RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 18 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Six

by: Prince Novel

Receipt Six

“Hoah,” aku menguap lebar. Pagi ini rasanya capek sekali. Mataku mengantuk dan tanganku pegal. Mereparasi café memang sangat berat, tapi pengalaman yang cukup menyenangkan. Kevin bilang kalau hari ini aku bisa datang sedikit lebih lambat karena mungkin aku tak punya kerjaan lain.

“Aku capek,” gumamku meregangkan tubuhku. Aku melihat gerbang sekolah di depan dan masuk. “Oh,” aku kaget dan berhenti tepat pada waktunya saat Kian tiba-tiba muncul di depanku.

Ngapain dia disini?

Aku melangkah ke kiri, dan dia ikut melangkah ke kiri juga. Aku melangkah ke kanan, dia juga ikut kanan. Kanan, kiri, kanan, kiri. Dia mau apa sih?

“Silakan jalan duluan,” kataku jengkel padanya.

Kian masih tetap berdiri di hadapanku. Dia menyipitkan matanya padaku. Er… dia ngapain sih sebenarnya?

“Erm… mau apa?”suaraku bergetar, tidak berani melihat matanya saat dia menunduk kepadaku dan memandangku lekat-lekat. Jantungku mulai merasa tidak beres saat melihat wajahnya yang mendekat.

“A-Lex,” dia membuka mulutnya, mengucapkan satu nama yang membuat rahangku jatuh. Dia tersenyum kecil, wajahnya kelihatan senang sekali. “Jadi, memang benar kau.”

Aku terbata-bata, tak bisa bilang apa-apa. “Er, anu, itu—”

“A-Lex,” Kian mengulang lagi, “Aku sama sekali tak menyangka kalau aku akan bertemu denganmu disini, A-Lex.”

Kenapa dia harus mengulang namaku dengan nada aneh begitu sih? Aku membatin jengkel. Dapat kulihat senyuman yang muncul di balik bibrnya yang berwarna pink dan aku bisa mencium aroma tubuhnya yang sangat khas dari jarak sedekat ini.

“Eh, itu—em, bisa kujelaskan—”

“Apa A-Ri-El tahu kau sekolah disini, A-Lex?”

Pertanyaan barusan mengejutkanku. “Dia nggak tahu. Eh, Kian, aku mohon, jangan bilang-bilang dia. Maksudku, dia pasti akan kaget jika—” aku berhenti bicara ketika Kian menggeleng. “Kau tak mau menolongku?”

“Bukan, A-Lex, tapi A-Ri-El ada di belakangmu.” Aku melotot. “Dia mendengar semuanya.”

APA?

“Bicara rahasia di depan gerbang sekolah bukan ide yang bagus ya?” dari belakang ada suara Ariel dan aku cepat-cepat menoleh ke belakang. Di belakangku sudah berdiri Ariel—yang berpakaian rapi dengan tasnya yang disandang—dan dia tersenyum bersemangat. “Pagi, Alex dan Kian.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Keringat dingin segera muncul di dahiku. Mereka berdua sudah tahu kalau aku ada disini. Aku ini payah banget sih? Kok bisa-bisanya aku langsung ketahuan dalam waktu satu hari? Dasar Alex bego! Bego! Bego! Bego! Aku mengutuki diriku sendiri.

“Pagi, A-Ri-El,” sapa Kian datar.

“Panggil Ariel-nya jangan penuh ejekan begitu, dong,” Ariel menggerutu. “Lalu, Alex, kau di kelas berapa?”

“Aku?” aku mengulang bloon. “Kelas dua IPA empat.”

Kian dan Ariel mengangkat kedua alisnya secara bersamaan.

“Kenapa?”

“Yuk, A-Lex,” mereka tidak menjawab pertanyaanku, tapi Kian sudah merangkulku dan menarikku memasuki lapangan. Dia tidak memedulikan teriakan panik dariku. Aku menoleh ke sekelilingku dan melihat tatapan sangar dan keheranan dari siswa yang kami lewati.

