andre. Daripada dia pergi sendiri, lebih baik dia ikut mengantarku. Lagipula, Andre memintanya. Mungkin dia ingin Kakaknya dalam keadaan baik-baik saja jadi dia memohon begitu pada Kian.

Tapi Andre pernah bilang kalau Kian naksir padaku.

Ah, Alex, sejak kapan kau percaya kebohongan adikmu itu? Memangnya Kian pernah bilang kalau dia suka padamu? Memang sih akhir-akhir ini sifatnya berubah jadi jauh lebih manis, tapi dekripsi suka masih jauh dari kenyataan.

“Alex.”

Sebuah mobil sedan berhenti disampingku. Seseorang baru saja mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Seorang cowok yang aku kenal. Karel, sepupuku dari Semarang. Dia lebih tua sekitar empat tahun dariku dan kuliah di UI jurusan kedokteran. Aku tak menyangka kalau aku akan bertemu dengan dia disini. Dia tampan, berkulit putih, dengan mata bening berwarna coklat.

“Karel, kenapa ada disini?” aku tak pernah melihat dia berkeliaran di tengah jalan seperti ini dan kami biasanya tak pernah bertemu secara kebetulan kalau tidak buat janji.

Dia tertawa kecil, “Harusnya gue yang tanya begitu. Ngapain elo malam-malam di tengah jalan begini? Pakai baju sekolah lagi.”

Aku merengut. Tak mungkin aku bilang kalau aku baru pulang kerja, dia pasti akan marah-marah tak keruan.

“Naik gih, gue beru aja ngaterin Tante pulang. Dia cemas banget tahu.”

“Nggak usah.” Aku menolak cepat. “Aku pulang sendiri aja.”

“Nggak usah sungkan begitu, Lex. Kita kan keluarga. Naik. Entar makin malam loh, kan yang susah keluarga juga.”

Aku menimang-nimang perkataannya dan kuputuskan untuk menurut. Segera saja aku memutar, membuka pintu mobilnya dan masuk. Hah, memang nyaman sekali jika di dalam mobil Karel. Wangi dan hangat. Seperti orangnya. Hehe, aku tak pernah tanya dia punya pacar atau belum tapi yang pasti dia bilang kalau sudah banyak cewek yang nembak dia. Hanya saja dia belum memilih. Hum… dasar.

“Elo udah makan?” Karel memindahkan kopling dan menginjak gas.

“Udah,” jawabku. Kian sudah menyodorkan makanan disaat kami kosong pelanggan tadi.

“Udah punya pacar?” dia menatapku dan tersenyum geli.

“Belum. Kenapa?” aku males banget kalo udah membicarakan ini.

“Kalo elo mau, gue bisa kenalin elo sama cowok oke.”

“Nggak deh, makasih.”

Dia tertawa dan kami kembali ngobrol yang ringan-ringan. Dia cerita kalau saat ini kuliahnya sedikit mengalami kesulitan. Cewek-cewek itu memborbardirnya dengan pernyataan cinta dan berkelahi jika dia tidak memilih mereka, membuat konsentrasi belajarnya rusak. Dia juga berterima kasih pada Mamaku karena bersedia merawat Paman—Papa dia—untuk sementara di Semarang. Dia menyesal sekali tak bisa meminta Paman untuk tinggal di Jakarta. Apa boleh buat, Paman memang keras kepala. Dan ketika kami sudah sampai di depan pintu rumahku dia memberikan nomor barunya padaku dan berpesan jika butuh apa-apa langsung telepon dia saja. Aku sedikit tergoda untuk meminta bantuannya tapi lagi-lagi aku berpikir kalau dia manusia super sibuk. Aku tak harus selalu merepotkannya.

“Dah, Alex.”

Aku melambai sementara mobilnya melaju dan menghilang di kegelapan. Saat aku hendak masuk, mataku melihat ada mobil lain di ujung jalan. Mobil jeep. Persis sekali dengan milik Felix. Apa itu mobil Felix ya?

Ah, perasaanku saja kali.

“Us against the world… against the world… drrrt… drrrt… us against the world… against the world…”

Ponselku bordering. Aku merogoh kantung rokku dan melihat nama yang tertulis di monitor.

Felix calling…

“Halo?” kataku.

“Udah sampai rumah?”

Aku mengerutkan dahi. Curiga dengan firasatku tadi. Aku mundur dua langkah dan memperhatikan jeep itu dengan lebih seksama. “Udah. Kau dimana?”

“Tadi pulang sama siapa?”

