Dua puluh Lima
Jeremy melempar vas bunga di dekatnya, hampir mengenai wajah Ayahnya, Tuan Kheilen. Nyonya Kheilen menutup mulutnya, sementara Tuan Kheilen tidak bergerak di tempat.
“Berapa kali aku harus bilang padamu? Aku sama sekali tidak tertarik dengan harta yang kau miliki! Aku mau mencari jalan hidupku sendiri!” Jeremy berteriak.
“Aku sudah memberikan waktu padamu. Kau sudah berusia dua puluh tiga tahun, saatnya kau memikirkan kelangsungan keluarga ini. Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu karena kami hanya punya kau, kau harusnya mengerti hal ini. Berhentilah main-main dan pikirkan masa depanmu. Apa enaknya jadi pelayan dan mengikuti orang yang lebih rendah darimu?”
“Glenn tidak rendah!”
“Aku mengerti kau memberikan penghargaan tertinggi padanya, tapi dia sudah mati dan itu bukan kesalahanmu, jadi berhentilah merasa bersalah.”
Jeremy menyisir rambutnya dengan tangan. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku berhak menentukan jalan hidupku.”
“Memang,” Tuan Kheilen membenarkan. “Dan aku memberikanmu pilihan yang bagus. Jadilah kepala keluarga, teruskan usaha keluarga. Banyak yang mengincar kekuasaan ini dan mereka semua cuma ingin uang. Apa kau mengerti? Jika aku memberikan posisi itu pada orang lain, maka akan banyak pengangguran, aku sangat yakin itu.”
Jeremy menghela napas. Berusaha menelan kekesalannya. “Aku mengerti. Aku tahu. Bisakah kau beri aku sedikit waktu lagi?”
“Jeremy, jangan buang waktu lagi. Aku ini sudah tua, apa kau mengerti?”
“Kau ingin aku melakukan apa?”
“Menikahlah dan hiduplah di rumah ini. Aku cuma minta itu.”
Jeremy merasa kalau kepalanya serasa dipukul. Sekarang dia bisa mengerti kejengkelan Glenn yang dipaksa menikah oleh Elvius.
“Aku tak ingin menikah di usia begini. Tak ada wanita yang kusukai saat ini—”
“Aku akan mencarinya untukmu, yang terpelajar dan selevel dengan kita.”
Baiklah. Ini sudah cukup.
“Ayah, aku menolak. Aku akan memilih hidupku sendiri.”
Jeremy berbalik, menyudahi diskusi mereka secara sepihak.
“Kau mau kemana?” kata Tuan Kheilen. “Aku tak akan membiarkan kau keluar dari rumah ini. Tidak selangkahpun.”
“Tampaknya kau lupa kalau aku kesatria, Ayah?”
***
Erold memberi hormat pada Elvius ketika memasuki kantornya. Dia tersenyum penuh arti.
“Ada kabar apa dari luar?” kata Elvius memberi cap setempel pada bertumpuk surat yang ada di atas meja.
“Mahkota Anda sudah siap, Ketua. Semua acara sudah dipersiapkan. Undangan yang akan disebar juga sudah disiapkan. Ada sekitar seribu dua ratus undangan. Kemudian—ya?” Erold berhenti ketika Elvius mengangkat tangan.
“Kau sudah mengerjakan tugasmu dengan baik, Erold, tapi bukan itu kabar yang ingin aku dengar saat ini. Dimana Jeremy?”
“Jeremy? Di rumah Tuan Kheilen,” jawab Erold dengan kepala sedikit miring. “Dia ada disana dua hari sejak dia meninggalkan istana. Tuan Kheilen tidak mengijinkan kami untuk masuk karena Jeremy katanya sedang sangat bersedih.”
Elvius melipat tangannya. “Kenapa dia harus sesedih itu ditinggal mati sama Raja tidak berguna itu?”
Erold terkekeh. “Ketua, mereka sudah berteman selama kurang lebih sebelas tahun, wajar saja kalau dia sedih. Aku juga sedikit merasa kehilangan.”
Elvius meminum kopinya. “Apa kau mengundang Jeremy dalam acara penobatanku? Dia harus datang.”
“Aku mengundang seluruh keluarga Kheilen, Ketua,” Erold menggosok lengannya. “Anda tenang saja mengenai masalah itu. Namun, Ketua, kenapa kita harus mengundang Jeremy? Tuan Kheilen saja sudah cukup kan?”
“Jeremy yang akan berkuasa atas tanah Kheilen cepat atau lambat, jadi aku tak mau membuang kesempatan. Omong-omong, Erold, aku akan mengabulkan permintaanmu untuk menjadi Jendral Ocepa, sejak dulu kau memang ahli strategi. Aku mengandalkanmu saat ini. Kau orang kepercayaanku.”
“Oh, terima kasih, Yang Mulia Elvius.”
Elvius tersenyum. Dia dapat merasakan kalau keberuntungan sedang berpihak padanya.
