RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 13 April 2011

Ocepa Kingdom Eps 17

Tujuh belas

Glenn menatap dirinya di cermin besar. Pantulan dirinya disana membuatnya ingin muntah. Dia memakai jubah kebesaran berwarna biru, pakaian bangsawan dengan kerah rimpel yang membuatnya gerah, ikat pinggang berbalutkan emas, sepatu tumit tinggi berkilat dan cincin emas yang dia kenakan. Rambutnya dibiarkan seperti biasa, penata rambut itu sampai takut ketika Glenn melarangnya menyetuh kepalanya, dengan mahkota kecil di dahinya.

Gambaran disana, sama sekali bukan dirinya. Dia hanya seorang Tabib, seorang rakyat jelata yang tiba-tiba menjadi seorang Raja. Dan kali ini dia harus menunjukan kekuasaan sebagai seorang Raja.

“Kau terlihat tampan,” kata Jeremy berdiri disamping Glenn.

Glenn berbalik dari cermin, “Bagaimana dengan Raja Joseph?”

“Dia dalam perjalanan menuju Aula Utama. Dia kelihatan tak senang. Jendral Rodius juga bersamanya, kurasa mereka akan melakukan sesuatu yang berbahaya jika tidak dikawal dengan ketat.”

Glenn tersenyum dan menepuk bahu Jeremy.

“Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Jeremy.”

“Yang Mulia, sekarang saatnya,” Elvius masuk ke kamarnya. Dia sudah mengenakan pakaian kebesaran sebagai seorang Jendral yang dulu pernah dia kenakan. Untuk acara ini, dia juga sudah mencukur habis rambutnya sehingga kepalanya yang botak kelihatan berkilauan. Dia melirik Jeremy. “Kau akan keluar dengan pakaian seperti itu?” katanya dengan tatapan mencela.

Jeremy tidak menanggapi.

“Biarkan saja, Penasehat. Dia kelihatan sempurna di mataku,” kata Glenn.

“Tapi pakaiannya terlalu biasa untuk acara seperti ini, ini hari besar Anda,” kata Elvius lagi.

Pakaian yang dikenakan Jeremy memang sangat sederhana. Pakaian putih dengan rompi yang terbuka. Celana tanggung kecoklatan dengan sepatu tumit tinggi berloreng dan ikat pinggang hitam yang menggantung pedangnya sementara rambutnya diikat berantakan.

“Aku sama sekali tidak keberatan, Penasehat,” kata Glenn lagi.

Elvius mengalah. Dia mengambil napas.

“Kalau begitu, Yang Mulia, kita keluar sekarang.”

Glenn melangkahkan kakinya. Dua orang pelayan membawakan jubah panjangnya yang terseret lantai. Dia kelihatan seperti pengantin wanita daripada Raja yang diseret ke tahta. Jeremy mengekor di belakang, matanya mentap awas ke sekeliling. Memperhatikan sesuatu yang tidak beres.

“Jika ini berhasil, Pangeran, apakah kau tahu kau selangkah menuju kematianmu sendiri?” Jeremy berbisik dari sudut bibirnya.

“Tidak bisakah kau bersenang-senang sedikit? Ini hari penobatanku.”

Jeremy tersenyum, setidaknya dia tahu kalau Glenn masih bersemangat untuk hidup.

***

Raja Joseph menahan napas ketika barisan prosesi memasuki aula depan. Jendral Rodius mengerjap. Glenn masuk, melangkahi karpet merah dengan dandanan yang membuat puteri-puteri Raja menoleh padanya.

Dia kelihatan berbeda, batin Raja Joseph. Pertama kali bertemu Glenn, pemuda itu kelihatan cerdas, berwibawa dan tampak tenang. Namun saat ini dia seakan melihat seorang penguasa. Wajahnya tegas dan berkharisma, dengan langkah gagah dan tatapan mata tanpa rasa takut. Saat dia berjalan, seakan-akan tidak ada yang bisa menilai kemampuannya.

Glenn menatap Raja Joseph, lalu menunduk, memberikan hormat.

Raja Joseph meneguk ludah. Hari ini dia harus menyerahkan mahkota itu pada seseorang yang berkhianat padanya. Seharusnya mahkota itu diberikan pada salah satu Pangerannya. Seorang putra yang sudah dipilihnya. Seharusnya seperti itu. Tapi dia sama sekali tak menyangka kalau dia akan meletakan mahkota itu ke atas kepala seseorang yang sama sekali tidak dia percayai.

