RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 13 April 2011

Ocepa Kingdom Eps 12

Dua belas

Glenn mengelus Nheo dengan sayang. Kuda itu menggoyang-goyangkan ekornya dan menghentak-hentakan kaki kanannya dengan tak sabar. Biasanya kalau Nheo bertingkah seperti itu adalah karena dia merindukan Glenn.

“Hm…” Glenn tersenyum dan mencium Nheo. “Kau pasti bosan disini. Biasanya kita selalu jalan-jalan kalau sore menjelang, atau paling tidak mengunjungi rumah penduduk yang sakit. Aku mengerti, Nheo. Aku juga bosan disini.”

“Asal kau tahu saja kalau kita belum boleh keluar dari sini,” kata Jesse meletakan tumpukan jerami. Dia membersihkan rompinya yang kotor. “Kudamu cantik.”

“Nheo ini kuda liar,” kata Glenn kembali menepuk-nepuk kepala Nheo. “Empat tahun yang lalu dia terluka saat dia masih kecil, lalu kubawa ke pondok dan diobati, sejak saat itu dia tak mau meninggalkanku dan mengekori kemanapun aku pergi walaupun dia sudah kutinggal.”

“Kau juga tahu cara mengobati binatang? Luar biasa,” Jesse terkagum.

“Tidak juga. Aku cuma memakai cara pengobatan biasa.” Glenn meninggalkan Nheo dan kembali mengambil jerami yang lain dan kembali meletakannya pada tempat yang sudah ditentukan.

Setelah selesai dengan tumpukan jerami, mereka kembali disibukan dengan pengangkatan air, memberi makan kuda, membersihkan kandangnya—yang luar biasa bau (Jesse dan Peter hampir pingsang karena ini)—memandikan kuda dan saat mereka menyelesaikan tugas mereka yang terakhir, matahari sudah tenggelem di barat.

“Aku capek,” Peter merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang basah.

“Anda yang bernama Tabib Glenn Haistings?” seorang prajurit mendatangi Glenn yang sibuk memeriksa keadaan minuman kuda.

“Iya. Ada apa?” Glenn mengeringkan tangannya dan segera ke arah prajurit.

“Seorang laki-laki tua dan wanita menunggu Anda di depan gerbang. Katanya mereka mengenal Anda. Ada yang ingin mereka sampaikan.”

“Baiklah. Terima kasih.”

“Siapa yang datang?” Jesse memukul-mukul tangannya yang pegal.

“Mungkin Pamanku, aku kesana dulu ya?”

Glenn berlari menerobos kegelapan. Tubuhnya memang sedikit capek, tapi dia kelihatan senang saat mengetahui kalau Aleph datang menjenguknya.

“Paman!”

Aleph melambai gembira saat Glenn berlari mendekat. Disampingnya ada Stacy. Hari ini dia kelihatan cukup rapi dengan mengikat rambutnya dan sedikit mendandani wajahnya. Glenn mengerutkan hidungnya saat mencium bau yang aneh dari tubuh Stacy yang tak biasa. Wangi lavender.

“Kau pakai parfum ya?” Glenn menutup hidungnya. Stacy mengangguk semangat dengan wajah merona. “Kau terlalu banyak menyemprotkannya. Hidungku jadi sakit mencium baumu.”

Aleph mencubit tangan Glenn, menyuruhnya untuk tidak mengomentari dandanan Stacy malam ini.

“Tuan Muda, dia sengaja datang kesini cuma untuk bertemu Anda, jangan mengucapkan kata-kata yang jahat begitu,” bisik Aleph.

Glenn tidak membalas.

“Cookie?” Stacy menyodorkan piring yang berisi kue kering pada Glenn.

“Terima kasih, Stacy,” Glenn memutuskan untuk mengambilnya sebagai ucapan maaf. “Kenapa kalian tidak bilang mau datang?”

“Kami datang ke kota cuma mau mengambil persediaan obat, yang lain sudah habis. Tapi Stacy bilang lebih baik mampir dulu untuk melihat keadaanmu, siapa tahu kau tak kembali dalam waktu lama. Tuan Muda baik-baik saja kan disini? Anda jadi kelihatan lebih kurus. Saya mendengar tentang serangan itu.”