***
Willy meletakan tumpukan gulungan usang ke atas meja. Pihak tertinggi kelompok anti-pemerintah berkumpul di ruangan itu, termasuk Glenn. Mereka mendengar Willy menjelaskan dengan ekspresi penuh percaya diri.
“Ini denah beberapa daerah yang menjadi kawasan waspada Ocepa karena memiliki jumlah prajurit yang banyak. Pertama-tama istana, itu tak bisa dipungkiri karena istana merupakan pusat pemerintahan. Lalu ada daerah Meisteilste, daerah ini kaya akan minyak dan barang tambang, daerah kaya yang benar-benar dijaga ketat. Penghasilan Ocepa mencapai empat puluh persen di daerah ini, kalau kita bisa menguasainya maka perekonomian Ocepa ditangan kita.”
“Walaupun kita menguasainya, tak ada gunanya bagi kita jika kita masih memiliki pemerintahan yang sama. Perekonomian yang mencekik bisa membunuh rakyat, kalian pasti tahu kalau pajak sedang tinggi,” kata Aries melipat tangan.
“Aku sudah mengurangi pajak, Guru,” gumam Glenn.
“Ya, tapi belum dilaksanakan seratus persen, terutama di sini,” Willy menunjuk ke denah lain. “Ini daerah kawasan pertanian. Tempat makan utama Ocepa. Hampir delapan puluh persen makanan istana dikirim dari sini, selain itu peternakan dan perikanan air tawar juga sangat melimpah disini. Namun kami mendapat laporan bahwa petani masih sulit mendapatkan pupuk—kenapa kau tersenyum?” Willy tampak tak senang saat Glenn tersenyum padanya.
“Aku tak menyangka kalau kau menginspeksi daerah ini juga. Biar aku tambahkan yang kau tak tahu, sekitar dua puluh tiga persen penduduk daerah itu adalah orang tua dan anak-anak, sama sekali tak bisa melawan. Para orang muda keluar daerah untuk sekolah dan tak ada satu orangpun yang kembali. Kebanyakan dari mereka mati di medan perang menjadi prajurit.”
“Kau tahu banyak,” kata Raja Joseph.
“Itu sebabnya aku bisa jadi Raja, Yang Mulia. Kau pikir kenapa aku mau repot-repot menandatangani sendiri surat emigran dan imigran? Itu karena pemuda dari daerah ini sering dikirim keluar oleh bangsawan dan tak ada yang kembali.”
“Bisa kita teruskan?” Willy membuka lembaran berikutnya. “Kemudian ada pertahanan laut yang sama bahayanya seperti istana. Itu disebabkan kita memiliki batas laut yang luas antara Aragra. Akhir-akhir ini Aragra sering membuat masalah. Karena itu prajurit banyak dikirim kesana untuk jaga-jaga.”
“Aragra sedang melancarkan perang dingin dengan Axantos,” kata Charlie.
“Itu bukan urusan kita. Nah, bagian yang kita incar adalah yang disini. Tembok pertahanan,” Willy kembali meneruskan. “Jika saat kita berhasil memasuki istana dan mengambil alih istana, masalah kita ada disini. Kita harus memasukkan beberapa prajurit kerpercayaan kita ke dalam dan membantu kita membuka pintu untuk masuk menyerang tembok pertahanan dan menyandera prajurit yang tersisa.”
“Ide yang bagus. Tapi bagaimana caranya kita memasukan orang kepercayaan kedalam sana?” Louis mengangkat tangan. “Orang-orang yang membuka gerbang hanya orang-orang berpengaruh sementara kita hanya memiliki prajurit biasa yang saat ini belum memiliki kekuasaan tinggi. Lagipula, mereka semua mabuk kekuasaan, kupikir kita tak akan punya kesempatan.”
“Kurasa kita tak harus memikirkan tembok pertahanan,” kata Glenn.
“Kenapa?” kata Christian.
“Dengar,” Willy menjelaskan dengan nada sedikit kesal. “Berapa kali aku harus menjelaskannya padamu. Jika tembok kerajaan tidak kita ambil alih, mereka bisa—”
“Ada Jeremy disana,” Aries berdeham, melirik Glenn.
“Jeremy?” Jendral Rodius mengerutkan dahi. Tidak mengerti. “Apa hubungannya masalah ini dengan anak itu?”
“Kalian lupa kalau dia Kheilen?” Aries melipat tangan. “Kau pikir untuk apa Glenn memaksanya kembali ke rumahnya? Selain untuk melindungi kelompok kita, tentu saja agar dia kembali ke istana. Jeremy itu terampil memainkan pedang, selain itu dia juga cerdas dan anak orang kaya. Elvius sedang menghimpun kekuatan. Menurutmu apa yang akan dihadiahkan Elvius pada Jeremy untuk membuat Jeremy memihak padanya?”
“Maksudmu,” Raja Joseph pelan-pelan berbicara. “Jeremy akan diberikan jabatan setingkat menteri.”
“Tepat.” Aries menjentikan jarinya. “Glenn sudah memikirkan masalah ini lebih cepat dari dugaan kita, jadi kalian tak perlu khawatir.” Kemudian dia mengacak rambut Glenn. “Anak Muda yang satu ini benar-benar sudah memikirkan semuanya. Dia benar-benar cerdas.”
