RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 29 Mei 2011

Ocepa Kingdom Eps 26

Dua puluh Enam

Christian menatap makanan yang disodorkan padanya. Roti tawar yang masih baru dan hangat. Christian menatap laki-laki tampan yang menyodorkan makanan itu padanya dan menoleh kearah lain, sama sekali tidak berminat pada roti itu.

“Kau harus makan sesuatu. Aku tak ingin kau mati sebelum aku mendapat informasi darimu. Kau masih belum mau bicara juga?” katanya tersenyum licin ketika Christian tampak tidak memedulikannya. “Aku cuma ingin kau membawaku masuk ke rumah Jeremy, apa itu sebegitu susahnya buatmu? Ada yang ingin kubicarakan dengannya.”

Kau pikir aku percaya, Christian menanggapi dalam hati.

“Aku menghabiskan waktuku cuma untuk bicara sama orang bisu,” gumamnya jengkel. “Baiklah. Aku akan pakai kekerasan saat ini,” dia berdiri, menarik pedang yang tergantung di pinggangnya dan menyodorkannya dekat dengan leher Christian. “Sebenarnya aku paling tidak suka kekerasan. Namun kau sudah membuatku jengkel. Aku harus bertemu dengan Glenn saat ini—”

“Glenn?” Christian mengulang.

Mata laki-laki itu menyipit.

“Kau kenal dia? Kau tahu dimana dia?”

Christian tidak menjawab.

“Baiklah, sepertinya aku harus mengubah rencanaku terhadapmu,” dia kembali menyimpan pedangnya. “Kita bermain tanda tanya saja, begini permainannya, aku memberikan satu pertanyaan dan kau menjawabnya, lalu kau juga boleh bertanya satu pertanyaan dan aku akan menjawabnya. Kau setuju?”

“Setuju. Aku duluan. Kau siapa?” Christian menyambar duluan.

“Aku Kesatria. Kau kenal Glenn?”

Christian berteriak jengkel, “Jawab dulu pertanyaanku baru aku jawab pertanyaanmu!”

“Aku sudah jawab. Berhati-hatilah menggunakan kata. Kau bertanya siapa aku, bukan namaku. Kau kenal Glenn?”

“Siapa namamu?”

“Ini giliranku bertanya. Kau kenal Glenn?”

Christian terdiam. Ada sesuatu dalam dirinya yang terlihat seperti Glenn. “Ya.”

“Bagus. Dimana dia?”

“Ini giliranku. Ada urusan apa dengan Glenn?” Christian memilih untuk menekan rasa penasarannya tentang siapa dia. Cepat atau lambat Christian pasti akan mengenalnya.

Dia diam beberapa saat, mencari kalimat yang tepat. Sepertinya permainan tanda tanya ini semakin menarik. “Aku harus mengantarkan pesan penting padanya. Dimana dia?”

“Dia di desa yang aku tak tahu namanya. Sangat terpencil.”

“Lebih spesifik.”

“Kau harus bertanya itu di kesempatan selanjutnya. Pesan apa?”

Rahangnya mengeras ketika menjawab, “Aku tak bisa memberitahumu. Ini rahasia Negara. Apakah kau ada di pihak Glenn?”

“Ya.” Christian menjawab cepat.

“Bingo,” dia tersenyum penuh kemenangan. Christian mengerutkan dahi. “Apa kau tak sadar kalau kau baru saja menggali liang kuburmu sendiri?”

Jantung Christian berdegup kencang. “Apa maksudmu?”

“Beritahu aku dimana Glenn, kalau tidak aku akan memberitahu pada Ocepa bahwa ada kelompok anti-pemerintah yang sedang berencana menyerang istana. Kau lebih memilih kelompok anti-pemerintahmu itu gagal atau beritahu aku dimana Glenn?”

Christian tak habis pikir. Hanya dengan sedikit informasi saja, orang itu bisa tahu apa yang terjadi. “Siapa namamu?”

Dia tersenyum.

“Duan Moustique.”

Christian mau tak mau memilih untuk mengantarkan Duan menuju markas mereka. Dalam perjalanan Duan selalu memberikan peringatan kalau sebaiknya Christian jangan coba-coba kabur.

“Aku lebih hebat bermain pedang darimu, jadi jika kau coba macam-macam, aku tak akan segan-segan menebas kepalamu. Di misiku kali ini aku sama sekali tak ingin membunuh orang, jadi sebaiknya kau pikirkan posisimu. Mengerti?”

Benar. Dia tertangkap karena lengah. Awalnya Christian berpikir kalau Duan mengawasi rumah Jeremy, ternyata dia salah. Duan mengawasi dirinya. Saat itu Christian tidak menyadari kalau Duan mengikuti dia sampai ketika mereka hampir memasuki desa, Christian merasakan aura keberadaan Duan. Itu sebabnya dia berputar kearah yang lebih jauh dan Duan menyadarinya. Dengan entengnya Duan mendatangi dia dan menghadang jalannya.

“Kau teman Jeremy kan? Antar aku menemui dia.”

