RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 29 Mei 2011

Ocepa Kingdom Eps 29

Dua puluh sembilan

Amor memberikan hormat dengan bungkukan rendah saat Raja Joseph, Jendral Rodius, Aries, keempat pangeran dan yang lainnya bergabung di luar penjara, di bawah sinar matahari. Sekumpulan prajurit yang berbaris membuat mereka bingung. Ada yang aneh.

“Ada apa ini?” kata Jendral Rodius.

“Maafkan kami, Jendral, kami terpaksa harus melakukan ini walau kami tak mau. Kami hanya berpura-pura menangkap kalian, Raja Glenn bilang akan lebih baik membawa kalian semua ke istana dalam keadaan tertangkap daripada dibawa masuk mendekati istana, karena rakyat yang masih pro dan para bangsawan akan mengira ada penyerangan.”

“Tunggu, Glenn katamu? Glenn yang merencanakan ini?” Willy tampak percaya.

“Benar, Pangeran dan hasilnya bagus, walau saya sedikit merasa bersalah karena Pangeran Charlie…” dia melirik takut pada Charlie.

“Aku tidak apa-apa, Kolonel.”

“Awalnya kami juga khawatir keselamatan Anda tapi seperti yang sudah direncanakan Raja Glenn, Elvius tak mungkin bertindak pada saat hari penobatannya dan dia meminta kita tetap melaksanakan misi yang sudah direncanakan sebelumnya.”

Aries mendengus, walau jengkel pada Glenn namun dia takjub pada pemikiran Glenn yang tidak terduga. Dia memang ahli memperdaya orang. Pantas saja dia begitu disayangi Raja Alexandro. Strateginya benar-benar luar biasa.

Aku? Aku mengontrol jalannya permainan.”

Aries tersenyum saat mengingat kalimat Glenn sebelumnya. Dia benar-benar pemain yang baik. “Baiklah. Kita lakukan misi kita. Kalian bersiap ke posisi masing-masing. Istana ini akan jadi milik kita. Itu sudah pasti!”

Mereka berpencar sesuai dengan rencana awal yang sudah dirancang. Willy memimpin prajuritnya beserta dengan Amor yang siap menerima perintahnya menuju gerbang perbatasan. Louis dan Charlie menghadapi pasukan yang masih membela Elvius di luar dan Christian bersama dengan dua kolonel lain menyusup ke beberapa pintu jebakan, mengawasi adanya bangsawan yang kabur.

Suasana kacau mulai terbaca ketika para prajurit yang berjaga di luar merasa ada yang tak beres ketika melihat kerumuman prajurit yang dipimpin Louis melewati lapangan rumput. Kejadian yang tak diinginkan pun terjadi, mereka yang pro pada Elvius melawan sekuat tenaga dan trompet panjang berbunyi.

Pertikaian di luar aula sama sekali tidak terdengar ke dalam istana karena bunyi musik yang dimainkan. Louis menusukan pedangnya dengan tajam dan melompati tubuh-tubuh berlumuran darah. Amor menangkis serangan yang mengarah padanya dan dan seketika itu pula, mereka berhasil menembus pertahanan ke aula.

Louis menendang pintu tepat pada waktunya ketika panatua kerajaan hendak memberikan pemberkatan terakhir pada Elvius. Kepanikan di wajah panatua kerajaan menjadikan hiburan tersendiri bagi Louis.

“Pemberontakan, Elvius!” Louis berteriak. “Kami tidak menerima adanya Raja baru!”

Keadaan tak terkontrol dimulai. Dalam waktu sepersekian detik, Elvius sudah melompati anak tangga dan kabur semenatar jerit kepanikan dari para bangsawan yang datang hampir merusak langit-langit. Kacau! Mereka berhamburan ke segala arah, membuat Louis kehilangan pandangan dari Elvius.

“Kalian, amankan para bangsawan!” Louis berteriak, memberikan komando yang rasanya hampir menghabiskan persediaan suaranya. Dia berlari menabrak bangsawan-bangsawan itu, mencoba mengejar Elvius, namun dia sendiri tak bisa bergerak.

***

Hal pertama yang diingat Jeremy saat Louis memasuki aula adalah Elvius kabur secepat yang dia bisa dan para bangsawan berlari tidak karuan sementara para prjaurit lain mencoba menenangkan mereka. Rasanya akan butuh waktu yang lama untuk menghilangkan memori buruk ini. Para utusan kerajaan dan bangsawan itu akan menancapkan memori ini ke dalam otak mereka masing-masing, menganggap kalau Negara ini benar-benar sudah gila.

Namun Jeremy sama sekali tidak ingat tentang Elvius, Louis, nama baik Negara ini ataupun apa yang terjadi di luar sana, karena ketika dia mengetahui kalau suasana kacau hanya dalam waktu sedetik, kakinya secara refleks berlari dari aula. Entah apa yang dia takutkan.

Terengah dan kehabisan napas, Jeremy berlari dan melesat melewati lorong-lorong panjang. Dia mencari ruangan Erold, ruangan yang menyekap Glenn. Dalam keadaan seperti ini, tentunya dia punya kesempatan untuk membebaskan Glenn, apalagi perhatian Erold sedang teralih pada kelompok anti-pemerintah. Walau dia sedikit bertanya-tanya kenapa Louis bisa bebas dan Amor ada di pihaknya, dia sama sekali tidak memikirkannya.

