RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 18 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Nine

by: Prince Novel

Receipt Nine

“Elo kalo jalan liat-liat dong! Mata itu dipake!” aku bisa mendengar suara Adriel. “Apa elo sengaja nabrak gue?”

Cewek yang dibentak Adriel membalas, “Nggak penting banget sih nabrak-nabrak elo. Elo kali yang sengaja!”

Suara Adriel naik satu oktaf. “Kan elo yang nabrak gue! Minta maaf sama gue sekarang!”

Aku buru-buru bangkit. “Adriel, sabar. Jangan cari gara-gara disini.” Jangan cari masalah dan merusak konsernya The Music Angel. Tapi Adriel tak mendengarkan, dia menyingkirkan tanganku dan mengejar cewek tadi.

“Minta maaf sekarang! Diajarin ilmu sosial nggak sih elo?”

“Keras kepala banget sih!”

Aku melotot. Mereka saling dorong-dorongan dan suasana kacau dalam sekejap. Penonton terganggu. Dan bukannya menonton konser, mereka malah menonton pertengkaran dua cewek cantik yang ada di tengah-tengah ruangan. Mereka saling jambak dan cakar antara satu dan yang lain. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Musik dari atas panggung berhenti dalam sekejap dan penonton sudah membuat lingkaran penuh terhadap perkelahian Adriel dan cewek itu. Penoton—yang kebanyakan cewek—malah memperburuk suasana dengan memanas-manasi mereka.

“Jambak yang kuat!”

“Tarik rambutnya!”

“Pukul! Pukul!”

Aaah, mereka memang gila! Aku maju ke depan, memberanikan diri menyelamatkan sahabatku.

“Berhenti! Berhenti! Stooop!”

Aku berteriak frustasi, berusaha memisahkan mereka berdua. Tapi kalian tahu, diriku sendiri tak bisa membendung dua wanita yang sedang mengamuk. Jadi aku justru yang menjadi korban. Terpental ke belakang.

“Hentikan! Apa-apaan sih kalian ini?” Hazel melompat dari panggung dan menarik gadis yang satunya, sementara Andre memegangi Adriel dan Kian membantuku berdiri.

“Cewek itu yang duluan!” gadis itu berteriak pada Hazel.

“Elo duluan yang nabrak gue! Minta maaf!” Adriel masih garang.

“Enak aja!”

Mereka hendak saling serbu lagi dan Felix muncul di tengah-tengah mereka dan menatap mereka dengan mata bengisnya. “Pada tahu nggak sih kalo elo semua merusak suasana konser? Apa perlu gue panggilin polisi?”

Adriel menyingkirkan tangan Andre. Dia tak mengatakan apapun, begitu juga dengan cewek itu. Mereka berdua sepertinya mulai mencerna apa yang terjadi.

“Rhea, minta maaf sama cewek itu,” kata Hazel pada gadis yang dia pegangi.

“Nggak. Gue kan nggak salah,” kata gadis itu jengkel.

“Lo pikir gue percaya? Minta maaf sekarang!” Hazel menaikan nada perintahnya, mengagetkanku. Aura Hazel berubah dalam sekejap.

Gadis itu menggertakan giginya. “Sori,” katanya ketus.

“Bilang sorinya yang tulus, Rhea,” kata Hazel lagi.

“Sori, gue salah,” gadis itu menyingkirkan tangan Hazel.

Aku melotot, menatap gadis itu. Dia… Rhea?

*** Amour Café ***

Konser batal. Penonton kecewa. Karena keributan tadi, konser itu benar-benar kacau. Mood buat manggung hilang dalam sekejap. Sekarang mereka berkumpul di ruang ganti, duduk dalam diam dan keheningan yang canggung. Adriel ada di ujung ruangan, ditemani Ariel. Tampang Adriel sungguh kacau, rambutnya menjuntai berantakan dan ada bekas cakaran di wajahnya. Ariel berusaha menghiburnya walau aku yakin itu tak akan berhasil. Ariel melihatnya berkelahi, Adriel pasti merasa malu sekali.