Karena Christian tidak mau, terjadilah pertempuran yang dimenangkan oleh Duan. Dia tertangkap dan Duan terus-menerus menyuruhnya mengantar dirinya ke rumah Jeremy. Sekarang Christian tahu alasannya. Semuanya karena Glenn. Duan mengikuti Jeremy karena Jeremy dekat dengan Glenn dan ada kemungkinan Jeremy mengetahui keberadaan Glenn. Namun Jeremy bukan orang biasa yang bisa ditemui segampang itu oleh seseorang seperti Christian karena itu Duan beralih target dari Jeremy menjadi Christian. Christian berteman dengan Jeremy yang bisa membawanya ke Glenn dan ternyata targetnya lebih singkat karena Christian ternyata mengenal Glenn. Semuanya jadi lebih gampang dari awalnya.

“Kau tenang saja,” kata Duan ketika mereka sudah mendekati markas. “Aku tak berniat membunuh Glenn ataupun memberitahu semua orang kalau dia masih hidup. Aku cuma mengantar pesan untuknya lalu pergi.”

Christian memutuskan untuk percaya. “Aku mengerti.”

Mereka menaiki bukit dan berjalan sekitar lima ratus meter lagi melewati rumput hijau sampai kemudian sebuah rumah besar dengan tenda-tenda dan gubuk-gubuk kecil kelihatan dari atas bukit. Sangat terpencil dan sulit ditemukan. Duan memuji ide kreatif mereka dan mengikuti Christian menuruni bukit. Belum lagi Christian mendekati markas, suara Jesse yang ada di atas menara terdengar hampir ke seluruh bukit.

“Christian pulang! Ketua, Christian pulang!”

“Kau begitu dirindukan,” sindir Duan melewati Christian yang menutupi wajahnya karena malu.

“Si bodoh itu, apa dia harus menyebut namaku keras-keras?” gerutu Christian.

Eldin berlari kearah mereka sementara yang lain menunggu di belakang gerbang. Raja Joseph bersama Charlie mengikuti dari mereka dengan senyuman kebahagiaan. Christian memutuskan untuk menyambut pelukan Raja Joseph.

“Syukurlah kau pulang. Syukurlah. Kau tak apa-apa kan?”

“Aku baik-baik saja, Ayah,” kata Christian.

“Kupikir kau akan kembali bersama Glenn. Dia siapa?” Eldin melirik Duan.

“Aku Duan,” Duan menjawab sebelum Christian menjawab duluan.

“Ada perlu apa kau kemari?” kata Charlie dengan nada berbahaya.

“Aku hanya ada keperluan dengan Glenn. Bisakah kau panggilkan dia?”

“Glenn tidak ada,” jawab Eldin lalu menatap Christian, “dia mencarimu, jika dia tak kembali dalam dua hari lagi, kami akan mencarinya. Darimana saja kau?”

“Aku ditangkap dia,” jawab Christian.

“Apa?” Raja Joseph terbengong.

“Kau masuk ke kandang singa, Bung,” kata Charlie.

“Aku tak keberatan di tahan disini selama yang kalian mau asalkan aku bertemu Glenn. Keberatan?”

Christian menyudahi aura permusuhan antara Charlie dan Duan. “Kita bisa mengawasinya, Kakak. Dia tak akan bisa kemana-mana. Dia cuma ingin bertemu dengan Glenn. Dia tak akan macam-macam.”

Duan melewati mereka dan berjalan terlebih dahulu. Dia melompati gerbang, melewati Louis dan Jendral Rodius sampai kemudian Aries menangkap lengannya.

“Aku tak pernah mengizinkan orang tidak dikenal masuk ke kawasan ini sebelum melapor terlebih dahulu padaku,” kata Aries. Duan menyingkirkan tangannya.

“Halo, aku Duan. Sekarang aku bisa masuk?”

Aries kembali memegang tangannya. “Ada perlu apa kau kemari?”

“Itu bukan urusanmu,” jawab Duan pelan.

Aries melepas genggamannya dan melipat tangan. Matanya yang berbahaya menatap Duan dengan tajam. “Aku adalah pimpinan disini, jadi aku berhak mendapat informasi dari siapapun yang masuk ke daerahku.”

“Bermimpi saja.”

Aries menggertakan giginya. “Kau membuatku habis kesabaran,” dia mengeluarkan pedang peraknya dari sarung. Duan tersenyum lalu mengeluarkan pedangnya juga.

“Guru,” Christian menyeruak ketengah. “Guru, jangan seperti ini oke? Dia cuma ingin menyampaikan pesan pada Glenn. Itu saja.”

“Anak Bodoh, bagaimana kalau ternyata dia adalah mata-mata? Kau seenaknya membawa orang tak di kenal ke camp ini. Aku akan menghukummu nanti.”

“Tapi, Guru—”

“Minggir,” Aries menyingkirkan Christian. Dengan cepat dia menyerang Duan namun Duan rupanya sama sigapnya, dia menangkis dengan handal.

TRANK

Pedang mereka yang beradu menimbulkan percikan api. Orang-orang yang tadinya sibuk dengan urusan mereka sendiri kini membentuk lingkaran, menonton pertunjukan. Aries kembali menunjukan permainan handal yang membuat penonton mendecak kagum, dan Duan sama hebatnya menangkis serangan dia.