Jeremy berhenti dan wajahnya diliputi kekecewaan ketika dia mendapati kalau ruangan itu kosong, bahkan jeruji yang ada di ruangan itu hanya meninggalkan rantai yang berantakan. Tidak ada Glenn di dalamnya.

“Jeremy!”

Dia menoleh dan mendapati Duan ikut-ikutan masuk.

“Duan, kenapa kau ada disini?”

“Kupikir aku bisa membebaskan Glenn. Dimana dia?”

Jeremy menggeleng.

“Apa dia kabur?” kata Duan lagi.

Lagi-lagi Jeremy menggeleng. “Tapi semoga saja.”

“Aku akan cari dia. Kau?”

Jeremy menggigit bibir. “Aku akan ke tembok pertahanan. Tugasku disana.”

Mereka berdua keluar dan berlari di ke arah berlawanan.

***

Elvius melepas jubah panjang yang menghalangi kecepatannya berlari, kemudian dia mengambil pedang yang tergantung di dinding. Berkat kekacauan itu, dia berhasil melarikan diri. Kepanikan meliputi dirinya. Bagaimana mungkin para keturunan raja itu bisa kabur dari penjara yang dijaga ketat? Memaki jengkel, Elvius menarik pedangnya, jika mereka hendak berperang, maka itulah yang akan mereka dapat. Elvius berjalan melewati ruangan.

“Mau kemana, Penasehat?”

Kaki Elvius berhenti melangkah. Suara yang baru didengarnya barusan mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang sudah seharusnya meninggal, dua bulan lalu.

“Anda terburu-buru sekali. Bukannya sekarang kita sedang berpesta?”

Suara itu seakan-akan datang dari tempat yang jauh. Elvius memutar dan tenggorokannya terasa kering ketika melihat kalau Glenn ada di belakangnya. Dia keluar dari balik lorong sempit. Elvius luput melihatnya sehingga tidak melihat Glenn ada disana.

“Y-Yang Mulia Glenn…” desahnya tidak percaya.

Glenn tersenyum kecil.

Elvius melihat kakinya, memastikan kaki Glenn menginjak tanah, bukannya melayang.

“Anda… bagaimana mungkin…”

Glenn masih tersenyum.

“Aku tidak mati dengan mudah hanya karena racun dan tusukan, Penasehat.”

Elvius menelan ludah. Rasanya ruangan itu menjadi dingin beberapa derajat. Elvius melonjak kaget ketika pintu terbuka dan Erold masuk sambil berteriak kaget.

“K-K-kenapa—” Erold memelototi Glenn. “Y-Y-Yang Mulia-G-Glenn?”

Elvius menarik napasnya. Ini kesempatannya untuk membunuh Glenn sekali lagi dan memastikan kalau Glenn mati di tangannya. Elvius mengangkat pedangnya.

“Kau benar-benar menyusahkan, Pangeran. Bagaimana mungkin kau bisa selamat dari perburuan itu?” kata Elvius.

Glenn masih tersenyum.

“Aku punya banyak nyawa, Penasehat. Aku punya bagitu banyak orang setia yang mendukungku dari belakang bahkan bersedia mati demiku.”

Elvius tersenyum.

“Begitu. Kalau begitu tidak ada yang akan menyelamatkanmu kali ini, Pangeran. Kali ini akan kupastikan kau mati di tanganku. Tahta itu milikku, tak akan kubiarkan seorangpun mengambilnya dariku.”

Glenn geleng-geleng kepala. Dia kelihatannya tidak terkejut, malah sebaliknya, dia sangat santai menanggapi sikap Elvius.

“Anda benar-benar tidak mengerti posisi Anda, Penasehat. Anda yang sendirian di ruangan ini. Tapi karena aku tidak suka main keroyokan, maka aku akan menonton saja.”

“Apa maksudmu?”

“Lawan Anda bukan aku, tapi Erold.”

Elvius mencerna kalimat Glenn. Lawannya bukan Glenn namun Erold. Apa maksudnya? Erold berada disisinya selama ini. Dia sudah sangat setia selama hampir dua puluh lima tahun kepada dirinya, bahkan sejak dia keluar dari istana.

Erold menarik pedangnya, membuat Elvius semakin tidak mengerti.

“Erold, kau mengkhianatiku?” geram Elvius.

Erold tidak tersenyum. Wajah kekanak-kanakannya berubah menjadi menyeramkan. Tidak ada keramahan yang biasanya terpancar disana. Erold mengacungkan pedangnya pada Elvius yang masih diam mematung.

“Andalah yang terlebih dahulu mengkhianatiku, Ketua.”

Elvius menyipitkan matanya. Tidak mengerti.

“Apa maksudmu? Aku mengkhianatimu? Aku masih seperti dulu.”

Erold berusaha membuat suaranya terkendali.

“Ya, Anda masih seperti dulu. Haus kekuasaan.” Erold mendesis. Dia memegang mantap pedangnya. “Aku akan setia sampai mati padamu, aku sudah bilang sebelumnya namun aku tidak akan terima kalau kau memperlakukanku seperti ini.”

