RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 13 April 2011

Ocepa Kingdom Eps 16

Enam belas

Desa Medlorld benar-benar desa kecil, terpencil dan terkucil. Desa itu hanya diisi dengan padang rumput. Padi-padi di tanam di satu sisi dan menguning cantik. Di lain tempat, jagung yang siap di panen juga diisi dengan para petani, kebanyakan orang tua dengan usia berbeda. Mereka tidak disambut seperti yang biasa mereka terima ketka mereka masuk ke suatu tempat dan itu bagus.

Mereka memutuskan mendirikan sebuah rumah di dekat pinggiran hutan yang dekat sungai. Alasannya, jika mereka kabur maka hutan adalah tempat yang tercepat dan ada sungai sebagai tempat kehidupan. Tidak ada kesenjangan sosial saat ini. Mereka semua sama, itulah yang dikatakan Pangeran Charlie—mungkin sekarang lebih baik mereka dipanggil tanpa embel-embel.

Rumah mereka cukup besar dengan tiang-tiang terbuat dari kayu. Orang-orang di desa sangat baik dan sangat membantu ketika mereka membutuhkan pertolongan. Mereka disediakan tempat tinggal sementara saat mereka masih dalam tahap pendirian rumah mereka dan mereka diberikan bahan makanan. Charlie sangat suka bergaul dengan mereka. Dia selalu bertanya dan cerewet. Apa ini, apa itu, bagaimana ini bekerja, bagaimana kalau kita melakukan ini dan macam-macam lagi. Willy lebih banyak berkomentar tentang atap rumah, dinding rumah, pagar rumah dan tentang makanan. Louis berbeda, dia punya rasa sosial yang sangat tinggi dan pengetahuannya luar biasa. Para orang tua itu menyukainya ketika dia berbicara dengan cara bicara cendikiawan terpelajar. Namun Christian tetap seperti dulu. Dia menjadi penyendiri yang antipati terhadap semua orang kecuali dia.

Christian mengenal seseorang sebulan setelah mereka sampai di Medlorld. Seseorang yang tak mau dia beritahu siapa namanya. Awalnya Eldin curiga dengan sikap aneh Christian. Dia selalu keluar sewaktu pagi dan pulang saat matahari terbenam, kemudian mengunci diri di kamar. Dia sama sekali tak mau membantu soal pekerjaan dan rumah mereka. Seakan-akan dia hidup di dunianya sendiri.

Willy yang tak sabar bertanya, untuk yang kesekian kalinya, “Kau mau kemana?”

Christian mengikat sepatunya dan melangkah keluar dari pintu, tidak menjawab.

“Biarkan saja,” Louis meneguk tehnya. “Dia dalam proses pencarian jati diri.”

“Tapi, jika dia pergi sendirian dan dikenali, maka akan sangat berbahaya baginya,” kata Jesse bangkit dari tempat duduknya.

“Tidak perlu diikuti. Apa kalian sudah lupa kalau tak ada yang mengenali Pangeran Christian? Dia sudah dianggap mati oleh rakyat,” kata Louis lagi. “Dia sudah lama tidak muncul dipublik hampir sekitar sepuluh tahun, jadi kurasa tidak apa-apa.”

“Tapi—”

“Biarkan dia melakukan apa yang dia suka. Kalau dia capek, dia akan berhenti sendiri.”

Perkataan Louis membuat yang lain bungkam dan mereka tak banyak bertanya lagi. Entah apa yang dilakukan Christian diluar sana dengan orang tak dikenal, namun yang lain tak cemas, soalnya dia selalu pulang tetap waktu secara rutin setiap hari. Tapi ada sesuatu yang berbeda beberapa hari kemudian, dan tampaknya bukan hanya Eldin saja yang menyadari.

“Christian semakin tinggi dan tubuhnya kelihatan lebih kekar,” kata Peter ketika mereka makan malam. Christian baru saja lewat dari depan mereka tanpa berkata apapun dan masuk ke dalam kamar. Rumah tempat mereka tinggal cuma dijadikan sebagai tempat tidur saja. Dia belum pernah makan sekalipun di rumah itu. Dia selalu makan di luar. “Kulitnya sedikit lebih gelap dan wajahnya kelihatan lebih tenang. Apa itu cuma perasaanku saja ya?”