Rhea ada di ujung yang lain. Kalian ingin kudeskripsikan seperti apa?

Baiklah, begini: Rhea memiliki wajah yang cantik dengan dagu panjang dan lesung pipi yang manis. Bulu matanya tebal dan bola matanya menonjol berwarna hitam. Rambutnya hitam ikal, sangat cantik. Dia punya bentuk tubuh yang oke, kakinya panjang dan cantik dengan kulit yang mulus. Dia modis sekali, pakai rok mini, baju pendek dan sepatu high heels.

Kevin sedari tadi menatapnya dengan pandangan mengerikan, seperti ingin melahap Rhea hidup-hidup dan dia semakin tidak suka saat Hazel malah memanjakan Rhea dan bukannya memarahi dia.

“Bego,” Kian menempelkan plester ke daguku. “Kalo nggak bisa melawan mereka, lebih baik kau mundur saja bukannya maju seperti tadi.”

Aku merengut. Felix mengacak-acak rambutku sambil geleng-geleng kepala. “Harusnya kau tahu kemampuan dirimu, Idiot.”

Bisa nggak sih dia bikin aku senang sekali aja?

Andre menaikan alisnya ketika mata kami saling bertemu. Dia mengangkat kedua bahunya, entah apa maksudnya. Pertemuan pertama dengan pacarnya Hazel memberikan nilai tersendiri bagiku terhadap Hazel. Kok bisa sih dia suka sama cewek begitu? Udah jelas-jelas bukan cewek yang baik. Pantas saja Kevin selalu minta dia mutusin gadis itu.

“Alex nggak apa-apa?” Hazel mendatangiku.

“Aku nggak—”

“Urusin saja pacar lo dan ajarin dia buat tahu tata karma,” kata Kian jengkel. Dia maju menghadapi Hazel. “Ini udah sering terjadi, lain kali jangan cuma elo yang minta maaf tapi dia juga. Kalo elo terus-terusan lembek sama dia, bisa-bisa elo diinjak-injak dia tahu nggak.”

“Kian—”

Kian menyingkirkan tanganku. “Hazel, Alex biar gue yang ngurus.”

Hazel menatapku dan tak lama dia kembali ke tempat Rhea. Gadis itu tampaknya menolak buat diajak keluar jadi Hazel terpaksa harus menyeretnya keluar. Suara teriakannya kedengaran sampai ke dalam.

“Cewek itu memang monster,” gumam Kevin geleng-geleng kepala. “Aku udah suruh dia buat putus tapi sampai detik ini dia masih bertahan. Gimana kalau tadi dia mencongkel mata Adriel?”

“Adriel nggak apa-apa?” kataku.

Adriel tersenyum. “Nggak apa-apa. Sori, ya, Lex, elo jadi terlibat.”

“Tak perlu minta maaf. Rhea memang begitu. Menjengkelkan. Baru kali ini aku sebal sama cewek,” gumam Kevin.

Andre bangkit. “Yuk pulang.”

“Gue antar,” kata Kian.

“Nggak usah,” Andre menggeleng. “Dia itu Kakak gue, gue bisa jagain dia. Yuk, Kak.”

Andre menarikku melewati ruangan dan dia berhenti di depan pintu. “Kalo Hazel balik sampein sama dia, kejadian kali ini bisa gue maklumin, tapi lain kali ceweknya itu akan gue beri pelajaran.”

Aku tercengang. Wow, aku tak menyangka!

Adriel masih saja kesal dengan kejadian tadi malam. Ketika melihatku di sekolah, dia menyemburkan semua sumpah serapahnya pada Rhea. Baru kali ini aku melihatnya ganas begitu. Aku jadi takut jika dia marah-marah begitu padaku. Aku tak berniat jadi musuhnya Adriel.

“Moga-moga si Hazel cepat sadar kalo dia punya pacar begitu. Matanya buta kali ya, masa dia nggak bisa cewek baik?”

