RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 18 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Five

by: Prince Novel

Receipt Five

Aku memelototi Kevin yang muncul di depan pintu rumahku. Ngapain dia pagi-pagi datang ke rumahku?

“Aku bisa pergi sendiri,” kataku jengkel.

“Kemarin nggak terjadi apa-apa dengan Felix kan? Dia bilang kau jadi aneh waktu lihat salah satu cowok yang ketemu di resto. Emang ada apaan sih? Felix tertarik banget loh sama cowok itu.”

“Apa dia sekarang berubah jadi gay?”

“Oh, bukan, bukan.” Kevin menggerakan tangannya seolah menyapu lalat. “Dia masih mencintai gadis malaikat itu. Felix bilang kalau cowok itu menarik. Auranya membuat Felix jadi ingin berteman dengannya, katanya jenis begitu langka banget.”

Yeah, aku bisa tahu kenapa. Mereka sejenis.

“Nggak. Aku nggak tahu,” kataku. Pastinya, aku nggak mau tahu. Peduli amat soal rasa penasaran Felix. Pokoknya aku nggak mau terlibat terlalu jauh pada Kian. “Kau kemari cuma untuk tanya itu, Bos?”

Kevin tersenyum. “Kau harus mengenalkan aku pada temanmu yang cantik itu.”

Sudah kuduga. “Aku tak akan memberikan temanku pada hidung belang sepertimu,” kataku dan kabur.

“Pelit!” aku mendengar teriakannya dari belakang.

Yang benar saja. Dia datang pagi-pagi cuma untuk Adriel? Tidak dapat kupercaya. Sekarang aku merasa kalau daya tarik Adriel lebih luar biasa dari yang aku perkirakan, bahkan sampai membuat Bosku yang playboy itu tergila-gila padanya. Tapi, Adriel saat ini sedang jatuh cinta pada Ariel, jadi aku tak ingin menganggu perasaan Adriel pada cowok manapun di muka bumi ini.

Ha? Kakiku berhenti melangkah dan detik berikutnya aku sudah bersembunyi di balik tembok dengan kecepatan luar biasa. Aku mengintip perlahan, memastikan kalau mataku tidak salah. Ternyata ada Kian di depan tembok gerbang sekolah. Dia sedang menempelkan sesuatu di depan tembok sekolah, kemudian pergi setelah melaksanakan misinya.

Apa yang dia tempelkan? Aku penasaran. Perlahan, aku mendekati tembok sekolah sambil melirik kesana-kemari. Aman. Sekolah masih sunyi, aku bahkan bisa mendengar desahan angin.

“He?” aku tercengang lagi. Di depan tembok ada poster Amour Café. Apa Kian menempel poster ini? Aku memeriksa setiap sudut tembok. Tak ada tempelan lain selain poster milik kami. Buat apa dia menempel poster beginian di depan gerbang sekolah?

“Sedang apa?”

Aku membatu. Suara itu, suaranya Ariel.

“Dilarang menempel selebaran di tembok sekolah,” Ariel mencabut poster itu dan melirikku. “Kau tahu peraturannya kan?”

Bukan aku yang menempel poster itu! Aku ingin bilang begitu, tapi mulutku cuma bisa bungkam. Dan terakhir kali yang aku ingat, aku mengangguk cepat dan dia masuk ke gerbang sekolah.

Apa yang terjadi sebenarnya hari ini?

*** Amour Café ***

Sepanjang hari aku melewati hariku di sekolah dengan menunduk, sampai-sampai membuat Adriel heran setengah mati. Soalnya aku jadi sering menabrak orang karena tak bisa melihat ke depan.

“Lo ngapain sih, Lex? Ada barang yang hilang? Mau dibantu dicariin?” aku melihat dahi Adriel mengerut dalam. “Barang apa sih yang ilang?”

Aku menggeleng cepat. “Bukan apa-apa. Tak ada yang barang yang hilang. Sungguh.”

Adriel masih belum menerima jawaban itu. “Terus ngapain nunduk-nunduk segala?”