“Aku masih tidak mengerti apa maksudmu, Erold. Apa yang kulakukan padamu?”

Erold tersenyum geram.

“Oh, kau lupa?” katanya jijik.

Elvius mengerutkan dahi.

“Apa kau lupa kalau dua belas tahun lalu Rofulus mati?”

Elvius masih tidak mengerti. “Dia gugur, seperti yang dialami pejuang yang lain.”

Erold menggertakan gigi.

“Jangan bercanda. Aku melihat kau membunuhnya. Kau menusukan pedangmu padanya ketika dia mencoba menyelamatkan salah satu anggota kerajaan. Seorang anak kecil yang diramalkan akan menjadi pemimpin negeri ini.”

Elvius menelan ludah. Tidak mungkin. Di malam itu dia jelas-jelas memastikan tidak ada saksi mata.

“Aku menunggu datangnya hari ini, Ketua. Tak akan kubiarkan kau menjadi Raja atas negeri yang harusnya menjadi milik Rofulus!”

Erold menyerang Elvius dan Elvius menangkisnya. Pedang mereka berlaga, memercikan bunga api. Glenn memilih mundur. Dia membiarkan mereka bertarung. Ada hal-hal yang tidak boleh menjadi urusannya. Ini adalah kebanggan Erold. Salah satu janjinya pada Erold yang harus dia penuhi sejak tujuh tahun lalu.

“Kau tidak mengerti Erold! Rofulus tidak pantas menjadi Raja!”

“Dia lebih pantas daripadamu!”

Erold menyerang membabi buta.

“Dia berubah sejak dia masuk ke istana! Apa kau lupa? Dia sama sekali tidak punya ambisi hanya karena terlalu lama bersama dengan anak kecil! Dia jadi lemah! Dia tak punya kesempatan jika berubah menjadi seperti itu!”

Elvius berteriak, menusukan pedangnya dan mengenai pergelangan tangan Erold.

“Rofulus bilang kalau dia sama sekali tidak menginginkan tahta itu lagi! Dia sudah gila! Bertahun-tahun perjuangan yang kujalankan akan jadi sia-sia hanya karena keegoisannya!”

Erold menyeka darah yang keluar dari tangannya.

“Itu berarti dia mengerti alasan menjadi raja yang baik. Bagaimana mungkin aku tidak bisa memercayai sahabatku? Dia tahu apa yang dia lakukan! Tidak pernah sekalipun aku melihat dia melakukan kesalahan! Bagaimana mungkin kau bisa berpikir kalau dia akan mengkhianati kita?”

Erold menyerang lagi. Elvius menghindar, memberikan pukulan ke wajah Erold.

“Sahabatmu itu tidak mengerti dia ada dijalur yang mana! Dia lupa harus setia pada siapa! Jika dia ingin menjadi raja di negeri ini, maka dia harus membunuh seluruh anggota kerajaan agar tidak ada seorangpun yang bisa mengambil alih kekuasaannya! Aku membantu dia, kau tahu! Dia saja yang bodoh! Kenapa dia melindungi anak kecil itu? Anak itu membuat keadaan jadi sulit! Aku cuma mengambil keputusan yang tepat.”

Erold menebaskan pedangnya dan Elvius terlempar ke belakang. Dadanya koyak dan darah merembes ke lantai.

“Harusnya kau membiarkan saja anak itu pergi, jika tidak keadaan tidak mungkin jadi seperti ini. Kau orang yang tak punya hati! Bagaimana mungkin kau bersedia membunuh anak kecil yang tahu apa-apa?”

Mereka kembali bertarung. Memperjuangkan hal yang sangat penting bagi mereka. Sejak dua belas tahun yang lalu.

***

Istana Aclopatye, 12 Tahun Lalu

Erold memberikan kode pada Rofulus agar mendekat. Rofulus meninggalkan Pangeran Christian dan Glenn yang bermain di lapangan rumput. Wajah anak-anak mereka kelihatan berseri.

“Ada apa?” Rofulus berbicara dengan nada tak suka. “Berapa kali aku harus bilang padamu, jika kau ingin bicara padaku, kau tak harus datang ke istana? Akan ada orang yang mencurigaiku, apa kau tahu itu?”

“Tenang saja. Tidak ada yang mengetahui keberadaanku,” Erold menepuk bahunya, tersenyum bersemangat. “Aku cuma ingin menyampaikan kalau malam ini kita akan menjalankan rencana kita. Tinggal selakangkah lagi, Rofulus dan kau akan menjadi Raja di negeri ini.”

Rofulus menghela napas dan melirik kearah Pangeran Christian dan Glenn. Pangeran Christian mencoba menerbangkan layangan miliknya. Dia berlari cepat dan jatuh. Erold memegang bahu Rofulus ketika dia hendak mendatangi mereka.

“Akhir-akhir ini aku merasa kau sedikit aneh. Jangan terlalu dekat dengan anak kecil itu,” kata Erold melihat arah pandang Rofulus. “Kau lupa kalau dia keturunan Denmian? Malam ini kita akan membunuhnya.”