“Siapa tuh cewek?”

“Apaan sih itu cewek?”

“Iiih, nyebelin banget sih!”

Mati aku. Tamat riwayatku. Aku baru saja menggali liang kuburku sendiri.

*** Amour Café ***

Aku sudah merasa sejak awal jika aku terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang keren, maka tinggal menunggu waktu saja sampai para fans mereka mencabut nyawaku. Cewek-cewek itu sengaja menyemburkan sumpah serapah dan perkataan tak bermoral lainnya ketika aku lewat, membuatku sebal setengah mati. Tapi aku sudah belajar mengenai hal itu, bahkan sebelum aku terlibat dengan mereka. Aku hanya memasang tenang dan tidak peduli. Heh, dengan begini aku membuktikan bahwa perkataan mereka sama sekali tidak ada pengaruhnya bagiku.

Sepanjang aku melewati koridor sekolah, bisik-bisik tak jelas mengikutiku di belakang. Bukan hanya bisik-bisik, mereka mengatakan sesuatu yang bahkan bisa kudengar tanpa harus berhenti. Dengan entengnya mereka bersuara keras-keras betapa memalukannya aku. Ergh… ingin sekali aku menyumpal mulut mereka semua.

“Alex.”

Aku tersentak, Adriel baru saja keluar dari kelas.

“Gue denger elo tadi ngomong sama Kian dan Ariel.”

Ops, aku lupa! Aku lupa! Adriel naksir sama Ariel. Dia pasti berpikir macam-macam. Aku sama sekali tak mau dia salah paham. Adriel sahabatku dan aku sama sekali tak ingin dia kecewa padaku. Aku khawatir tentang cerita orang-orang yang sampai ke telinga Adriel. Apa saja yang sudah mereka dengar?

“Alex, gue lagi ngomong sama elo.”

Aku tersadar ketika Adriel mengguncang bahuku.

“Jangan salah paham. Jangan salah paham. Aku sama sekali nggak tahu kenapa Kian dan Ariel mendatangiku. Mereka tiba-tiba ada di depanku dan mengatakan sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa. Lalu mereka tiba-tiba menarikku, dan… dan…” aku berhenti, bingung sendiri dengan apa yang kukatakan.

“Jadi, elo nggak berteman dengan mereka?”

Aku berpikir. Apa mereka temanku? Sejak kapan tepatnya? Aku merasa tidak berteman dengan mereka. Bahkan aku baru bertatap muka dengan mereka kemarin.

“Alex.”

Hawa dingin seakan membekukan tubuhku ketika mendengar suara Ariel di belakang punggungku. Kenapa dia harus muncul disaat seperti ini?

“Y-ya?” kataku, tak berani menoleh.

“Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu,” Ariel mengeluarkan ponsel dari kantong celananya, memencet-mencet tombolnya dan menunjukan isi layarnya padaku. Sebuah SMS dari Kevin.

From : Manager Kevin

Ariel, aku minta tolong belikan buket bunga.

Ajak saja Kian dan Alex bersamamu.

Jangan lupa bonnya.

Aku menatap Ariel. Kevin punya nomorku, jadi ngapain dia SMS Ariel doang? Apa Kevin sebegitu pelitnya pada pulsa? Ah, tak mungkin. Dia pernah menerorku dengan SMS setiap lima belas menit, jadi mustahil dia pelit dengan pulsa. Terus, apa alasannya?

“Aku nggak tahu nomormu, jadi aku nggak bisa fordward,” Ariel kembali menarik ponselnya dan menatapku, “Masukin nomormu, Lex, jadi kita bisa gampang komunikasinya.”

Apa?

“Nih.”

Tanganku bergetar saat menerima ponsel Ariel dan memencet tombol nomorku sendiri.

“Oke, makasih, Lex.”

“Tunggu sebentar.”

Aku menghalangi Ariel yang hendak pergi.

“Ya?” katanya.

Aku ingin melakukan sesuatu untuk sahabatku. “Ariel, aku mau memperkenalkanmu pada sahabatku.”

