RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 18 Juli 2011

Amour Cafe Receipt Eight

by: Prince Novel

Receipt Eight

Aku menahan Andre yang mau keluar dari rumah dengan seragam berantakan. Sambil mengomel, aku memperbaiki letak dasinya, menyisir rambutnya dan bersumpah akan menggundulnya jika dia tak segera memotongnya, dan memaksanya melepas antingnya.

“Tapi begini lagi trend,” dia berteriak jengkel. Aku masih memegangi telinganya, mengeluarkan paksa lima anting yang membolongi kuping. “Aw, aw, aw, pelan-pelan dong.”

“Kalau kau tahu sakit, harusnya kau tak melukai telingamu sebanyak ini!” aku menggerutu. “Harusnya kau bersyukur karena aku tak memotongnya. Ingat baik-baik, nanti waktu kau pulang, aku tak mau melihat rambutmu berwarna pirang begitu. Ngerti?”

Andre menggerutu.

“Kau itu anak kelas tiga. Mau tamat nggak sih?”

“Iya, iya, entar gue bagusin,” katanya kesal. Dia menarik tasnya dan gerutuannya terdengar sepanjang jalan. “Pamor gue bisa turun kalo tampang gue begini.”

Aaah, lega melihat Andre berangkat dalam keadaan rapi—walau aku tahu dia akan berubah wujud lagi jika sampai di gerbang sekolahnya—aku kembali bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Perasaanku jadi jauh lebih ringan mendengar keputusan Andre. Aku juga merasa lebih nyaman karena saat ini café sudah kembali beraktifitas. Aku bakal punya penghasilan yang oke.

“Alex!”

Dan mood-ku rusak melihat Kevin melambai di depan pintu rumahku.

“Ayo kuantar ke sekolah.” Katanya antusias.

“Aku bisa pergi sendiri.”

“Kalau kau tak naik ke motorku, aku akan memotong gajimu sebesar lima persen,” katanya dan aku buru-buru naik tanpa bantahan. Dia tersenyum penuh kemenangan dan membawa motornya dengan kecepatan tinggi. Dia memang gila!

“Pelan-pelan!” aku berteriak ngeri. “Polisi bakal menilang kita!”

“Polisi nggak bakal nilang kita kalo kecepatannya cuma segini doang!” dia balas berteriak, lalu tertawa.

Aku mendekapnya dari belakang. Berusaha membuat tanganku tetap berada di tempat yang benar. Kalau tidak aku pasti sudah terpental ke belakang. Aku tak mengerti darah mereka terbuat dari apa sampai-sampai dia tak takut pada apapun, seperti polisi ataupun dewa kematian.

“Oke. Kita sudah sampai, Tuan Puteri.”

Motor Kevin berhenti di depan gerbang sekolah dan seketika itu juga aku menghela napas lega. Sekarang aku tahu apa alasan kenapa aku tak sudi diantar sama mereka: mereka membawa motor mereka dengan gila. Aku mengetahui hal itu, tapi kenapa aku masih saja mau menurut?

“Bos, kumohon padamu, kalau kau ingin mengantar jemputku lagi, kecepatan motornya tolong dikurangi sedikit,” kataku mengelus dadaku—yang berdegup tidak karuan.

Dia tertawa. “Tapi kau harus berkata kalau aku adalah pembalap yang paling jago, ya kan?”

Kuputar bola mataku. Aku tak harus menanggapi apa maunya.

“A-Lex,” kali ini sepeda Kian yang muncul di pintu gerbang. Dia berhenti sejenak dan menyapa Kevin, “Pagi, Bos. Ngapain ada disini?”

“Mengantar cewek paling manis di Amour,” Kevin menjawab ringan.

He. Tentu saja aku cewek paling manis di Amour, soalnya seluruh penghuni Amour itu laki-laki.

“Oh,” Kian berkomentar pelan. “Apa hari ini kau tak bekerja, Bos?”

Kevin menggeleng. “Aku harus mengantar pacarku jalan dulu. Sudah ya?” dia menghidupkan mesin motornya dan berlalu dengan suara yang berdecit di ujung jalan. Aku hanya bisa melongo melihat dia pergi begitu saja dan aku salah tingkah saat menyadari Kian ada di sebelahku.

