Lima
Ini sudah sepuluh tahun tapi Permaisuri mungkin masih mengenalimu…
Glenn terbangun dengan mimpi buruk yang sama lagi. Mimpi saat dia bertemu dengan anak laki-laki itu. Glenn mengambil napas panjang untuk menghentikan napasnya yang memburu sambil menyeka dahinya yang berkeringat. Dia turun dari tempat tidurnya dan anjing peliharaannya mengadahkan kepala dengan ekor bergoyang-goyang.
“Selamat pagi, Miko. Bagaimana caranya kau bisa ada di kamarku?” Glenn mengelus kepala anjing kecoklatan itu lalu turun ke bawah tanpa pakaian lengkap. Dia ingin mandi dulu baru berpakaian. Miko mengikutinya dari belakang dengan bersemangat.
“Selamat pagi. Tuan Muda. Anda bangun lebih lambat dari biasa,” Aleph menyapanya dari arah dapur. Dia memakai celemek bunga-bunga dan wangi sarapan membuat perhatian Miko beralih padanya.
“Ya, makanya aku harus bergegas.”
Glenn melompati tumpukan gingseng yang belum dibereskan Aleph sebelumnya, mengambil handuk miliknya lalu melangkah cepat melewati perbukitan menuju sungai di seberang.
“GLENN!”
“Oh, tidak,” gumamnya ketika dia mendengar suara cempreng yang tidak dia sukai itu. “Kenapa harus pagi ini sih?” gerutunya lalu berbalik mendapati seorang gadis dengan rambut dikuncir berlari menghampirinya sambil membawa-bawa keranjang.
“Glenn, selamat pagi!” kata gadis itu dengan mata berbinar. Rambutnya yang keemasan kelihatan menyilaukan jika tertimpa sinar matahari, apalagi jika dipagi hari.
“Pagi, Stacy, ada yang bisa kubantu?”
“Handuk?” dia menyodorkan kain yang tadi dia pegang.
“Aku bawa sendiri, terimakasih.” Glenn menunjuk handuk di bahunya.
“Sarapan?” kali ini dia menyodorkan keranjang yang isinya roti panas padanya. “Aku sudah menyiapkannya khusus untukmu sejak pukul empat pagi.”
“Paman Aleph sudah memasak sarapan untukku. Terima kasih, Stacy.”
Gadis itu kelihatan kecewa.
Namun, Glenn akhirnya mengambil sepotong roti itu dan berkata, “Berikan sisanya pada anak-anak di jalan. Mereka lebih membutuhkannya daripada aku.”
“Baiklah, Glenn. Satu hari lagi untuk kebaikan!” dan gadis itu berjingkat-jingkat riang gembira meninggalkan Glenn dengan kebahagiaan yang menurut Glenn berlebihan. Glenn menggigit rotinya. “Enak juga.”
Glenn cepat-cepat mandi, biasanya dia mandi sebelum matahari terbit tidak seperti penduduk yang lain karena mungkin sungai itu sudah tercemar dengan aktifitas penduduk. Dia berpapasan dengan beberapa orang tua dan mengobrol sebentar sambil membantu membawakan barang bawaan mereka. Barulah dua jam kemudian dia kembali dan mendapati ada tiga pasien yang sudah menunggunya.
Tiga pasien yang datang tidak memiliki penyakit yang parah karena mereka cuma melakukan pemeriksaan rutin seperti yang diusulkan oleh Glenn sebelumnya. Lalu Glenn cepat-cepat mengganti pakaiannya, mengikat kepalanya seperti biasa dan terakhir mengenakan sepatu baru. Aleph sudah lama membelikan sepatu itu padanya karena sepatu sebelumnya sudah rusak parah. Saat dia menutup pintu rumah, Aleph mengantar kepergiannya di depan gerbang bersama dengan Stacy dan anak-anak pengemis yang masing-masing memegangi sepotong roti.