Adriel gelagapan ketika aku menariknya ke depan Ariel.

“Ini Adriel. Dia temanku yang paling baik sejak aku masuk disini.”

“Eh, hai,” kata Adriel, ada rona merah di wajah manisnya.

“Hai, aku A-ri-el.”

Ariel mengulurkan tangannya. Aku harus menarik tangan Adriel untuk mau menjabat tangan Ariel. Adriel sepertinya kehilangan alam sadarnya.

“Kalau begitu, Alex, aku ke kelas dulu,” Ariel permisi, memberikan senyumannya yang paling menawan.

“Lex, gue nggak lagi mimpi kan?” kata Adriel setelah diam beberapa saat.

“Nggak sama sekali.”

*** Amour Café ***

Amour café terlihat lebih hidup dan berwarna saat kami tiba waktu malam tiba. Gerbang sudah dihiasi dengan lampu berkedap-kedip. Papan nama Amour Café hilang timbul di rumput yang menjalar. Air mancur mengalir keemasan. Bunga-bunga sudah tertata rapi. Cantik sekali. Café ini kelihatan sangat berbeda ketika aku pertama sekali menginjakan kaki disini.

“Whoah,” Kian bergumam. “Café ini kelihatannya akan laris.”

“Ah, kalian datang! Cepat sedikit! Kita harus menata mejanya,” Kevin memunculkan kepalanya dari arah jendela.

Tugas terakhir malam ini adalah menata ruangan yang sudah hampir delapan puluh persen selesai. Lukisan “Perjalanan Cinta” diletakan dengan penuh gaya diikuti dengan pigura-pigura yang terukir dengan kayu. Ruangan di dalam juga lebih wangi daripada di luar.

Aku bisa melihat betapa bersemangatnya Kevin, saat bilang kalau besok, pada hari Sabtu, Amour Café akan resmi dibuka. Matanya berbinar bahagia, dia selalu tersenyum setiap saat. Hazel ada di dapur sepanjang malam, “Bereskperiman” kata Felix. Dia lagi membuat kue dan pudding yang akan dijual dan dipamerkan di lemari kecil di dekat jalan. Jadi orang yang lewat bisa membeli tanpa harus masuk kafe. Namun kerjaan Felix berbeda dari yang lain. Dia sibuk mencocokan seragam dan membuat kami jadi manekin hidup. Dia menyuruh ini itu, kecilin ini, pegang itu, angkat ini dan sebagainya. Lalu aku sendiri begitu berdebar. Aku tak pernah terlibat langsung dalam sebuah acara penting. Dan begitu saat itu tiba, aku sadar betapa keras dan penuh tantangannya untuk membuat itu menjadi nyata.

“Kian, kau punya tipe cewek ideal?” Ariel tiba-tiba bertanya. Kami sedang istirahat, mencicipi hasil eksperimen Hazel. Aku bisa melihat ketertarikan kami terhadap pertanyaan barusan. Bahkan Felix ikut mendengarkan.

“Hum,” Kian menurunkan cangkir coklat panasnya. “Tidak cantik, tidak seksi, tidak manja dan tidak mudah ditebak,” jawabnya sambil menghitung dengan jari–jari tangannya yang panjang.

Dahi Kevin mengerut. “Kriteria cewekmu unik sekali.”

“Cewek berwajah cantik cuma akan membuatku sengasara. Ada berpuluh-puluh cowok yang naksir padanya. Aku tak mau repot-repot bersaing dengan mereka atau menunggui cewek itu disalon sepanjang hari. Kalau jalan sama cewek seksi, mata cowok lain hanya akan melihat tubuhnya. Aku tak sudi berkelahi hanya karena itu. Aku juga tak suka cewek manja, karena manja identik dengan centik dan biasanya ada embel-embel matre. Aku lebih suka dengan cewek yang tak mudah ditebak, dengan begitu aku nggak bakal bosan.”