“A-Lex, aku duluan,” katanya dan menggoek sepedanya memasuki sekolah. Aku bengong melihat Kian yang meninggalkanku sendirian di depan gerbang. Apa-apaan itu? Apa seperti itu sikap seseorang yang menyukai seorang gadis?

Ah, tidak. Aku pasti salah. Ya, Andre pasti salah.

“Alex!” kali ini Adriel yang memanggilku. Dia berlari dari ujung koridor yang satu menuju ke koridor tempatku berdiri dan memelukku kegirangan. Belum lagi aku mencerna apa yang terjadi, dia sudah menarikku lagi ke taman dan berteriak, “Gue ngajak Ariel kencan dan dia bilang oke!”

Satu… Dua… Tiga…

“Selamat,” kataku ikut senang. Aku memberikan ekspresi kegirangan yang sama—membiarkan diriku ikut-ikutan bahagia walau aku tak suka mengekspresikannya. “Kemana kalian bakal kencan? Dimana?”

Adriel bercerita banyak dan aku tak mendengarkan sama sekali karena saat itu pikiranku melayang pada Kian. Tingkahnya agak sedikit aneh hari ini. Tapi, apanya ya yang aneh?

*** Amour Café ***

Ariel tersedak saat aku mengucapkan selamat padanya. Dia sedang meminum jus yang baru saja disodorkan Hazel. Malam ini café kami pun ramai pengunjung, hanya saja lebih sedikit daripada hari pertama. Kevin dan Hazel saling lirik. Kian tampak peduli dan asik dengan bukunya, sementara Felix menatapku dengan dahi mengerut.

“Oh, jadi kau sekarang pedekate sama cewek cantik itu? Kalau begitu aku menyerah saja,” kata Felix dan dia menyibukan diri dengan cupcake.

Ariel menggeleng cepat. “Siapa yang kencan dengan Adriel? Aku nggak kencan dengan dia,” katanya cepat dan dia kembali menjelaskan. “Cewek itu cuma minta tolong sama aku buat bantuin dia cari buku ke toko buku akhir minggu ini. Masa yang begitu dibilang kencan?”

Aku mengerjap, Hazel senyam-senyum.

“Bego banget sih ini anak,” Kevin menggeleng kepalanya. Tampak frustasi. “Cewek cantik itu naksir samamu. Harusnya kau tahu hanya dengan melihat tingkahnya.”

“Apa?” Ariel mengerutkan dahinya. “Kok bisa?”

“Itu cara normal buat dekat sama lawan jenis,” Felix menyambung dari tempatnya. “Minta ditemenin beli bukulah, bantuin pelajaranlah, dan sejenisnya. Masa begitu aja nggak tahu.”

Ariel bengong sejenak.

“Kalo kau nggak mau, aku mau,” kata Kevin menepuk bahunya.

“Maaf, ya, kupikir aku akan coba dulu,” kata Ariel menatapku. “Menurutmu, Alex, apa kami bakal jadi pasangan cocok?”

Aku sudah lama membayangkan kalau kedua pasangan ini akan bersama pada akhirnya. “Cocok.”

“Hm…” dia tersenyum. Kelihatannya hubungan Ariel dan Adriel akan berjalan dengan lancar. Aku tak harus turun tangan lagi.

“A-Lex, ayo pulang,” Kian tiba-tiba berdiri. Aku bengong, menatapnya dengan penuh tanda tanya.

“Aku aja yang antar Alex,” kata Hazel cepat. “Aku harus ke rumah Rhea lagi. Listrik di rumahnya belum juga berfungsi dengan baik.”

“Aku mau ke rumahmu,” Kian tidak mendengarkan Hazel dan masih menatapku. “Andre memintaku untuk mengajarinya hari ini dan dia menyuruhku untuk membawamu pulang.”

“Andre?” Hazel mengulang kebingungan. “Maksudmu Andre Bassis?”

“Dia Kakakknya Andre,” kata Kian menjawab pertanyaan Hazel.

Hazel menatapku, matanya melotot. “Waaauw…” entah itu ekspresi takjub, kaget, atau ketakutan. Aku tak mengerti sama sekali.

“Yuk, A-Lex.”

Kian mengambil ranselku dan dia berjalan terlebih dahulu. Aku mau tak mau bangkit dan permisi, mengikutinya dari belakang. Dia naik ke atas sepedanya dan memintaku naik dengan tatapannya yang sedikit mengerikan sehingga aku tak punya pilihan lain selain menuruti permintaannya.