“Hati-hati, Glenn,” kata Stacy sambil berjingkat-jingkat tidak keruan. Anak-anak itu juga ikut-ikutan.
Glenn menaiki Nheo dan memacu kuda kesayangannya itu untuk berlari cepat. Ketika dia lewat penduduk yang mengenalnya melambaikan tangan, mengantar kepergiannya. Daerah yang berbukit-bukit juga tidak menghalanginya. Nheo sudah terlatih melewati segala medan. Sebelum sampai di Ocepa, dia harus melewati perbatasan yang berbahaya melalui Axantos dan itu tidak mudah. Kondisi seperti ini bukan hal yang menyulitkan bagi Nheo.
Dua orang prajurit menghalanginya di depan gerbang. Glenn menunjukan lambang yang pernah diberikan Jendral Rodius padanya. Kedua pengawal itu saling pandang, lalu memberikan jalan untuknya. Dia turun dan seorang prajurit datang ke arahnya.
“Saya akan menyimpan kuda milik Anda, Sir.”
“Terima kasih,” kata Glenn.
Istana terlihat beberapa meter di depannya, tampak megah dengan nuansa warna putih yang indah. Bendera kerajaan berkibar di puncak menara. Di sekeliling istana dipenuhi dengan taman yang berhiaskan bunga berwarna-warni, rumputnya hijau tertata rapi dan beberapa pohon cemara dihinggapi burung yang hilir mudik. Jalan menuju istana berlapiskan batu coral dan beberapa pelayan tampak sibuk hilir mudik membawa nampan, ada yang membawa pakaian dan sisanya membersihkan istana.
Glenn baru menyadari kalau istana itu kelihatan lebih indah dari tempatnya berdiri sekarang. Dia belum pernah lewat dari depan pintu istana dan rasanya agak aneh. Glenn mengalihkan pandangannya ke arah barat, istana Aclopatye kelihatan kecil dari sini, tapi atapnya berkilauan.
Apa yang sedang dia lakukan sekarang ya? Batin Glenn.
Glenn menggelengkan kepalanya. Pikirannya yang sempat melayang pada anak laki-laki waktu itu membuatnya sering merasa bersalah. Sambil menghela napas, Glenn kembali berjalan melewati rerumputan, dia berusaha mengingat dimana kira-kira Pangeran Louis akan dia bisa temukan, atau setidaknya salah satu orang yang dia kenal untuk membawanya pada Pangeran.
“Menjengkelkan!”
Glenn mendengar suara seorang wanita menggunakan gaun yang indah berjalan kesal, menarik-naarik roknya yang kelihatan berat.
“Nona, seharusnya Anda tidak keluar,” pelayan wanitanya mengikutinya dengan nada cemas. “Apa Nona tidak takut pada Tuan?”
“Masa aku harus dijodohkan pada Pangeran Cacat itu?” gerutu gadis itu. “Aku mengakui kalau dia itu tampan dan baik hati serta Pangeran tapi tetap saja dia tak berguna. Aku ini seharusnya dijodohkan dengan Putra Mahkota!”
“Nona!” Pelayan itu berbisik cemas padanya. “Kita sedang di istana! Kalau ada yang mendengar bisa gawat!”
“Memangnya siapa yang—” Nona Muda itu terdiam ketika melihat Glenn. Dengan cepat dia mengubah gayanya yang menjengkelkan menjadi lebih terhormat. “Hei, kau! Sudah berapa lama kau ada disana?”
Glenn menaikan alisnya dan menoleh ke belakang, memastikan kalau gadis itu menunjuknya.
“Ya, kau! Siapa lagi yang ada disana selain kau!” kata Nona Muda itu kesal. Tampaknya dia tak nyaman saat Glenn mengetahui ada yang mendengar kata-katanya. “Aku memerintahkanmu untuk kemari! Cepat!”
Glenn mengikuti perintah gadis itu. “Ya?”