“Ah, Paman. Aku baik-baik saja kok,” Glenn tak suka membicarakan masalah itu di depan gerbang istana. “Disini cukup menyenangkan. Sebaiknya kalian segera kembali. Hari sudah malam, lebih baik aku mengantar kalian sampai rumah.”

“Ah, tidak usah, Glenn.” Stacy menolak cepat. “Glenn kan sibuk. Besok juga harus kerja keras kan?”

“Tapi kalian membawa obat dan perampok berkeliaran saat malam tiba,” Glenn menatap Stacy. “Paman sudah tua dan kau seorang wanita, kalian bisa jadi sasaran empuk. Aku akan minta izin pada Pangeran dulu. Kalian tunggu disini ya, aku akan segera kembali.”

“Tapi, Tuan Muda—”

“Paman, aku yang tak tenang nanti membiarkan kalian berkeliaran.”

Aleph menghela napas saat Glenn berbalik masuk ke istana.

“Stacy, jangan menatapnya seperti itu. Wajahmu menakutkan tahu,” kata Aleph saat melihat Stacy yang tak bisa mengalihkan pandangannya dari Glenn.

“Dia makin tampan, Paman.”

“Tuan Mudaku itu memang tampan.”

***

Pangeran Louis melongok dari balik pintu kamarnya lalu mengerucutkan bibir. Tak lama kemudian dia menghela napas dan kembali menutup pintu. Dia bosan. Tidak seperti para Pangeran yang lain yang memiliki Kesatria sendiri, dia justru tidak memiliki siapa-siapa. Tidak ada yang datang untuk mengobrol dengannya. Tiba-tiba dia jadi merindukan Glenn. Apa Pangeran Christian melarang Glenn untuk bertemu dengannya? Dia memonopoli Glenn seorang diri.

“Kakak, kau disini?” Pangeran Charlie membuka pintu kamarnya. Alfred ada di belakangnya.

“Charlie, kau sudah bisa keluar kamar?” Pangeran Louis heran.

“Mana bisa aku tahan duduk diam di kamar terus,” kata Pangeran Charlie melipat tangannya. “Nggak ikut keluar? Aku mau ketempat Pangeran Christian. Sudah lama aku tidak datang ke Istana Aclopatye.”

Pangeran Louis menurut. Dia cepat-cepat keluar. “Apa Ayahanda tak akan memarahi kita jika kita melanggar perintahnya? Kita masih dihukum.”

“Tak usah khawatir. Biar nanti aku yang bicara padanya,” kata Pangeran Charlie.

Pangeran Christian terheran-heran melihat Pangeran Louis, Pangeran Charlie dan Alfred yang datang ke kamarnya. Tidak biasanya mereka datang menengoknya. “Kenapa kalian kemari? Mau menengokku atau Glenn?”

Pangeran Louis ber-hehe, tak menyangka kalau Pangeran Christian bisa menebak apa yang dia pikirkan.

“Glenn masih tidur. Dia baru pulang mengantar Paman dan pacarnya semalam.” Pangeran Christian membalik lembaran buku yang dia baca, pura-pura tidak melihat ekspresi kaget yang muncul dari wajah Pangeran Louis.

“Glenn punya pacar?” kata Pangeran Louis.

“Entahlah. Pokoknya kemarin malam dia minta izin padaku mengantar seorang lelaki tua dan wanita. Katanya mereka sangat penting baginya. Aku bisa mengambil kesimpulan kalau Glenn mencemaskan wanita itu, makanya dia mau repot-repot mengantar mereka sampai pulang pagi.” Pangeran Christian menjelaskan tanpa menatap mereka.

“Kamar Glenn dimana?” Pangeran Charlie bertanya.

“Di kamar utama.”

Alfred mengerutkan dahi saat Pangeran Christian menjawab. Pikirannya kembali dipenuhi pertanyaan-pertanyaan lagi. Saat mengikuti para Pangeran, Alfred lebih fokus dengan pertanyaan kenapa. Kenapa Glenn ada di kamar utama yang seharusnya untuk kamar pangeran sementara Pangeran Christian ada di kaar Selatan? Kenapa Pangeran Christian tampaknya tidak terlalu menyukai Glenn padahal mereka teman baik? Kenapa juga Pangeran Willy lebih bergembira melihat Glenn pada saat kembalinya dia dari pengasingan? Dan banyak lagi yang sejenis. Namun, dia sendiri juga tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.