Rofulus menyingkirkan tangan Erold. “Pangeran Christian berbeda dengan anak-anak lain, bahkan dia sangat berbeda dengan Glenn.” Rofulus menghela napas lega ketika Glenn menolong Pangeran Christian dan Pangeran Christian tertawa lepas, pakaiannya kotor dan mahkota di dahinya miring. “Peramal istana bilang kalau dia akan menjadi pemimpin di Ocepa suatu hari nanti.”

“Kalau begitu peramal itu salah karena hari ini kisahnya akan selesai,” tukas Erold. “Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, Rofulus. Aku tidak pernah lagi mendengar kau bercerita soal rancangan-rancangan hebatmu pada Negara ini.”

“Pangeran Christian percaya kalau aku adalah Ayahnya. Dia percaya kalau aku menukarnya dengan Glenn.”

“Apa?” Eorld kaget. “Kau gila?”

“Dia juga tahu kalau aku pengkhianat.”

Erold geleng-geleng kepala. Menyudahi perkataan tak masuk akal Rofulus. “Dengar. Lupakan dia. Dia masih anak kecil. Dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia cuma menikmati apa yang ada dihadapannya saat ini. Kalau kau tidak segera menghapus keberadaannya sekarang juga, kau akan susah. Pikirkan Glenn, Rofulus. Pikirkan anakmu yang akan menjadi raja negeri ini, menggantikanmu, seperti yang kau impikan selama ini.”

Rofulus mendesah.

“Ya… mungkin…”

Dan malam tiba dengan sangat cepat. Kelompok mereka berhasil masuk ke istana dan melumpuhkan hampir separuh prajurit. Kepanikan mencekam terjadi di istana.

“Glenn!” Rofulus berteriak mencari Glenn yang menghilang. “Glenn! Glenn!” anak itu pasti sudah menangis ketakutan.

“Ayah! Ayah disini!”

Rofulus merasa bersyukur. Dia memeluk Glenn. “Ayo, Nak. Kita pergi dari sini.” Glenn melawan. Dia melepaskan tangan Rofulus.

“Bagaimana dengan Pangeran Christian?”

Rofulus mencoba berpikir positif. “Sudah ada yang akan menyelamatkannya. Kau tidak perlu memikirkannya. Secepatnya kita pergi dari sini.”

“Dia masih ada di kamarnya, Ayah! Aku meninggalkannya disana!”

Rofulus tak tahu harus mengambil keputusan apa. Tapi akal sehatnya tidak berjalan seperti yang direncanakan dan kakinya malah bergerak tanpa perintah. Dia berlari menarik Glenn, menaiki tangga berbatu, menghindari kerumunan prajurit yang berlari melawan dan para dayang yang berteriak panik.

Dia yakin. Dia percaya kalau Pangeran Christian pasti sudah tidak ada di istana Acloptye. Pasti akan ada kesatria ataupun prajurit yang mencari dan menyelamatkannya dan dia tidak mungkin ada di istana. Tapi, disudut hatinya yang lain ada suara yang mengusiknya.

Pangeran Christian masih ada disana. Dia masih menunggu….

Dia tak mungkin ada disana!

Dia anak yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari keluarganya. Dia selalu sendirian…

Sudah ada orang yang menyelamatkannya. Pasti!

Namun hati Rofulus serasa ditusuk ketika dia membuka pintu kamar Christian dan mendapati kalau Pangeran Kecil itu ada disana. Dia duduk menonton dari jendela kamarnya. Tidak ada kepanikan disana. Tidak ada rasa sedih disana. Dia seakan mengetahui kalau tidak akan ada pertolongan yang datang padanya.

“Pangeran-Anda-Anda masih disini?” terengah, Rofulus hampir menangis ketika mengetahui kenyataan kalau anak sekecil itu sama sekali tidak meminta pertolongan ketika bahaya menghampirinya. Bagaimana jika seandainya bukan dia yang datang tapi orang lain yang ingin membunuhnya? Bagaimana jika dia terlambat sedikit lagi dan melihat mayat anak kecil yang akhir-akhir ini masuk ke kehidupannya?

“Paman?” perhatian Pangeran Christian teralih. “Dua jam yang lalu aku mendengar ada suara burung pipit. Aku bingung karena tidak mungkin ada suara burung pipit yang berbunyi di tengah malam begini.”

Dia bahkan mengetahui kode penyerangan!

“Anda seharusnya pergi dari sini, Pangeran.”

Pangeran Christian memiringkan kepalanya, menatap Glenn yang ada di belakang Rofulus. “Tidak, Paman. Aku disini saja. Paman sebaiknya cepat kabur bersama Glenn. Disini berbahaya.”

“Bagaimana mungkin aku membiarkan kau sendirian disini?”

Rofulus keluar kamar. Dia menutup pintu, memeriksa kondisi kamar. Dia turun secepat yang dia bisa. Kastil masih dalam keadaan kosong.

“Apa yang kau lakukan disini?”

Rofulus memaki ketika Erold mengagetkannya. “Erold!”

“Aku harus memeriksa tidak ada lagi orang disini. Kau cepatlah bawa Glenn pergi dari sini! Prajurit kita akan memenangkan pertandingan!”

Erold membaca tingkah Rofulus yang gelisah.

“Lupakan tentang kemanusiaan, Rofulus. Kita akan membunuh semua anggota kerajaan!”