Gadis itu melipat tangannya dan menatap Glenn dari atas sampai ke bawah. Sejak kapan ada pria setampan di istana ini? Batin Gadis itu ketika menilai penampilan Glenn. Dia berdeham untuk membuatnya tampak berkuasa. “Sejak kapan kau disana? Apa kau tak tahu kalau aku ini siapa?”
Glenn mendengus. Tingkah Nona yang satu ini mirip dengan Alfred.
“Maaf, aku tahu kau siapa,” Glenn menanggalkan kesopanannya seperti yang dia lakukan pada Alfred.
Gadis itu kelihatan terhina. Dengan sombongnya dia berkata, “Aku ini Putri Perdana Menteri, calon permaisuri, Asentina Gerald!”
“Oh,” komentar Glenn tanpa reaksi berarti. “Lalu?”
Putri Asentina menggigit bibirnya, wajahnya memerah dengan cepat. “Siapa kau ini? Beraninya tidak sopan pada seorang Putri!”
“Aku cuma seorang rakyat jelata,” kata Glenn mengangkat bahunya dengan tidak peduli. “Anda tenang saja, Nona. Aku tak akan mengatakan yang barusan Anda teriakan itu kepada Pangeran Louis, kesehatannya lebih penting daripada omelan Anda. Permisi.”
Mulut Putri Asentina menganga. Baru kali ini ada orang yang berani berkata seperti itu. Glenn memilih tidak peduli ketika Putri Asentina berteriak-teriak marah padanya. Gadis itu sama sekali tidak cocok menjadi Putri. Glenn berlari kecil, saat ini dia sudah sangat terlambat untuk bertemu dengan Pangeran Louis. Dia melewati beberapa pintu tertutup ketika memasuki kastil dan menjulurkan lehernya ketika menemukan jendela terbuka untuk melihat taman.
“Tabib Glenn!”
Pangeran Charlie melambai. Dia ada di ujung taman bersama dengan Pangeran Louis dan beberapa pelayan wanita, begitu juga dengan Alfred. Glenn cepat-cepat menemui mereka dan dia membungkukan badan ketika melihat ada Raja Joseph juga disana.
“Selamat siang, Yang Mulia. Maaf, saya terlambat.”
“Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kau punya banyak tanggung jawab, aku bisa memakluminya,” kata Raja Joseph lagi.
Glenn memperhatikan kalau para bangsawa itu tidak memakai jubah kebesaran mereka seperti biasa, malah hanya mengenakan pakaian sederhana yang hampir mirip dengan yang dikenakan Glenn: rompi, ikat pinggang kaki, ikat kepala dan sepatu kain.
“Bagaimana keadaan Anda, Pangeran?” Glenn bertanya pada Louis.
“Seperti yang kau lihat, sekarang aku sudah bisa berjalan sendiri bahkan tanganku sekarang serasa lebih ringan. Aku sungguh-sungguh berterima kasih padamu, Tabib Glenn,” kata Pangeran Louis. “Ada lagi yang ingin kau periksa?”
Glenn memperhatikan wajah Pangeran Louis yang sudah berseri, matanya tampak lebih bening dan tidak kelihatan kurus seperti dua minggu lalu. “Saya rasa Anda sudah tidak perlu pengobatan lagi, Yang Mulia. Anda sudah sembuh. Namun, jika Anda ingin menjaga kesehatan Anda, Anda cukup melakukan aktifitas harian yang seperti ini. Olahraga baik untuk tubuh Anda.”
“Tabib Glenn, jika melihat kemampuanmu yang menandingi Tabib Istana, kurasa kau harus mendapatkan sedikit jabatan di istana, sebagai rasa terima kasihku.” Raja Joseph mengangguk-angguk. “Bagaimana menurutmu, Alfred?”
Alfred menjawab dengan nada aneh, “Menurut saya, eh, setuju, Yang Mulia.”
