RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 11 Februari 2011

Ocepa Kingdom Eps 8

Delapan

“Mulai sekarang kau tinggal di istana ini seperti dulu,” Pangeran Christian menjelaskan tentang istana Aclopatye sambil membuka pintu satu per satu. Glenn ada di belakangnya, mendengarkan dengan teliti semua yang dia katakan walau dalam hati dia merasa kalau perkenalan ini tak perlu. Dia sudah pernah tinggal di istana itu, jadi dia tak akan tersesat.

“Itu perpustakaan, ruang baca, dapur—tak ada pelayan yang masak disana sejujurnya, makanan untukku biasanya dibawa dari Istana Utama, taman—kau bisa melihatnya sendiri, disana ruang makan, kamar mandi dan ah, kurasa kau akan suka, kamarmu.”

Glenn memperhatikan kamarnya dan kaget. Dia sudah lama tidak ada disana dan suasana kamar itu masih sama seperti saat dia meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Dia berbalik cepat, menatap Pangeran Christian dengan penuh tanda tanya.

“Aku memilih kamar baru yang menunjukan kepribadianku,” kata Pangeran Christian ketika melihat tatapan Glenn.

“Tapi—”

“Ini istanaku, aku bisa memerintah sesukaku.”

“Tampaknya kau menyalahgunakan jabatan itu,” Glenn mempercepat langkahnya saat Pangeran Christian keluar dari kamarnya.

“Kita tukaran, kalau begitu,” gumam Pangeran Christian.

“Tidak akan.”

“Kau selalu mempersulit keadaan.”

“Aku memang begitu.”

Pangeran Christian berhenti dan mendengus kesal. “Bisakah kau untuk tidak keras kepala sekali saja?”

“Sifat itu sudah mendarah daging,” tukas Glenn.

“Hah!” Pangeran Christian frustasi. Glenn memang tak terkalahkan. Tak ada gunanya melawan pendapatnya.

“Boleh aku bertanya satu hal?” Glenn kembali mengikuti Pangeran Christian. “Apa yang terjadi pada Pangeran Willy sampai dia diungsikan ke Selatan?”

Lagi-lagi Pangeran Christian berhenti. Dia mengangkat kepalanya lalu mengambil napas dalam-dalam, kemudian menatap mata Glenn. “Dia mencoba menebas leherku.”

“Itu tak mungkin. Kenapa?”

“Karena dia mengenali mataku!” jawabnya sebal sambil menunjuk matanya yang biru kehijauan. Glenn mengerjap. “Dia dikatai gila dan berhalusinasi lalu diusir dari istana, tapi dia bersumpah tak akan membiarkanku hidup. Kalau kau mengerti maksudku, kau harus melanggar peraturannya. Ini saat yang tepat.”

“Aku tak akan melanggar peraturan!”

“Apa kau tak capek menjaga peraturan itu?”

Glenn menggeleng mantap.

“Terserah padamu! Aku tak tahu lagi harus bilang apa!”

Glenn menghela napas ketika Pangeran Christian meninggalkannya sendirian. Pangeran Willy mengenalinya sama seperti Permaisuri mengenalinya. Itu berarti sebisa mungkin dia tak bleh bertemu dulu dengan Permaisuri. Tapi, sampai kapan?

***

Pangeran Louis menghela napas. Dia memijit-mijit lengannya, rasanya jauh lebih baik daripada waktu itu. Otot-ototnya tidak terasa tegang dan sudah bisa bebas bergerak, setidaknya untuk saat ini dia bisa melakukan gerakan refleks. Dia mengambil sepucuk mawar yang ada di taman dan tersenyum. Taman itu juga tampak lebih indah.

“Yang Mulia, saya datang menjenguk Anda.”

Seseorang menegurnya dan Pangeran Louis kembali tersenyum ketika melihat Putri Asentina. Hari ini dia memakai gaun kebiruan yang kelihatan ringan dan rambutnya dipelintir menawan.

“Senang melihatmu datang,” kata Pangeran Louis lagi. Pelayan Putri Asentina memberi hormat padanya.

“Bagaimana keadaan Anda, Yang Mulia? Sepertinya Anda sudah kelihatan lebih sehat,” Putri Asentina kelihatan kaget melihat Pangeran Louis sudah berjalan-jalan di taman. Rasanya beberapa minggu yang lalu, Pangeran Lumpuh itu masih terbaring di tempat tidurnya.