Rofulus tidak peduli. Dia meninggalkan Erold dan kembali berlari ke kamar Christian. Semua orang akan dibunuh. Seluruh anggota kerajaan. Bahkan anak kecil yang tak tahu apa-apa, si Pangeran Bungsu, Pangeran Christian.

“Pangeran!” Rofulus Haistings menghampiri si Pangeran kecil yang menatap keadaan di ujung istana dari jendela kastil rumahnya. “Pangeran, Anda harus diamankan.”

“Paman, aku tinggal disini. Kurasa mereka tidak akan kesini,” kata si Pangeran membelakangi jendela dan menatap Rofulus yang berkeringat dan sesak napas kemudian kearah Glenn yang gemetaran.

“Pemberontak itu mengincar anggota kerajaan—”

“Walaupun aku ini Pangeran, bukan berarti aku memiliki tahta—”

Rofulus kelihatan kesal. “Dengar, Pangeran! Anda keturunan Raja walaupun Anda paling bungsu! Dan—dan—jika terjadi sesuatu pada Raja Joseph… ataupun pada yang lain… Andalah yang berhak atas tahta itu!”

“Aku tak tertarik jadi Raja,” katanya enteng.

“Nyawa Anda sedang dalam bahaya!” Rofulus tak tahu lagi harus bilang apa. “Saya tahu Anda masih anak-anak, tapi Raja Joseph mewariskan tahta itu pada Anda! Dan jika Anda mengerti maksud perkataan Raja Joseph dan saya yakin Anda mengerti, Raja Joseph mewariskan Anda kerajaan Ocepa karena dia tahu satu hal kalau Anda adalah orang yang luar biasa!”

“Aku bukan orang luar biasa,” kata si Pangeran jengkel.

“Memang! Itulah hal yang membuat Anda luar biasa, Anda tak mengatakan kalau Anda luar biasa! Anda rendah hati, Pangeran. Anda akan jadi Raja yang baik karena itu, bagi kami rakyat biasa, kami ingin Anda yang melihat keadaan kami. Kalau Anda tak yakin dengan kemampuan Anda menjadi Raja kenapa Anda tidak—”

Seiring dengan itu, terdengar suara dobrakan di seberang. Rofulus menegakan tubuhnya. Dia menelan ludah. Dengan cepat dia menggiring kedua anak kecil itu masuk ke lemari dan sembunyi.

“Apa yang kau lakukan?” Erold mendobrak pintu. “Kau lari dengan wajah panik dan kembali ke sini! Apa yang kau sembunyikan?”

Rofulus menelan ludah.

“Aku—”

“Berhentilah bersikap seperti ini, Rofulus!”

Rofulus memukul meja. “Kau tidak mengerti, Erold! Aku tak mau seperti ini! Bukan cara seperti ini yang akan menjadikanku Raja! Bagaimana aku bisa menghadapi rakyatku jika aku menjadi Raja karena membunuh raja sebelumnya?”

“Kau tidak perlu memikirkan hal itu! Sekarang pikirkan saja keselamatanmu dan Glenn! Keluarlah dari sini!”

Mereka terdiam ketika mendengar ada suara hantaman dari arah gerbang.

“Aku harus pergi. Aku sibuk! Aku akan datang lagi.”

Rofulus kembali mengunci pintu, kemudian membuka lemari. Kedua anak kecil itu masih ada disana. Ketakutan. Rofulus menarik Pangeran Christian dan menutup kembali lemari.

“Pangeran, kau harus keluar dari tempat ini. Kau mengerti?”

“Bagaimana dengan Glenn?”

“Dia akan baik-baik saja,” jawab Rofulus dengan suara bergetar. “Pangeran, kau harus kembali ke istana. Secepat yang kau bisa. Berjanjilah padaku, kelak, ketika kau sudah yakin kalau kau bisa menjadi Raja yang baik, kembalilah kemari. Selamatkan rakyatmu disini dan pimpinlah negeri ini dengan baik.”

“Tapi Paman—”

“Bersumpahlah padaku, Pangeran. Mulai saat ini, namamu adalah Glenn Haistings, Putra dari Rofulus Haistings, Pangeran Dominic.”

Pangeran Christian mengerutkan dahi.

“Aku rela memberikan nyawa Putramu untukmu, Yang Mulia. Kau mengerti?”

“Tapi—”

Rofulus tidak mendengarkan kata-kata Pangeran Christian karena dia kembali berdiri dan membuka lemari, mengatakan sesuatu pada Glenn dan menutup lemari dan menguncinya.

“Paman, Glenn bisa kehabisan napas—”

“Mulai saat ini dia adalah Pangeran Christian, kau jangan memanggilnya Glenn lagi. Mulai saat ini kau adalah Glenn. Ingat itu?”

Rofulus menarik tangan Pangeran Christian keluar dari kamar. Sulit sekali bagi anak sekecil itu menghindari langkah panjang Rofulus. Terengah, terpeleset dan keringat bercucuran, mereka menghindari kerumunan panik dari para dayang. Nyala-nyala api membara disekitar mereka.