“Kau tahu sendiri kan kalau jarak rumahku dengan café sangat jauh sekali.”

“Aku tahu,” dia menjawab cepat. “Tapi aku juga sudah janji pada Andre buat ngajarin dia supaya dia lulus SMP. Aku tak sudi punya teman band yang nggak lulus.”

Sial. Aku tak bisa mengusirnya. Andre sialan. Sebenarnya apa sih rencananya ngajak Kian jadi teman belajarnya tengah malam begini? Mana Mama ngga ada di rumah lagi. Besok pagi akan kugetok kepalanya. Lihat saja.

“Kue,” Andre mengadahkan tangannya saat aku baru saja sampai di depan pintu. Aku melewatinya, sedikit jengkel padanya. “Hari ini elo nggak bawa kue? Gue lapar nih.”

“Kau harus belajar masak sendiri,” gumamku melepas sepatuku.

“Rumah yang bagus,” Kian berkomentar, melihat kesekeliling rumahku dengan dahi mengerut. Apa orang yang bilang rumah bagus akan bereskpresi seperti itu? Tapi aku tak mengomentari pendapatnya dan buru-baru masuk kamar. “Andre, buatin gue teh.”

“Nggak mau. Gue nggak mau belajar kalo lapar.”

Aku mendengar pembicaraan mereka di kamarku. Kelihatannya mereka cukup akrab. Buktinya, Kian dengan entengnya menyuruh-nyuruh adikku yang tak berguna itu. Aku saja harus menarik urat leherku untuk menyuruhnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

“Bangun dan buat teh buat gue. Gue bakal masak buat elo. Apa isi kulkas elo?”

Dahiku mengerut. Kupingku segera merapat ke pintu kamar. Apa?

“Liat aja sendiri.” Andre menguap. “Gue lapar dan ngatuk. Heran deh, Kakak gue kan tipe nenek lampir begitu, kok elo bisa su—aw! Ampun, ampun, ampun.”

Entah apa yang terjadi dengan Andre di luar sana. Aku lebih baik pura-pura tak dengar. Menit berikutnya yang aku dengar adalah suara kulkas yang terbuka, plastik, nampan dan penggorengan kemudian bau yang harum, mengguggah selera.

Aku tiduran di kamarku. Walau jiwaku ada disini, kupingku hanya ada di luar. Aku mendengarkan mereka dengan teliti. Mereka makan, mengobrol soal musik dan selanjutnya belajar. Aku kaget. Tentu saja. Adikku itu mendengarkan penjelasan Kian dan sesekali bertanya. Dan aku tak tahu apa yang terjadi sampai kemudian aku bangun keesokan paginya.

“Ng…”

Aku bangun dengan susah payah. Sambil menguap lebar, aku keluar kamar dan kaget melihat Kian dan Andre di ruang keluarga. Andre tidur di lantai dan Kian tidur di sofa. Kondisi ruangan masih berantakan: masih ada piring, bungkus makanan kecil dan buku yang terbuka lebar. Kudekatkan diri melihat buku Andre.

Wah, dia benar-benar belajar. Aku salut pada adikku. Biarpun dia menyebalkan, setidaknya dia masih punya sedikit harapan.

“Ah, A-Lex,” Kian tiba-tiba bangun, mungkin karena tadi aku menginjak kantong plastik. Dia mengucek matanya sedikit. Aaah, kalau saja ada teman-teman cewek di sekolah yang melihat dia saat ini, mereka pasti akan berteriak histeris. Kian waktu bangun tidur, kayak anak-anak. Lucu. Manis! “Kau sudah bangun?”

“Pagi,” kataku kikuk. Aku salah tingkah. Susah sekali mengalihkan pandanganku dari wajah cakep Kian saat ini. “Jam berapa kalian tidur?”

“Menjelang pagi, mungkin sekitar jam empat,” gumamnya meregangkan tubuhnya. Dia menatapku sejenak dan tak lama kemudian dia mengerutkan dahinya. “A-Lex? Apa yang kau lakukan disini?”

Ha? Dia bilang apa barusan?

“Ini kan rumahku,” jawabku bingung, jadi wajar saja kalau aku ada disini. Aku menambahkan dalam hati.