“Dia makin tumbuh dewasa. Kupikir dia mempelajari sesuatu di luar sana,” kata Charlie menyendok sayur. “Kuharap suatu hari dia mengatakan pada kita apa yang dia kerjakan.”

Christian keluar dari kamarnya dan bajunya sudah diganti dengan yang lebih bersih. Dia duduk di meja makan, disamping Willy, hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.

“Kau sudah makan?” itulah kata-kata Willy yang pertama setelah sekian lama dia cuma melihat Christian sekali sehari. Kalau dipikir-pikir sejak mereka keluar dari istana, mereka sangat jarang bicara.

“Sudah dan saat ini aku vegetarian,” ucapnya melirik telur yang di makan Jesse. “Aku cuma mau tanya, apa kalian sudah dengar kabar mengenai istana?”

“Kabar apa? Desa ini terpencil, berita yang masuk sangat jarang di dapat,” kata Eldin. “Kita harus berjalan jauh cuma untuk mencari kabar kalau tak ada orang yang keluar dari desa.”

“Salah satu temanku bilang kalau akan ada Raja baru di Ocepa. Coba tebak siapa?” Christian tersenyum. “Glenn akan dilantik menjadi Raja Ocepa sekitar seminggu lagi dan kabarnya mahkota itu akan diberikan oleh Raja Joseph sendiri. Apa kalian tahu apa artinya ini kan?”

Charlie menurunkan piringnya. Tiba-tiba selera makannya hilang.

“Kau seharusnya tidak mengatakan kabar itu ketika kita sedang makan,” kata Alfred jengkel. Dia ikut-ikutan tak berselera makan.

“Apa boleh buat, cuma jam segini kalian bisa kumpul bersama dan aku ada urusan besok,” kata Christian lagi. Dia sama sekali tak menyesal.

“Kalau boleh aku tahu, apa yang kau lakukan di luar sana?” kata Louis pelan.

“Aku berteman.”

“Oh, yeah? Dengan siapa tepatnya? Apa temanmu itu yang memberitahumu mengenai masalah ini?” kata Alfred sedikit jengkel.

“Aku tak bisa duduk diam disini tanpa melakukan apapun. Salah seorang temanku akan datang besok, jadi lebih baik aku tidur. Aku cuma mau bilang kalau dalam beberapa hari aku tak bisa pulang.” Christian bangkit dari tempatnya.

“Memangnya besok kau mau kemana?”

“Aku mau melihat event besar Pangeran Glenn menjadi Raja.”

Perkataannya membuat yang lain panik. Secara serempak mereka menolak dan mengemukakan pendapat masing-masing.

“Tidak boleh! Bagaimana kalau kau dikenali olehnya?”

“Benar! Nyawamu sedang dalam masalah!”

“Sejujurnya, dia tak akan bisa masuk ke istana!”

“Tapi tetap saja itu berbahaya! Jangan pergi! Aku melarangmu!”

“Sejak kapan aku mendengarkan kalian?” kata Christian dan yang lain terpaku. “Aku bukan anak kecil yang selalu kalian urus, aku bisa mengurus diriku sendiri dan asal kalian tahu saja, saat ini aku bisa melindungi diri sendiri. Lagipula, ini hidupku, aku tak mau kalian ikut campur.”

Christian naik ke kamarnya dan dia membanting pintu kamarnya.

“Dia berubah…” gumam Jesse, “semakin ganas…”

***

Elvius tersenyum senang ketika Erold membawakan sebuah mahkota di atas sebuah bantalan merah ke depan Glenn. Glenn memperhatikan kalau mahkota itu cukup besar, dihiasi dengan permata dan berlian berkilauan dengan emas yang melapis dengan sangat sempurna. Glenn menopang dagunya dan melipat kakinya. Dia duduk di singgasana kerajaan dan tampak tak tertarik dengan mahkota itu.

“Bagaimana, Yang Mulia? Mahkota ini sangat sempurna kan?” kata Elvius.

“Pasti sangat cocok di kepala Anda,” kata Erold berbinar.

“Saya memesannya dari seorang pengerajin negeri Aragra. Harganya sangat mahal. Kurasa itu harga yang pantas. Benar begitu kan, Yang Mulia?” Elvius menatap Glenn yang tak memberikan respon seperti yang dia harapkan.