“Rofulus!” Erold berteriak, memberikan tusukan tajam berbahaya pada salah satu prajurit. “Bagus. Segera bawa Glenn pergi dari sini—Tunggu sebentar!” Erold menarik tangan Pangeran Christian. Dia menatap Pangeran Christian lalu pandangannya beralih pada Rofulus. Tidak mengerti sama sekali. “Dia bukan Glenn!”

“Dia Glenn! Dia Putraku!” Rofulus menggunakan bahasa Axantos. Dia tak ingin mengetahui kalau Pangeran Christian mengerti pembicaraan mereka.

“Kau sudah gila?” balas Erold. “Kau ingin mengorbankan nyawa anakmu sendiri hanya untuk seorang Denmian?”

“Aku tahu apa yang harus kulakukan, Erold.” Rofulus menatap Pangeran Christian. “Aku tahu mungkin aku akan menyesali perbuatanku suatu hari nanti. Namun aku tak ingin membiarkan anak ini mati.”

“Rofulus—”

“Putraku ada di atas sana Erold. Aku mohon selamatkan dia. Mungkin aku adalah orang tua yang paling tidak berguna, tapi aku ingin sekali saja Glenn merasakan bagaimana rasanya memiliki keluarga yang utuh.”

“Tapi, Rofulus—”

“Tapi itu semua keputusanmu, Erold. Aku pergi.”

Rofulus kembali menarik Pangeran Christian. Dia menggendong Pangeran Christian secepat yang dia bisa ketika melangkahi mayat. Rofulus dapat merasakan gemetaran yang dia rasakan saat menyentuh kulit anak kecil itu dan dingin yang menjalar dari tangan kecilnya.

Mereka berhasil keluar dari istana. Rofulus tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi hutan lebih aman bagi Pangeran Christian saat ini. Dia menaiki kuda dan mengangkat Pangeran Christian dan mendudukannya ke depan. Anak kecil itu kehilangan keseimbangan. Mungkin karena dia belum pernah merasakan perasaan heroik seperti ini. Namun kuda mereka tidak dapat berjalan jauh ke dalam ketika sudah makin memasuki hutan yang gelap.

Suara panik dan teriakan dari istana masih terdengar samar. Rofulus turun. Kuda mereka sama sekali tak mau bergerak lagi karena kegelapan yang ada di hutan. Rofulus menurunkan Pangeran Christian yang pucat dan tidak mengucapkan sepatah katapun. Rofulus kembali menarik Pangeran Christian, melangkahi sulur tajam dan ranting-ranting menjalar.

“Hati-hati, Pangeran,” Rofulus menyingkirkan semak yang menghalangi pandangan, membantu Pangeran Christian melompati batang pohon yang jatuh. Menggenggam kuat lengan kecil Pangeran Christian, Rofulus menyingkirkan ranting dan merobek pakaian Pangeran Christian yang luput menghindar.

“Pangeran, aku akan—”

Rofulus menyipitkan matanya, menajamkan indera pendengarannya. Secepat kilat, dia menggendong Pangeran Christian dan menariknya sembunyi ke pepohonan. Rofulus memberikan kode pada Pangeran Christian agar dia diam dan Pangeran Christian mengangguk.

Seseorang mendekat dan berhenti di tempat mereka tadi berada. Sebuah bayangan gelap yang cukup besar. Dia menunduk, mengambil robekan pakaian Pangeran Christian yang tertinggal dan memperhatikan patahan ranting.

“Rofulus, aku tahu kau ada disana. Kenapa kau tidak keluar saja bersama dengan anak kecil itu?”

Rofulus tersentak ketika orang itu melempar batu tepat ke arah pohon dimana mereka bersembunyi. Rofulus menggigit bibir, melirik Pangeran Christian—yang menutup mulutnya dengan kedua tangan kecilnya—dan menghela napas. Dia meletakan Pangeran Christian dan keluar, membelakangi Pangeran Christian.

“Ketua…”

Elvius berdiri, tersenyum menenangkan pada Rofulus. “Keluarkan anak itu, Rofulus, aku ingin melihatnya.”

Rofulus melirik Pangeran Christian.

“Maaf, Ketua. Aku tak bisa.”

Elvius melirik ke belakang punggung Rofulus. Dia tak dapat melihat apa-apa selain tangan kecil Pangeran Christian yang memegangi ujung jubah Rofulus. Elvius melangkah mendekat, namun Rofulus segera menarik pedangnya.

Elvius tertawa.

Please, Rofulus, jangan seperti ini,” katanya. “Bukankah kita sudah saling memercayai selama ini. Ayolah, aku cuma ingin melihat anak kecil itu. Siapa dia?”

“Tolong, Ketua, Andalah yang seharusnya tidak memaksaku,” Elvius mundur, mengawasi pedang Rofulus. “Aku sudah mengatakan padamu bukan, aku tak ingin ada anak-anak yang mati saat kita menginvasi istana.”

“Mereka akan tubuh besar, Rofulus. Jika kita tidak membereskan anak-anak itu, merekalah yang akan menggulingkanmu.”

“Aku orang yang berpendirian tetap, Ketua. Jika kau ingin aku menjadi raja yang baik, seharusnya sebagai pengikut, kau menurut padaku, ya kan, Ketua?”

Elvius menggertakan gigi.

“Apakah anak itu lebih penting daripada Negara ini, Rofulus?”