“Menurutmu, jabatan apa yang akan diberikan pada Jeremy?” Charlie penasaran.
“Aku tak yakin.” Glenn menjawab pelan. “Namun, jika melihat cara Ketua Elvius menilai Jeremy, mungkin dia akan diberikan jabatan sebagai Menteri Pertahanan.”
“Lalu, siapa yang akan menjadi Jendral?” tiba-tiba Jendral Rodius memotong.
“Mungkin… Erold,” jawab Glenn.
“Erold? Maksudmu manusia penjilat itu?” Jendral Rodius sedikit tersinggung. “Ha! Mau jadi negeri ini jika pemimpinnya seperti itu.”
“Anda salah Jendral,” Glenn menjelaskan dengan nada kalem. “Erold bisa diterima dimana-mana karena dia pintar menjilat. Dia tahu harus berteman dengan orang yang tepat. Anda harusnya merasa kalau dia pintar. Dia sangat cerdas walau Anda merasa tidak menerima kepribadiannya.”
“Kau sangat mengenalnya ya?” jendral Rodius sinis.
“Tentu saja. Aku sudah mengenalnya selama lima tahun terakhir.”
“Kapan acara penobatan Elvius?” Aries mengambil alih pembicaraan ketika merasakan aura di ruangan itu sudah sedikit berbeda.
“Mungkin sekitar dua atau tiga minggu lagi. Mereka belum mengirim undangan,” jawab Charlie cepat.
“Glenn?” Aries melirik Glenn. “Bagaimana menurutmu?”
“Elvius orang yang berdedikasi tinggi. Dia menginginkan agar Raja Negeri Tetangga juga menerimanya. Kemungkinan acaranya akan diadakan sebulan lagi. Sebelum mendapat kabar pasti, lebih baik kita tidak gegabah.”
“Kuharap ada seseorang yang memberi kita informasi.” Gumam Louis.
Tiba-tiba Christian berdiri. “Aku akan ke kota, mencari informasi.”
“Tidak—”
“Pergilah,” Glenn memotong bantahan Raja Joseph. “pergi ke rumah Jeremy dan cari informasi. Kediaman Kheilen sangat terkenal, kau tak akan sulit mencarinya.”
“Aku tak akan ke rumah Jeremy—”
“Kalau kau berkeliaran tak jelas, akan ada yang mengawasimu. Lebih baik kau berpura-pura sebagai tamu di rumah Jeremy dan mengatakan kalau kau temannya. Jeremy punya banyak teman. Tak akan ada yang curiga kalau sudah seperti itu. Itu akan lebih aman, jika ada pihak istana yang melihatmu, tak akan ada yang akan menyentuhmu karena kau dilindungi atas nama Kheilen.” Glenn menjelaskan dengan nada tanpa ekspresi. “Tapi itu terserah padamu. Aku hanya memberimu pilihan.” Glenn berdiri. “Guru, aku keluar dulu, sepertinya aku mau muntah.”
“Ah—ya,” Aries terkaget. Glenn buru-buru keluar, menutupi mulutnya. “Apa yang tadi diberikan Nenek Sihir itu sampai dia pucat begitu?”
Glenn berlari cepat menuju salah satu pohon, lalu memuntahkan darah. Dia terbatuk, sejak tadi dia memang merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Selang beberapa detik, seseorang menepuk punggungnya.
“Muntahkan,” kata Lourian. “Kupikir kau tak akan memuntahkan racunnya. Aku sudah cemas sejak pertama kali aku menemukanmu dan mengobatimu namun tubuhmu tidak memberikan reaksi.”
“Pantas saja aku merasa lemas terus sejak luka.” Glenn kembali menunduk, memuntahkan darah yang rasanya memenuhi tenggorokannya. “Ohok ohok.”
“Itu sebabnya aku tak mau meninggalkan kau sendirian sebelum kau sembuh benar. Ha… kau memang senang mencari masalah,” gumam Lourian. “Jika melihat kondisimu ini, aku jadi mencemaskan anakku yang sekarang entah ada dimana.”
“Ohok, uhuk… aduh…”
“Anak Malang, keluarkan lagi. Itu belum semuanya. Berapa banyak sebenarnya darahnya yang menggumpal?”
“Dia kenapa?” Charlie menghampiri mereka. “Kenapa Tabib Glenn berdarah begitu?” tambahnya kaget. Dia memang sedikit cemas dengan keadaan Glenn yang buru-buru keluar dan mencarinya. Namun dia tak menyangka akan ada kejadian seperti ini.
“Tenang saja, Tuan Muda. Dia cuma memuntahkan benda yang tak seharusnya ada di tubuhnya.” Gumam Lourian masih menepuk-nepuk punggung Glenn.
“Apa dia kena racun?” kata Charlie cemas.
“Ya, tapi sekarang sudah tak apa-apa. Tubuh Glenn memang berbeda dengan yang lain. Respon tubuhnya dengan obat sedikit lebih lambat. Itu karena dia memiliki beberapa anti bodi yang sedikit lebih kuat dari orang lain. Apa kau sudah selesai?”
