RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 11 Februari 2011

Ocepa Kingdom Eps 9

Sembilan

Glenn duduk dengan enggan saat Pangeran Willy memaksanya untuk duduk disampingnya. Sejak awal Glenn sudah menduga kalau akan ada hal yang buruk yang akan terjadi. Ini memang tak seburuk dugaannya saat dia bertemu dengan Pangeran Willy tapi jelas sekali membuatnya tidak nyaman.

“Kau harus coba yang ini juga,” Pangeran Willy yang terlalu bersemangat, memasukan daging ke piring Glenn yang sudah penuh dengan makanan.

Glenn menatap piringnya dan menelan ludah. Melihat isinya saja membuatnya tidak ingin makan lagi.

“Pangeran, kurasa ini sudah cukup,” kata Glenn menyingkirkan kalkun yang disodorkan Pangeran Willy.

“Belum. Ini belum cukup. Kau keluar dari istana selama sepuluh tahun, kau pasti tak pernah makan yang begini, makanya kau jadi kurusan. Ini baik untukmu, kau sedang dalam masa pertumbuhan.” Pangeran Willy keras kepala dan tidak mendengarkan perkataan Glenn malah dengan sengaja menuangkan anggur ke gelas pialanya.

Glenn melirik ke sekelilingnya. Semua orang sedang memandang ke arah mereka, masing-masing memasang raut wajah keheranan. Tidak biasanya Pangeran Willy berlaku ramah pada seseorang bahkan Raja Joseph yang ada di atas singgasananya saja sampai mengerutkan dahi, sementara tiga Kestaria Pangeran Charlie duduk di balik meja yang lain, di ujung meja satunya. Tidak satupun dari mereka memasang wajah senang pada Glenn.

Glenn menghela napas. Musuhnya tambah banyak.

“Bersulang?” Pangeran Willy mengangkat gelasnya.

“Maaf, Yang Mulia, saya tidak minum anggur,” Glenn menolak, menyingkirkan gelas yang disodorkan Pangeran Willy.

Pangeran Willy terpaku. Tangannya berhenti di udara dan suasana kembali menegang. Seperti yang sudah diketahui oleh semua orang, Pangeran Willy sangat menjunjung tinggi harga diri karena itu dia tidak suka ditolak, bahkan oleh siapapun.

“Tidak minum anggur?” Pangeran Willy mengulang dengan nada canggung. “Lalu, apa yang kau minum?”

“Air putih, Yang Mulia.”

“Selain itu?”

“Selain itu?” Glenn mengulang dengan dahi mengerut.

“Baiklah. Air putih!” Pangeran Willy memutuskan ketika Glenn terlalu lama berpikir. Dia mengambil gelas piala yang lain, mengisinya dengan air putih dan memberikannya pada Glenn. “Kau air putih, aku anggur. Bersulang?”

Glenn tersenyum dan mengambil gelas yang disodorkan padanya. Bunyi ting dari piala mereka yang beradu membuat suasana kembali mencair.

“Tidak seperti biasanya,” gumam Alfred pada Pangeran Charlie. “Kau tahu sendiri kalau Pangeran Willy tidak suka ditolak.”

“Mungkin Glenn berbeda,” gumam Pangeran Charlie meneguk anggurnya. “Sejak awal dia memang berbeda. Aku ragu dia bukan dari kalangan rakyat jelata. Kenalan bangsawannya banyak sekali.”

Glenn tidak menyukai pesta. Hingar bingar suara kecapi disatukan dengan gendang dan terompet sementara di tengah ruangan sudah ada penari yang terus-menerus menghibur dengan dandanan berbeda setiap kali lagunya berganti. Para Menteri dan kalangan bangsawan lain yang menyukai pesta sibuk tertawa sambil meneguk anggur mereka. Beberapa dari mereka malah ikut masuk ke arena dansa, ikut menari dengan penari istana, betapa memalukannya. Pangeran Charlie mengobrol seru dengan Pangeran Louis dan sesekali mereka tertawa bersama, kelihatan sekali kalau mereka memang akrab sejak dulu. Pangeran Christian lain lagi, sedari tadi dia diam bagai patung, mencoba menghilangkan keberadaan dirinya yang ternyata tidak berhasil. Raja Joseph dan Jendral Rodius mendapati dia yang hendak kabur dari pesta dan menariknya mengobrol.