“Sudah jauh lebih baik. Aku sekarang sudah bisa bergerak sendiri. Seorang Tabib Muda mengobatiku. Orang yang sangat luar biasa,” Pangeran Louis menyodorkan mawar di tangannya pada Putri Asentina. “Mawar yang cantik untuk gadis cantik.”

Putri Asentina tersipu. “Terima kasih, Yang Mulia.”

“Ah, Glenn!” Pangeran Louis berteriak lalu melambaikan tangannya ke belakang punggung sang Putri. “Kemari!”

Putri Asentina menoleh ke belakang dan betapa terkejutnya dia ketika melihat bahwa Pemuda yang mendatangi mereka adalah Pemuda Kurang Ajar yang waktu itu mendengar pembicaraan mereka. Kenapa rakyat jelata itu ada disini sih?

“Yang Mulia, Anda memanggil saya?” Glenn membungkukan badan dan mengerinyitkan dahi sambil menatap Asentina yang sibuk dengan rambutnya. “Ah, Anda yang waktu itu, Nona.”

Pangeran Louis mengerutkan dahinya. “Kalian saling mengenal? Tadinya aku ingin memperkenalkan kalian berdua.”

“Ya…” Putri Asentina gugup.

“Cuma kebetulan, Yang Mulia,” kata Glenn sopan.

“Oh…” Pangeran Louis mengangguk. “Glenn, apa kau ada pekerjaan? Aku mau kau temani aku jalan-jalan. Saat ini aku tak punya teman.”

“Anda sudah punya teman, Yang Mulia,” kata Glenn melirik Putri Asentina.

Pangeran Louis yang menangkap maksudnya segera berkata, “Oh, aku lupa. Baiklah, kau masih ada kerjaan. Tidak apa. Putri Asentina bisa menemaniku.”

Glenn tersenyum, lalu kembali memberi hormat sebelum dia pergi, dia berbisik pada Putri Asentina, “Jangan coba-coba menyakitinya, Putri, kau akan tahu akibatnya.”

Putri Asentina memelototi punggung Glenn yang berlari menjauh. Pemuda itu benar-benar menjengkelkan! Dia menarik gaunnya dan mensejajarkan langkahnya pada Pangeran Louis. “Pangeran, jika boleh saya tahu, siapa Pemuda barusan?”

“Loh, bukannya kalian saling mengenal?” Pangeran Louis kembali berjongkok di antara bunga lily dan memperhatikan bunga itu dengan teliti.

“Tidak, sama sekali tidak,” kata Putri Asentina cepat dan menambahkan dalam hati, mana sudi aku berkenalan dengan rakyat jelata.

“Dia Tabib Muda yang kuceritakan tadi. Namanya Glenn Haistings, usianya enam belas tahun. Sejak awal dia memang menarik perhatian. Tabib Glenn juga pandai main pedang, dia menyelamatkanku waktu itu dan Ayah meminta dia jadi Ksatriaku namun dia menolak.”

“Kenapa?”

“Tabib Glenn sudah menentukan Tuannya sendiri, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang kecewa tapi jika Tabib Glenn sudah memutuskan, dia tak akan mudah berpaling.”

Seorang Tabib yang menjabat jadi Ksatria, pikir Putri Asentina, boleh juga. Kurasa Tabib Glenn perlu diawasi. Sepertinya dia juga punya hubungan yang dekat dengan Pangeran Louis. Mungkin aku harus berteman dengannya.

***

Alfred memiringkan kepalanya. Dia mengintip dengan hati-hati dibalik tembok bata dan mengerutkan dahinya. Beberapa meter di depannya terlihat jelas Glenn dan Pangeran Christian sedang berdebat. Hal ini membuatnya bingung, Glenn pernah bilang kalau dia bersahabat dengan Pangeran Chrstian, tapi sejak pertemuan awal mereka, mereka lebih terlihat seperti anjing dan kucing.

Alfred melihat Pangeran Christian mondar-mandir dan sesekali mengangkat tangannya pada Glenn. Tatapannya tidak menunjukan kalau dia bersahabat pada Glenn malah terlihat memusuhinya.

“Dengar!” Pangeran Christian berteriak berang. “Aku Pangerannya dan kau harus menurut!”

Glenn sepertinya mengatakan sesuatu yang membuat Pangeran Christian semakin marah. Dia melempar bukunya dengan kesal dan pergi begitu saja dengan kaki dihentak.

“Sedang apa kau disini?”