SRING

Duan menghapus darah dari pipinya yang tadi sempat terkena ujung pedang Aries. Nyaris saja sebelum dia bisa menghindar.

“Mengakulah sebelum aku menebas kepalamu,” bisik Aries berbahaya.

“Tidak akan,” balas Duan. Sekarang giliran Duan menyerang. Dia sangat cepat dan tangkas, untuk ukuran orang tua seumuran Aries, menghindari serangan Duan yang tanpa ampun membuat dia kewalahan. “Berhenti mengerecokiku.”

“Aku Ketua disini,” geram Aries, dia menggerakan pedangnya, memberikan sedikit tipuan pada pergelangan tangan dan meluciti pedang Duan. Pedangnya terlepas dari tangan, menusuk tajam sejauh dua meter dari tempatnya dan Aries mengacungkan pedangnya pada Duan, tersenyum penuh kemenangan diikuti sorakan bawahannya. “Siapa kau?”

“Aku Kesatria.”

“Tampaknya kau tak paham posisimu, Anak Muda. Sudah kukatakan aku bisa melepaskan kepalamu dari tubuhmu sekarang juga.”

“Aku tak takut.”

“Kau—”

“Apa yang kau lakukan?” Lourian mendatangi Aries ke tengah arena pertandingan dan wajahnya kelihatan marah sekali.

“Apa lagi? Aku sedang menangkap mata-mata dan berniat menghukumnya,” kata Aries jengkel. “Jadi menyingkirlah dan jangan ikut campur.”

“Tentu saja aku harus ikut campur karena kau menodongkan pedangmu pada anakku. Bagaimana mungkin aku tak ikut campur?”

Aries tersenyum lalu wajahnya berubah jadi kaget.

“APA?”

“Apa yang kau lakukan di Ocepa?” kata Lourian pada Duan. “Kupikir kau sudah mati di Axantos.”

“Aku ada tugas disini. Ibu, kau mengenalnya?” kata Duan.

“Dia Ayahmu, Aries.”

Duan menatap Aries dengan tatapan tak percaya. Aries menurunkan pedangnya dan juga memelototi Duan.

“Aku tak pernah menyangka kalau aku punya Ayah seorang penghianat,” kata Duan dingin. Aries nyaris pingsan mendengarnya. Lalu dia menoleh pada Lourian dan menganggap Aries tak ada. “Ibu, kenapa kau tak bilang kalau kau kemari? Aku kesana-kemari mencarimu.” Lalu dia berhenti ketika melihat Stacy. “Dia siapa lagi?”

“Stacy. Dia jadi muridku untuk sementara ini,” gumam Lourian. “Dia gadis yang saat ini menyukai Glenn.”

“Jadi Glenn benar-benar ada disini kan?” Duan menatap Stacy beberapa detik lalu beralih pada Lourian. “Aku harus menyampaikan pesan padanya.”

“Tunggu sebentar,” Aries berhasil mengeluarkan suaranya. “Kenapa kau mengatakan alasan kau datang kemari padanya sedangkan padaku tidak?”

“Aku tak mau menceritakan apapun pada orang yang membuangku saat aku lahir. Jadi, Ibu, Glenn tidak apa-apa kan? Aku sudah dengar apa yang terjadi,” Duan kembali fokus pada Lourian dan mengikuti Lourian.

“Kita bicarakan ini di dalam. Bawakan itu,” Lourian menunjuk keranjang obat yang sedari tadi dipegang Stacy. Duan menghela napas dan mengambil paksa keranjang di tangan Stacy lalu mengikuti Lourian.

“Jadi, Ketua, kau membuang anakmu saat dia lahir?” Louis menopang dagu.

“Kelihatannya dia sangat membencimu,” tambah Charlie.

“Aku juga akan membenci orang yang membuang aku. Itu perasaan yang wajar.” Willy menyahut sambil mengangguk sok suci.

“Berhenti bergosip dan kerjakan tugas kalian,” geram Aries.

***

Louis menyingkirkan selimutnya dan mengubah posisi tidurnya. Pikirannya melayang pada kejadian tadi sore dimana Duan membantu Stacy membawakan keranjang obat. Louis bisa melihat kalau Duan sedikit tertarik pada Stacy. Kalau Stacy tidak memberi respon seperti pada pria lain sih tak apa, masalahnya gadis itu juga memberikan respon yang tak diharapkan. Wajahnya merona.

“Aarh.”

Willy menimpuknya dengan bantal. “Tidurlah, ini sudah larut.”

Louis bangkit, menggaruk-garuk kepalanya. Pikirannya sama sekali tidak mengizinkannya istirahat walau dia sangat lelah. Dia melangkah kearah jendela dan mendapati kalau Duan duduk di gerbang bersama dengan Stacy.

“Apa yang mereka lakukan?” kata Louis mencengkram jeruji jendela.

“Apa lagi sekarang?” gerutu Willy menuju Louis dan tak sengaja menginjak tangan Charlie yang tidur di bawah. Dalam sekejap, Charlie terbangun.

“Kalian ngapain sih tengah malam begini?”

Willy menutup mulut Charlie.