Glenn tersentak ketika Pangeran Willy memeluknya dari belakang.

“Minum lagi, Glenn!” katanya mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Bau alkohol yang pekat membuat Glenn mengerinyitkan dahinya.

“Tidak, Pangeran.”

Glenn menyingkirkan gelas dari tangan Pangeran Willy dan meletakannya jauh-jauh dari jangkauannya. “Anda sudah terlalu banyak minum. Anda baru pulang hari ini, sebaiknya Anda tidur.”

Pangeran Willy menggeleng. Dia membuka matanya yang tak fokus dengan susah payah. “Ini pestaku. Aku mana boleh pergi dari sini.”

Glenn tidak mendengarkan. “Saya akan mengantar Anda ke kamar.”

Pangeran Willy berkutat ketika Glenn menariknya berdiri. Ketiga Kesatria Pangeran Willy segera bangkit dan menuju kearah mereka.

“Pangeran,” salah seorang dari mereka menahan tangan Pangeran Willy yang satunya. Dia melirik Glenn dengan tatapan yang seolah-olah mengatakan, “Dia ini tuan kami!”

Pangeran Willy segera menarik tangannya dan kembali memeluk Glenn. Glenn harus mengerahkan seluruh tenaganya agar membuat Pangeran Willy tidak jatuh. Dia sama sekali tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya sendiri.

“Ayo… tidur… tidur…” katanya tak jelas.

Glenn segera menggendong Pangeran Willy dengan mudah ke punggungnya. Lebih baik menggendongnya daripada membiarkan Pangeran Willy jalan tidak keruan. Pangeran Louis dan Pangeran Christian segera mengalihkan perhatian pada mereka. Pangeran Christian cepat-cepat pamit pada Raja Joseph dan Jendral Rodius dan segera melangkah menuju Glenn.

“Kenapa dia?” katanya dengan nada cemas.

“Mabuk berat. Aku akan membawanya ke kamar,” jawab Glenn. “Kau masih mau disini? Aku berencana tidak kembali.”

Pangeran Christian mengerjap. “Kenapa?”

“Aku tak suka pesta,” gumam Glenn.

Glenn melangkah cepat menyebrangi ruangan. Ketiga Kesatria Pangeran Willy dan Pangeran Christian sendiri mengikut di belakangnya. Kepergian mereka diantar dengan tatapan ingin tahu. Suasana sempat kaku sejenak sampai kemudian Pangeran Louis berkata, “Mari, minum semua!” sambil mengangkat tinggi-tinggi gelasnya.

“Inilah aku… hidup sengsara…”

Glenn menggigit bibirnya saat Pangeran Willy bernyanyi tidak jelas; mengangkat tangannya dan berteriak-teriak ketika mereka melewati lorong gelap. Ketiga Kesatria itu harus menjaga tubuh Pangeran Willy dari belakang, karena setiap kali dia bernyanyi, dia hampir membuat keseimbangan Glenn goyah, membuat mereka hampir terjerambab ke belakang.

“Aah… purnama…” desahnya kembali merangkul leher Glenn—hampir mencekiknya—lalu tersenyum sendiri. “…sama seperti waktu itu…”

Tidak ada satupun dari rombongan yang berniat meladeni sang Pangeran yang mabuk berat bicara.

“… kau ingat Glenn? Waktu itu… sepuluh tahun lalu… mereka datang ke kamarku… membawa pedang berlumuran darah…”

Pangeran Christian menyejajarkan langkahnya kesisi Glenn. Glenn dapat melihat keringat bercucuran di dahinya.

“… waktu itu aku cuma memikirkanmu…” lanjutnya dan tiba-tiba dia kembali mengangkat tangan dan berteriak. “…DAN TERNYATA KAU HIDUP!” lalu tertawa seperti orang gila sambil menepuk-nepuk punggung Glenn. “Pemberontak sialan itu harus mati! Aku bersumpah!”

“Pangeran, kau tak tahu apa yang kau katakan!” kata salah seorang Kesatria menepuk punggung Pangeran Willy dengan nada cemas.