Whoah, jadi seperti itu cewek idaman Kian. Pantas saja dia nolak semua cewek di sekolahan. Mereka semua bukan tipenya. Masuk akal sih. Kian emang sudah memikirkan itu masak-masak. Dia benar-benar keren.

“Kau sendiri, A-Ri-El?”

Ariel tersenyum. “Karena Mamaku meninggal waktu aku masih kecil, jadi aku lebih suka tipe cewek yang keibuan, jago masak, menyukai anak-anak dan bisa mengurus semua pekerjaan rumah tangga.”

“Kau cari cewek atau pembantu rumah tangga sih?” Kevin menyela. “Mana ada cewek zaman sekarang yang tipenya begitu.”

“Aku memang nggak tertarik sama cewek canti.” Ariel tertawa. “Kau sendiri Felix?”

Oh, kalau dia sih, aku percaya kalau dia akan mengatakan gadis yang bisa mencintai dia secara abadi. Haha. Aku ingin sekali mengatakan itu.

“Yah… aku membutuhkan seorang yang bisa menopangku saat aku jatuh, ada saat aku membutuhkannya dan tidak mengkhianatiku dari belakang.”

Ohoho. Dia mendeskripsikan si gadis malaikat dengan baik dan ditambah dengan pengalamannya sendiri. Aku bisa menerima itu.

“Kalau aku lebih suka cewek cantik deeengan tubuh aduhai seperti yang banyak di mal-mal itu loh,” Kevin menyerocos dan Felix memotongnya.

“Pantas saja kau disebut playboy.”

“Ahahaha, banyak gadis cantik di muka bumi ini,” kata Hazel. “Aku tak punya tipe gadis ideal. Tidak peduli dia cantik atau tidak, seksi atau tidak, aku hanya ingin bertemu dengan gadis yang menjadi dirinya sendiri dan bisa mencintaiku apa adanya.”

Puitis sekali, Hazel. Aku tak heran dia punya alasan itu. Dia satu-satunya cowok di café ini yang baik dan tidak macam-macam.

“Eh? Apa?” aku mengerjap, melihat mereka menatapku secara bersamaan. Mereka tidak bermaksud menanyakan tipe cewek ideal padaku kan? Maksudku, aku tetaplah perempuan walau mereka memperlakukanku seperti laki-laki.

“Seperti apa tipe cowok idealmu, Lex? Jangan-jangan ada salah satu dari kami yang kau taksir?” kata Ariel.

Jangan harap! Aku belum pernah naksir cowok. Sepanjang hidupku kulalui bersama keluargaku dan separuh hidupku kuhabiskan mengurusi Andre. Baru kali ini terlintas dipikiranku, sebenarnya cowok yang bagaimana yang aku mau? Aku benar-benar bingung.

“Eh, tidak tahu,” kataku perlahan dan mereka mengerutkan dahi. “Aku tak pernah bersosialisasi kecuali untuk pekerjaan. Temanku juga tidak banyak. Aku juga tak pernah bisa mengungkapkan sesuatu dengan benar. Erm, bagaimana mengatakannya ya. Um… aku sama sekali belum memikirkan tipe cowok ideal.”

Setelah aku mengatakan itu, yang terjadi setelahnya adalah kesunyian yang membuatku tidak nyaman. Aku tahu mereka pasti menganggapku aneh atau sejenisnya.

“Kau benar-benar lain, A-Lex.”

Tuh kan, itu sama sekali bukan pujian.

*** Amour Café ***

Aku tak bisa kabur lagi saat Adriel menarikku ke sudut taman sekolah dan memaksaku menceritakan apa yang terjadi keesokan paginya. Wajahnya yang begitu penasaran membuatku tak bisa berkutik. Lalu mau tak mau aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang keinginanku untuk mencari pekerjaan baru dan menemukan iklan Amour Café, dipaksa menjadi pelayan cowok dan akhirnya tanpa sengaja bertemu dengan Kian dan Ariel.

