RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 18 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Seven

by: Prince Novel

Receipt Seven

Mata Kevin kelihatan sangat bersinar ketika melihat sosok Adriel yang datang dan masuk ke café. Dia memakai baju terusan berwarna putih dengan sebuah bros mawar yang terselip dengan manis di pinggangnya. Aku cepat-cepat menyingkirkan Kevin—yang menuju kearahnya—dan berkata, “Selamat datang, Nona. Aku akan mengantarkan Anda ke meja Anda. Silakan lewat sini.”

Adriel kelihatan terpaku beberapa saat melihatku. Tentu saja dia akan kaget melihat temannya yang cewek berpakaian seperti ini. Namun aku tidak mendengar protesannya karena dia langsung mengangguk.

“Alex, biar aku saja yang—”

Aku cepat-cepat memotong, “Bos, ada banyak pelanggan yang harus Anda layani,” aku memberikan kode padanya, menunjuk cewek-cewek cantik di belakangnya. Bisa kulihat kalau Kevin menggerutu sedikit, sebelum akhirnya dia sadar dan kembali sibuk dengan urusannya.

“Aku tak menyangka kalau suasana café ini oke juga,” Adriel menatap berkeliling, menganggumi café kami. “Harusnya aku membawa pasangan kemari ya? Kelihatannya disini berpasangan semua.”

Aku mendengus jengkel padanya. “Itu sebabnya aku melarangmu datang. Ngapain sih datang? Aku panik tahu.”

Adriel tersenyum. Aku menarik kursi padanya dan dia duduk dengan anggun. Ingin kuratapi diriku sendiri. Aku dan dia benar-benar berbeda jauh. Segera kuberikan menu padanya dan Adriel kembali berbisik.

“Aku boleh pesan pelayan tidak?”

Aku bisa memerkirakan apa maksudnya. “Baiklah, baiklah. Aku akan membawanya untukmu. Tunggu sebentar.” Adriel kesini hanya untuk Ariel. Untuk membuktikan apakah perkataanku bisa dibuktikan atau tidak. Aku bisa menduga kalau dia akan datang setiap hari ke café ini hanya untuk menemui Ariel.

“Loh? Bukannya kau melayani tamu?” Ariel menegurku, membawa nampan yang di atasnya terletak minuman buah.

“Ariel, kau bisa membantuku kan? Dia sama sekali tak mau aku yang melayani dia. Jadi, biar aku saja yang membawa ini, oke?”

“Tapi—”

Aku tidak mendengarkan dia dan mengambil alih nampannya. “Ini dibawa ke meja nomor berapa?”

“Empat. Aku harus ke meja berapa?”

Yes! “Ke meja nomor sebelas.”

Ariel memang baik. Aku memperhatikan dia mendatangi meja Adriel dan aku kembali tersenyum melihat Adriel tampak malu-malu berbicara pada Ariel. Dasar! Kulangkahkan kakiku menuju meja pesanan Ariel.

“Tuan, Nona, silakan,” aku memberikan senyuman terbaikku. Kuperhatikan orang-orang di meja ini: mereka mengenakan dasi dan jas, serta gaun yang sangat modis. Mereka teman-temannya Kevin.

“Whoa, kau cute sekali.” Salah satu cewek yang ada di meja itu menatapku tanpa berkedip. “Kevin benar-benar tahu cara memilih pelayan yang oke ya?”

“Baru kali ini aku merasa dia benar-benar pintar memilih pelayan.” Teman cowok yang ada disampingnya mengangguk setuju. “Pemuda yang sebelumnya juga tak kalah oke. Siapa namamu?”

“Alex, Tuan.” Aku menjawab pelan, meletakan pesanan satu per satu.

“Aaah, namamu keren juga.” Kata mereka dan baru kali ini aku merasa bersyukur memiliki nama itu.

“Kalau yang itu?” cewek yang lain menunju ke belakangku. Aku melihat siapa yang dia tunjuk. “Gayanya oke juga.”

“Kian,” jawabku. Aku terkesikap. Dia benar-benar tahu cara melayani pelanggan. Dia berdiri tegap, bertanya dengan wajah tenang tanpa ekspresi berarti dan menunduk sedikit ketika hendak pergi. Seperti pelayan di kerajaan. Dia benar-benar membuat pelanggan seperti raja.

“Aaah, I love him.”