Negara ini akan jadi apa kalau aku menyerahkannya pada orang yang sama sekali tidak melihat kehidupan masyarakat miskin?

Glenn menekuk lututnya ketika sampai ke anak tangga, kehadapan Raja Joseph. Dia berlutut dengan kepala tertunduk. Panatua Kerajaan membuka catatan panjang dan membaca doa-doa dengan asap-asap mengepul tak jelas, setelah itu mengambil dedaunan sambil mencelupkannya ke air dan menyemburkannya ke sekeliling aula.

“Apakah Engkau mau bersumpah, hai, Glenn Haistings Dominic, Putra dari Rofulus Haistings Dominic, menjadi Raja atas Ocepa? Apakah engkau bersedia menjadi Raja yang baik bagi mereka, jujur dalam bekerja, adil dalam bertindak, mendengarkan keluhan mereka dan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatmu?”

“Aku, Glenn Rofulus Haistings Dominic bersumpah dan bersedia menjadi Raja Ocean Pasifik Kingdom, menjadi Raja yang baik bagi rakyatku, adil dalam tindakan, jujur dalam pekerjaanku dan berusaha sekuat tenaga, menyejahterakan rakyatku.”

Suaranya lantang, membuat Raja Joseph terkesikap.

“Hari ini, kunobatkan kau menjadi Raja baru Ocepa. Dengan demikian kau sudah memberikan, tubuh, jiwa dan pikiran untuk rakyatmu.” Raja Joseph mengambil mahkota yang disodorkan salah seorang Menteri. “Kuberikan mahkota ini sebagai bukti dari ketulusan hatimu. Semoga Tuhan memberkati langkahmu.”

Raja Joseph meletakan mahkota itu ke kepala Glenn dengan tangan gemetar. Air matanya hampir saja menetes. Glenn menatapnya, tidak memberikan reaksi apapun. Lalu dia bangkit berdiri, diiringi dengan tepukan tangan dari seisi istana.

Hari ini Glenn resmi menjadi Raja Ocepa.

***

Christian dan Steave berdiri di barisan rakyat yang berkumpul di sepanjang gerbang istana. Dari dalam terdengar kabar kalau acara pelantikan sudah selesai. Rakyat berteriak bersamaan, menikmati suasana yang kegirangan. Tidak berapa lama kemudian ada kabar lagi kalau Raja Baru akan keluar dari istana, untuk memberikan senyuman hangat bagi rakyatnya.

Christian memakai tudungnya, menutupi wajahnya. Dia sama sekali tak mau ada yang mengenali wajahnya saat ini, bahkan Steave juga melakukan hal yang sama. Mereka menunggu kira-kira dua puluh menit sampai kemudian ada suara teriakan dari ujung barisan.

Bersamaan dengan jatuhnya kelopak-kelopak bunga berwarna-warni, barisan kereta kuda Raja akhirnya muncul juga. Pertama-tama adalah sekumpulan orang-orang berseragam dengan tombak di tangan, lalu menyusl kuda-kuda terlatih milik kesatria dan terakhir adalah kereta kuda yang ditarik oleh dua kuda putih gagah.

Di atas kuda itu ada Glenn, dengan mahkota yang bertengger di kepalanya. Dia tidak melambai ataupun tersenyum, hanya melihat kesekeliling. Disampingnya, ada seorang Kesatria yang berjalan mengikuti gerakannya dan sesekali berbicara sesuatu padanya. Tapi Glenn kelihatan tidak mendengar.

“Itu Glenn kan?”

Christian terkesikap ketika mendengar suara seorang wanita berambut pirang.

“Paman, itu Glenn kan? Kenapa dia tiba-tiba menjadi Raja?”

“Kalian mengenal Raja baru itu?” Steave bertanya.

Gadis berambut pirang itu mengangguk bersemangat.

“Tentu saja, dia temanku. Dulu dia sering membantu pengobatan di desa. Dia seorang Tabib dan Paman disampingku ini tinggal di rumahnya.”

Christian menatap gadis itu dan orang tua disebelahnya. Dia ingat kata-kata Glenn sebelumnya. Dia pernah tinggal dengan seorang pria tua dan wanita. Aleph dan Stacy. Mungkinkah mereka berdua?