Aku tak mengomentari walau dalam hati aku juga penasaran. Hazel pacaran dengan Rhea karena dia tahu kekurangan Rhea dan dia menerima semuanya. Aku tak pernah mendengar Hazel mengeluh soal Rhea, jadi kupikir hubungan mereka adem-adem aja. Tapi saat melihat kondisi kemarin, aku tak terlalu yakin.

Jangan-jangan, Hazel pacaran sama Rhea karena terpaksa?

Tanganku segera menimpuk kepalaku sendiri. Alex, jangan berpikiran buruk mengenai Hazel. Hubungan mereka pasti karena cinta. Hazel bukan tipe orang yang mau menerima gadis dengan sembarangan.

“Us against the world… against the world… drrrt… drrrt… us against the world… against the world…”

Aku cepat-cepat mengambil ponselku.

Hazel calling…

“Halo?” aku buru-buru mengangkat ponselku.

“Alex…” suara Hazel terdengar lemah di seberang.

“Zel? Kau kenapa? Ada dimana?”

“Alex…”

Jantungku merasa ada yang tak beres pada kondisi Hazel. Adriel melihat kepanikan di wajahku tapi aku tak memikirkannya saat ini. Buru-buru aku mengambil tasku dan berlari keluar kelas, melewati koridor dan anak-anak yang menikmati waktu istirahat. Napasku memburu menuju gerbang sekolah yang masih tertutup dan pak Satpam mendatangiku.

“Mau kemana, Alex? Bolos ya?”

“Pak, bukain gerbangnya dong. Saya ada urusan nih.”

“Ini masih jadwal sekolah—Alex, mau kemana?”

Aku memutar cepat. Pak Satpam tak akan membiarkanku kabur begitu saja, jadi aku memilih jalan lain. Aku berlari cepat menuju taman belakang sekolah. Disana ada gerbang kecil—cukup berbahaya, tapi tak ada yang mengawasi dari sana, jadi aku pasti bisa kabur tanpa ketahuan.

“Yes,” aku lega karena gerbang itu benar-benar kosong. Tak ada siswa yang mau lewat situ karena rumputnya yang banyak. Segera saja kulempar tasku ke seberang gerbang. Suara bluk pelan dari sana membuktikan kalau tasku aman. Kuambil langkah yang aman untuk memanjat. Aduh, susah sekali memanjat kalo pakai rok begini.

“Alex, ngapain kamu?”

Tubuhku seperti membeku mendengar suara Ariel. Aku menoleh ke belakang dan dia kelihatan heran melihat posisiku.

“Kau mau bolos ya? Ini kan masih—”

Aku tak mau mendengarkan penjelasan Ketua Osis saat ini. Aku segera melompat ke seberang dan mendarat dengan selamat. Wajah kekagetan Ariel membuat kesan tersendiri bagiku.

“Ada urusan mendadak, nanti aja kujelasin!”

“Kau mau kemana? Alex! Alex!”

Firasatku mengatakan ada sesuatu yang buruk terjadi pada Hazel. Sesuatu yang berbahaya. Aku tak tahu apa. Tapi aku tak tenang dan tubuhku bergerak secara refleks. Kubuka GPS ponselku dan melacak sinyal ponselnya Hazel. Dimana anak itu sekarang?

“Yes, got you!”

Aku berlari melihat titik merah yang berkedap-kedip di monitor ponselku. Asal kalian tahu saja, aku pernah ikut klub atletik waktu aku SMP jadi lariku cukup cepat. Aku berbelok memutar jalan. Keringatku berjatuhan dan napasku memburu. Titik merah di ponselku tak bergerak juga, jadi bisa kupastikan kalau Hazel tak bisa bergerak saat ini.

Tak bisa bergerak? Kecelakaan?

Aku panik. Gimana aku bisa berpikir kalau aku bisa menangani hal ini seorang diri? Sambil berlari, aku mencari nomor seseorang yang bisa kuhubungi. Siapa ya? Seseorang yang bisa diandalkan kalau dalam kondisi begini.

“Apa? Aku masih ada kelas hari ini!”

Tanpa sadar aku menghubungi Felix.

“Lix—Hazel—”

“Kau kenapa? Kok suaramu ngos-ngosan begitu?”