“Ah, Duan pergi,” gumam Louis mengawasi bayangan Duan yang turun dari pintu gerbang dan pergi, meninggalkan Stacy. “Apa menurutmu aku harus pergi menghampiri Stacy?” dia bertanya pada Willy.

Charlie menggeleng cepat, menyingkirkan tangan Willy dan menjelaskan, “Jangan. Ingat baik-baik tata krama. Laki-laki dan perempuan tidak boleh bersama apalagi di tengah malam begini. Kalau ada orang yang melihat, mereka bisa berpikir macam-macam.”

“Tapi Duan sendiri—”

Willy menepuk bahu Louis. “Kakak, pikirkan posisimu, jangan membuat Ayah kecewa. Oke?”

Tapi walaupun dibilang begitu, Louis sama sekali tak bisa tidur dengan tenang dan terus berjaga sepanjang malam. Pikirannya kembali terusik lagi saat Louis melihat Duan dan Stacy bersama-sama mengambil air ke sungai. Dengan cepat Louis menyeruak ke tengah mereka yang sangat akrab.

“Apa yang kalian lakukan?” kata Louis ramah.

“Ambil air. Kau mau bantu?” kata Duan datar.

“Tentu saja.”

Duan memberikan ember Stacy yang berisi air pada Louis dan berjalan terlebih dahulu. Louis menahan napasnya ketika menahan ember yang berat dengan susah payah. Butuh kekuatan penuh baginya untuk melangkah secara perlahan agar airnya tidak tumpah semua.

“Kau mau kubantu?” kata Stacy, memegangi ujung ember yang lain.

Louis menggeleng. “Aku—aku bisa sen—sendiri. Jangan kuatir.”

Stacy menoleh pada Duan yang sudah menghilang di balik bukit. “Kalau kita tidak cepat, Duan bisa kembali dan mengolok-olokmu.”

Louis hanya bisa mengeluh karena dia tak bisa menjadi super hero di depan Stacy dan Duan justru kelihatan semakin keren setiap kali Louis berniat membantu. Soalnya Louis kelihatan seperti badut tontonan. Dia kembali mengintip saat Duan masuk ke ruang obat, meletakan keranjang berisi rempah-rempah sementara Stacy memisahkan akar-akar obat ke tempat yang lain.

“Kudengar, kau salah satu gadis yang naksir Glenn,” kata Duan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Stacy tidak menjawab. “Apa sih yang kau suka dari dia?”

“Dia baik,” jawab Stacy singkat.

“Hanya itu? Kau tak suka wajahnya?” kata Duan tertarik.

“Suka. Tapi aku lebih menyukai hatinya,” Stacy mencabut akar ginseng dengan susah payah. “Kenapa kau bertanya seperti ini?”

“Kau tak sadar kalau Louis menyukaimu?” Duan mengalihkan pandangannya pada bungkusan rempah-rempah tepat saat Stacy menatapnya dengan penuh kekagetan. “Kusarankan lebih baik kalau menyerah saja soal Glenn. Dia tidak menyukai gadis yang lebih tua darinya.”

Ucapan yang sangat menusuk jantung. Stacy berdiri, wajahnya kelihatan marah. “Untuk apa kau mengatakan ini padaku. Apa karena kau menyukaiku?”

“Tch,” Duan melemparkan bungkusan yang dia pegang. Dia melirik Stacy, senyumannya sedikit menakutkan dan kelihatan merendahkan orang. “Siapa yang menyukaimu. Jangan salah paham. Aku membantumu karena Ibuku menyuruhku seperti itu. Lagipula kau tenang saja, aku tak tertarik pada perempuan.” Setelah mengatakan itu, Duan keluar.

Stacy menjatuhkan obatnya. Menganga tidak percaya.

***

Charlie melirik Louis yang termenung sendirian di dekat gerbang. Peter dan Eldin ada disisinya, mereka sedang memberi makan kuda. Jesse dan Willy sedang pergi ke desa, mencari informasi. Sejak dua hari ini Louis kelihatan tidak bersemangat karena kemunculan Duan.

“Kak, kau tidak mengajar?” Charlie menepuk bahu Louis.

“Aku tak bersemangat.”

Charlie segera duduk disampingnya. “Jangan begini cuma karena perempuan. Bersemangat sedikit, dong. Masih banyak wanita lain selain gadis itu.”

“Aku tahu.”

Charlie harus melakukan sesuatu. Tingkah Louis yang sering bengong membuatnya lebih khawatir daripada saat Louis sakit dua tahun lalu. “Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Kau tenang saja. Duan tidak tertarik sama sekali pada Stacy.”

“Bagaimana kau yakin?” Louis masih belum memberikan respon yang berarti.

“Tadi aku dengar pembicaraan Stacy dan Duan. Duan bilang kalau dia tidak tertarik pada perempuan.”

Louis mencerna kalimat itu dalam tiga detik. “Apa kau bodoh? Kalau dia tak tertarik pada perempuan, berarti dia tertarik pada laki-laki. Itu justru lebih berbahaya.”

Charlie menutup mulutnya. “Benar juga.”

Duan melewati mereka. Mata Louis menyipit berbahaya. “Menurutmu dia kesini benar-benar untuk menyampaikan pesan pada Glenn?”