Kecurigaanku berubah jadi kenyataan. Sekarang aku yakin seratus persen kalau jeep disana adalah jeep milik Felix. “Kau tak perlu tahu aku pulang sama siapa. Kau membuntutiku ya?”

Tut. Tut. Tut. Dia memutuskan hubungan dan jeep disana menyalakan lampunya dan deruman mesinnya memecah kesunyian. Segera saja jeep itu memutar dan menghilang dengan kecepatan tinggi. Apa-apaan sih? Ngapain dia membuntutiku begitu?

*** Amour Café ***

“Alex!”

Aku memutar bola mataku melihat Kevin muncul di depan gerbang rumahku. Dia melambai bersemangat. Hari ini dia memakai kaos oblong dengan celana jins sobek. Tumben sekali dia bergaya seperti itu. Biasanya dia memakai kemeja, dasi, dan jas. Dan kali ini dia tidak memakai motor, melainkan mobil hijau dengan atap terbuka.

“Bos, aku kan sudah bilang jangan suka datang tiba-tiba,” kataku memperbaiki letak ranselku.

“Aku datang karena pekerjaan. Pe-ker-ja-an,” dia mengulang dengan lagak misterius. “Naik. Ada pesanan yang harus diantar di sekitar sekolahmu, jadi kupikir lebih baik aku jemput kau saja. Lumayan, buat mempersingkat waktu.”

“Kau mengantar apa?” aku memutari mobilnya dan naik ke mobilnya.

“Cake. Aku juga buka toko kue loh. Ada arisan di sekitar sekolahmu, jadi mereka minta pesanannya diantar pagi menunggu acara makan siang katanya,” dia menjelaskan.

Aku tak menyangka kalau dia punya toko kue. Ternyata dia cukup pekerja keras juga. Tampangnya saja yang tidak menunjukan itu. Dia bersiul-siul perlahan, memindahkan kopling dan menginjak gas. Aku melirik kotak-kotak kue yang ada di belakang dan sedikit takjub dengan kerja kerasnya.

“Apa itu semua kue yang dia buat Hazel?” tanyaku penasaran.

“Bukan. Resepnya punya Hazel, tapi yang buat bukan dia. Sudah cukup kesibukan yang dia punya saat ini. Aku tak mau menambah daftar pekerjaannya. Skripsinya juga dalam tenggat waktu, kalau dia tak menyelesaikannya sekarang, mungkin dia akan tamat tahun depan.”

Aku manggut-manggut. “Kenapa kau tak suka pada Rhea?”

Dia memutar bola matanya dan menatapku sejenak. “Apa kau tak lihat alasannya? Kupikir kau sudah tahu waktu liat dia pertama kali.”

Emosinya menguap. Seharusnya aku tak menanyakan itu padanya.

“Tak perlu ditanya lagi soal Rhea. Dia itu wanita paling, paling, paliiiiing menjengkelkan dari semua makhluk di dunia ini!” aku melihat tangannya mengeras memegang kemudi. Menyeramkan.

“Apa itu karena dia pernah menolakmu?” tanyaku tiba-tiba dan dia mengerem secara mendadak, membuat jantungku nyaris saja copot.

“Apa-aapn pertanyaan barusan? Aku tak akan pernah jatuh cinta sama cewek yang seperti dia. Ingat ya, tipeku itu sangat tinggi. Dia harus seorang gadis cantik, dengan mata besar, dada besar, pinggul yang oke, kaki yang bagus, kulit—”

“Ya, ya, ya, stop, stop, stop,” aku menyesal telah bertanya. “Sebaiknya kau segera menginjak gas lagi, Bos. Aku tak mau terlambat lagi.”

Walau begitu, Kevin tetap saja mengomel tak jelas. Aku sudah merusak paginya yang ceria dan sedikit takut apakah moodnya akan begini terus sampai pada saat di Amour nanti. Kami mengantarkan pesanan terlebih dahulu, aku juga ikut membantu. Jadi, alasan dia menyuruhku ikut adalah supaya ada yang bisa dia suruh-suruh. Kemudian dia mengantarkanku di depan gerbang sekolah, dimana ada mobil Karel yang menunggu disana.

“Karel?” aku segera turun dari mobil Kevin dan mendatanginya. Karel beraksi, dia dari tadi duduk di depan mobil dan sesekali melihat ke jalanan. “Ngapain kau ada disini?”

Dia tersenyum dan memelukku selama beberapa detik kemudian melepasku dan mengacak rambutku. Apa-apaan sih? Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan.

“Tunggu disini.” Dia membuka mobilnya dan mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah kado kecil dan kurus dibungkus dengan kertas kota-kotak dan diikat dengan pita pink. Dia menyerahkannya padaku. “Tada.”