Aku berhenti dan menjelaskan dengan cepat dalam usahaku mengambil napas.

“Apa? Kemungkinan besar Hazel kecelakaan? Oke, aku kesana sekarang. Kalo ada apa-apa hubungi aku.”

Aku kembali melihat titik merah ponselku. Tenggorokanku terasa kering begitu juga dengan mulutku. Namun, aku mengenyampingkan itu semua, kakiku kembali berlari, menelusuri jalan sepi berbatu. Di pinggir jalan malah banyak ilalang yang menutupi kepala.

Apa benar Hazel ada disini?

Titik merah itu masih di tempat sebelumnya. Tidak bergerak sama sekali. Beberapa meter dari tempatku berada. Aku berhenti dan melangkah perlahan. Dalam hati perasaanku tak karuan. Hazel, apa Hazel baik-baik saja? Di jalan berbatu itu tak ada apa-apa. Kosong.

“Ah,” aku kaget, melihat bekas di jalanan yang tergores sangat parah. Aku melihat kesekeliling dan mendapati motor Hazel beberapa meter tergeletak di jalanan—kondisinya rusak parah. Jantungku tak beres, aku melewati lapangan berumput ilalang itu dan melihat kalau kondisi ilalang yang disebelah sana kelihatan tidak seperti yang lain.

“Hazel!” aku melompati motor Hazel, berusaha berteriak sementara suaraku bergetar. “Hazel!”

Aku melihat helm Hazel di sekitar ilalalang. Aku semakin panik dan ketakutan. Dimana Hazel? Dimana dia?

“Hazel!” aku histeris. Hazel tergeletak tak berdaya di sekitar ilalang. Dia sampai terlempar sejauh ini dari motornya. Kondisinya pasti—

Stop, Alex! Jangan berpikir macam-macam!

“Hazel! Hazel!” aku mendekatinya dan berusaha membuatnya sadar. Tapi dia tak meresponku. Aku lihat ada ponsel yang dia pegang, ponsel yang masih hidup. Namaku masih tertera disana. Apa yang harus kulakukan? Aku sama sekali tak bisa melakukan apapun. Bagaimana kalau dia semakin memburuk?

“Alex!”

Tiba-tiba aku mendengar suara yang membuatku merasa bersyukur. Baru kali ini aku merasa senang melihatnya datang.

“Felix, Hazel—aku, aku nggak tahu—”

“Tenang. Tenang!” dia menepuk pipiku. “Dia nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik aja. Oke?”

Aku mengangguk perlahan. Felix berjongkok disisi Hazel dan memeriksa denyut nadinya. Aku lupa untuk beberapa saat kalau dia anak kedokteran. Dia pasti bisa melakukan sesuatu. Bego banget sih, disaat seperti ini aku malah panik tak karuan.

“Gimana dia?”

“Dia masih hidup,” Felix menggendong Hazel. “Kita bawa dia ke rumah sakit. Aku kuatir kondisinya cukup parah.”

Kami cepat-cepat menuju jeep Felix. Aku menjaga Hazel di belakang. Tak berani bertanya padanya seberapa parahnya Hazel saat ini. Aku tak ingin memikirkan itu saat ini. Aku yakin dia baik-baik saja.

*** Amour Café ***

Pintu kamar UGD terbuka, aku dan Felix buru-buru bangkit menyambut sang dokter. Dia tersenyum ramah dan meminta kami untuk ikut bicara dengannya di kantornya. Jadi, disinilah kami, menunggu penjelasan dokter yang membuat jantungku tak karuan.

“Kalian membawanya tepat waktu. Dia tak apa-apa.”

Felix menghela napas lega dan dia segera rileks di bangkunya.

“Apa kondisinya akan mempengaruhi keadaan tubuhnya?” aku bertanya penasaran. Tak apa-apa bukan berarti semuanya baik-baik saja kan?