Alfred terlonjak kaget ketika mendengar suara seseorang di dekat telinganya. Dengan cepat dia berbalik dan menghela napas lega melihat Pangeran Charlie-lah yang memergokinya. Pangeran Charlie mengerutkan dahi dan melihat apa yang diintip Alfred. Dia dapat melihat Glenn mengejar Pangeran Christian, sementara Pangeran Christian sendiri mengibas-kibaskanya tangannya; mengusir Glenn untuk mejauh darinya.

“Kenapa mereka?” katanya pada Alfred.

“Sepertinya Glenn membuat Pangeran Christian marah,” jawab Alfred.

“Aku bisa melihat itu. Tapi kau sendiri sedang apa?”

Alfred melihat kesekelilingnya, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. “Aku sedang menyelidiki sesuatu. Aku rasa hubungan antara Pangeran Christian dan Glenn agak sedikit tidak wajar.”

Pangeran Charlie menjentikan jarinya. “Rupanya kau sadar juga. Akhir-akhir ini aku merasa kalau mereka seperti musuh.” Lalu dia melipat tangannya dan menambahkan, “Glenn rasanya lebih cocok dengan Kakakku, Pangeran Louis. Tapi kenapa Glenn justru memilih Pangeran Christian ya?”

Alfred menggeleng. Dia juga tidak terlalu mengerti.

“Aku mau tanya. Ada sesuatu yang tak kumengerti dari kalian para Kesatria,” Pangeran Charlie mengangkat kepalanya seakan mengingat sesuatu. “Kenapa ada beberapa dari kalian yang dipilih oleh Tuan sementara ada Kestaria yang lain yang memilih Tuannya sendiri? Apa kalian punya prinsip yang berbeda?”

Alfred mengerutkan dahinya.

“Sesungguhnya tidak.” Alfred melipat tangannya. Dia juga terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan hati-hati dia menjawab. “Mungkin itu tergantung dengan prinsip masing-masing orang. Aku dipilih olehmu, apa kau lupa? Aku tidak keberatan karena kita selalu bersama sejak kecil, mungkin itu juga jadi bahan pertimbangan dariku, kalau tidak mana aku mau kau jadi Tuanku. Kupikir Glenn juga jadi Kesatrianya Pangeran Christian karena mereka berteman.”

“Tapi ini berbeda,” Pangeran Charlie bersikeras. “Coba pikirkan baik-baik. Dia bahkan sudah dipilih oleh Ayahku untuk jadi Kesatria Kakakku. Dia menolak karena dia sudah memilih Pangeran Christian. Maksudku, buankannya Kesatria itu seharusnya dipilih ya, bukannya memilih.”

“Hm…” Alfred menopang dagunya. “Tapi jika Kesatria memilih orang yang ingin dia jaga, bukankah itu membuatnya jadi lebih bertanggung jawab?”

Pangeran Charlie mengerjap. “Benar juga. Tumben hari ini kau cerdas.”

Alfred tertawa getir. “Tapi aku bingung. Apa yang membuat Glenn ingin jadi Kesatrianya Pangeran Christian ya? Aku tidak bermaksud menghina adikmu, hanya saja, diantara kalian, Pangeran Christian-lah yang tidak punya andil dalam masalah apapun. Dia justru tidak dikenal siapapun di Ocepa. Apa yang membuat Pangeran Christian tampak istimewa di matanya?”

“Aku juga penasaran dengan itu,” gumam Pangeran Charlie. “Aku tak terlalu dekat dengan Christian karena dia selalu sendirian di Istana Aclopatye. Hanya Pangeran Willy yang sedikit menaruh perhatian padanya, tapi kau tahu sendiri kalau empat tahun yang lalu dia berusaha membunuh Pangeran Christian. Kenapa tiba-tiba dia jadi begitu aku juga tidak mengerti. Pangeran Willy dan Pangeran Christian sama sekali tak mau mengatakan apa yang terjadi.”

“Mungkin mereka bertengkar.”

Pangeran Charlie mendengus. “Satu hal yang kalian tak tahu mengenai Pangeran Willy adalah kalau dia akan selalu mengalah pada Pangeran Christian. Dia sangat menyayangi Pangeran Christian, kalaupun mereka bertengkar, aku yakin kalau Pangeran Willy pasti akan mengalah. Pasti ada sesuatu.”