“Ah, dia benar-benar masih tidur,” kata Pangeran Louis. Dia membuka pintu besar yang tertempel di dinding batu. Di balik pintu tampak kamar besar dengan perapian yang sudah mati, sebuah lemari besar terbuat dari kayu jati dan diolesi minyak sehingga tampak berkilat, permadani merah di tengah-tengah ruangan, jendela besar yang memasukan banyak sinar matahari pagi dan angin segar, dan sebuah tempat tidur di tengah-tengah ruangan.

Glenn masih tidur dengan posisi memeluk guling. Selimut tebal hanya menutupi kakinya sedikit. Dia masih berpakaian lengkap, sepatunya bahkan tidak dilepas dan pedangnya ada di atas tempat tidur. Glenn pasti pulang entah sepagi apa sampai membuatnya tidur dalam keadaan seperti itu.

“Kita keluar saja. Biarkan dia tidur sampai puas.” Pangeran Charlie mendorong Pangeran Louis keluar dari kamar Glenn. “Kita main ke tempat lain saja. Bagaimana kalau kita main pedang? Sudah lama kalau kita tidak main pedang kan?”

“Boleh juga,” kata Pangeran Louis. Dia menoleh sekali lagi pada Glenn yang tertidur lelap dan mengikuti Pangeran Charlie.

Glenn mungkin memang kelelahan.

“Uh…”

Mereka terpaku ketika Glenn bersuara pelan dan bergerak. Secara serentak, mereka kembali melongok ke dalam kamar Glenn. Glenn menggerakan badannya dan berbalik, matanya terbuka cepat dan seketika dia terbangun ketika melihat matahari sudah ada di langit. Bersinar sangat terik.

“Ha? Sudah siang?” katanya memegang kepalanya.

“Kau terlambat,” Pangeran Louis masuk ke kamarnya. Glenn tampak kaget. Pangeran Louis tersenyum dan duduk disampingnya.

“Pangeran,” dia mengalihkan pandangan pada Pangeran Charlie lalu pada Pangeran Louis. Terheran-heran. “Bukannya kalian masih dalam masa hukuman Raja Joseph?”

“Tak jadi masalah,” Pangeran Louis merangkul Glenn. “Kami berencana mau main pedang. Ikut?”

Glenn melirik Pangeran Charlie lagi. Bisa gawat kalau dia terlibat masalah lagi dengan kedua pangeran ini. Namun ketika Glenn hendak memberi alasan, Pangeran Christian yang rupanya menyusul mereka menjawab dengan nada datar, “Ikut.” Dengan kata itu, tentu saja dia tak bisa menolak.

“Kita ajak Pangeran Willy juga. Dia tak akan senang jika dia tak diajak. Kalian tahu sendiri kalau dia mudah tersinggung.” Pangeran Charlie menepuk-nepuk bahu Pangeran Christian. Tampaknya dia senang sekali jika jumlah orang yang melanggar perintah raja bertambah. “Alfred, kau panggil dia ya?”

“Masalahnya, kita tak mungkin main pedang di lapangan Istana,” kata Alfred melipat tangan. “Kita masih dalam hukuman. Jika Raja Joseph tahu, maka hukuman kita justru makin berat.” Dia berkata hal itu sambil melirik Glenn.

Glenn mengerjap. Dia bisa menangkap apa maksud Alfred. “Ada satu tempat di Istana Aclopatye yang bisa kita jadikan tempat main pedang. Apa kalian mau kesana?”

“Dimana?” Pangeran Louis tampak tertarik.

“Lapangan rumput Berjoice,” jawab Glenn.

Pangeran Christian tidak menyangka kalau Glenn masih mengingat lapangan itu. Dia pikir kalau anak itu pasti sudah lupa. Itu adalah lapangan yang luas, hampir masuk ke hutan. Lapangan itu dikelilingi dengan pohon plum dan dihiasi dengan bunga krisan sehingga tidak terlihat dari seluruh sudut istana. Tempat dimana dia dan Glenn bertemu. Jika dipikir-pikir, sejak saat itu mereka selalu bersama.