Christian melompati gerbang dan menyusul Duan. “Kau mau kemana?”

“Keluar. Aku mau mencari Glenn siapa tahu dia ada di desa.”

“Kau tak boleh keluar dari markas. Apa kau tak dengar peraturan dari Guru Aries?”

Duan melipat tangan. “Kalau kau begitu takut aku kabur, kenapa kau tidak ikut saja menemaniku?”

Charlie berteriak. “GLENN”

Duan dan Christian melihat arah pandang Charlie. Jauh di ujung, ada titik kecil yang bergerak cepat. Christian menyipitkan matanya dan wajahnya kelihatan bahagia setelah dia mengenali bahwa Glenn kembali. Kedatangan Glenn memberikan dampak tersendiri, para prajurit lain juga ikut-ikutan berdiri dan menyambutnya turun dari kuda putihnya.

Aries memeluknya. “Kupikir kau akan tertangkap.”

“Aku sudah bilang kalau aku akan pulang,” bisik Glenn. Kemudian dia gantian memeluk Raja Joseph. Dan saat dia melihat Christian, dia berkomentar kecil, “Oh, kau sudah pulang.” Namun saat dia menemukan Duan, Glenn mengerutkan dahinya, “Apa yang kau lakukan disini?”

“Menunggumu. Tugas penting,” jawab Duan datar.

“Tugasmu sudah selesai kalau begitu?” Glenn membalas dengan nada datar juga. Aries mengerutkan dahi ketika melihat aura Glenn seketika berubah menjadi gelap dan tidak bersahabat.

“Asal kau tahu saja, aku juga tak suka bertemu denganmu.”

“Glenn, kau mengenalnya?” kata Christian.

“Kau bisa sampai disini, itu berarti kau mendapat tugas dari Axantos untuk Ocepa. Benar kan?”

“Kau membuang waktuku, berterimakasihlah sedikit.”

Glenn mendengus. “Kita bicara di dalam. Guru, kau juga ikut.”

Duan menutup pintu saat Raja Joseph dan yang lainnya hendak masuk. Raja Joseph menggedor pintu dan kepala Duan muncul dari balik pintu sambil berkata, “Maaf, Yang Mulia, kupikir ini masalah kami bertiga, jadi Anda lebih baik tunggu saja diluar sampai pembicaraan kami selesai. Lagipula, ini cuma masalah antara aku dan dia, bukan masalah Anda.” Lalu dia menutup pintu dan berbalik menghadapi Glenn.

Glenn melipat tangan. “Jangan berkata hal yang kejam begitu pada Raja.”

Duan menghela napas. “Aku tak ingin beradu pendapat denganmu saat ini.” Duan melewati Glenn mengawasi jendela tempat yang lain mengintip lalu menyibakan tirainya dan melirik Glenn. “Kau harusnya mengetahui apa itu privasi.”

Glenn memilih untuk tidak mendengarkan dan duduk berhadapan dengan Aries. Aries memberikan tatapan yang meminta Duan untuk mendekat. Tak ada yang bisa dilakukan Duan selain menurut.

“Kau bawa kabar apa dari Axantos?” Glenn bertanya.

“Axantos juga sedang mengalami masa sulit,” jawab Duan. “Aragra mengutus beberapa kesatria mengawasi pergerakan kita. Aku tak begitu mengerti, dapat kabar darimana mereka kalau pewaris mereka ada di Axantos? Padahal sudah jelas kalau kita sama sekali tidak menyimpan pewarisnya.”

Glenn sudah bisa menduga maksud pertanyaan Duan. “Raja memintaku kembali?”

“Ya.”

Aries memotong cepat.

“Glenn belum boleh kembali ke Axantos sebelum masalah di negeri ini selesai. Glenn adalah mantan Black Knight. Dia sama sekali tidak punya urusan lagi dengan Raja itu. Kenapa dia begitu menginginkan Glenn?”

Duan mengepalkan tangannya. “Aku juga menanyakan hal yang sama. Lalu Raja menjawab dengan nada enteng. Katanya hanya Glenn yang bisa dipercayainya saat ini. Tidak ada yang lain.”

“Glenn sedang terluka.” Aries menggebrak meja. “Jika dia tahu, harusnya dia tidak memaksakan kehendaknya.”

Dua mengerjap. “Kau terluka?” dia kaget. “Bagian yang mana? Parah?”

Glenn tersenyum menenangkan. “Sudah tidak apa-apa. Buktinya aku sudah bisa berkeliaran mencari orang.”

“Baguslah.” Duan mengangguk. Lalu dia merogoh kantongnya dan meletakan surat undangan yang diberikan pada Raja ke atas meja. Aries memelototi surat itu. “Raja memintaku menyampaikan ini padamu. Aku tak tahu maksudnya apa. Tapi dia bilang, kau akan mengerti dan bisa memanfaatkan ini.”

Glenn mengerutkan dahinya.

“Buat apa Raja Alexandro memberikanmu surat undangan Ocepa untuknya padamu?” Aries menatap Glenn. Dia tidak begitu mengerti sehebat apa muridnya ini sampai mendapatkan perhatian yang begitu berlebihan bahkan oleh Raja dari negeri seberang.