“Diam! Aku tak butuh pendapatmu, Jesse!” Pangeran Willy kembali berteriak. Dia menepis tangan Jesse yang terkaget-kaget dan kembali memeluk Glenn. “Aku hanya akan mendengar pendapat Glenn. Cuma dia…”

Glenn dapat merasakan aura kemarahan menguap dari punggung Jesse. Glenn mempercepat langkahnya dan Pangeran Christian harus bersusah payah mengejarnya. Mereka pun berbelok ke lorong sebelah kanan, melewati pilar-pilar berwarna kelabu dan jendela-jendela tua. Lorong itu terlalu kosong, bahkan tak ada satupun prajurit yang berjaga disana.

Akhirnya, mereka sampai juga di depan pintu ek tua besar berwarna emas dengan tangkai pintu yang sama besarnya. Salah satu dari mereka membuka pintu untuk Glenn. Glenn berjalan terlebih dahulu, melangkahkan kaki melewati karpet lembut dan lukisan-lukisan mahal yang tampak mengerikan dan segera menuju tempat tidur besar berwarna kelabu di sudut ruangan.

Perlahan, Glenn meletakan Pangeran Willy yang mengerang ke atas tempat tidur. Sang Pangeran tampaknya tidak menyadari apa yang terjadi sekarang. Dia memeluk guling disisinya dan tidur dengan tenang. Glenn mengambil napas. Dia menarik selimut dan menutupi tubuh sang Pangeran, lalu melirik Kesatria Pangeran Willy.

“Kurasa dia akan baik-baik saja,” kata Glenn canggung.

“Dia memang akan baik-baik saja,” kata salah satu dari mereka.

“Kita pergi, Pangeran,” kata Glenn menarik Pangeran Christian untuk cepat-cepat meninggalkan kamar Pangeran Willy. Mereka menutup pintu dengan bunyi berdebam dengan tatapan sinis dari Ketiga Kesatria Pangeran Willy.

***

Glenn menerawangi pedangnya yang berkilat-kilat tepat ke arah sinar mentari pagi yang bersinar terik. Pesta sampai pagi membuat istana sunyi. Tidak ada tanda-tanda para bangsawan yang hilir-mudik. Mereka sepertinya masih berada di bawah selimut mereka, begitu juga dengan Raja Joseph dan Pangeran Charlie. Pangeran Louis wajib bangun pagi seperti biasa, menikmati udara pagi sekaligus memperpulih keadaannya yang semakin membaik. Hanya saja dia sedikit terlambat, walaupun begitu dia sudah berjalan-jalan mengelilingi istana dan sesekali melompat-lompat.

“Kau harus mengajariku main pedang.” Pangeran Christian muncul di depannya sambil menyodorkan pedang kayu padanya.

“Kau sudah tahu dasarnya,” Glenn menyarungkan pedang kesayangannya itu kembali ke pinggangnya.

“Main denganku kalau begitu,” kata Pangeran Christian. Dia melempar pedang kayu pada Glenn dan berbalik sambil mengambil pertahanan.

Glenn terkesan saat Pangeran Christian mengambil sikap yang mengejutkan. Caranya mengambil kuda-kuda menunjukan kalau dia cukup berpengalaman memegang pedang. Glenn tersenyum dan mengambil sikap berdiri tegap. Hal itu membuat Pangeran Christian mendengus kesal.

“Ada banyak celah buatku untuk menyerangmu,” kata Pangeran Christian.

“Coba saja, kalau bagitu,” Glenn tersenyum.

Pangeran Christian menyerang. Dia mengangkat tinggi pedangnya, Glenn menghindar dengan mudah dan memukul kepala Pangeran Christian dengan tongkat kayunya. Pangeran Christian mengeluh sambil memegang kepalanya.

“Kau terlalu terburu-buru menyerang,” kata Glenn mengangkat bahunya.

“Cerewet!” Pangeran Christian kembali memegang mantap pedangnya.

Glenn lagi-lagi menghindar dan menahan setiap serangan Pangeran Christian dengan mudah. Setiap tangkisan yang dia berikan malah kadang dia tambahi dengan pukulan pada sang Pangeran sambil mengeritik “Lengah” atau “Gerakan lambat” , “Serangan terlalu lemah” dan “Kau sebenarnya bisa main pedang tidak sih?”

Tiga puluh menit kemudian, dengan napas memburu, keringat bercucuran dan badan memar yang sakit, Pangeran Christian berhenti. Dia berusaha menjaga keseimbangannya dengan pedang kayunya. Sementara Glenn ada dihadapannya, melipat tangan dengan senyuman tersungging di bibirnya.

“Kau masih ingin bermain?” kata Glenn.