Rofulus terdiam beberapa saat. Dia melirik ke belakang, menatap Pangeran Christian yang tampak ketakutan. “Negara ini penting, Ketua. Namun dia mengajarkanku untuk mengetahui bahwa dunia tidak selalu seperti yang kita inginkan. Dia mengajarkanku kalau ini bukan perang antara Denmian dan Dominic.”

“Apa?”

Rofulus melepaskan tangan kecil Pangeran Christian. “Pangeran, lari dari sini. Secepat yang kau bisa.” Rofulus mengangkat kembali pedangnya. “Aku akan melindungi apa yang menurutku sangat penting bagiku saat ini, Ketua. Jadi jika kau tidak membiarkan anak ini pergi, maka aku yang akan menjadi lawanmu.”

“Rofulus…” Elvius kelihatan jengkel. “Aku tak ingin bermusuhan denganmu hanya karena anak kecil.”

“Kau biarkan dia pergi dan lupakan masalah ini.”

“Kau itu bukan kesatrianya, Rofulus.”

TRANK

Rofulus menangkis tepat pada waktunya. Elvius tiba-tiba menyerang, menganggetkan Pangeran Christian.

“Lari, Pangeran! LARI!” Rofulus berteriak.

“Biarkan aku yang membunuhnya jika kau tidak bisa, Rofulus!”

Rofulus melawan, menghindar cepat ketika Elvius mengincar lehernya. Gerakan penyerangan yang ditunjukan Elvius membuat Rofulus menyadari sesuatu. Sejak awal Elvius memang berniat membunuh mereka berdua.

“Aargh…”

Elvius mundur, memegangi lengannya yang berlumuran darah.

“Pangeran… Pangeran… kau harus hidup… kau mengerti? Kau harus kembali… aku sudah mengorbankan putraku untukmu… karena itu…” Rofulus terengah.

“Paman, aku tidak mau jadi Raja! Aku sama sekali tidak yakin kalau aku...”

“… kau punya kemampuan untuk itu… aku salah… ini bukan masalah antara Dominic dan Denmian…” Rofulus menggertakan gigi. “Sekarang lari, Pangeran! Lari!” Pangeran Christian tersentak kaget. “Lari yang jauh! Jangan melihat ke belakang!”

Pangeran Christian bergerak. Dia berlari menjauh, menghilang di kegelapan.

“Kau pikir kau bisa menghalangi kematian anak itu, Rofulus?”

Rofulus menangkis serangan Elvius. Suara pedang mereka beradu seru. Berlulang kali terlihat percikan api.

Dia tak boleh menangkap Pangeran Christian

Zleb…

Rofulus memuntahkan darah, pedang Elvius baru saja menembus rusuknya. Elvius menarik kembali pedangnya dan darah segar memuncrati pakaiannya. Rofulus terduduk dan Elvius kembali menebaskan pedangnya ke punggung Rofulus. Rofulus jatuh, berlumuran darah.

“Kau bodoh, Rofulus. Andai saja kau menyerahkan anak itu padaku, kau tak akan mengalami hal seperti ini.”

Elvius tersenyum sinis dan melewati tubuh Rofulus yang tak bergerak. Dia berlari masuk ke dalam hutan, mencari Pangeran Christian. Rofulus tak bisa bergerak, bertetes-tetes darah keluar dan mengalir membasahi tanah yang lembab. Entah kenapa dia bisa merasakan dinginnya udara dan desahan napasnya yang putus-putus. Dia juga dapat mendengar suara langkah dan teriakan dari kejauhan. Malam yang gelap itu justru terasa semakin gelap.

Apa sebenarnya yang dia lakukan? Melibatkan dua orang anak kecil dalam masalah yang mereka sendiri tidak tahu. Dia meninggalkan Glenn di lemari, sendirian dan gemetaran di tengah peperangan yang mengganas. Dia memang Ayah yang buruk, bahkan sampai saat ini dia tak ada disisinya. Mungkin kasih sayangnya beralih pada Pangeran Christian, entah bagaimana bisa anak sekecil itu bisa melakukannya.

Awalnya dia hanya ingin memanfaatkan anak kecil yang tak tahu apa-apa itu, untuk menggantikan posisi Pangeran menjadi milik Glenn. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dia tahu seberapa tidak pedulinya anak itu. Dia begitu polos dan jujur, juga kesepian…

Benar, Rofulus mengetahui seberapa besar kekosongan di hati Pangeran Christian. Dia dapat melihatnya dari mata anak itu. Walaupun Pangeran Christian berusaha menyembunyikan dengan senyumannya, Rofulus tahu hal itu. Sekarang dia malah mengarang kebohongan yang tak akan pernah diungkap. Dia akan mati dengan membawa rahasia itu. Bagaimana mungkin Pangeran Christian bisa memercayai kalau dia adalah Ayahnya?

Dia ingin sekali memberitahu Pangeran Christian kalau pada waktu pemberian permata kerajaan tidak ada penukaran. Permata kerajaan milik Glenn adalah hasil curian dari milik Pangeran Christian yang saat itu memiliki permata kembar yang sama dan permata itu diberikan pada Glenn hanya untuk membuat Glenn sebagai bagian dari kerajaan, hasil keegoisannya.