Mata Adriel kembali bersinar dan dia berkata kalau aku begitu sangat beruntung bisa bersama Ariel walau hanya untuk satu hari. Dia jadi begitu ingin menggantikan tempatku, walau dia tak begitu tertarik dengan pekerja yang lain. Well, aku tak bisa menyalahkannya. Dia tidak berada di dalam posisiku saat ini dan tentunya tidak tahu seberapa besar penderitaanku. Dia bahkan berkata kalau aku terlalu berlebihan. Hah!

“Elo bilang kalau café itu buka malam ini. Gue boleh ikutan kan?”

“Ha? Buat apa?” mataku melotot.

“Gue pingin berkunjung. Gue jadi penasaran seperti apa tampang teman-teman elo di café itu.” Mata Adriel kembali berbinar.

Aku panik. “Nggak. Nggak boleh.” Di café itu ada Kevin dan jika Adriel muncul di café itu, maka Kevin akan segera mengubah posisi incarannya pada Adriel. “Managerku yang baru itu playboy. Lebih baik kau tidak—”

“Alex,” Adriel menepuk bahuku. “Gue nggak tertarik sama Manager lo yang tua bangka itu. Gue ke café cuma buat ngeliat Ariel.”

Otakku blank. Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi.

*** Amour Café ***

Kenapa pula Adriel ingin berkunjung kemari? Aku membatin jengkel, berusaha menjejalkan celanaku dengan paksa. Andai saja Ariel dan Kian tidak menegurku kemarin, tetunya hal ini tak akan terjadi. Aku begitu menguatirkan Adriel jika Kevin menjadikannya sasaran, tapi dia tak peduli karena Ariel bekerja disini. Kekuatan cinta memang bisa mengalahkan apapun. Ah, tidak. Tepatnya, kekuatan cinta itu gila sampai tak bisa berpikir rasional.

“Bukan begitu mengancingnya,” Hazel menarik dasi pitaku—yang sedang kupaksa untuk menempel di pakaianku—kemudian dia melingkarkan dasiku dan memakaikannya dengan sangat rapi.

“Makasih, kalau tak ada kau mungkin aku akan tetap disini.”

Hazel tersenyum ramah. Kuperhatikan dia memakai seragam putih, tapi bukan seragam koki dan celana jins dengan selembar kain kotak-kotak merah diikatkan di pinggangnya. Rambutnya juga sedikit dipotong dan dia melepas kedua antingnya. Hanya untuk memberikan kesan pertama yang baik bagi calon konsumen, dia bersedia melakukan ini. Aku salut pada keseriusannya.

“Yang lain sudah diluar. Kau tahu apa yang harus kau lakukan kan, Alex? Ingat baik-baik, saat ini kau jadi laki-laki loh.” Hazel memperbaiki letak rambut palsuku. Dia menunduk dan mengedipkan matanya sambil berkata, “Kau tampan sekali. Aku tak heran kalau bakal ada cewek yang akan bilang suka padamu.”

Aku tertawa. Entah kenapa aku jadi bersemangat. Mendengar Hazel bicara dengan kata-kata positif membuatku merasa lebih luar biasa. Kami berdua keluar dari kamar ganti dan café kami sudah penuh. Mataku hampir saja keluar.

“Teman-temannya Kevin berkumpul untuk melihat café kita,” Felix memberitahu kami. Dia melipat tangan dan mendengus jengkel. “Kau harus lihat berapa banyak dia mengundang mantan pacarnya kemari. Aku seperti merasakan area perang.”

Aku menelengkan kepala dan melihat kerumunan wanita-wanita berpakaian modis dan seksi yang mengerubuti Kevin. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak cantik. Mereka semua tersenyum ramah pada Kevin dan Kevin menjamu mereka semua dengan sangat baik. Dia memang luar biasa. Tapi saat aku menoleh kembali ke arah pintu masuk yang baru saja bordering, rahangku membuka melihat Adriel baru saja masuk.

“Adriel,” gumamku.

Kevin melihatnya dan aku bisa meyakini kalau serigala baru saja bangkit kembali.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.