Alisku menaik. Kado buatku? Atas dasar apa?

“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you.”

Aku melotot dan baru menyadari hari ini. Ya, Tuhan, kenapa aku bisa sampai lupa sama hari ulang tahunku sendiri? Aku terkejut sekaligus juga senang. Mama saja tak mengatakan apa-apa hari ini, apalagi Andre. Tapi, Karel? Sejak dulu dia memang selalu baik padaku dan tidak pernah melupakan hari ulang tahunku walau aku sering lupa hari ulang tahunnya. Hehe.

“Oh, kau ulang tahun hari ini, Alex?” aku baru sadar kalau Kevin masih berkeliaran di dekat sekolah. “Aku tak tahu kalau kau punya hari ulang tahun juga.”

Sialan. Aku memaki. Aku tak ingin Kevin melihatku bersama Karel saat ini.

“Siapa?” Karel menatap Kevin. Dahinya mengerut. Oh, no!

“Hai, aku Kevin,” Kevin mengulurkan tangannya. “Bosnya Alex.”

“Bos?” kerutannya semakin dalam. Gawat. Gawaaaat!

“Ya. Alex bekerja sebagai pelayan di café milikku.”

“Apa?” katanya tak percaya.

DONG. Tamat riwayatku. Karel menatapku dengan mata yang hampir keluar. Kenapa juga Kevin harus merusak suasana ulang tahunku di pagi hari yang begitu cerah ini.

“Kau siapa?” Kevin bertanya dengan nada penasaran dan tersenyum.

“Aku—”

“Bos, ngapain ada disini?”

Jantungku semakin berdetak tak karuan mendengar suara Kian yang mendekat. Dan saat aku berbalik bukan hanya dia yang mendekat, tapi juga Ariel. Mampus. Benar-benar mampus. Kalau Karel tahu mereka juga bagian dari café, maka aku akan segera berakhir.

“Kalau boleh aku tahu, apa nama café kalian ya? Mungkin saja aku akan kesana untuk berkunjung.” Karel bertanya dengan nada lembut. Ah, tidak, aku masih bisa merasakan aura setannya di belakang punggungnya.

“Amour Café,” Kevin balas tersenyum.

“Aaah,” Karel melirik padaku. “Oke, Alex, aku pulang dulu. Nanti kau akan kuhubungi. Oke?”

Akan kuhubungi. Dia sudah mengatakannya. Dia pasti akan meminta penjelasan logis. Aku tak bisa kabur lagi.

“Oh, iya, aku lupa tanya. Kau siapanya Alex?” kata Kevin lagi.

“Karel. Pacarnya.” Dia sengaja menekankan kata yang terakhir dan memelototiku sehingga aku tak bisa membantah. Kalimat barusan membuat Kian menjatuhkan sepedanya. Karel menaikan alisnya dan pura-pura tak merespon. “Dah, Alex. Happy birthday ya.” Dia mengecup dahiku dengan sayang dan masuk ke mobil.

“Alex, pacarmu itu benar-benar oke,” Kevin bertepuk tangan dan kelihatan kagum. “Keren. Aku rasa pilihanmu sudah benar.”

Aku tak berani menatap Kian dan Ariel. Ingin sekali kuteriakan kalau aku tak punya pacar dan mengatakan pada seluruh dunia kalau Karel itu cuma sepupu! Ya, sepupu! Aku menganggapnya seperti Kakakku dan dia menganggapku sebagai Adiknya. Hubungan kami tak pernah lebih dari itu. Hanya saja dia terlalu—yeah, over protective. Sanking sayangnya sama aku sampai-sampai dia tak sudi melihatku berteman. Rasanya alasan kenapa aku punya sifat aneh begini juga karena dia juga. Dan sekarang masalahnya akan menjadi besar.

“Alex, karena hari ini kau ulang tahun, kau mau hadiah apa? Nanti kubelikan dan kukasih sepulang dari kerja.” Kevin tidak menyadari aura yang tak menyenangkan ini dan masih saja membahas ulang tahunku.

“Alex hari ini ultah?” Ariel kaget. “Wah, aku juga harus beli kado dong.”

“Nggak usah.” Aku menjawab refleks.

“Mana boleh begitu. Aku akan carikan kado buatmu. Kau tunggu saja ya,” Ariel menopang dagunya dan kelihatan berpikir keras. “Aku bingung. Kado apa yang cocok buat cewek ya?”

Aku menatap Kian.

“Happy birthday, Alex,” katanya mengelus kepalaku dan pergi.

Hari ini, aku dalam masalah besar.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.