Alfred semakin bingung. Dia memang tidak terlalu mengenal seperti apa sosok Pangeran Willy itu sebenarnya. Namun yang dia ketahui, sama seperti tanggapan semua orang di Ocepa, dia sosok yang sombong. Entahlah, tidak pernah sekalipun Alfred berbicara langsung dengannya. Dan tampaknya Pangeran Willy terobsesi dengan tahta yang pada waktu itu dipegang oleh Pangeran Louis. Dia pernah memegang tahta itu ketika Pangeran Louis sakit keras empat tahun lalu, namun dia melakukan kesalahan tak terduga. Pada malam bulan purnama, dia mencoba membunuh Pangeran Christian. Tanpa alasan yang jelas.

“Omong-omong mengenai Kakakku yang sombong itu, dia akan sampai disini.”

Alfred mengalihkan perhatiannya. “Apa?”

“Ayah kelihatan khawatir dengan keadaan yang sekarang jadi semakin kacau, jadi dia memutuskan kalau hukuman Pangeran Willy sudah cukup. Aku belum menceritakan ini padamu ya?”

Alfred menggeleng.

“Sebentar lagi dia akan sampai,” Pangeran Charlie mengangguk-angguk. “Kehidupan tenang disini tak akan tercapai lagi jika ada dia sesungguhnya. Aku takut kalau dia mengulangi kesalahannya lagi dengan mencoba membunuh Pangeran Christian seperti beberapa tahun lalu.”

“Sekarang ada Glenn sebagai Kesatrinya. Kau tak perlu khawatir.”

“Benar juga.” Pangeran Charlie tertawa. “Tolong bawa Pangeran Christian dan Glenn ke Gerbang Utama, ya. Ada acara penyambutan untuk Pangeran Willy. Semua orang sudah disana.”

***

Raja Joseph kelihatan gugup. Disisinya berdiri Jendral Rodius dan Perdana Menteri. Menteri-menteri dan bangsawan lain berdiri membentuk barisan di bawah tangga yang sudah diletakan karpet merah. Prajurit berseragam berbaris rapi dengan tombak di tangan kanan, masing-masing dari mereka kelihatan pucat. Para Pangeran ada di belakang Raja Joseph beserta dengan para Kestaria pendamping. Tidak ada satupun dari mereka yang memakai mahkota kehormatan.

Bunyi terompet panjang menunjukan kalau barisan pasukan Pangeran Willy sudah sampai, rakyat yang ada di belakang gerbang juga ikut-ikutan membentuk barisan. Mereka bergerombol dengan bisik-bisik ingin tahu. Rakyat tidak menyukai Pangeran Willy yang menurut gosip sangat sombong. Tapi mereka kalihatan antusias ketika menyambut sang Pangeran kembali.

Rakyat bersorak ketika kuda putih milik Pangeran Willy memimpin jalan. Di belakangnya, tiga Kesatria pilihannya mengikuti dengan langkah perlahan. Barisan prajurit menghentak-hentakan kakinya, bendera Ocepa dikibarkan dan kelompak bunga mawar yang sudah disediakan untuk menyambut sang Pangeran berjatuhan dengan sangat cantik.

Pangeran Willy turun dari kuda putih miliknya. Wajahnya tampak lebih pucat daripada saat dia meninggalkan istana. Sinar rasa percaya dirinya yang tinggi terlihat dari mata biru safirnya. Mahkota emas di dahinya tertutupi rambutnya yang coklat keemasan. Dia sangat tampan dengan hidung lurus dan bentuk tubuh yang memesona, charisma yang tidak ada pada Pangeran yang lain.

Dia memerhatikan sekelilingnya. Tidak melambai ataupun memberikan senyuman pada rakyat yang ada di belakangnya. Prajurit berlutut sambil mengatakan, “Selamat datang kembali, Pangeran Willy!” secara serempak. Pangeran Willy tidak mengatakan apa-apa. Dengan langkah tegap dan dagu terangkat dia berjalan melewati karpet merah.

Hanya dengan sikap seperti itu saja sudah membuktikan kalau dia memang Pangeran yang sombong. Dia melewati para Menteri dan Putri-Putri Bangsawan sambil memberikan tatapan tak peduli. Raja Joseph sudah menduga kalau Pangeran Willy belum berubah sama sekali. Ternyata hukuman selama di Istana Selatan sama sekali tidak bisa mengajarkan sesuatu padanya.

“Selamat datang, Putraku,” Raja Joseph mengangkat kedua tangannya dan memeluk Pangeran Willy.

Pelukan itu cuma selama tiga detik. Suasana canggung di acara itu semakin menjadi. Jendral Rodius menahan napasnya ketika melihat sikap tidak sopan Pangeran Willy saat Pangeran Willy melepaskan pelukan Raja Joseph. Tampaknya dia masih marah dan tidak terima karena hukuman yang diberikan padanya.