“Aku merasa sangat lemas…” desah Glenn sesak napas.
“Kau ingin aku memberimu sesuatu?” kata Charlie. “Air mungkin?”
“Biar aku yang mengurusnya, Tuan Muda. Anda sebaiknya kembali ke ruang rapat. Jika mereka tahu kalau kau tak kembali, mereka akan mencemaskan kalian,” Lourian membantu Glenn berdiri. “Dan tolong jangan bilang apa-apa mengenai masalah ini. Mereka akan berpikir kalau ada hal buruk menimpa Glenn.”
Charlie melirik Glenn, memperhatikan darah yang menghitam di sudut bibirnya. “Baiklah, tapi jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa memintanya dari saya.”
“Tentu, Tuan Muda.” Lourian menyeret paksa Glenn.
“Aku bisa jalan sendiri, Guru.” Glenn menyingkirkan tangan Lourian.
***
Raja Alexandro menghela napas. Dia melempar surat undangan yang dibawa dari Ocepa. Pangeran Brian yang berdiri disampingnya menaikan sebelah alisnya.
“Apa itu, Yang Mulia?” Pangeran Brian bertanya, nadanya halus.
“Ocepa. Raja baru. Dalam lima tahun terkahir, sudah tiga raja yang berganti. Hebat sekali Ocepa.”
“Ayah akan datang?”
“Tidak. Buat apa aku datang? Aku tak mau memperkuat kedudukannya.” Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. “Masuklah.”
Pangeran Brian membulatkan matanya ketika mengenal siapa yang masuk. Dia tersenyum bersemangat, namun ketika Raja Alexandro memberikannya tatapan tajam, Pangeran Brian kembali menahan ekspresinya.
“Kesatria Duan memberi hormat pada Yang Mulia Raja Alexandro dan pada Pangeran Brian. Semoga Yang Mulia panjang umur,” kata pemuda yang baru saja masuk. Dia memberikan bungkukan kecil untuk memberi hormat.
“Angkat kepalamu Kesatria Duan. Aku senang sekali melihatmu kembali. Bagaimana dengan Aragra?”
Duan mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajahnya yang tampan dengan mata bulat berwarna biru dengan bulu mata tebal, alis yang rapi, bibir yang mungil, hidung yang lurus, rambut hitam pendek dan halus, perawakan kecil tanpa otot dan kulit seputih susu. Dia menjawab dengan suara dalam penuh desahan, “Aragra saat ini sedang menghimpun kekuatan, Yang Mulia, mereka sedang mencari informasi yang pasti apakah pewarisnya diculik oleh Axantos atau tidak.”
“Raja yang satu itu benar-benar keras kepala,” Raja Alexandro mengepalkan tangannya. “Sudah kuberikan banyak bukti yang cukup membuktikan kalau pewarisnya tak ada disini. Apa saja yang sudah dia lakukan?”
“Untuk saat ini Aragra tak akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagi Axantos, Yang Mulia, jadi kupikir Anda tak perlu cemas.”
Raja Alexandro menghela napas. “Aku mau minta tolong padamu, Duan. Tolong kirimkan surat ini langsung pada partnermu.” Raja Alexandro melipat surat undangan dari Ocepa dan memberikannya pada Duan.
“Partner?” Duan mengulang. Tidak mengerti.
“Black Knight kesayanganku, Glenn.”
Duan makin tidak mengerti. “Bukankah Glenn sudah…”
“Dia masih hidup dan ada di Ocepa. Aku tak tahu ada dimana tepatnya. Tapi aku ingin kau membawa surat itu seminggu sebelum harinya. Glenn akan tahu apa yang akan dia lakukan.”
Duan membuka surat itu. “Yang Mulia, kita tak hanya akan berurusan dengan Aragra tapi juga dengan Ocepa jika ini sampai ketahuan.”
“Karena itu aku mengutusmu,” kata Raja Alexandro lagi. “Bukankah kau juga Black Knight, Kesatria Duan?”
Duan tersenyum lalu membungkuk. “Saya akan berusaha sebaiknya, Yang Mulia.”
***
Christian mengikat mantap persediaan makanannya dan memasukannya ke dalam tas kain coklat. Lalu dia mengikat dahinya dengan ikat kepala berwarna hitam, mengikat tali sepatunya dengan mantap dan berbalik pada barisan orang-orang yang mengantar kepergiannya.
Raja Joseph yang kelihatan tidak begitu rela. “Hati-hati.”
“Aku akan baik-baik saja, Ayah,” Christian menyebut kata Ayah dengan nada canggung. “Aku hanya meninggalkan markas selama seminggu. Tak perlu khawatir.” Kali ini dia melirik pada Glenn. “Kau tak ingin mengatakan sesuatu?”
“Pulanglah sesuai waktu,” kata Glenn datar. Christian mendengus jengkel. “Jika kau tak pulang sesuai waktu, maka aku yang akan menjemputmu kesana.”