Kian tersentak. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan panik dan lebih panik ketika melihatku. Buru-buru dia membereskan buku-bukunya dan memasukannya dengan asal ke tas kemudian keluar rumah dengan panik.

Aku bengong. Dia kenapa sih?

Pintu rumah kembali terbuka. Kian masuk kembali, dan seolah tidak melihatku, dia melewatiku. Mengambil jeketnya yang masih di atas sofa kemudian menggetok kepala Andre lalu keluar lagi.

“Aaaw!” Andre mengusap-usap kepalanya. Dia menatapku dan berkata, “Ngapain sih elo? Gue kan masih ngantuk!”

“Udah jam enam pagi. Mandi sana.”

Aku berbalik menuju kamarku dan tersenyum geli mengingat tingkah lucu Kian. Kian yang seperti itu, rasanya manis juga. Hehe.

*** Amour Café ***

Entah kenapa, aku jadi lebih bersemangat belajar. Hari ini pelajaran justru terasa lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku bahkan mengerti dengan penjelasan panjang impuls fisika. Sama sekali tidak sangka. Andriel yang melihat perubahan suasana hatiku hari ini kelihatan bingung. Tapi aku bilang padanya, mungkin ini akibat adikku yang mulai rajin belajar, jadi aku juga ingin memberikan dukungan seorang Kakak untuknya. Hehe.

“Alex,” aku melotot melihat Ariel muncul di kelasku. “Bisa kemari sebentar?”

Aku melirik Adriel dan Adriel mengangguk cepat. Aku segera ke arahnya dan berkata, “Apa?”

“Hazel memintaku memberikan ini padamu. Aku tak tahu untuk apa, tapi sepertinya sih pelajaran anak SMP,” dia memberikan tumpukan lembaran yang cukup tebal padaku. “Sudah ya.” Dia berbalik pergi. Tidak berpamitan ataupun melirik Adriel.

“Itu apa?” Adriel kelihatannya tidak menyadari sikap Ariel dan aku lega.

“Pelajaran SMP, mungkin untuk Andre,” jawabku membolak-balik buku itu dengan dahi mengerut.

“Oh, iya, adikku lo kan sekarang kelas tiga ya. Tapi kok Ariel ngasih sama elo sih? Perhatian banget dia sama adik lo?” Adriel menatapku dengan curiga.

“Dia cuma menitipkan ini dari temanku, Hazel.”

“Hazel?” dia mengulang. “Aah, si Koki cakep itu,” dia menyikutku perlahan dan berbisik, “Beruntung banget sih elo, diperhatiin sama cowok secakep dia.”

Aku balas berbisik padanya. “Sayang sekali, Hazel dan Andre itu satu band, jadi dia nggak perhatian padaku, tapi pada Andre. Lagipula, Hazel udah punya pacar.”

Adriel tertawa dan menepuk-nepuk punggungku. “Sabar, Lex, elo pasti bisa nemuin cowok yang baik.”

“Sialan!”

*** Amour Café ***

“Nih, kami manggung hari Jumat tengah malam. Sepulang dari sini, kau bisa datang kan?” Hazel menyerahkan dua lembar tiket konser padaku. “Kau ajak cewek cantik pacarnya Ariel juga, kurasa dia akan senang buat ikut, walau aku tak yakin apa orang tuanya mengijinkan dia keluar tengah malam. Aku juga mengajak Ariel dan yang lain, jadi kurasa tak masalah.”

Aku menatap dua lembaran tiket itu.

“Kupikir kau harus melihat usaha dan kerja keras dari adikmu supaya kau tak selalu memarahinya,” Hazel tersenyum padaku.

Ah, aku baru ingat sesuatu. “Kalau boleh aku tahu, apa aja yang udah diceritain Andre?”

Hazel tak berani melihatku. Dia bersiul-siul pelan dan keluar dari ruang ganti seakan tidak mendengarkan pertanyaanku barusan. Aku tak sabar lagi, aku pasti akan bertanya pada Andre, apa sebenarnya yang dia ceritakan pada teman-temannya mengenaiku.

“Kenapa elo mau tahu sih?” Andre jengkel. Dia heran setengah mati karena aku tak juga melepasnya sebelum dia menjawab pertanyaanku. “Pokoknya gue nggak ngejelek-jelekin elo deh, tenang aja. Pamor elo pasti nggak bakal turun cuma karena itu doang.”