“Aku tidak melihat Ibunda,” katanya menatap Raja Joseph.

“Ehm, Ibundamu sedang tidak enak badan. Itu sebabnya dia tak bisa datang menyambutmu.” Raja Joseph berusaha membuat bibirnya tersenyum.

“Dia memang selalu tidak enak badan saat aku keluar istana,” gumam Pangeran Willy memutar matanya.

“Willy, jaga sikapmu,” bisik Raja Joseph.

Pangeran Willy menghela napas. “Disini benar-benar membosankan.” Dia memerhatikan barisan di belakang Raja Joseph dan menghampiri Pangeran Louis. “Louis, kau sudah sehat?” katanya kaget.

Pangeran Louis tersenyum. “Ya.”

“Wow! Tabib Istana berhasil menyembuhkanmu kalau begitu!” kata Pangeran Willy, kemudian dia memeluk Pangeran Louis erat-erat. “Baguslah. Kita bisa main pedang lagi seperti dulu!” dia menoleh pada Tabib Istana yang ada di bawah tangga. Dengan bersemangat, Pangeran Willy turun dan menjabat Tabib Istana. “Luar biasa, Tabib Istana. Akhirnya setelah sekian lama, kau berhasil membuat Kakakku bangun dari tempat tidur! Kau benar-benar luar biasa!”

Pangeran Charlie tersenyum kecil. Alfred berbisik di telingnya, “Jika memang Tabib Istana yang berhasil menyembuhkan Pangeran Louis, dia pasti sudah menyombongkan diri.”

“Bukan Tabib Istana, Putraku. Bukan Tabib Istana yang menyembuhkan Louis.” Raja Joseph tiba-tiba angkat bicara.

Pangeran Willy mengerutkan dahi. Dia tampak kebingungan.

“Bukan Tabib Istana?” ulangnya. Dia kembali menatap Tabib Istana. “Kalau bukan kau, lalu siapa?”

“Tabib Glenn Haistings, Adikku,” jawab Pangeran Louis. Dia menunjuk Glenn yang ada disamping Pangeran Christian.

Pangeran Willy melihat arah yang ditunjuk Pangeran Louis. Pangeran Willy kembali terkejut. Dia melepas jabatannya dari Tabib Istana dan cepat-cepat kearah Pangeran Christian.

“Siapa tadi namanya?” Pangeran Willy menatap Glenn lekat-lekat.

“Tabib Glenn Haistings, tapi sekarang dia jadi Kesatria Christian,” kata Pangeran Louis mengerutkan dahinya saat melihat tatapan tak biasa dari Pangeran Willy.

Pangeran Willy mengerutkan dahinya. Ada sesuatu yang tak dia mengerti disini. Dia menatap Glenn dan Pangeran Christian bergantian. Hatinya berkecamuk. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang selama bertahun-tahun ada di kepalanya kembali muncul.

Tidak mungkin! Apa-apaan ini!

Dia menatap dalam mata Glenn yang biru safir. Sorot mata yang sama saat sepuluh tahun lalu, saat mereka masih anak-anak. Dulu saat mereka hanya bertiga: dia, Christian dan Glenn.

“Ada apa, Sahabat?” salah seorang Kesatrinya yang berpakaian biru berbisik di telinganya. Ekspresi yang ditunjukkan Pangeran Willy tidak seperti biasanya. Lebih kearah terkejut, kaget, heran, bingung dan senang.

“Glenn Hasitings?” dia bertanya pada Glenn.

“Ya, Yang Mulia,” Glenn membungkukan tubuhnya.

“Kau Tabib dan Kesatria Christian?” katanya lagi.

“Ya, Yang Mulia.”

“Oh. Aku mengerti sekarang. Rofulus benar-benar luar biasa,” bisik Pangeran Willy takjub. “Kau selamat, kalau begitu.”

Raja Joseph terkejut ketika melihat air mata Pangeran Willy yang tiba-tiba jatuh. Ternyata bukan hanya Raja Joseph yang kaget tapi semua orang yang ada pada acara tersebut. Gumaman tak jelas terdengar dan barisan mulai heboh.

“Pengeran Willy, Anda mengenal Tabib Glenn?” Perdana Menteri bertanya dengan nada perlahan.

“Sahabatku!” Pangeran Willy memeluk Glenn dengan erat sambil menangis. “Kau selamat! Aku mengkhawatirkanmu! Akhirnya kau pulang!”

Tiga Kesatria Pangeran Willy mengerutkan dahi. Sahabat?

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.