“Aku bukan anak kecil. Aku bisa menjaga diriku sendiri,” gerutu Christian.
“Senang mendengarnya.”
Christian menahan kekesalannya. Harusnya dia tadi tidak bertanya. Akhir-akhir ini Glenn sepertinya berubah menjadi manusia jahat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sering tidak berperasaan, mungkin itu pengaruh dari kerajaan. Well, apa boleh buat, dia mantan raja. Christian memberikan bungkukan dan berbalik, melewati gerbang perbatasan, menaiki kudanya dan berangkat.
***
Jeremy turun dari kudanya. Beberapa prajurit menunduk padanya ketika dia lewat, beberapa orang memang mengenalnya dan mereka tampak terkejut ketika melihat kedatangan Jeremy yang tiba-tiba. Sambil melepaskan dasi rempel yang menempel di bajunya, Jeremy cepat-cepat masuk kedalam. Pemandangan istana membuatnya sedikit muak. Dia sama sekali tak mau kembali ke tempat itu, tidak kalau tak ada Glenn di dalamnya. Namun, dia harus ke istana karena ada panggilan untuknya.
Apa yang direncakan Tua Bangka itu ya?
Melompati bunga yang berjejer di pintu batu, Jeremy memutuskan untuk memotong jalan. Dia bertemu dengan beberapa pejabat istana. Jeremy tidak memberikan hormat sedikitpun pada mereka. Dia tidak peduli. Cepat-cepat dia menaiki tangga batu, langkah kakinya bergema, sepatunya menimbulkan bunyi yang tak dia inginkan.
Pedang di pinggangnya bergoyang saat dia berlari sepanjang koridor, kemudian berhenti ketika mendapati pintu besar berwarna coklat, pintu yang dulu sering dia buka untuk Glenn. Memaki dalam hati karena sudah menduga siapa yang menggunakan ruangan itu, Jeremy mengetuk pintu.
“Masuk,” terdengar suara Elvius dari dalam tak berapa lama kemudian.
Tanpa bersuara, Jeremy mendorong pintu itu, mendapati Elvius duduk di belakang meja kerja milik Glenn. Tidak seperti dulu dimana terdapat kertas di lantai, ruangan itu bersih, malah secangkir kopi tergeletak rapi di atas mejanya.
“Ah, Jeremy, lama tidak bertemu. Akhirnya kau datang juga.” Elvius berdiri dari tempatnya dan buru-buru menyambutnya dengan senyuman merekah.
“Ketua, bagaimana kabarmu?” mungkin Glenn yang mendengar nada bicaranya akan merasa kalau Jeremy mungkin akan menerjang Elvius saat itu juga, namun Elvius tidak menyadarinya. Apa boleh buat, Elvius tidak sepeka Glenn.
“Baik. Kau sendiri?”
Jeremy tidak menjawab. Dia berusaha mengendalikan dirinya untuk mengucapkan sumpah serapah bagi Elvius. Beraninya dia menjadikan dirinya sebagai Raja sebelum adanya keputusan dari penatua kerajaan.
“Aku tahu kau begitu sedih karena kehilangan Raja Glenn. Dia memang pemuda baik yang luar biasa,” Elvius tidak membaca ekspresi Jeremy—yang ingin melahapnya hidup-hidup—dan dengan gaya kebapakan, dia menepuk bahu Jeremy. Kelihatan merasa bersalah. “Namun hidup ini harus berjalan. Kau tahu, seperti air, mengikuti arus. Apa kau mengerti?”
Jeremy menyingkirkan tangan Elvius. “Langsung saja, Ketua, tidak perlu basa-basi. Masih banyak yang harus kukerjakan.”
“Jeremy,” lagi-lagi Elvius menepuk bahu Jeremy, kelihatan prihatin. “aku tahu, Nak. Aku sangat paham perasaanmu. Aku juga pernah kehilangan sahabat. Kau tahu, Ayah Glenn, Rofulus. Akulah yang paling sedih saat itu. Jadi kita berada di pihak yang sama. Orang baik memang cepat meninggal.”
Jeremy mengepalkan tangannya.
“Jika Ketua menyuruhku datang kesini cuma untuk mendengarkan kata-kata yang tidak berguna. Lebih baik aku pergi saja.”
“Jangan terburu-buru, jangan terburu-buru. Duduklah dulu. Duduk.”
Mau tak mau Jeremy memilih menurut.
Elvius menghela napas. Dia memilih memulai. “Kau sudah mendapat surat undangan dariku?”
Jeremy mengambil jeda untuk menjawab, “Sudah.”
“Kau tahu, Nak. Harus ada yang memimpin negeri ini pada akhirnya. Seseorang yang tepat, kau tahu, seseorang yang bisa dipercaya.”
Jeremy memilih untuk tidak merespon.
“Ehm, kuharap kau datang ke acara penobatanku. Kalau kau mengerti maksudku.”
Jeremy tersenyum kecil. “Aku akan datang. Tentu saja.”