Aku kesal dan mencubit pipi tembem Andre.

“Kasih tahu nggak?” aku menggeram kesal.

“E-hya-E-hya. E-fhasin dolo ini.”

Aku melepas cubitanku dan memelototinya.

“Erm… gue cuma bilang kalo…” dia melirikku, meringis sedikit, “tapi elo janji jangan geer dulu.” Aku mengangguk cepat. Penasaran. “Gue bilang kalo elo pengganti Papa bagi gue. Soalnya elo selalu ngelindungin gue. Terus…”

Wajahku merah padam. Aku sama sekali tak menyangka kalau Andre menganggapku seperti itu. Papaku memang sangat menyebalkan: mati di usia yang begitu muda dan meninggalkan bertumpuk hutang sampai membuat kami jadi begini, tapi bagi Andre sosok Papa itu luar biasa. Dia selalu ada saat Andre butuh dia dan kasih sayang yang diberikan Papa untuknya sangat besar karena itu dia selalu dimanja.

“Yah… pokoknya begitulah. Gue pergi dulu. Latihan.”

Andre cepat-cepat kabur mengambil ranselnya, meninggalkanku sendirian di dapur.

*** Amour Café ***

Adriel langsung setuju. Dia tidak menerima kata tidak selagi Ariel juga ikut berpartisipasi dan dia bercerita kalau dia dan Ariel sekarang sering SMS bareng. Hehe. Aku tak pernah sekalipun mengirim atau menerima pesan dari anak-anak Amour lagi sejak café kami dibuka. Aku sedikit kesepian. Tapi mendengar kalau Adriel bahagia, aku juga berbahagia untuknya.

“Lex, masa dari cowok-cowok cakep di Amour itu nggak ada satupun yang menarik perhatian elo?” Adriel berkomentar, tangannya sibuk di kemudi depan. “Dari sudut pandang gue, kelihatannya elo belum tertarik sama satupun dari mereka. Harusnya kan kayak di tivi-tivi itu, Lex, elo langsung memulai kisah cinta elo sama salah satu dari mereka.”

Aku menghela napas. “Yaelah, Adriel. Kita kan nggak lain main sinetron ataupun drama. Mana bisa aku paksain suka sama siapa. Cinta itu butuh proses.” Kataku sok bijak.

“Tapi proses lo kelamaan. Entar kalo mereka udah habis stok gimana?”

Aku mengangkat bahu. Tak peduli. “Cari aja yang baru. Gampang.”

Adriel geleng-geleng kepala. “Gaya itulah yang buat gue suka sama elo. Cuek abis dan selalu positive thinking. Gue heran kenapa belom ada cowok yang ngeliat kelebihan elo yang satu itu.”

Aku terkekeh. “Cowok yang kukenal cuma lihat cewek cantik aja kali.” Dan Adriel ikut terbahak.

Ini pertama kalinya aku keluar tengah malam dan aku kaget melihat suasana di malam hari justru lebih ramai daripada di siang hari. Cewek dan cowok berkumpul di satu tempat, mengobrol seru. Ada dari antara mereka yang bergerombol di atas mobil dan motor masing-masing.

Dunia malam adalah satu-satunya dunia yang belum pernah dilihat olehku dan ini mengejutkan. Kami masuk ke salah satu gedung yang gelap dan besar—kelihatan sangat tua dan jelek. Disana sudah berderet antrian yang sama antusiasnya dengan kami. Bedanya, mereka datang dengan rok mini dan baju yang pendek sementara aku dan Adriel cuma memakai kaos, jeket dan celana.

Kami masuk dan saling pandang melihat ramainya gedung yang sangat berbeda dari luar. Gedung itu cuma disinari dari lampu dari atas yang disorot kearah pentas yang tinggi. Cewek-cewek berebut untuk kedepan dan berteriak histeris menyebutkan nama personil.

“The Music Angel. Hazel vocal! Andre bassis! Rafa drummer! Mikho and Leo Guitar!”

“Mereka menyambut band atau boyband sih?” komentar Adriel.