Si Dokter Ganteng tersenyum lagi. Rasanya aku pernah melihat dia disuatu tempat “Dia tak apa-apa. Dia hanya butuh istirahat untuk memperbaiki kondisi tubuhnya. Kami sudah rontgen tengkorak kepala dan tubuhnya sesuai permintaan Felix dan kami tak menemukan ada luka ataupun tanda-tanda bahaya. Untung saja tempat dia jatuh ada ditempat yang lembut. Dia hanya sedikit shock dan memar di tubuhnya juga akan sembuh dalam beberapa hari. Untung saja cuma itu.”

Kali ini, aku benar-benar lega.

“Ini bukan kali pertama kejadian ini terjadi kan, Felix? Aku sudah meminta kalian untuk mengurangi kecepatan kalian dalam menggunakan kendaraan, tapi kalian tak pernah mau dengar,” Dokter itu tersenyum pada Felix. Dia menatapku dan kembali tersenyum. “Jadi, kau berhasil menemukan gadis malaikatmu?”

Felix mengerutkan dahi. “Apa? Belum.”

“Apa maksudmu? Jadi dia ini siapa? Bukannya dia yang menolongmu waktu itu?”

Felix mendengus. “Dia? Dia bukan si gadis malaikat itu.”

Dokter itu mengerutkan dahi. “Kau tahu, aku sampai harus melihat semua rekaman waktu kejadian itu dan aku yakin kalau dia orangnya. Gimana sih?”

He? Aku mengerutkan dahi.

Felix menatapku. Wajahnya keheranan. “Dok, tolong jangan bercanda.”

Dokter itu menatapku. “Nona, kau tak mengenaliku?”

Aku menggeleng perlahan. Rasanya aku memang pernah bertemu Dokter itu, tapi aku lupa dimana.

“Aku Dokter yang waktu itu sempat menangani Ayahmu. Lupa? Dulu aku tinggal di Surabaya. Waktu itu aku lupa menanyakan namamu dan kau langsung pergi begitu saja ketika menyelamatkan Felix, jadi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia mencarimu kemana-mana, tapi aku tak bisa mengatakan apa-apa karena saat itu kau sudah pindah dari Surabaya dan aku tak tahu alamat bahkan namamu.”

Apa yang harus kukatakan. Aku tak menyangka kalau aku bakal bertemu dengan dokter yang dulu menangani kesehatan Ayahku. Wajahnya sangat familiar. Tapi, tunggu dulu—

“Eh?” aku mencerna kondisi ini. Gadis malaikat yang dicari Felix…

“Dia orang yang menyelamatkan aku waktu itu?” Felix menatapku dengan pandangan tak percaya. “Dia orang yang kucari selama ini?”

Aku tak mengingat dengan jelas kejadian setahun lalu, karena waktu itu aku juga lagi banyak masalah. Andre berubah sifat, kontrakan yang belum dibayar, Pamanku yang selalu marah-marah di telepon dan utang yang harus dibayar Mama.

Saat itu aku dalam keadaan kacau. Aku berjalan di pinggir jalan, dan pikiranku sama sekali tak fokus dengan apa yang terjadi. Sampai kemudian aku ingat kalau aku melihat kalau ada cowok yang melempar dirinya ke jalan. Pemandangan selanjutnya sangat mengerikan.

Ya, aku ingat, waktu itu orang-orang hanya berkerumun dan menonton saja. Tak ada yang mau menolong. Aku susah payah masuk ke dalam dan terkejut melihat kondisinya yang bersimbah darah. Dengan sedikit keberanian, aku meminta mereka mangantarku ke rumah sakit. Entah kenapa dan bagaimana keberanianku bisa muncul waktu itu. Melihat cowok itu seperti melihat diriku sendiri. Dan melihat cowok itu aku sadar kalau aku tak bisa menyerah dalam hidup.

Waktu itu aku berpikir keras karena biaya pengobatan cowok itu besar sekali. Aku ada diantara pilihan ya dan tidak. Uangku saat itu kubutuhkan untuk bayar kontrakan tapi jika aku tak membayarnya, nyawa cowok itu akan dalam bahaya. Dan belas kasihanku menang saat itu.