Aku cepat-cepat permisi dan kembali menyibukan diri dengan pesanan berikutnya. Café kami benar-benar laris. Mungkin karena Kevin mengajak teman-temannya, itu sebabnya café kami terasa penuh. Aku tak tahu ada berapa banyak teman yang dia punya. Tamu datang silih berganti. Dan aku bahkan tak tahu kapan Adriel pulang sampai kemudian café kami akhirnya tutup di jam sebelas.

“Dia tadi pulang setelah makan,” Ariel menjelaskan saat kutanya. “Dia melihatmu kelihatan sibuk, jadi tak berani mengganggumu. Kau sudah sangat bekerja keras hari ini, Alex.”

“Ngomong-ngomomg, temanmu tadi sangat cantik. Siapa namanya?” Felix memakai jaketnya.

“Ohoho, apa sekarang kau sudah mulai melupakan gadis malaikatmu itu?” aku menggodanya.

Felix menaikan alisnya. “Aku berpikir, kalau aku tak menemukannya dalam tiga bulan ini, maka aku akan menyerah dan cari cinta baru dan gadis itu cukup menarik perhatianku. Siapa namanya?”

Dia benar-benar tahu cara membalas perkataanku. “Aku tak akan menyerahkan sahabatku pada orang yang mencari pelarian.”

“Kau cari berantem?” Felix menaikan lengan bajunya.

“Aku tak takut.”

Hazel menyeruak ke tengah. “Pertengkaran kalian benar-benar tak mutu. Alex, ayo kuantar pulang.”

“Aku bisa pulang sendiri.” Aku menjawab refleks.

“Ini sudah jam setengah dua belas. Pakai motorku lebih cepat. Lagipula, aku harus bertemu Rhea, rumahnya searah dengan rumahmu, jadi tak masalah sama sekali.”

“Berapa kali aku harus bilang padamu kalau kau harus cepat putus dengannya,” Kevin tampak tak senang. “Aku tak suka gadis itu. Mana boleh kau datang ke rumahnya tengah malam begini pada saat rumahnya kosong begitu.”

“Dia bilang kalau lampu di rumahnya tidak menyala. Aku hanya ingin memastikan keadaannya,” Hazel menjelaskan.

“Kalau begitu dia cukup panggil teknisi bukannya kau.” Timpal Kevin lagi-lagi.

“Tak ada teknisi yang bisa dipanggil tengah malam begini. Jangan bertengkar denganku saat ini, Kevin, kau akan membuang tenagamu saja. Ayo, Alex, kita pulang.”

Aku tak bisa membantah. Suasana menjadi panas saat Kevin memberikan tatapan jengkel padanya.

“Kevin bilang begitu karena dia khawatir padamu,” kataku mencoba mencairkan suasana yang beku di antara kami.

“Aku tahu, karena itu aku tak pernah menyalahkannya. Tapi aku juga sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri.”

Aku mengangguk-angguk. Perkataannya ada benarnya. “Seperti apa sih pacarmu itu? Aku jadi penasaran dia secantik apa karena kau kelihatan begitu memujanya.”

Hazel tertawa. “Kau bayangkan saja sendiri.”

*** Amour Café ***

“Elo pacaran sama Hazel?”

Jantungku nyaris saja copot. Andre tiba-tiba muncul di depan pintu, mengagetkanku sementara rumah dalam keadaan gelap gulita. Kupikir dia tidur atau tak pulang sama sekali. Untung saja aku tidak berteriak.

“Andre!” gerutuku. “Kau ini mau bikin aku mati muda ya?”

Andre tidak mendengarkan. Dia bertanya dengan nada serius. “Kak, elo beneran pacaran sama Hazel?”

Hah? Aku mengerutkan dahi, sampai aku sadar satu hal, “Kau kenal Hazel?”

“Hazel kan vokalis di band gue.”

“Apa?” aku kaget. Ini pertama kalinya aku mendengar hal ini. “Kau masuk band? Band-nya Hazel?”

Andre mengangguk. “Gue nggak pernah cerita ya? Hazel itu salah satu orang yang elo maki-maki siang dan malam kalo gue pulang pagi. Nah, sekarang kok malah elonya yang pacaran dengan dia?”

Tunggu. Tunggu sebentar. Kesalahpahaman ini harus diluruskan.

“Aku nggak pacaran dengan Hazel,” kataku cepat.

Andre kecewa. “Ah, sayang sekali. Padahal kalo elo sama dia, gue yakin kalo kalian bakal jadi pasangan serasi. Hum… jadi Hazel masih jadian sama Rhea ya?”