“Senang sekali mendengarnya dari mulutmu sendiri, Nak,” Elvius kelihatan lebih rileks sekarang. “Kau tak perlu meragukanku, aku masih seperti dulu, punya semangat dan motivasi. Aku akan meneruskan mimpi Glenn, walau bagaimanapun kami ini sedarah, dia keponakanku. Aku bisa mengerti rohnya akan berbicara padaku.”
“Bagus sekali,” Jeremy merespon datar.
Elvius menghela napas. “Sesungguhnya ada hal lain yang ingin kutanyakan padamu.”
“Silakan, Yang Mulia.”
Elvius tampak senang ketika Jeremy sengaja menekan kata itu. “Kau tahu, pemerintahan yang baik akan didapat jika Rajanya juga mempercayakan jabatan itu pada orang yang tepat. Kau tahu, aku tak mau seperti raja-raja sebelumnya yang memilih pejabat karena mereka ahli saja, tapi juga karena mereka terpercaya.”
Jeremy sudah bisa menangkap maksud Elvius, namun dia pura-pura tak mengerti dan memasang tampang bingung, “Apa yang Anda inginkan, Yang Mulia?”
“Ah, Jeremy, kau satu-satunya yang bisa kupercaya disisiku,” Elvius tersenyum penuh arti. “Aku ingin kau menjadi salah satu orang kepercayaanku, disisiku, menjadi penasehatku, mungkin?”
Jeremy tersenyum kecil, “Yang Mulia, aku lebih muda sekitar tiga puluh tahun daripadamu, kenapa justru aku yang jadi Penasehat?”
Elvius tertawa. “Ya! Hahaha! Benar sekali, kenapa aku tidak terpikir. Lalu, Jeremy, jika aku memberikan jabatan di kerajaan ini padamu, kau mau menjadi apa? Kalau aku mau, aku bisa memberikanmu—”
“Aku tak suka hal yang ribet, Yang Mulia,” kata Jeremy lagi. “Berikan saja yang pantas dan akan kuterima dengan senang hati.”
Elvius melipat tangan. “Kau anak cerdas, jago bermain pedang dan juga tidak haus harta, jadi kupikir… ya, kenapa tidak? Menteri Pertahanan?”
Jeremy jadi mengingat kata-kata Glenn sebelum Jeremy meninggalkan markas. Dia berbisik perlahan dan tak ada yang mendengar mereka, “Mungkin Elvius akan merekrutmu, terima saja apa yang diberikannya padamu. Akan lebih bagus lagi jika dia memberikan tembok pertahanan padamu.”
“Dengan senang hati, Yang Mulia.”
Jeremy masih meladeni Elvius sampai sore walau sebenarnya dia sama sekali tak ingin. Setelah itu dia pulang. Dia baru saja turun dari kudanya saat dia melihat Christian berdiri di depan pintu gerbang rumahnya. Panik. Jeremy memperhatikan sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikuti ataupun mengawasi Christian, lalu dia menghampiri Christian.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Christian berkata pelan. “Aku cuma menuruti perintah.”
Jeremy langsung mengerti. “Masuklah.”
“Kupikir kau akan pura-pura tidak mengenalku,” Christian mengikuti Jeremy.
“Well, akan berbahaya jika kau masuk dengan asal ke lingkungan rumahku. Aku juga tak menyangka kalau kau bisa sepintar ini. Kupikir kau akan bertindak gegabah.”
“Aku juga tak mau menyeretmu.”
Christian menaikan alisnya saat dua pelayan membukakan pintu bagi Jeremy. Dia memerhatikan setiap sudut rumah milik Jeremy. Rumah yang besar. Ini ruangan yang besar sekali yang pernah didatangi Christian setelah istana. Christian sama sekali tak menyangka kalau Jeremy benar-benar anak orang kaya. Pigura-pigura besar diisi dengan lukisan-lukisan keluarga Kheilen. Christian mendapati gambar Jeremy.
“Jangan lihat itu,” Jeremy menarik paksa Christian dari lukisan dirinya.
“Kau terlihat tampan disitu,” sindir Christian.
Wajah Jeremy merona merah. “Ibuku memaksaku untuk dilukis. Naiklah ke kamarku, kita bicara disana.”
“Apa aku tak diperkenalkan pada kedua orang tuamu?”
“Mereka sedang keluar. Naiklah.”
Christian enggan menginjakan kakinya melewati karpet merah yang menuju kamar Jeremy. Kemewahan rumah ini melebihi istana. Pantas saja jika Elvius mencari dukungan dari Kheilen. “Glenn pernah kemari?”
“Glenn tak pernah kemari. Dia tak suka suasana mewah.”
Jeremy membuka pintu kamarnya yang bercat putih keemasan. Christian masuk terlebih dahulu dan terkejut melihat isi kamar itu, semuanya sama persis dengan kamar milik Glenn: tempat tidur, seprai, gorden, pintu, lemari bahkan buku-bukunya, semua detail yang kecil bahkan tidak luput. Jeremy cepat-cepat menutup pintu.
“Carilah tempat yang nyaman untukmu duduk,” Jeremy melewati ruangan, menuju salah satu poci dan menuangkan teh ke cangkir putih cemerlang.