Glenn mengambil undangan itu, membaca isinya dan tersenyum. Dia mendapat ide bagus.

“Sepertinya kau bisa mengerti apa fungsi undangan itu. Kalau begitu, aku permisi pulang,” Duan bangkit. Aries berdiri.

“Tunggu, kau mau kemana?”

“Aku mau kembali ke Axantos, Ayah. Tugasku disini sudah selesai. Aku hanya mengantarkan undangan itu padanya. Kalau aku tak segera kembali ke istana, aku takut Raja akan mencemaskanku.”

“Tapi—”

“Aku kembali, Ayah.”

Duan menyingkirkan tangan Aries dan memberikan hormat dengan sopan lalu keluar. Aries menggosok punggung lehernya dan merasa lelah. Dia melirik Glenn yang menatapnya dengan keheranan. “Apa?”

“Guru, kalau kau ingin Duan tinggal lebih lama, kenapa kau tidak bilang saja? Kurasa dia akan mengerti,” kata Glenn pelan.

Anak ini—Aries menggigit bibirnya—bagaimana mungkin dia bisa tahu apa yang kupikirkan?

Glenn berdiri. “Aku akan minta dia tinggal lebih lama.”

“Tidak. Tidak perlu.”

Aries menghalangi Glenn.

“Guru, aku bisa menyampaikannya untukmu.”

“Sungguh, tidak apa-apa. Kau tahu, aku sama sekali tak mau dia dimarahi oleh Raja Alexandro oleh karena keegoisanku. Kau tak perlu berbuat itu.”

Glenn tersenyum. Dia menepuk bahu Aries. “Guru, aku tahu seperti apa dirimu. Kau sangat mencemaskan Duan. Aku bisa mengerti. Aku akan minta dia untuk tinggal. Walau begaimanapun, kau adalah Ayahnya. Kurasa dia harus belajar mendengarkanmu.”

“Tapi, Glenn—”

Glenn tidak mendengarkan, dia keluar dari ruangan, melewati kerumunan para pangeran yang ingin tahu dan mengekor di belakangnya.

“Apa yang terjadi? Kalian bertengkar?” Christian menjajarkan langkah kakinya.

“Tidak. Dimana Duan?”

“Mungkin pamit sama Tabib Lourian. Dia sama sekali tidak mau memberitahu pada kami apa yang terjadi. Sebenarnya ada apa? Kami sama sekali tak bisa mendengar apapun.” Louis menjawab cepat.

“Bagus karena informasinya itu menyangkut masalah besar.”

“Apa? Masalah apa?” Charlie ingin tahu.

Glenn melompati gerbang dan berlari cepat, meninggalkan yang lain dibelakang. Kemudian dia berbelok di dekat tenda, memperhatikan setiap orang. Duan memang sangat cekatan kalau sudah menginginkan untuk tidak kelihatan.

“Duan!” akhirnya Glenn menemukan Duan. Dia berjongkok, membantu Stacy memungut rempah-rempah yang berserakan di rumput. Stacy menatapnya sehingga membuat Glenn merasa tidak nyaman. Sejak Glenn menolak Stacy, rasanya jarak mereka semakin jauh. Glenn mengalihkan perhatiannya pada Duan. “Aku mau bicara.”

“Aku tetap akan pergi dari tempat ini. Tugasku sudah selesai,” Duan melirik Stacy dan rahangnya mengeras. “Jadi kau tak perlu bikin alasan macam-macam untuk membuatku tetap tinggal disini.”

Glenn mengerutkan dahi ketika melihat ekspresi Duan. “Baiklah tapi biarkan aku berkata ini padamu. Perbatasan sedang dijaga prajurit, jadi mustahil bagimu untuk keluar masuk Ocepa-Axantos saat ini. Namun, jika kau masih memaksa juga, aku tak bisa menjamin keselamatanmu—”

“Tunggu sebentar. Darimana kau tahu kalau perbatasan dijaga ketat?” Duan berdiri refleks dan berhadapan dengan Glenn yang lebih tinggi satu kepala darinya. Matanya menyipit berbahaya dan otaknya kembali berpikir cepat. “Jangan bilang kalau kau menghilang selama ini karena ada disana, bukannya mencari Christian.”

Glenn tersenyum. “Hidup ini penuh tantangan, Duan.”

Duan mengatupkan mulutnya. Jengkel.

“Lain kali, kau harus lebih teliti,” Glenn menunjukan logam perak yang diikat dengan kain putih. “Jangan sekali-kali meninggalkan tanda kerajaan Axantos disembarang tempat, Duan. Kalau tidak, Axantos dan Ocepa bisa bermusuhan.”

Duan mengambil benda itu darinya. Wajahnya merah padam. “Darimana kau dapat ini? Aku mencarinya berhari-hari.”

Glenn tersenyum. “Aku tahu sekali sifatmu yang ceroboh itu. Ingat baik-baik kalau kita pernah jadi partner dan aku yang selalu memperbaiki kesalahanmu. Apa kau lupa?”

Duan tak bisa membalas perkataan Glenn.