Aku memutar otak. Jawaban seperti apa yang harus kukatakan padanya aku sendiri juga tak tahu. Seharian ini, sejak masuk ke gerbang sekolah aku selalu tidak sengaja bertemu dengan Kian ataupun Ariel. Sebenarnya ada apa sih dengan hari ini? Kenapa aku justru ketemu sama orang yang tak ingin aku lihat?

“Lex?”

“Permisi.”

Aku menganga. Mataku melotot, hampir saja keluar dari tempatnya. Ariel mendatangi meja kami lagi. Dan saat Ariel menyadari kekagetan di wajahku, aku cepat-cepat menyibukan diri dengan makananku. Aku sama sekali tak ingin melihat dia. Ini pasti bukan kebetulan. Ariel yang memunculkan dirinya sendiri. Apa yang dia inginkan?

“Er…” Ariel bersuara, tampak kebingungan. “Maaf, menganggu saat kalian makan… erm…”

Aku mencoba mengadahkan wajah. Sialan! Adriel membatu dan tidak bisa bicara. Gimana dia bisa pedekate sama Ariel kalau dia selalu seperti itu kalau ketemu sama Ariel?

“Erm, ya—ya? Ada yang bisa kami bantu?” aku mencoba mengeluarkan suara dan berupaya tidak melihatnya. Aku sama sekali tidak mau dia mengingat kalau aku adalah gadis penempel poster.

“Lain kali saja,” katanya dan dia pergi. Aku melotot. Heh? Dia pergi begitu saja? Aku kebingungan. Sebenarnya, apa yang dia inginkan? Ngapain dia datang ke meja kami kalau dia tak ingin mengatakan apapun? Aku jadi bingung dengan sifatnya. Sadarlah! Wajar saja kalau kau kebingunan Alex, kau dan dia tidak mengenal sama sekali!

*** Amour Café ***

A-Lex: rasanya leherku mau patah, seharian ini menunduk terus.

Aku meng-update statusku lalu menghela napas dan mengeluh. Ini benar-benar penderitaan. Penderitaan. Rasanya dunia jungkir balik saat aku menjadi bagian dari café sialan itu.

“Hari ini pasti akan ada penderitaan selanjutnya,” gumamku jengkel. Aku benar-benar tidak ingin bertemu Felix. Dia selalu membuat ubun-ubunku berdenyut cepat dan setiap hari kami tarik-menarik urat leher dan berteriak-teriak tak jelas. Belum lagi tindakannya yang sering melecehkan aku. “Penderitaanku belum selesai hari ini.”

“Yo, Alex!” Kevin melambai dari atap café. “Cepat ganti baju dan bantu aku disini. Oh, iya, jangan lupa ikatkan badanmu dengan tali yang ada di dalam. Minta saja talinya sama Hazel ya?”

Aku mengangguk cepat dan masuk ke dalam. “Hazel, aku minta tali—” kata-kataku terhenti karena Felix sudah ada di depan pintu. Aku menghindari matanya.

“Kau bantu Hazel saja,” katanya dan pergi membawa gulungan tali keluar café. Aku tercengang. Bertanya-tanya sendiri. Apa dia bermaksud membantuku? Aku tersenyum kecil. Ada baiknya juga anak itu.

Setelah berganti pakaian, aku mendatangi Hazel. “Hazel, ada yang bisa kubantu? Felix menyuruhku untuk membantumu.”

“Apa?” Hazel mengerutkan dahi. “Aku tak yakin kau benar-benar bisa membantuku atau tidak,” Hazel melirik ke belakang dan—mataku melihat—ada berkardus-kardus jenis barang yang teletak di dapur.

“Itu… apa?”

“Felix tak bilang? Itu barang makanan yang akan kita gunakan. Isinya tepung, gula, kopi, jeruk dan makanan jenis lainnya. Terus yang disana itu ada kotak barang-barang yang akan kita pakai buat para tamu kita. Isinya gelas, piring, mangkuk, panci, kuali dan—”

Aku nyengir lebar. Si Felix itu, gerutuku dalam hati, dia tidak bilang kalau dia mendapat pekerjaan yang lebih parah daripada pekerjaan yang ditawar oleh Kevin. Harusnya aku tak langsung saja menurut apa yang dia katakan. Kok bisa aku bego banget dan selalu percaya apa yang dia katakan?