“Hai, aku Stacy dan ini Paman Aleph,” gadis itu memperkenalkan diri tanpa harus disuruh.

“Steave, dan ini Christian,” kata Steave.

“Nama kalian umum sekali,” komentar Stacy. “Kenapa kalian memakai itu? Apa sekarang model begitu lagi ngetren ya?” Stacy menunjuk tudung yang dipakai mereka berdua. “Pria yang disana juga memakai benda yang sama.”

Stacy menunjuk ke ujung jalan, tepat di depan mereka ada seorang pria yang juga berdandanan sama seperti mereka. Christian menganga dan Steave mengerjap ketika mengenal siapa orang yang memakai pakaian itu.

“Guru?” bisik Christian.

“Ketua Aries? Katanya dia tak mau datang.”

“Oh, kalian satu kelompok ya?” Stacy mengangguk-angguk jenaka. “Paman, jika Glenn menjadi Raja, Stacy tak ada kesempatan lagi dong jadi pacarnya.”

Aleph cuma bisa tersenyum kecil saja.

Christian memperhatikan Glenn. Kereta kudanya beberapa meter lagi melewati mereka. Glenn menoleh ketika Kesatrianya berbicara dan—Christian meneguk ludah—menoleh ke arah mereka. Christian diam terpaku ketika mata mereka bertemu.

“Yang Mulia?” Jeremy menoleh heran karena Glenn tidak merespon. Dia melihat arah tatapan Glenn.

“Kurasa sudah saatnya kau meninggalkanku, Jeremy,” gumam Glenn menoleh pada Jeremy. Menghentikan tatapannya pada Christian. “Kau sudah menemukan Christian.”

“Yang Mulia…”

“Laksankan rencana berikutnya.”

***

Aries berjalan cepat, menghindari omelan panjang Christian. Anak yang satu itu benar-benar membuatnya jengkel dan tak habis pikir. Dia benar-benar cerewet. Setelah dia menemukan dirinya di antara kerumunan orang yang melihat penobatan Raja, anak itu terus merepet tak jelas.

“Guru—”

“Jangan panggil aku Guru!” Aries berbalik dan memotong pembicaraan Christian yang mengikutinya tanpa berhenti. “Berapa kali harus kukatakan kalau aku bukan gurumu dan aku tak sudi jadi gurumu! Berhentilah mengekoriku!”

“Aku tak akan berhenti sebelum aku benar-benar di angkat jadi murid. Apa yang membuatku berbeda dari Glenn? Kami sama-sama manusia, jadi aku juga punya hak untuk mendapatkan perhatian darimu.”

Steave mengerjap. Ini pertama kalinya Christian melawan perkataan Aries.

“Pertama, kau sama sekali tak punya bakat,” Aries menatap marah Christian. “Kedua, kau tak tahu seberapa sulitnya belajar pedang sementara tanganmu begitu lemah dan ketiga—” Aries menarik napas. “aku tak tertarik untuk mengajarimu bermain pedang! Dan asal kau tahu saja, aku sibuk mengurusi kelompokku daripada mengajarimu.”

“Guru, apa Guru tahu masalah apa yang akan Guru timbulkan jika menghimpun kelompok penghianat begini? Kalau Raja Glenn tahu bahwa Gurunya hendak berhianat padanya, maka—”

Aries mengangkat tangannya, menyuruh Christian diam. “Aku tahu seperti apa muridku. Aku hidup selama tujuh tahun dengannya, jadi kau tak berhak memberikan pendapatmu yang cuma tinggal selama beberapa bulan dengannya.”

“Tapi dia menghianati Raja Joseph!”

“Cukup!” Aries berteriak. “Aku menyuruhnya kembali ke negeri ini. Jadi ini bukan kesalahannya untuk menjadi seorang Raja. Dia berhak atas apa yang dia miliki. Asal kau tahu saja, dia lebih punya kekuasaan daripada kau!”

Aries masuk ke rumahnya sambil membanting pintu.

Christian menggertakan gigi. “Aku tak akan pulang sampai aku menjadi murid!”

“Terserah padamu, aku tak peduli!” Aries berteriak dari dalam.

Steave hanya dapat geleng-geleng kepala. Dia menepuk bahu Christian. “Kau membangunkan singa tidur. Menyerah saja dan lekas pulang, kalau tidak keluargamu akan khawatir.”