“Sebaiknya kau tinggal disini untuk sementara daripada membuat repot kami. Aku akan memberitahumu kapan kau bisa meninggalkan Ocepa. Apa kau mengerti?”

Duan tak bisa berkata apa-apa selain menurut.

***

Glenn mengetuk pintu kamar Raja Joseph dengan perlahan. Terdengar suara serak Jendral Rodius dari dalam dan wajahnya muncul dari balik pintu.

“Tabib Glenn, ada apa?”

Glenn tersenyum ramah. Dia mengulurkan gulungan surat distempel lilin dengan lambang mawar putih. “Kupikir Raja Joseph akan senang mendapat surat ini.”

“Apa itu?” Jendral Rodius terheran.

“Ini dari seseorang yang sangat mencintainya.” Glenn membungkuk sedikit lalu berbalik pergi.

Jendral Rodius mengerutkan dahinya. “Pemuda yang satu itu benar-benar keren.” Kemudian dia masuk dan memberikan surat itu pada Raja Joseph yang sedang mengganti pakaiannya. “Ini dari Tabib Glenn. Katanya kau akan senang membacanya.”

Kebingungan, Raja Joseph mengambil surat itu dan memperhatikan bentuknya. Mawar putih dan perkamen yang digulung dengan tali emas, mengingatkan Raja Joseph pada seseorang yang sama sekali tidak pernah luput dari ingatannya selama ini. Tangannya gemetaran ketika Raja Joseph membuka gulungan itu dan mendapati tulisan Ratu Eva disana.

Tuanku, apa kabar? Lama tidak melihatmu membuatku tidak tahu apa yang harus terlebih dahulu kuberitahu padamu. Aku disini baik-baik saja. Kau tak perlu mencemaskan keberadaanku saat ini. Aku tinggal bersama orang-orang yang sangat baik dan memperhatikanku juga tertawa bersama. Kuharap Tuanku dan anak-anak kita juga bisa merasakan kebahagiaan walau kita jauh.

Disini aku bisa menikmati kesejukan, merasakan deburan ombak dan pasir putih yang indah. Kesunyian mengajarkan aku untuk lebih sabar bertemu dengan kalian. Tabib Glenn sudah berbaik hati dan bersedia memberikan surat ini padamu walau tantangannya sangat besar. Aku sangat senang mendengar kabar kalau kalian disana baik-baik saja. Entah kenapa melihat Tabib Glenn mengingatkanku pada Christian. Sesungguhnya, aku merasa kecewa mendengar kebenaran dari mulutnya, tapi aku akan berusaha menerima kenyataan saat ini.

Tuanku, saat ini kaulah yang dekat dengan anak-anak. Mereka memang sudah dewasa, namun mereka masih membutuhkan kasih sayang darimu. Sampaikan kabar kalau aku baik-baik saja dan mereka tidak perlu mencemaskanku. Tabib Glenn bilang kita akan berkumpul secepatnya. Aku berharap itu segera terjadi. Aku sangat merindukan kalian.

Salam Rindu, Eva.

Raja Joseph bangkit, membawa surat itu di tangannya dan berlari keluar dari kamarnya. Dia tidak memedulikan panggilan Jendral Rodius dan berlari menabrak beberapa prajurit. Dia melompati gerbang, hampir tergelincir saat menuruni bukit dan memanggil Glenn yang bersama Duan.

“Tabib Glenn—” Raja Joseph mengambil jeda untuk membuat napasnya kembali normal. Dia menunjukan surat yang dia pegang. Glenn tersenyum. “benarkah—ini—dari Eva? Ba-bagaimana kau—”

Glenn mengangguk, masih tersenyum. “Ratu Eva menyuruhku memberikan itu padamu. Apakah ada sesuatu yang membuatmu bingung, Yang Mulia?”

Raja Joseph memeluknya. “Terimakasih. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa selain terimakasih. Kau sudah menyelamatkan nyawaku dan anak-anakku, bahkan sekarang kau memberikan tempat yang layak bagi Permaisuriku. Aku sungguh berterimakasih. Aku sangat berhutang padamu, Tabib Glenn.”

Glenn menepuk punggung Raja Joseph. “Itu sudah kewajibanku, Yang Mulia. Bagaimanapun aku harus menjaga nyawa Anda karena Anda adalah orang tua dari Christian. Aku tak boleh membiarkan nyawa orang tua sahabatku dalam bahaya kan?”

Raja Joseph masih memeluknya, bahkan hampir menangis karena itu. Selama ini dia menyimpan rasa bersalah kepada Ratu Eva karena tidak memberikan perhatian padanya akibat urusan Negara, namun saat ini ada seseorang yang menggantikan untuknya. Seseorang yang membuat Raja Joseph semakin merasa kalau Glenn adalah anak kandungnya.

Duan menatap Glenn lalu pada Raja Joseph secara bergilir. Ada sesuatu.

“Aku akan memberitahu anak-anak bahwa Ibu mereka baik-baik saja. Mereka pasti akan sangat senang.” Raja Joseph melepas pelukannya. “Permisi, Tabib Glenn.”