“Lex, lebih baik pake topi terus tutupin rambutmu ya? Bisa bahaya kalo rambutmu masuk ke tepung. Itu kan makanan.”

“Oke,” aku tak bisa lari lagi. Ini jadi masalahku sekarang. Tidak ada gunanya menyalahkan Felix. “Kau tak boleh mengeluh, Alex. Ayo semangat!” lagi-lagi, aku menyemangati diriku sendiri. Aku menyelipkan rambutku yang di lipatan topiku. Setelah itu aku disibukan dengan mengangkat karung tepung, karung kopi, karung apel dan karung lainnya sampai jenisnya aku sendiri lupa.

Bel café kami berbunyi. Aku tidak perlu melihat siapa yang masuk ke café. Café kami belum buka dan masih dalam keadaan hancur, jadi bisa kupastikan kalau Felix atau Kevin yang masuk.

“Permisi.”

Hazel berhenti mengangkat karungnya dan keluar dari dapur. “Ya?”

“Ah, aku melihat dari selebaran kalau café ini membutuhkan pegawai.”

Aku mengangkat kardus piring putih. Rasanya aku pernah mendengar suara yang sama, sebelumnya. Dia pasti tertipu dengan selebaran yang kusebarkan bersama dengan Felix. Aku bertaruh dia pasti akan kecewa kalau dia mengetahui bahwa alamat dari café yang dicari tidak sesuai dengan yang dibayangkan.

“Tunggu sebentar. Aku akan panggil Managernya terlebih dahulu.” Suara Hazel terdengar sangat ramah, seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. “Kevin!” dia berteriak.

“Apa?”

“Ada yang mau melamar pekerjaan!”

“APA?”

GUBRAK! Aku ketumpahan tepung. Image Hazel rasanya rusak hanya karena teriakannya barusan. Tanpa berteriak pun, Kevin bisa mendengar apa yang kami katakan di dalam. Tidak ada apapun di ruangan ini, jadi seluruh ruangan terasa bergaung. Luar biasa sekali.

Suara lonceng kedua berbunyi diiringi dengan suara Kevin. “Apa? Siapa yang melamar pekerjaan?”

“Kau tak harus teriak-teriak, Hazel. Aku tahu kau itu anak band, tapi suaramu barusan benar-benar keterlaluan,” tambah Felix.

Aku menghentikan pekerjaanku dan menepuk bahuku yang ketumpahan tepung. Hazel mendatangiku, aku sempat melihat dia melotot padaku sebelum akhirnya dia membantuku berdiri.

“Kau nggak apa-apa? Kan aku sudah bilang, angkat yang ringan-ringan saja.”

“Kenapa, Zel?” Felix berteriak dari dalam.

“Nggak apa-apa kok,” jawab Hazel menyingkirkan karung tepung dan mengeluh. Dia sempat terbatuk beberapa saat. “Keluar gih, biar aku yang beresin.”

“Aku bantuin.”

Lonceng ketiga berbunyi lagi.

“Ah, kau yang kemarin,” suara Felix kedengaran setelah sunyi beberapa detik. Aku mengerutkan dahi. Yang kemarin? Yang kemarin?

Aku cepat-cepat keluar dari dapur tanpa memedulikan tubuhku yang penuh tepung dan teriakan panik Hazel (“Alex, jangan gerak dulu. Nanti semua lantai jadi putih!”) dan betapa kagetnya aku mendapati kalau Kian dan Ariel ada di sana. Mereka berdiri di tengah ruangan Amour bersama dengan Kevin dan Felix. Mereka semua menatap padaku.

Hk!! Udara di paru-paruku seakan habis. Ngapain mereka berdua ada disini? Mereka tidak mengenaliku kan? Mereka tidak—

“Alex, kenapa denganmu? Kok badanmu putih begitu?” Kevin mengerutkan dahi, sedikit geli dengan penampilanku.

“Si idiot,” gumam Felix mengejekku.