“Maaf, Yang Mulia,” Glenn angkat bicara. “Saya saat ini belum ingin tinggal di istana. Seperti yang Anda tahu, saya masih muda dan belum punya banyak pengalaman. Jadi saya pikir, jabatan yang Anda berikan belum pantas saya terima.”
Raja Joseph menghela napas.
“Tentu saja kau pantas menerima jabatan,” kata Pangeran Charlie ke sisi Pangeran Louis. “Kau mengobati Kakakku yang selama empat tahun ini tidur terus di kamarnya. Tabib Istana sama sekali tak bisa melakukan apa-apa. Tapi kau? Kau cuma butuh waktu dua minggu untuk membuatnya sembuh. Tentu saja itu hal yang luar biasa. Andai saja kami mengenalmu lebih awal, tentu saja kaulah yang jadi Tabib Istana dan kejadian ini tak akan terjadi pada Kakakku.”
“Tapi—”
“Aah, tidak ada tapi-tapian,” Pangeran Louis memotong perkataan Glenn. “Ayah, ambil saja keputusan. Jika menunggu persetujuan Tabib Glenn, dia akan menolak terus sampai akhirnya posisi itu direbut orang.”
“Benar sekali,” Raja Joseph kelihatannya termakan ucapan Pangeran Louis. “Kupikir aku akan menyerahkan jabatan Tabib Istana padamu. Aku percaya padamu, Tabib Glenn.”
Glenn tak mampu lagi berkata-kata. Ini sudah diluar rencananya.
***
Ruangan yang dihadiahkan padanya ada di dalam istana, tepatnya di istana utama Istana Ocepania. Berukuran dua puluh kali dua puluh meter, lebih luas daripada gubuk kediamannya. Ada dua jendela kamar yang besar dengan gorden putih yang berhembus dan kelihatan berkilau-kilauan, sebuah perapian di tengah ruangan. Tempat tidur besar dengan seprai merah menyala terbuat dari bahan yang lembut. Ada lukisan-lukisan yang indah, kebanyakan tentang para wanita. Kemudian lemari yang berisi dengan tumpukan buku-buku tua, sofa berlengan empuk terbuat dari kayu jati berkilat dan permadani indah di lantai.
“Woah…” Alfred mendesah takjub.
“Ini berlebihan,” kata Glenn pada Alfred. “Aku harus mengatakan pada Raja kalau aku tak bisa menerima semua ini. Aku sudah punya rumah sendiri dan itu cukup untukku.”
“Kalau kau menolak, Raja akan kecewa,” kata Alfred duduk di salah satu sofa. “Sama seperti Ayahku, bisa kulihat bahwa Raja dan para Pangeran sangat menyayangimu. Tak ada salahnya kan jika kau menerima ini semua?”
“Aku tak biasa tinggal di tempat seperti ini. Aku tak suka dilayani,” Glenn memegang tengkuknya. “Lagipula, Paman Aleph akan cemas jika aku tak pulang malam ini. Jadi kurasa, aku akan pergi.”
Alfred cepat-cepat berdiri dan menghalangi Glenn yang buru-buru keluar. “Biar aku yang mengatakan padanya kalau kau ada di istana saat ini. Kurasa dia akan mengerti.”
“Tidak, aku—”
“Aku akan dihabisi Raja jika dia tahu kau meninggalkan kamarmu malam ini.”
Glenn menggigit bibir bawahnya. “Kau menang kali ini.”
Alfred memperhatikan Glenn berjalan menelusuri kamarnya dan dia menghela napas lelah. Kelihatannya Glenn benar-benar tidak suka di kamar itu. Tapi apa boleh buat, Raja Joseph sudah memerintahkan Glenn untuk tinggal di istana mulai hari ini. Walaupun sepertinya Glenn lebih memikirkan penduduknya yang dia tinggal, Glenn tak bisa berbuat apa-apa.
***
0 komentar:
Posting Komentar