Duan masih memperhatikan Raja Joseph yang menghilang menuruni bukit. Kemudian dia mengikuti Glenn yang duduk di di puncak bukit, menikmati sinar bulan sabit yang kadang-kadang muncul di balik awan. Duan duduk disamping Glenn dan diam beberapa saat.

“Jadi,” Duan membuka pembicaraan karena Glenn sepertinya tidak ingin mengatakan apapun. “ini alasanmu datang ke Ocepa?”

Glenn menatapnya. Bingung.

“Kau keluar dari Black Knight hanya untuk kembali menemui keluargamu?”

Glenn menghela napas. “Mereka bukan keluargaku.”

Duan menatap mata biru safir Glenn beberapa detik sampai Glenn mengalihkan pandangannya dan sibuk pada awan. “Kau tahu, aku lebih mengenalmu lebih daripada siapapun,” Duan memulai, menunggu respon dari Glenn yang tidak dia harapkan—diam saja bagai patung—lalu melanjutkan, “Aku tahu seperti apa trik berbohongmu sampai bisa membuat semua orang percaya padamu. Begitu sangat meyakinkan.”

“Sebenarnya kau ingin mengetahui apa?” kata Glenn datar. Tidak peduli.

“Tidak ada. Aku sejujurnya tidak peduli pada apa yang kau lakukan saat ini asalkan itu baik bagi setiap orang, tapi kuharap keputusanmu ini juga baik untukmu.”

Glenn tersenyum kecil, “Ah, apa kau sekarang mulai memperhatikanku?”

“Aku perhatian padamu sejak dulu. Apa kau lupa?” kata Duan jengkel.

“Maaf, aku lupa. Banyak wanita yang memperhatikanku dan urusan yang harus kukerjakan. Jeremy malah lebih baik padaku daripada kau. Apa kau masih ingat saat Jeremy memberiku makan sementara kau membiarkan aku mati kelaparan di luar?”

Duan menggeram kesal. “Itu kan dulu. Dulu. Saat aku kesal karena kau mengambil perhatian Ibuku.”

Glenn mengangguk, menikmati kekesalan di wajah Duan. “Benar sekali. Kau tak perlu menguatirkan keadaanku, semua orang disini memperhatikanku, mereka bahkan sangat mendengarkan nasihatku.”

“Kau—” Duan mengepalkan tangan. Kesal sendiri. Sejak dia mengenal Glenn, tidak pernah sekalipun ada pembicaraan yang menyenangkan dengannya. Mungkin karena pertemuan mereka yang tak menyenangkan juga sekitar sepuluh tahun lalu. “Kalau kau menyukai Stacy, seharusnya kau tak membiarkan dia direbut sama Louis.”

Alis Glenn menaik. “Ha? Apa sekarang kau cemburu? Apa kau tak cukup sekali cemburu saja pada Jeremy?”

“Aku tidak cemburu.” Geram Duan.

Glenn mendekatkan wajahnya lalu menyodok-nyodok dahi Duan dengan telunjuknya sambil tersenyum-senyum geli. “Aku bisa melihat kebohongan disini.”

Duan menyingkirkan tangan Glenn. Glenn masih tersenyum penuh kemenangan saat Duan menciumnya dengan kilat dan kabur. Butuh waktu lama bagi Glenn untuk mencerna apa yang terjadi sampai kemudian dia menyadari kalau dia sudah sendirian di atas bukit saat terdengar suara derap langkah kaki kuda.

Glenn bangkit berdiri, matanya menyipit menyelusuri kegelapan. Penjaga camp terbangun dan mempersiapkan diri, mencabut pedang masing-masing.

“Ada apa?”

“Kenapa?”

Suara-suara kekagetan berdengung di telinga Glenn. Glenn mengangkat tangannya ke atas, memerintahkan agar prajurit di belakangnya tenang. Obor api menyala dan ada kembang api meletus ke langit. Glenn tersenyum penuh kemenangan.

“Ada apa?” Aries berteriak, memakai pakaiannya.

“Ada gerombolan prajurit. Bagaimana ini, Ketua?” Steave menjawab dari menara pengawas sementara dia sibuk memperhatikan dari teropong miliknya.

“Apa? Prajurit? Bagaimana mungkin?” Aries kaget.

“Mereka sepertinya membawa bendera Ocepa,” kata Steave lagi. “Jangan-jangan mereka prajurit Ocepa? Apa kita ketahuan, Ketua?”

Aries menggigit bibir. Berita ini benar-benar mengejutkannya. Segerombolan pasukan berkuda dan prajurit Ocepa ada di balik bukit. Apa yang sebenarnya terjadi?

Terdengar suara terompet panjang.

“Apa lagi sekarang? Apa mereka menyatakan perang?”

“Tunggu, Ketua. Sebentar,” Steave memfokuskan teropongnya. “Ada seseorang yang datang. Mereka mendatangi—Ketua, Glenn! Mereka mendatangi Glenn yang ada di atas bukit!”

“Apa? Glenn?”

Mereka kaget. Apa yang dilakukan Glenn tengah malam begini sebenarnya?

“Ketua, Glenn… Glenn mendatangi mereka… Apa menurut Anda dia berkhianat? So-soalnya…”

Kelompok anti-pemerintah sekarang dalam masalah besar.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.