“Alex, aku kan udah bilang jangan gerak dulu—he? Kian?” Hazel mendatangiku dan dia menatap Kian. Aku juga menatap dari dia lalu ke Kian. Dia mengenali Kian? Kok bisa? “Kian… apa yang kau lakukan disini?”

“Kau kenal?” Felix mengerutkan dahi.

“Dia drummer di bandku. Aku udah pernah cerita kan?”

Ha? APA? DRUMMER? KIAN?

“Oh, aku pernah dengar,” gumam Kevin menghela napas. “Jadi, kalian berdua ingin melamar pekerjaan disini? Boleh saja sih.”

Aku cepat-cepat menarik Kevin dan menariknya menjauh dari mereka berdua. Aku tidak menggubris teriakan protes Hazel dan keluhan Kevin karena tangannya yang memutih. Aku melirik panik ke belakang.

“Bos, jangan terima mereka.” Aku berbisik pada Kevin.

“Memangnya kenapa?”

“Mereka anak sekolahku. Aku bisa digantung kalo mereka mengenaliku. Ayolah, Bos, jangan terima mereka ya. Aku janji akan cari pekerja yang lebih baik dari mereka. Kau bisa memercayaiku.”

Kevin terdiam beberapa saat. Dia menoleh ke belakang, mengangkat alisnya, menatapku lalu berkata, “Aku menolak.” Dia melanjutkan dengan cepat. “Tak ada satu orang pun yang melamar ke tempat ini dengan klasifikasi sempurna seperti mereka. Apa matamu buta? Lihat mereka. Mereka tampan dan terlihat percaya diri. Para wanita akan sering datang kemari hanya karena mereka berdua.”

“Tapi, Bos—”

“Tenang saja, Alex, aku jamin mereka tak akan mengenalimu,” dia berdeham, “Ya, tidak sekarang, tentunya, soalnya kau dilapisi tepung begitu. Aku pun akan mengira kau hantu.”

Aku meringis. Tak bisa berbuat apa-apa.

“Nah, pertama-tama aku ingin kalian memperkenalkan diri kalian.”

Aku menghela napas. Kenapa juga aku harus terlibat dengan mereka?

“Halo, namaku A-ri-el,” Ariel memperkenalkan dirinya. Dia tersenyum kecil dan tidak terlihat canggung.

“Aku Kian. Aku sekolah di SMA Merah-Putih.”

Ariel tersentak. “Eh? Merah-Putih? Aku juga sekolah disana. Kamu kelas berapa? Kok tidak pernah bertemu ya?”

Ha? Ariel tidak mengenali Kian?

Kian menatap Ariel dari atas sampai ke bawah. “Kau sendiri siapa? Aku juga merasa tak pernah melihatmu di Merah-Putih.”

Aku bengong. Tentu saja. Mereka benar-benar tidak saling mengenal. Maksudku, mereka itu dua orang keren di sekolah. Mereka selalu berdiri berdampingan jika ada pertandingan di depan podium. Dan sekarang mereka bilang kalau mereka tidak saling mengenal. Apa ingatan mereka sebegitu buruknya dalam menghapal wajah orang?

“Aku Ketua Osis Merah-Putih.” Ariel mengangkat kedua alis.

“Oh,” Kian berkomentar singkat. “Tidak kenal.”

Aku takjub. Hubungan mereka benar-benar luar biasa. Tidak ada koneksi antara satu dengan yang lain.

Kevin tertawa, memecah kesunyian dan kecanggungan dari Kian dan Ariel. “Baiklah. Baiklah. Aku menerima kalian berdua. Tapi seperti yang kalian ketahui, café ini belum sepenuhnya sempurna. Oleh sebab itu, aku ingin bantuan kalian sampai café ini benar-benar pantas dibuka. Mengenai bayaran kalian tak perlu takut, aku akan membayar kalian sejak hari pertama kalian bekerja. Lalu, kapan kalian ingin bekerja?”

Ariel dan Kian saling lirik.

“Aku tak keberatan bekerja hari ini,” jawab Ariel mengangkat bahu.

“Tidak masalah. Lagipula disini ada Hazel.” Kian ikut-ikutan. “Oh, iya, aku harus memanggil kalian apa? Aku tak mengenal kalian kecuali Hazel.”