“Hm…” Glenn bergumam. “Aku lebih suka mahkota yang lama milik Raja Joseph. Rasanya lebih glamor daripada mahkota ini.”

Komentarnya barusan membuat Elvius menggertakan gigi.

“Jika mahkota ini tidak memenuhi standar keinginan Anda, saya akan menggantinya dengan yang baru dan membunuh pengerajin yang membuat mahkota sialan ini.”

“Tidak, bukan begitu Penasehat Elvius. Aku bukan tidak suka mahkota itu, justru sebaliknya, aku menyukainya,” Glenn berkomentar datar. “Kita tak akan punya waktu sampai pada saat pelantikan, jadi biarkan saja mahkota itu disini. Aku akan memakainya pada saat pelantikan.”

“Tapi, Pangeran, acara itu akan menjadi sejarah bagi Dominic, harus dipersiapkan dengan sempurna. Kalau begini ceritanya, aku akan mengambil mahkota Raja Joseph dan mempersembahkannya padamu.” Elvius menunduk bersalah.

Glenn diam beberapa menit lalu menghela napas.

“Apa kau bermaksud menghinaku, Penasehat?”

“Maaf, Pangeran?” Elvius tampak tak mengerti.

“Apa kau ingin agar aku memakai mahkota bekas milik Raja Joseph?”

Elvius gugup. “Tidak, Pangeran. Tidak seperti itu. Aku sama sekali tak bermaksud begitu. Sungguh. Maafkan saya.”

Glenn tersenyum. “Tenang saja, Penasehat. Tidak apa-apa. Kita sudah saling mengenal. Aku bisa mengerti kalau kau ingin agar pelantikanku ini sempurna. Namun mahkota yang kau berikan sudah sempurna, jadi kau tidak perlu khawatir. Aku akan memakainya dengan senang hati.”

Penasehat Elvius tersenyum senang.

“Baiklah kalau begitu, Pangeran. Jika Anda tidak keberatan, bagaimana kalau Anda juga mencoba jubah yang sudah dirancang. Kami sudah—”

“Penasehat, aku sedikit lelah, bisakah kita lanjutkan besok saja? Kau juga butuh istirahat, jangan terus-terusan mengurusiku. Kau harus memikirkan kesehatanmu juga,” kata Glenn pelan dan lembut.

“Anda terlalu perhatian, Yang Mulia.”

“Tinggalkan saja mahkota itu disini, aku masih ingin melihatnya,” kata Glenn lagi.

Elvius tersenyum. Mereka keluar dari ruang kerja Glenn dan menutup pintu secara perlahan. Glenn bangkit dari tempatnya dan mengambil mahkota itu, memperhatikan setiap guratan sisi-sisi mahkota itu. Sangat sempurna.

“Kau tahu, Raja yang baik adalah Raja yang takut pada tanggung jawab karena dengan begitu dia akan berusaha keras untuk memenuhi tanggung jawab itu. Kau memang sangat berbeda dari pada ketiga Pangeran yang lain. Di mataku, kau yang terbaik Putraku. Aku berjanji akan memberikan tahta padamu, suatu hari nanti.”

“Mahkota ini, harusnya ada di kepala Pangeran Christian, iya kan?”

***

Peter bangun sambil mengeluh. Seseorang baru saja menggedor pintu depan dan tak ada satu orang pun yang berniat untuk membukanya sampai akhirnya Alfred—yang tidur sekamar dengannya—menendangnya dari tempat tidur. Matahari masih belum nongol dan udara masih dingin. Siapa sih yang bertamu subuh begini?

“Permisi, aku Steave temannya Christian. Dia ada?”

Peter masih belum mencerna apa yang terjadi ketika dia membuka pintu depan. Ada seorang laki-laki di depan, seumuran Louis. Sejauh yang diperhatikan Peter, dia anak laki-laki tinggi, berperawakan menarik dengan warna kulit gelap.

“Mau apa cari Christian?” kata Peter mengucek matanya.

“Christian tidak bilang kalau aku temannya?”

Peter jadi mengingat kata-kata Christian tadi malam. Salah satu temannya akan datang, ternyata ini orangnya. Akhirnya Peter memersilakan Steave untuk masuk dan naik ke atas, menggedor pintu kamar Christian. Dikedoran ketiga, Christian keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap.

“Kau terlalu pagi,” itu komentar Christian saat turun.