“Kau tahu seperti apa ceweknya Hazel?” aku penasaran seperti apa tampang Rhea. Jika dilihat dari cara Kevin dan Andre memandangnya, sepertinya bukan tipe gadis baik-baik.

“Rhea itu cantik, seksi, banyak cowok naksir dia. Sayangnya ada satu yang fatal dari dia. Dia matre, playgirl dan sombongnya itu benar-benar menjengkelkan. Kadang dia bisa jadi sangat kejam bagi cewek-cewek yang pedekate sama Hazel. Herannya Hazel bisa tahan sama cewek begitu,” Andre melirikku. “Kak, elo lebih baik jangan dekat-dekat Hazel lagi, deh. Jika Rhea lihat, wah bisa dicakar lo sama dia.”

“Haha,” kataku. “Kau jadi apa di band?”

“Bass,” jawabnya cuek. Aku heran kenapa adikku yang tak berguna ini bisa bergabung di bandnya Hazel yang mayoritas sudah lebih dewasa ketimbang dia. Jangan-jangan, yang membawa pergaulan buruk bagi Andre si Hazel lagi? Ah, tidak-tidak, aku harus membuang pikiran itu. “Kau kok belum tidur?”

“Lapar.”

“Hari ini kau ke sekolah kan?”

“Iya. Tenang aja, setahun ini gue bakal sekolah penuh. Mana mau gue memperpanjang waktu tinggal gue di SMP. Gue bakal jadi anak baik.”

Itu yang kutakutkan. “Berarti kau kenal Kian juga?”

“Kian?” Andre mengerutkan dahinya. “Ah, maksud lo Rafael? Yah, dia sedikit pendiam tapi dia orang yang baik. Rhea sempat naksir padanya tapi Rafael bilang kalau dia nggat tertarik sama cewek cantik.” Dia berhenti lalu menatapku. “Elo kenal Rafael juga?”

“Kami satu sekolah.”

Andre melotot. “Oh ya? Wow! Kalo gitu, Kak, elo harus jadi pacarnya!”

Aku bengong. “Kenapa juga aku harus jadi pacarnya?”

“Elo nggak tahu ya? Selama ini kan dia naksir sama elo.”

He? Aku bengong. Apa pula lagi yang dia bilang?

“Maksudmu?”

“Eh, nggak apa-apa. Aku tidur dulu.” Andre cepat-cepat kabur dan menutup pintu kamarnya. Aku makin bingung.

Kian naksir aku? Kok bisa? Gimana ceritanya? Perasaan kami nggak pernah saling kenal sebelumnya.

*** Amour Café ***

Kring kring

Aku menyingkir ke kiri, membiarkan sepeda di belakangku untuk berjalan terlebih dahulu.

“A-Lex.”

Aku menoleh ke belakang. Suara itu, suaranya Kian. Dia mendekat dan berhenti tepat di sampingku. Dia melirikku dari atas sampai ke bawah.

“Rapi sekali. Dari mana?”

Oh, aku baru sadar kalau aku masih memakai gaun terusan. Biasanya aku memakai kaos oblong dan celana, jadi aku yakin kalau dia sedikit kaget melihatku berpakaian begini.

“Ibadah,” jawabku.

Dia mengangguk. “Aku juga. Mau naik?”

Apa? Aku mengingat kejadian yang diceritakan adikku kemarin. Apa benar dia suka padaku? Aku penasaran. Tapi aku juga tak ingin terlalu banyak berharap. Mungkin aku salah dengar. “Terima kasih, tapi aku—”

“Kau bisa pergi sendiri,” lalu dia tertawa. “Kau selalu bilang begitu pada setiap orang yang menawarkan diri padamu. Naik. Aku memaksa.”

Kenapa semua penghuni Amour Café keras kepala? Apa mereka tak bisa sekali saja bilang “Oke” dan pergi begitu saja tanpa memedulikanku? Dengan sedikit berat hati, aku naik ke atas boncengan sepedanya dan memegang ujung jeketnya. “Kau tahu dimana rumahku?”

No idea. Dimana?” dia menggoek sepedanya.

“Jl Mawar Komplek Setia nomor enam.” Aku sengaja menyebutkan alamatku.

“Oke.”

Aku mengerutkan dahi. Dia tak tahu alamat Andre ya? Aku baru ingat. Salah satu anak band itu tak pernah datang ke rumah, jadi bisa kupastikan kalau Andre sama sekali tak pernah memberitahu alamat rumah pada mereka. Aku sama sekali tak nyaman jika berdua dengan Kian. Dia menggoek sepanjang jalan, tidak mengatakan apa-apa dan aku cuma bisa diam saja. Apa yang harus kukatakan padanya coba?