Oh, sorry, sorry, my bad,” Kevin tertawa lagi. “Aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku Kevin, Manager disini.”

“Felix,” Felix memasukan kedua tangannya ke kantong celananya. “Aku mahasiswa kedokteran tingkat dua.”

“Aku Hazel. Aku pemegang dapur dan pekerjaan sampinganku juga sebagai vokalis sebuah grup band. Ah, aku mahasiswa tingkat akhir di bidang seni yang sedang menyusun tugas akhir.”

Baru kali ini aku mendengar penjelasan panjang dari identitas Hazel.

“Erm, Alex,” kataku sedikit bergidik melihat lima pasang mata melihat ke arahku. “aku harus melanjutkan pekerjaanku di dapur.” Lalu aku cepat-cepat masuk kembali ke dapur.

“Si Alex itu sedikit pendek untuk ukuran anak laki-laki,” aku mendengar Kian berkomentar.

“Pertumbuhannya sedikit terlambat,” Felix membalas. Sialan!

“Haha, tapi ada orang yang bilang kalau anak cowok pasti akan bertambah tinggi kok jika waktunya tiba,” kali ini suara Ariel.

Kelima cowok-cowok itu sangat mudah akrab karena mereka laki-laki. Aku sama sekali tak bisa masuk ke dalam pembicaraan mereka. Oh, Tuhan, sebenarnya apa yang kulakukan disini?

*** Amour Café ***

Hazel menyodorkan jus padaku. Aku menerimanya dan dia menepuk-nepuk jeketku yang masih membekasi tepung. Rasa bersalahku pada Hazel rasanya semakin besar, sebesar rasa terima kasihku padanya. Saat aku menghancurkan dapur dan seisi café penuh dengan jejak tepung, Hazel membantuku mengepel dan membersihkan seluruh ruangan. Dia malah mengambil alih semua pekerjaan angkat-mengangkat tanpa menyusahkanku.

“Biar yang beginian dipegang sama cowok aja,” dia berbisik dan berkedip jenaka. “Kita sudah punya cukup pekerja buat melakukan pekerjaan kasar dan berat. Alex lebih baik menyibukan diri dengan tanam-menanam aja.”

Dia benar-benar orang baik.

“Alex, menurut pendapatmu, kita harus bikin disain interior yang gimana?” Kevin menyodok tape dan memakannya dengan lahap. “Whoah, sudah lama aku nggak makan ini.”

“Kok tanya dia?” Felix mengerutkan dahi.

“Target utama pelanggan kita itu perempuan, jadi seluruh desain harus sesuai dengan wanita, makanya aku tanya dia,” Kevin menjelaskan dengan logis. “Jadi gimana, Lex? Apa yang perlu ditambahin?”

Aku berpikir, memerhatikan café kosong yang cerah dengan nuansa warna putih. Lengkungan di belakang dapur sungguh unik dengan warna hitam dan hijau yang benar-benar yang menyatu. Lantainya berwarna hitam dengan corak batu yang pecah. Bagian atap sudah dilukis oleh Kevin dengan sangat sempurna.

“Menurut pendapatku, kita tempatkan meja dan kursi pelanggan yang juga berwarna putih,” mulutku berbicara dan pikiranku berimajinasi. “Meja pelanggan yang empuk di dekat jendela dan taman kita, jadi mereka bisa menikmati bentuk taman. Nah, ada sebuah meja yang terletak di pusat ruangan, tepat di bawah lukisanmu, jadi kita bisa buat sebuah cerita kalau ada cowok yang mau nembak ceweknya di bawah langit-langit cupid dengan setulus hati, maka cintanya akan terbalas atau sejenis itu.”

Felix mendengus, tapi aku tak peduli.

“Kita juga tidak membutuhkan penerangan yang terlalu banyak, cukup sebuah lampu berbentuk lilin. Nah, kalau lampunya berbentuk lilin di tiap meja, jika malam tiba, maka suasana romantis akan semakin pekat.” Aku berdiri dan menunjuk dinding. “Kita buat lukisan disini, tapi jangan lukisan cinta tapi seperti sebuah lukisan ‘perjalanan’.”