Christian menatapnya dengan kesal. “Mereka bukan keluargaku.”

Steave mengangkat bahu. “Baiklah, aku pulang. Hati-hati.”

Christian menatap pintu rumah Aries, menggertakan gigi. Dia tak akan menyerah begitu saja ketika dia menemukan tujuan hidupnya. Ada sesuatu yang membuat dia penasaran dan dia harus tahu. Istana itu benar-benar bermasalah dan jika dia harus menemukan apa yang terjadi, setidaknya dia harus punya kemampuan melawan. Apalagi jika musuhnya adalah temannya sendiri.

***

“Oke, aku sudah mulai menguatirkan keadaan Christian,” Willy menatap gerbang rumah mereka, melintasi rerumputan panjang. Alfred dan Jesse memakai topi jerami dengan pakaian penuh rumput, sejak kemarin mereka sibuk mencabuti rumput yang mengganggu bunga-bunga di taman mereka tumbuh. Kerja keras yang mereka dapat setelah mereka empat bulan tinggal di desa itu akhirnya membuahkan hasil. “Waktu itu dia bilang akan pergi beberapa hari, ini sudah lebih dari dua bulan. Apa yang dia lakukan sebenarnya?”

Peter mengangkat bahu. Dia membawa dua ember penuh berisi air. Di belakangnya, Eldin mengikutinya, membawa tumpukan jerami. Mereka berdua berkeringat setelah seharian bekerja keras di sawah petani, membantu mereka memanen.

“Waktu itu dia bilang cuma beberapa hari,” kata Peter meletakan airnya. Kemudian dia memukul bahunya yang pegal.

“Aku mulai merasa kalau dia ditipu oleh temannya itu, atau paling tidak, dia ditangkap oleh prajurit istana,” Willy melipat tangan.

“Kemungkinan pertama lebih besar daripada kemungkinan kedua. Christian sama sekali tidak dikenal publik asal kalian tahu saja,” Louis masuk, melompati pagar rumah mereka yang masih tertutup. Beberapa gadis yang mengikutinya berbisik-bisik mengenai dia. Beberapa minggu ini desa mereka jadi sedikit terkenal karena Louis. Itu dikarenakan Louis membuka kelas membaca untuk semua kalangan tanpa bayaran. Hasilnya benar-benar diluar kendali, Louis sudah memiliki tujuh puluh tiga murid dari berbagai usia dan mereka semua memberikan bayaran yang sangat membantu kehidupan para pelarian ini. Kebanyakan memberikan ubi, makanan kecil, pakaian buatan sendiri dan kue-kue hangat namun ada juga yang tak segan-segan memberikan sapi, kambing dan domba.

“Kakak, hari ini kau diikuti lagi,” Willy berkomentar, menunjuk kerumunan cewek yang berdiri beberapa meter di depan gerbang.

Louis melihat ke belakang dan tersenyum. “Mereka murid baru. Kenapa?”

“Aku mulai menduga kalau mereka akan melamar kau suatu hari nanti,” gumam Willy. “Kalau kau tak segera memilih salah satu dari mereka untuk kau nikahi, mereka akan berkelahi memperebutkanmu. Kau tak lihat kalau orang tua mereka memberikan banyak hadiah?”

Louis mengangkat bahu, tampak tak peduli. “Aku tak tertarik pada mereka.”

“Oh, jadi kau cuma tertarik pada Asentina. Sudahlah, lupakan saja gadis sok itu. Dia toh entah ada dimana, mungkin sedang mengincar Glenn. Aku tahu kalau gadis itu suka mengincar tahta dan banyak pria berkuasa menyukainya. Dia kan cantik.”

Louis tertawa mendengar komentar Willy.

“Willy, bukannya kau lebih menyukai dia daripada aku? Kau tenang saja, aku tak akan merebut gadismu. Lagipula, aku sudah menemukan gadis manis yang cocok untukku.”

Willy, Peter, Alfred, Jesse dan Eldin mengadah dengan cepat. Ini pertama kalinya mereka mendengar kabar seperti ini dan Louis tidak main-main. Dia tak pernah bohong, dengan nada bercanda seperti yang dilakukan Charlie.

“Eh? Siapa?” kata Willy.

“Dia gadis baru. Aku belum pernah bertemu dengannya. Mungkin dia baru pindah karena aku baru bertemu dengan dia hari ini.”