“A-Lex,” dia akhirnya bicara juga, “siapa yang kau suka dari kami?”

Lagi-lagi aku bengong. Pertanyaan itu tak terduga. “Buat apa kau tanya begituan?”

“Yah…” katanya. Dia berhenti sejenak. Pikiranku melayang pada pembicaraan antara aku dan Andre kemarin. “Kau belum jawab tipe cowok idamanmu dan aku merasa itu tak adil. Masa kau tak bisa memerkirakan tipe cowokmu hanya dengan melihat kami?”

Untuk orang yang jarang bicara, dia termasuk yang pandai bicara. “Kau berharap siapa yang bakal kupilih?”

“Um…” dia bergumam. “Aku?”

Sudah kuduga dia bakal menjawab itu. “Salah.”

“Terus siapa?”

“Kenapa kau begitu tertarik dengan pilihanku sih?”

“Yah…”

Yah lagi. Dia sama sekali tak ingin menjawab ya.

“Oke sampai.” Kian mengerem. Dia melirik rumahku dan berkomentar. “Oh, jadi ini rumahmu.”

Rumah kami sama sekali tidak menarik perhatian. Jadi aku tak bisa menyalahkannya yang berkomentar dengan nada kecewa begitu.

“Boleh aku masuk?”

Aku kembali melotot. “Apa?”

“Aku penasaran seperti apa rumahmu. Menurut buku yang kubaca, kondisi rumah mencerminkan kepribadiannya.” Dia memarkirkan sepedanya dan aku panik. Sangat panik.

“Kau tak perlu membaca buku aneh setiap waktu. Tidak. Kau tak boleh masuk ke rumahku. Kita baru kenal.”

“Tapi kita sudah berteman.”

“Kita cuma teman sepekerjaan.”

“Ya, ya, kita akan akrab jika kau mengijinkanku masuk.”

Dia benar-benar pemaksa! Aku sampai hilang akal harus bilang apa.

“Rafael, ngapain lo di rumah gue?” Andre baru saja membuka pintu depan. Kurasa dia mendengar pertengkaran tidak bermutu kami.

“Loh, Andre? Elo tinggal disini?” Kian mengerutkan dahi.

“Ini kan rumah gue dan dia Kakak gue.” Andre mengedipkan matanya padaku. “Ngomong-ngomong, kalian kok bisa barengan?”

“Kakak elo? Dia?” Kian mengerutkan dahi dan menatapku lekat-lekat. Tiba-tiba saja wajahnya merah padam—mengagetkan aku—dan dia buru-buru pamit. “Erm, aku permisi dulu. Ada urusan.”

Apa yang barusan itu? Aku menatap Andre, meminta penjelasan.

“Kan udah gue bilang, dia naksir sama elo.” Andre bergumam.

Aku masuk ke rumah, melepas high heels-ku. “Aku sama sekali belum pernah bicara dengan dia dan aku yakin dia bahkan belum pernah mengidentifikasi aku ada di dunia ini atau tidak, jadi mustahil kalau dia suka samaku, kecuali—tunggu,” tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Tunggu sebentar. Apa kau menceritakan sesuatu tentangku padanya?”

Andre duduk di kursi dan menghidupkan televisi. “Sedikit.”

“Andre!” aku benar-benar tak habis pikir. “Apa aja yang udah kau bilang padanya?”

“Nggak banyak kok. Gue cuma curhat sama dia kalo elo marah-marah tiap hari sama gue,” Andre memonyongkan mulutnya. Dia sama sekali tak berani menatapku. “Erm, terus… entah kenapa dia jadi suka banget dengar cerita elo dan terus tanya-tanya elo. Awalnya gue pikir dia bersikap kayak gitu cuma buat ngibur gue, tahunya dia jadi naksir betulan sama elo.”

“Apa?” aku kembali tak percaya. “Bagaimana mungkin dia bisa suka sama orang yang belum pernah dia lihat dan cuma dia dengar dari orang lain?”

Andre mengangkat bahu. “Elo kan lihat sendiri kalau tadi wajahnya merah padam kayak kepiting rebus waktu ngeliat elo.”

Aku menepuk dahiku sendiri.

“Elo tenang aja lagi, Kak, gue yakin banget kalo Rafael itu cowok baik yang bakal jagain elo.”

Aku menunduk, melepas sebelah high heelku lagi dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke kepala Andre lalu menggetok kepalanya.

“AAAW”

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.