“Aku tidak mengerti. Lukisan seperti apa maksudmu?” Hazel bertanya, sesuatu yang aku nanti.

“Lukisan cinta,” jawabku cepat. “Di depan pintu masuk kita buat lukisan yang menunjukan jalan cerita cinta. Pertama-tama, lukisan “perkenalan” dimana cewek dan cowok bertemu. Lalu mereka saling mengenal, banyak bercerita, berdebar-debar, dan terakhir ketika di tengah sini, menyatakan cinta dengan bantuan cupid.”

“Ooow,” Kevin, Hazel dan Ariel bergumam takjub.

“Idemu keren sekali, Lex. Sungguh,” Hazel menunjukan jempolnya.

“Tapi apa tidak lebih baik kita bikin lampu yang sedikit banyak ketika malam?” Kian mengangkat tangan. “Kita bisa jatuh dan tersandung jika terlalu gelap. Aku tahu kau bermaksud bikin suasana romantis, tapi mendapatkan lampu berbentuk lilin itu susah loh. Apa tidak lebih baik kita beli lilin saja?”

“Lilin sangat mengganggu dengan asapnya,” aku membantah cepat. “Lagipula, kalau kita menghidupkan lampu saat yang lain ingin suasana romantis, wah bisa gawat. Lagipula, lilin tak akan bertahan lama jika kedua pasangan itu makannya lambat. Masa setiap kali lilinnya habis, kita harus ganti yang baru?”

“Kita kan bisa membagi areanya—”

“Café ini kecil, kalaupun kita bagi, maka jumlah meja akan jadi berkurang,” Kevin menopang dagu. “Ide Alex benar-benar bagus. Lagipula, café kita ini untuk pasangan, bukannya sama om-om yang sibuk ngurusin berkas pekerjaan.”

Felix melipat tangan. “Kalau dipertimbangkan lagi, ide Alex benar-benar oke,” dia menatapku dan berkomentar lagi. “Aku tak sangka kalau kau benar-benar pintar.”

“Menurut pendapatku, mengenai lampu lilin itu, kita bisa cari cara mudah,” Ariel tiba-tiba bicara. “Kita bisa merakit lampu kecil yang hidup dengan kekuatan dua atau tiga baterai isi ulang. Lebih cepat, mudah dan murah kan?”

“Benar sekali!” Hazel dan Kevin menjentikan jari bersamaan.

Wah, sekarang semua orang benar-benar merasa kalau ideku bisa berjalan dengan baik.

“Kau punya ide soal taman? Apa yang harus kita taruh disana”

Aku berpikir lagi saat Felix bertanya. “Kita letakan meja dan kursi kayu. Konsepnya tidak terlalu berbeda dengan di dalam. Oh, iya,” aku tiba-tiba mengingat sesuatu. “Kita bisa memanfaatkan tumbuhan menjalar yang hampir menutupi separuh gedung dengan meletakan lampu-lampu kecil berkedap-kedip yang membentuk nama Amour Café.” Entah kenapa aku jadi tiba-tiba bersemangat. “Karena café kita sangat teduh dan banyak pohonnya, kita bisa memelihara beberapa jenis burung dan kunang-kunang. Aku yakin mereka akan jadi daya tarik tersendiri. Kita juga bisa meletakan ikan hias di kolam air mancur kecil kita kan daripada kolam itu dibiarkan kosong? Kita juga bisa menghias kolam itu dengan membuatnya berpendar saat malam menggunakan lampu-lampu sorot?”

“Ide bagus!” Kevin menjentikan jarinya. “Kau kreatif, Alex! Whoah, tak salah aku bertanya apa yang harus diperbuat tentang café ini.”

“Aku juga sependapat,” Kian berkomentar, menatapku dengan keheranan. “Kau benar-benar tahu apa yang dipikiran wanita ya?”

Aku menelan ludah. Tidak ada maksud apa-apa. Pernyataan barusan tidak ada maksud apa-apa! Aku mengulang kalimat itu dalam hati dan membenamkannya dalam otakku. Tapi, hati kecilku yang lain bicara, aku tak seyakin itu.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.