Ah, waktu itu aku berpikir, uang bisa dicari tapi nyawa tak bisa dicari karena itu dengan tulus aku membayar pengobatannya walau aku tahu keputusanku itu akan mendatangkan malapetaka baru bagiku. Tidak seberapa. Kami cuma diusir dari kontrakan dan Mama tak marah saat aku memberitahu alasannya, dia malah bangga padaku.

Ya, saat itu aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan siapapun yang kutolong dan melupakannya begitu saja. Dengan satu alasan yang sangat sederhana: aku tak mau orang yang kutolong merasakan hutang budi padaku. Itu tak perlu. Aku senang sudah bisa menolong. Tapi aku tak menyangka, walau dari lubuk hati yang terdalam sekalipun, aku bakal bertemu dengan salah satu orang yang pernah kutolong dan dia sudah mencariku kemana-mana selama setahun.

“Alex, kenapa kau tak bilang kalau kau yang menyelamatkanku?” Felix menatapku.

“Aku—” aku tak punya alasan. Aku tak tahu kalau Felix yang aku tolong waktu itu. Kejadiannya begitu cepat dan saat itu dia bersimbah darah, jadi aku tak bisa mengenalinya. Lagipula, aku tak berharap apa-apa darinya, jadi aku tak pernah berpikir akan bertemu dia lagi, bahkan aku tak pernah berniat menghapal wajah orang yang kutolong.

“Lucu ya melihatku mencarimu kesana kemari?” Felix bangkit dari tempatnya. Dia kelihatan tersinggung. “Kalau aku tahu itu kau dan kalau aku tahu kalau kejadiannya bakal begini, aku nggak bakalan mau mencari, tahu nggak.” Dia pergi keluar sambil membanting pintu.

Heran deh. Yang menyelamatkan dia kan aku, paling tidak dia mengucapkan terima kasih, bukannya marah-marah tak jelas.

“Aku tahu bakal begini jadinya,” si Dokter tersenyum. “Waktu itu kau menolak menemuinya, jadi aku yakin kau tak tahu wajahnya. Dia bukan orang yang pertama kau tolong kan? Aku sering melihatmu di beberapa rumah sakit, menolong orang yang tak kau kenal.”

Aku cuma bisa tersenyum kecil.

“Kau memang gadis biasa-biasa saja, tapi rasa kemanusiaanmu sangat besar. Aku heran kenapa kau tak mendapat penghargaan atas kebaikanmu.”

Aku cuma bisa tersenyum.

“Kau dan Ayahmu memang mirip. Kau tahu kan, Ayahmu punya banyak hutang bukan karena dia bangkrut atau bagaimana, tapi karena dia sibuk memberi makan beberapa panti asuhan miliknya. Agak disesalkan dia meninggal terlalu muda.”

Aku tahu, tapi aku hatiku sengaja mengeras untuk tak mengetahuinya. Supaya aku tak lemah dan mau bekerja keras.

“Oh iya, aku lupa namamu siapa.”

“Alex, Dok. Alexie Selena.”

“Nama yang cantik. Seperti orangnya.”

“Ah, Dokter bisa saja.”

*** Amour Café ***

Kevin menyusul tiga puluh menit kemudian. Dia memakai dasi dan jas. Rambutnya berantakan. Dia menatap Felix dan memeluknya seketika, tapi begitu melihatku dia malah berkaca-kaca.

“Makasih, Alex, kalau bukan karena kau, mungkin Hazel entah jadi apa. Sejak awal aku tahu kau memang bisa diandalkan. Makasih ya, Alex.”

Aku buru-buru menarik tanganku dan dia malah memelukku.

“Jauh-jauh darinya,” Felix menarik kerah baju Kevin dari belakang. “Nggak usah khawatir, si Hazel cuma pingsan doang. Dia cuma kecapekan karena terus beraktifitas, lebih baik kau cari koki lain deh. Biarin dia istirahat.”

Kevin menatap Felix. “Aku harus cari koki dimana? Nggak ada satu orang pun di dunia ini yang aku kenal yang bisa masak sejago Hazel.”

“Erm…” aku mencoba bicara. “Kian bisa masak.”

Aku tahu kalau mulutku akan membawa bencana besar.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.