“Aku sama sekali tidak nyaman disini,” Christian memperhatikan ruangan itu. “Kau ini terobsesi pada Glenn atau apa? Kenapa semuanya sama?”
“Apa? Oh, tidak, bukan itu. Sepupuku yang terobsesi dengan kamar Glenn. Lalu dia mengubah semua isi kamarku seperti kamar Glenn. Aku juga terkejut saat masuk ke kamar ini setelah sekian lama aku tak tinggal disini. Kau bukan satu-satunya orang yang tak nyaman tinggal disini,” kata Jeremy meletakan cangkir pada Christian.
“Sepupumu tinggal disini?”
“Tidak. Dia meninggal setahun lalu. Bunuh diri. Jadi kupikir lebih baik aku tidak mengubah tatanan kamar ini, untuk mengenangnya.” Jeremy duduk di salah satu kursi dan menatap Christian. “Ada kabar apa dari markas?”
“Aku diminta untuk mencari tahu apa yang terjadi karena kau tidak membawa kabar apapun,” balas Christian. “Harusnya aku yang tanya, apa yang terjadi di istana?”
“Kau pernah tinggal di istana, tentunya kau tahu rasanya.”
“Aku mau tahu apa yang terjadi. Mereka memintaku cepat kembali jika aku sudah mendapat informasi.”
Jeremy menghela napas. “Elvius akan menjadi raja. Itu sudah pasti. Rencananya akan ada pesta besar dan dia mengundang seluruh petinggi kerajaan tetangga. Dia bahkan mengundang Raja dari negeri Coelex.” Jeremy mengeluarkan surat undangan yang terlilit rapi dan memberikannya pada Christian. “Acaranya akan dilaksanakan pada tanggal dua belas, delapan belas hari lagi.”
Christian manggut-manggut. “Bagus. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengusik mereka. Lalu, apa kau mendapat jabatan dari calon raja baru itu? Glenn memperkirakan kalau kau akan mendapat jabatan sebagai Menteri Pertahanan.”
Jeremy tersenyum kecil. “Heh, dia memang sudah menduga hal ini. Aku baru saja mendapat jabatan itu hari ini saat aku tadi datang ke istana.”
“Kau baru dari istana?”
“Ya. Penjagaannya sama ketatnya seperti waktu itu,” kata Jeremy ketika membaca ekspresi Christian. “Untuk merusak pertahanan mereka sepertinya sangat sulit, apalagi ada Erold.”
“Erold?” Christian seakan pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Ya. Dia akan jadi Jendral Ocepa,”
Christian mengangguk lagi. “Glenn sudah bilang kalau dia sangat pintar.”
“Ya, memang. Dia salah satu yang harus kita waspadai. Kalau saja aku bisa keluar dari rumah ini, aku pasti sudah bisa melapor.” Gumam Jeremy.
“Memangnya apa yang terjadi?”
“Ayahku menjadikanku pewaris, aku tak bisa melakukan apapun karena banyak yang harus aku urus ditempat ini.” Jeremy mendesah lelah. “Lalu, ada kabar apa dari markas? Glenn tidak apa-apa kan?”
Christian mengangguk. “Dia sehat. Racunnya sudah keluar semua dan lukanya juga sudah mulai sembuh. Kupikir dia akan bisa maju ke depan jika saatnya sudah tiba. Dan dia juga menolak gadis yang menyukai dia dengan nada dingin.”
“Oh,” Jeremy menaikan alis. “Glenn sudah biasa melakukan hal itu.”
“Tapi kurasa dia sedikit keterlaluan,” kata Christian.
“Memang,” Jeremy setuju.
Pintu kamar Jeremy diketuk dan ada suara salah satu pelayan yang mengatakan kalau ada tamu yang menunggunya. Jeremy meminta Christian menunggu beberapa menit dan dia kembali menutup pintu secara hati-hati. Christian melipat tangan, menunggu secara sabar. Dia menghabiskan waktunya mengelilingi kamar Jeremy—walaupun dia sudah menduga kalau isinya sama seperti kamar Glenn—membuka beberapa buku, duduk di tempat tidur sampai akhirnya dia terhenti saat melihat pemandangan di jendela.
Ada orang yang mengawasi rumah Jeremy.
Christian mengerutkan dahinya dan memperhatikan lebih teliti lagi. Memang ada orang yang mengawasi rumah Jeremy. Orang itu berdiri di sudut pilar lain, dekat pohon sehingga dia tidak kelihatan oleh penjaga. Christian mengawasinya dan tampaknya orang itu menyadari keberadaan Christian, dia menoleh dan Christian buru-buru minggir ke balik jendela. Setelah menurut Christian aman, dia mengintip beberapa detik kemudian. Orang itu tidak ada disana lagi.
Rumah Jeremy sepertinya juga sudah mulai dicurigai.
Tamu Jeremy sepertinya sudah keluar dan tampaknya merupakan orang penting. Ada beberapa prajurit berkuda yang mengawalnya. Dia berjalan melewati lapangan. Seseorang yang dikenal Christian.