Pangeran Christian menggertakan giginya. “Bagaimana caranya kau bisa menghindari semua seranganku?”

“Berarti kau sama sekali tidak belajar dari pengalaman. Aku sudah memperingatkanmu kan?” Glenn menghela napas.

“Aku salah memintamu mengajariku,” Pangeran Christian melempar pedang kayunya dengan kesal lalu duduk di rumput. Perasaannya dongkol.

“Guruku pernah bilang, jika ingin pintar maka harus bersabar dan penuh kerja keras. Kau harus menerima segala kritikan. Itu akan membuatmu jadi lebih kuat. Kau tak tahu kan berapa pukulan yang harus aku terima jika tidak melakukan gerakan yang benar oleh guruku?” Glenn menancapkan pedang kayunya dan menarik pedangnya sendiri. “Guruku memberi nasehat padaku. Pedang bukan alat untuk membunuh orang lain baik itu musuh kita. Jika kita salah memakainya, maka hal itu akan membahayakan nyawa orang lain. Pedang itu hanya alat untuk melindungi diri dan untuk melindungi apa yang menurut kita sangat berharga.”

Pangeran Christian menarik napas saat Glenn menggerakan pergelangan tangannya dengan ringan dan mantap. Pedangnya memberikan suara desiran yang anehnya terasa menakjubkan. Caranya memegang pedang sangat berbeda dengan orang lain yang dia kenal. Dia memang kagum dengan cara Alfred bermain pedang dan ketangkasannya, namun Glenn berbeda. Glenn benar-benar mempesona.

“Bagaimana cara kau melakukannya?”

Glenn berhenti menggerakan pergelangan tangannya dan menoleh ke arah suara. Di pintu lorong ada ketiga Pangeran beserta para Kesatria mereka. Mereka semua tampak terkesan.

“Maaf?” Glenn mengerutkan dahi.

“Bagaimana caramu membuat pedangmu berdesir?” salah seorang Kesatria Pangeran Willy bicara.

Glenn masih mengerutkan dahi. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”

“Aku mendengar pedangmu berdesir. Apa kau tak mendengarnya?” katanya lagi.

Glenn bingung. Apa masalahnya jika pedangnya berdesir?

“Pedangku memang berdesir, sama seperti pedang-pedang yang lain,” Glenn menjawab dengan nada kebingungan. “Apa itu aneh?”

“Ya. Aneh.” Katanya cepat. “Sebab pedangku tidak berdesir.”

Glenn cuma menanggapi dengan nada aneh. “Oh.”

“Mungkin ada tekniknya?” kata Pangeran Willy bersemangat. “Kau memang selalu memberikan kejutan. Seperti biasa.” Lalu dia menatap Pangeran Christian dan menganga. “Kenapa tanganmu?”

Pangeran Christian cepat-cepat menyembunyikan tangannya yang memar. “Jatuh. Glenn tak ada disampingku saat itu.”

“Kau mengajari Pangeran Christian main pedang sambil memukulinya?” Alfred menepuk bahu Glenn dengan sebal. Dia tahu jenis memar seperti itu, mustahil sang Pangeran jatuh begitu mudah.

“Ya. Untung saja kami tak pakai pedang sungguhan.”

Alfred menggertakan giginya. “Kau tahu tidak kalau dia itu Pangeran? Kau harus tahu menjaga sikapmu! Jika Raja tahu, kau bisa dipenggal.”

Glenn menyingkirkan lengan Alfred. “Jika aku tak memberitahunya apa yang salah, maka dia akan mati saat main pedang. Dia harus belajar dari kesalahannya. Itu yang diajarkan guruku padaku.”

“Aku pernah dengar kata-kata itu sebelumnya,” salah seorang Kesatria Pangeran Willy bicara. Yang satu ini wajahnya lebih tenang dan dewasa daripada yang lain. Rambutnya pirang kecoklatan dengan kulit kuning dan mata tajam. Dia memakai pakaian bangsawan berwana ungu gelap dengan ikat pinggang kulit di pinggangnya. Dia mengerutkan dahi sambil memperhatikan wajah Glenn lebih teliti. “Sekarang aku ingat siapa kau.”

Glenn menelan ludah.

“Glenn Haistings. Satu-satunya murid dari Aries Elladora dan Lourian Moustiqe yang diberi jabatan oleh Raja Axantos sebagai Black Knight.”

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.