“Aku mau bertemu Ketua dulu sebelum aku pergi,” kata Steave. “Percuma saja, Christian, walau kau memohon sekaligus, aku tak akan mengizinkanmu untuk berguru dengannya. Berapa kali harus aku bilang kalau dia itu sangat keras?”

“Kau mau berguru apa?” kata Peter terheran.

Christian tidak menjawab. Dia menyebrangi ruangan, mengambil sepatunya dan menyuruh temannya untuk segera berangkat. Mereka tidak mengucapkan salam perpisahan ketika mereka bangkit dan keluar dari rumah itu.

“Apa tidak apa-apa membiarkan keluargamu sendirian disana?” kata Steave. Dia melompati kotoran sapi di depan gerbang. “Mereka bisa khawatir.”

“Mereka bukan keluargaku,” gerutu Christian. “Memangnya Guru tidak ikut melihat pengangkatan Raja baru Ocepa?”

Steave mengangkat bahu. “Entahlah. Aku tidak tahu jalan pikirannya.” Lalu dia melanjutkan, “Sebaiknya kau menyerah saja. Sudah sebulan ini kau mengejar-kejar Ketua cuma untuk diangkat jadi muridnya, tapi dia masih tetap pada pendiriannya. Sebaiknya kau tidak membuang-buang waktu dan tenagamu. Cari saja guru pedang yang lain.”

“Aku cuma mau diajari sama Guru.”

Steave geleng-geleng kepala. Dia menyerah melihat keras kepala Christian. “Ketua sudah bilang kan, jangan memanggilnya Guru karena kau belum diangkat jadi murid. Apa kau tak capek jadi budaknya? Dia selalu menyuruhmu kerja keras kan?”

Christian tidak menjawab. Langkah kakinya semakin cepat, menerobos kegelapan.

“Bagi Ketua Aries Elladora cuma Pangeran Glenn Haisting-lah muridnya. Kau menyerah saja.”

“Jika Glenn bisa menjadi muridnya, maka akupun harus bisa.”

***

Raja Negeri Axantos, Alexandro, tersenyum di kursi singgasananya ketika mendengar kabar yang datang dari negeri seberang. Dia menopang dagunya, matanya kelihatan berbinar. Si pembawa pesan yang berlutut di depannya, juga ikut-ikutan tersenyum. Sepertinya mereka memiliki perasaan yang sama tentang pesan yang baru saja datang.

“Jadi,” Raja Alexandro membuka mulutnya, “dia berhasil juga masuk kesana.”

“Ya, Yang Mulia,” kata si pembawa pesan.

“Baiklah. Terima kasih atas pesan yang sudah dikirim kemari.”

Si pembawa pesan bangkit dan pergi dengan langkah tertunduk.

Raja Alexandro tersenyum lagi beberapa menit kemudian. Dia memperhatikan kuku jarinya. “Dia jadi Raja juga, rupanya. Black Knight kesayanganku ternyata hebat juga. Dia memang penipu handal.” Raja Alexandro bangkit. “Kuharap dia bisa menjadi Raja yang sangat baik.” Lalu tertawa.

***

Aries Elladora semakin jengkel dari hari ke hari ketika mengenal Christian. Anak yang satu itu benar-benar keras kepala. Dia begitu ngotot untuk menjadi muridnya. Tapi Aries tetap pada pendiriannya, baginya hanya Glenn-lah muridnya dan tidak ada lagi yang lain.

“Guru.”

Aries Elladora memberikan tatapan sangar saat dia menggosok pedangnya dan Christian muncul lagi bersama Steave. “Jangan panggil aku guru, aku bukan gurumu.”

“Guru tidak melihat penobatan murid kesayangan Guru menjadi Raja?” Christian pura-pura tidak mendengarkan.

“Tidak. Aku lebih suka duduk diam di rumah. Akhir-akhir ini punggungku sering pegal,” gerutu Aries pura-pura tidak melihat Christian.

“Itu karena Ketua sudah tua,” sambung Steave.

“Aku tak tanya pendapatmu,” gerutu Aries. “Kalian pergilah.”

Steave menarik Christian. Memaksanya untuk pergi dari rumah Aries.

Aries menatap pedangnya, matanya menerawang.

Anak itu… sedang mengorbankan nyawanya… seharusnya aku tak memaksanya untuk kembali ke negeri ini…

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.