“…aku paling tidak suka membunuh anak kecil…”
Tangan Christian menempel pada jendela kaca. Dia hampir saja hendak jatuh jika jendela tidak tertutup. Jantungnya berdegup kencang. Pria itu… pria itu yang menolongnya di lemari… salah satu pemberontak. Kenapa aku tak bisa ingat kalau namanya juga Erold?
“Maaf, ya, itu tadi Erold,” Jeremy masuk ke kamar. Dia mengerutkan dahi dan terheran melihat ekspresi Christian. “Kenapa?”
“Apa yang dia lakukan di rumahmu?” Christian berusaha membuat suaranya terdengar biasa saja. “Sesuatu yang penting?”
“Dia datang cuma untuk mengucapkan selamat karena aku akan menggantikan posisinya sebagai Menteri Pertahanan. Dia pikir aku akan senang mendapat kedudukan itu? Cih!” Jeremy kelihatan jengkel. “Dia mengundangku ke pestanya. Dia belum diangkat menjadi Jendral dan sekarang ingin bikin pesta?”
Christian tidak menanggapi.
“Kau yakin kalau kau tidak apa-apa? Sepertinya kau jadi sedikit aneh,” kata Jeremy.
“Aku tak apa-apa,” Christian membasahi bibirnya. “Aku harus kembali dan melaporkan ini pada yang lain.” Ada sesuatu yang harus ditanyakannya pada Glenn.
“Apa? Kau baru datang dan sekarang mau pergi lagi? Istirahatlah semalam saja. Aku akan menyiapkan tempat untukmu.”
“Tidak. Aku buru-buru,” Christian menyingkirkan Jeremy yang menghalangi jalannya. “Oh, ya, sepertinya kau harus hati-hati, ada yang mengawasi rumahmu.”
“Apa?”
Christian tidak mendengar lagi kata-kata Jeremy karena dia menutup pintu kamar Jeremy, menuruni tangga dan keluar dari rumah itu dengan kepala yang rasanya sangat penuh diisi pertanyaan.
***
Aries memijit-mijit kepalanya sementara Raja Joseph dan Jendral Rodius sejak dua hari yang lalu terus mencecarnya dengan pertanyaan, malah sekarang anak-anaknya juga ikut-ikutan.
“Christian belum kembali sampai sekarang,” Raja Joseph mulai lagi. “Aku mulai merasa ada yang tak beres. Harusnya kau membiarkan dia pergi dengan seseorang bukannya sendirian!”
“Dia pasti akan baik-baik saja,” Aries mengulangi kalimat yang sama walau dia tak terlalu yakin. Waktu yang diberikan pada Christian sudah melebihi batas waktu. Dia sendiri juga tidak bisa menyimpulkan apa yang terjadi.
“Dia sendirian dan kembali ke kota sangat berbahaya baginya. Pasti ada seseorang yang mengenalinya. Seseorang dari istana. Bagaimana kalau dia—”
“Dia masih hidup,” Glenn memotong perkataan Raja Joseph.
“Kau yang menyuruhnya untuk melihat keadaan, apa kau tak merasakan penyesalan sedikit pun, Tabib Glenn?” kata Jendral Rodius juga ikut-ikutan jengkel.
“Anda sepertinya lupa kalau Christian itu laki-laki. Dia harus diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya sendiri, bukannya terus-terusan dalam bayang orang tuanya,” Glenn membalas dengan nada datar sambil melirik Alfred—yang mengerjap ketika dia berkata itu.
Jendral Rodius seperti kehabisan kata-kata. Aries berdeham untuk menghentikan kesunyian dari suasana canggung yang diciptakan Glenn. “Sepertinya tidak ada cara lain bagi kita selain mengutus beberapa orang kita untuk—apa?” Aries berhenti karena Glenn memegang tangannya, menyuruhnya diam.
“Ada kemungkinan kalau Christian ditangkap.”
Willy berdiri. “Aku akan mengutus teman-temanku untuk mencarinya.”
“Biar aku saja,” Glenn berdiri. “Jika banyak pergerakan saat ada acara besar di istana kita bisa dicurigai.”
“Kita tak bisa mengutus kau sendirian—”
“Guru, jika aku dan Christian tak kembali dalam enam hari, kalian kirim saja orang untuk mencari kami.”
Raja Joseph menatap Aries. “Aku mau tanya, Ketua Kelompok ini kau atau Tabib Glenn sih?” sindirnya.
Glenn memang sudah menduga kalau Christian tidak akan bisa menyelesaikan misi ini, tapi kemungkinan itu hanya sekitar dua puluh persen. Kemampuan berpedang Christian sudah lebih baik, hampir menyamai Alfred. Berarti kemungkinan lain, dia bertemu lawan tangguh, dikeroyok, ditangkap, atau paling buruk kalau dia sudah mati.
Namun Glenn tidak memikirkan itu saat ini. Dia harus mencari alasan untuk keluar dari markas. Harus ada yang dia kerjakan.
***
0 komentar:
Posting Komentar