“Gadis baru dan kau baru bertemu dengannya hari ini?” Jesse mengulang. “Jangan-jangan—”

“Cinta pada pandangan pertama,” Louis melanjutkan. Wajahnya berbunga-bunga dan sinar matanya kelihatan bahagia. Yang lain melongo. “Yah… kurasa dia tak tertarik padaku, soalnya dia lebih suka berbuat baik dan banyak cowok mendekatinya, mungkin karena dia berbeda. Kurasa aku tak akan kalah. Oh, ya, kuingatkan pada kalian, jangan coba-coba mendekatinya.”

“Siapa namanya? Siapa nama gadis beruntung yang mendapat cinta dari Kakakku ini?” kata Willy lagi.

“Stacy, aku sudah bilang kalau aku tidak sakit!”

Charlie berteriak dari ujung lapangan. Dia berlari cepat setelah menyingkirkan tangan seorang gadis dari dahinya. Gadis berambut pirang itu mengikuti dan menarik roknya melewati lapangan rumput.

“Kau demam dan wajahmu menguning. Apa kau tak takut kalau kau kena penyakit lever? Paling tidak aku harus memeriksamu.”

“Aku baik-baik saja. Aku cuma demam biasa. Tidur sebentar, aku juga pasti sudah sembuh,” kata Charlie mengibas-kibaskan tangannya. “Jangan mengikutiku. Jauh-jauh sana. Kita baru bertemu hari ini, aku tak mau sok kenal denganmu.”

Mereka melotot ketika melihat Charlie masuk diikuti dengan seorang gadis berambut pirang dikepang. Ini pertama kalinya Charlie pulang bersama dengan seorang gadis. Biasanya dia antipati pada gadis. Walau dia disukai gadis-gadis dari antar desa karena gayanya yang santun, perhatian dan suka membantu orang, dia lebih suka bergaul dengan orang tua dan nenek-nenek, seperti orang tua. Ketika ditanya kenapa, dia menjawab.

“Para gadis itu memelototiku dengan mata berbinar, memangnya aku ini penghuni kebun binatang?”

“Stacy?” Louis mengerutkan dahinya. “Kau bersama adikku? Kok bisa?”

Stacy menatap Louis, mengerjap jenaka, lalu berkata, “Hai, Louis, kita bertemu lagi. Aku mau tanya padamu, apa adikmu ini tak pernah istirahat? Mukanya pucat, aku khawatir dia sakit lever. Aku cuma mau memeriksanya sebentar. Tapi sepertinya adikmu ini anti-perempuan.”

“Aku tidak anti-perempuan!” gerutu Charlie. “Kakak, kau kenal cewek ini? Bilang padanya supaya jauh-jauh dariku.”

“Eh?” Louis mengerjap.

“Kuberitahu padamu, Bung. Aku Tabib baru di desa ini dan mataku langsung melihat kalau kau punya masalah kesehatan. Aku cuma mau periksa, Glenn memintaku untuk menerapkan ilmuku pada semua orang untuk kebaikan.”

“Glenn, katamu?” Alfred bangkit berdiri. “Bukan Glenn si Raja itu kan?”

“Ya dia, siapa lagi? Dia itu kan dulu Mantan Tabib di istana, iya kan?” Stacy mengerjap jenaka lagi lalu tersenyum seperti anak-anak.

“Kau kenal Glenn? Kau punya hubungan apa dengannya?” kata Alfred lagi.

“Aku? Um… aku cuma salah satu cewek yang dekat dengan dia saat itu. Dia teman baikku, bisa dikatakan seperti itu,” jawab Stacy menggaruk dagunya. “Ya sudahlah, kalau kau tidak mau periksa juga tidak apa. Namun, jika kau merasa tidak enak badan, datang ke praktekku ya? Aku ini murid dari Tabib Glenn, jadi aku ini bisa diandalkan.”

Stacy mengangkat roknya dan pergi sambil melompat-lompat kegirangan.

Louis mengeluh, Willy menepuk bahunya.

“Jangan menyerah, Kak. Aku yakin kau masih ada harapan untuk mendapatkan gadis itu walau saingan cintamu cukup berat.”

Charlie mengerutkan dahi.

“Kakak, kau suka gadis itu?” katanya kaget. “Aku tak nyangka kau suka tipe begitu.”

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.