“Pangeran…” air matanya menetes. Kekahwatirannya pada anak kecil itu membuat luka tersendiri baginya. “Pangeran…”

“Rofulus.”

Di tengah kesadarannya yang semakin menipis, dia melihat Erold. Wajah Erold tampak pucat, khawatir dan kelelahan, bahkan hampir menangis.

“Erold…”

Rofulus dapat merasakan dinginnya tangan Erold yang berlumuran darah.

“Elvius, aku akan membunuhnya karena berani membuatmu jadi seperti ini,” gigi Erold gemertakan menahan amarah. Kegeraman tampak jelas di wajahnya.

“Erold…”

“Tenanglah, aku akan membawamu pada Tabib. Kau akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja, oke?” suara Erold bergetar saat dia melihat darah merembes dari leher Rofulus. Pantas saja dia susah bicara bahkan mengambil napas.

“Erold…”

“Aku disini, aku disini.”

“Pangeranku…”

“Glenn baik-baik saja.”

“Christian…” Rofulus tampak susah payah menyebut nama itu. “…dia… harus selamat… Erold…”

“Kau jangan pikirkan dia. Pikirkan anakmu Rofulus.”

“Pangeranku… dan anakku… Erold,” Rofulus menarik napas. Dia mengangkat tangannya, memegang tangan Erold sementara dia merasa kalau udara disekitarnya semakin menipis. “…jaga mereka… untukku…”

“Apa maksud—Rofulus?”

Erold terdiam karena shock ketika mengetahui kalau Rofulus tidak bergerak lagi. Dia, dengan tangan gemetar, memegang urat nadi Rofulus. Tidak ada yang berdenyut. Air matanya menetes tepat ke wajah Rofulus yang meninggal. Erold memeluk Rofulus, tubuhnya gemetar menahan kemarahan, kesedihan dan kekecewaan disaat yang bersamaan.

“Pangeranku… dan anakku… Erold…”

“Aku akan membunuh Elvius. Aku pasti akan membunuhnya untukmu.”

Erold meletakan mayat Rofulus, mengusap dahi Rofulus dengan kasih sayang untuk terakhir kalinya, lalu dia bangkit dan berlari masuk ke hutan. Dia tak tahu harus berlari kemana, dia juga tak tahu harus mencari kemana, yang dia tahu kakinya membawanya lari semakin lama semakin masuk ke dalam hutan. Kemarahan membuatnya lebih cepat bergerak dan kegelapan tidak menghalanginya.

“Erold, kau ada disini?”

Erold berhenti dan berbalik. Elvius ada di belakangnya beserta dengan yang lainnya.

“Ketua belum kembali juga dan aku mencari Rofulus. Kupikir…”

“Aku tidak melihat Rofulus,” Elvius menghela napas. “Dan kami kehilangan anak kecil dari kerajaan.”

Erold menggenggam erat pedangnya. “Memangnya anak itu siapa?”

“Pangeran Christian, salah satu kandidat kuat yang akan menjadi Raja.”

Erold mencoba menahan emosinya yang menaik melihat pedang Elvius dan jubah Elvius yang berlumuran darah. Darah Rofulus. “Tapi Pangeran Christian masih ada di istana. Ada beberapa kesatria yang baru saja menyelamatkannya.”

“Apa?” Elvius tampak terkejut. Merasa dibodohi. “Lalu siapa yang kita kejar dari tadi?”

“Mungkin Pangeran Glenn?” Erold mencoba pura-pura tak tahu. “Pangeran juga ada di istana bersama dengan Rofulus kan?”

Elvius tersadar. “Ah, benar juga.” Dia menjentikan jarinya. “Kalau begitu kau cari anak itu, Erold, kupikir dia akan lebih menurut karena kau teman Ayahnya.”

Erold berusaha menarik ujung-ujung bibirnya. “Um… aku tidak tahu wajah Pangeran Glenn. Kami belum pernah bertemu.”

Elvius tampak kecewa.

“Kalau begitu biar yang lain saja yang mencarinya.”

“Ah, aku akan juga akan ikut membantu. Aku menguatirkan Pangeran Glenn. Biar bagaimanapun dia anak sahabatku.”

“Baiklah. Rofulus pasti bangga sekali punya sahabat sepertimu.”

Erold tersenyum kecil dan mereka semua pergi dari hutan. Orang-orang itu memang sangat bodoh. Andai saja mereka lebih teliti, mereka akan menemukan Pangeran Christian yang bersembunyi di celah pepohonan. Erold sejak awal curiga ketika melihat ada semak yang berkumpul secara acak dan tidak beraturan di satu tempat. Di luar dugaan, ternyata anak itu cukup pintar. Namun Erold tidak mendatangi persembunyiannya tapi mengikuti yang lainnya, setidaknya saat ini tak akan ada yang mengincar nyawanya.

Penyerangan terhadap istana gagal karena Rodius mendatangkan pasukan terlatih dari tembok pertahanan dengan strategi yang sudah direncanakan. Sejak saat itu namanya menaik. Dan selang beberapa hari kemudian, Erold memutuskan untuk pergi dari kelompok dengan alasan shock berat akibat kematian Rofulus. Dia masuk ke hutan dan berharap tidak menemukan anak itu dalam keadaan mengenaskan disana.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.