Hampir setiap malam, sang Pangeran menghabiskan waktunya disana, kalau dia tak bisa tidur. Pangeran Christian masih ingat kala itu dengan baik. Kejadian-kejadian itu sangat menyenangkan, andai saja istana tak diserang.

“Whoah… aku tak tahu kalau ada tempat sebagus ini di istana,” gumam Alfred. Dia berbalik dan mendapati kalau bukan hanya dia yang kaget. Pangeran Louis, Willy, dan Charlie juga kelihatan kaget.

“Ini tempat bagus!” seru Pangeran Louis. “Kita main pedang. Ayo, siapa lawanku?”

Tidak berapa lama, mereka sudah bermain pedang kayu. Berteriak-teriak seperti anak-anak. Jesse dan Peter mengawasi dari samping, memperhatikan jika mereka main kasar. Misalnya, menggetok kepala dengan pedang kayu, meninju lawannya, berteriak-teriak tak jelas dan curang.

“Kau tak ikut main?” Pangeran Christian duduk disamping Glenn yang tidur di rumput sambil menatap langit biru yang cerah.

“Tidak. Satu-satunya orang yang tak bisa main pedang dengan benar itu cuma kau. Kenapa kau tidak ikutan berlatih?” kata Glenn tak jelas. Dia berada diantara dunia mimpi dan nyata.

“Aku bisa terluka parah kalau main dengan mereka,” Pangeran Christian menoleh ke belakang. Pangeran Louis sedang berupaya mengangkat pedangnya untuk memukul kepala Pangeran Willy. Jesse berupaya menghalangi, alhasil kepalanya yang kena sasaran. Tawa mereka riuh sekali. “Dari tadi mereka main tak jelas.”

“Hm…” Glenn menanggapi.

“Apa rencanamu membawa mereka kemari?”

Glenn tidak menjawab.

“Kau ingat ini tempat apa kan?”

Lagi-lagi Glenn tak menjawab.

“Benar juga, kau kelelahan dan sekarang tidur.” Gerutu Pangeran Christian. Glenn memang tidur. Matanya sudah tertutup dan dia tak menganggapi pertanyaan. Dia tidur sangat tenang. Pangeran Christian bangkit. “Kurasa aku akan main dengan mereka saja.”

***

Glenn berlari sekuat tenaga, mengacuhkan teriakan dari belakang yang menyuruhnya untuk berhenti. Dia tak menghiraukan ranting yang menggores wajahnya, melompati sulur dan bebatuan yang menghalangi jalannya, menerobos kegelapan hutan dengan napas terengah sementara suara-suara tak jelas dari kastil yang dia tinggalkan membuatnya ketakutan.

“Berhenti!” orang-orang di belakangnya berteriak. Mereka mengejarnya dengan tangan yang memegangi pedang, berlumuran darah segar. Mereka baru saja membunuh orang.

Membunuh Rofulus Haistings.

Tidak. Dia akan baik-baik saja! Glenn membatin, mengacuhkan hujan yang mulai turun. Hujan?

Tidak. Itu tidak mungkin. Pada saat kejadian itu, tak ada setetespun hujan yang turun. Lalu kenapa….

Glenn membuka matanya secara perlahan ketika merasakan ada butir-butiran air yang mengenai wajahnya. Matahari tidak kelihatan, ada bayangan gelap yang menutupnya. Glenn menyipitkan matanya dan mendapati ada seseorang yang menunduk padanya, dengan rambut panjang terbawa angin. Seseorang yang cantik, bermata biru dan dia menangis.

“Kau pulang…”

Suara bisikan itu terdengar sangat jauh. Tangannya yang lembut menyentuh wajah Glenn. Seseorang yang dikenal Glenn. Seseorang yang seharusnya tidak boleh dia temui saat ini dan ketika dia menyadari siapa orang yang ada dihadapannya, Glenn tak bisa menemukan kata-kata dan dia tak bisa lari.

“…Pangeran… Christian…”

Glenn menelan ludah.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.