Aku cuma bisa tertawa. Tak lama kemudian, band mereka naik ke atas panggung. Aku bisa mengenali Hazel, Andre dan Kian dari atas sini. Mereka kelihatan berbeda di atas panggung. Kelihatan berkilau. Seperti artis betulan. Aku malah merasa bangga pada adikku dan tak begitu terganggu dengan sinar yang terpantul dari anting dan rambut pirangnya—yang dicatnya kembali setelah beberapa hari berwarna hitam.

“Okay, everybody,” Hazel mengambil mic dan berbicara dengan nada dalam dan berbeda seratus delapan puluh derajat dari dia yang biasa di dapur, “It’s show time!”

Penonton berteriak seru dan mereka menggila dalam sekejap begitu musik dimainkan. Aku cuma bisa ternganga dan mengerjap takjub. Hoah. Pertama kalinya menonton konser dan pertama kalinya aku melihat kegilaan seperti ini. Mereka berteriak, melompat-lompat, ikut menari dan bahkan sampai menangis. Walau ekspresi mereka sangat aneh dan membuatku tak nyaman, aku bisa memerkirakan kalau band Andre memiliki banyak fans dan fans mereka menikmati musik mereka.

“See me, Girl. I’m right here. Let me hold you in my arms and I’ll never let you go… forever.”

Hazel menarik nada tinggi, membuatku mendecak kagum. Dia tak pernah menyanyi di dapur, jadi aku tak pernah tahu kalau dia punya suara sebagus itu. Keren. Keren sekali.

“It’s too late. This love is beginning. It’s too late. I’ll never lose you. It’s too late… I will be by your side and never let you fall apart… It’s too late… to late…”

Penonton ikut bernyanyi bersamanya, membuatku terbawa suasana. Lagu mereka benar-benar menyentuh hati. Lembut, tapi tidak cengeng justru sangat tegar. Itulah pendapatku. Lagu yang sangat bagus.

“Judulnya ‘It’s too late’, menceritakan tentang kisah seseorang pria yang mencintai seseorang gadis dan meminta gadis itu melihat perjuangannya.”

Aku kaget melihat Kevin sudah ada disamping kami dan menjelaskan dengan detail maksud lagu barusan. “Bos, kau benar-benar seperti ninja yang suka muncul tiba-tiba!”

Kevin menyingkirkanku ke pinggir. “Malam, namaku Kevin, aku Manager Amor Café, siapa namamu?” dia tidak memedulikanku dan mencari kesempatan yang sangat tepat untuk bertemu Adriel.

“Adriel, aku temannya Alex,” Adriel menjabat tangan Kevin.

“Bos,” aku menyeruak ke tengah. “Dia milik Ariel.”

Kevin memonyongkan mulutnya. “Aku kan cuma mau kenalan. Bentar lagi Ariel sama Felix kemari. Mereka lagi di jalan katanya.”

Aku manggut-manggut. Kami kembali mendengarkan konser musik The Music Angel—begitukan mereka menamai band mereka?—dan kembali terhanyut dengan suara Hazel. Jika kuperhatikan, mereka tidak membawa musik mereka dengan lembut ataupun keras jadi bisa masuk ke semua penonton.

He. Aku jadi penasaran bagaimana mereka bisa menciptakan lirik-lirik yang begitu manis dengan komposisi sempurna.

“Cerita kita berakhir disini. Kucoba tuk lupakanmu. Kucoba tuk lupakan senyumanmu. Kucoba lupakan kenangan, bayangan dan cinta. Tapi lagi-lagi (lagi-lagi) kugagal (kugagal) dan menyerah. Tapi lagi-lagi (lagi-lagi) yang kuingat justru sentuhan lembutmu. Ah… aku menyerah… ah… aku tak bisa… ah… aku menyerah. Hatiku tak bisa bohong. Mata tak bisa menipu bahwa diri ini masih cinta kamu dan mengikuti sosokmu yang begitu indah. Ah… aku menyerah… ah… aku tak bisa… ah… aku menyerah. Hatiku tak bisa bohong.”

Tapi konsentrasiku menonton tiba-tiba buyar ketika Adriel mendorongku sampai aku jatuh. Ah, tidak, aku salah, tapi Adriel tak sengaja mendorongku melainkan dia mundur mendadak karena ada seorang gadis yang baru saja bertengkar dengannya.

Detik berikutnya yang kulihat, mereka teriak-teriakan dan saling jambak. Aku melotot. Apa yang sebenarnya terjadi?

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.