RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Ocepa Kingdom Eps 3

Tiga

Sejak awal Jendral Rodius tahu kalau Tabib Glenn bukan Pemuda yang biasa. Dari caranya berpakaian, berperawakan dan berbicara membuktikan bahwa dia seorang cendikiawan yang sangat jarang bisa ditemukan di Ocepa. Semua pemuda-pemuda cerdas dikirim keluar negeri untuk belajar dan sebagian besar dari mereka tidak kembali. Walaupun ada dari mereka yang kembali, mereka adalah sekumpulan Pemuda bodoh yang begitu berambisi pada harta, kekayaan dan jabatan, sangat berbeda dengan Pemuda yang ada disampingnya ini.

Dari tadi, ketika mereka menginjakan kaki di rumput istana, dia tidak berkomentar apa-apa dan mengikuti Jendral Rodius dengan tenang. Well, mungkin ini awalnya saja. Banyak pemuda polos yang bilang kalau dia tak tertarik pada tahta namun saat mereka sudah diberi sedikit kekuasaan dan uang, mereka menjadi serakah. Kita lihat saja apa Pemuda yang diberi sedikit perhatian ini adalah perkecualian.

“Ah! Jendral Rodius, kejutan! Sebuah kejutan!”

Hal yang ditakutkan Jendral Rodius muncul. Sang Tabib Istana baru keluar dari lorong seberang bersama dengan dua suster pelayannya. Dia menjabat Jendral Rodius dan matanya beralih pada Glenn dalam beberapa detik.

“Ini keponakanku,” kata Jendral Rodius menepuk punggung Glenn.

Glenn menunduk sedikit tanpa berkata apa-apa.

Tabib Istana mengerutkan dahinya. “Rasanya aku pernah melihatmu,” katanya.

“Dia Pelajar, Tabib Istana. Kerajaan kita mengirimkannya ke Axantos, tentu saja wajahnya sangat familiar,” kata Jendral Rodius lagi. Dia menatap Glenn yang masih belum bilang apapun. “Dia sudah lama di luar negeri, jadi aku ingin mengajaknya bertemu dengan Raja, siapa tahu dia punya bakat di mata Raja.”

Tabib Istana tampak mengerti. “Ah! Ya, ya, aku mengerti sekarang. Baiklah, Jendral, aku harus ke ruangan Istana Pangeran Louis, bekerja,” dia memainkan matanya dan berlalu dengan suara tawa yang menjijikan.

“Anda pernah bertemu dengannya, Tabib Glenn?” kata Jendral Rodius pelan ketika mereka berjalan beriringan melewati koridor.

“Ya, di Axantos. Saya mengalahkannya dalam pengetahuan obat-obatan dan fungsinya. Dia tak bisa membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak,” jawab Glenn pelan. “Raja sepertinya tak tahu kalau Tabib Istana yang satu ini bisa meracuni dia suatu hari nanti.”

“Kalau begitu kalian seangkatan?”

“Lebih tepatnya, saya hanya murid yang diangkat karena punya kemampuan oleh seorang guru yang melihat kemampuan saya,” jawab Glenn pelan. “Omong-omong, Jendral Rodius, apa benar kita akan bertemu dengan Raja? Saya rasa itu bukan ide yang bagus.”

“Oh, Raja akan senang. Kau tenang saja. Dia selalu menerima masukan. Terutama masukan dari sahabatnya,” kata Jendral Rodius enteng. “Lewat sini.”

Glenn dan Jendral Rodius terpaksa berhenti ketika Pangeran Charlie tiba-tiba muncul dari lorong yang akan mereka lewati.

“Ah, Jendral!” kata Pangeran Charlie tersenyum. Dia menatap Glenn dan menaikan alisnya. “Dan?” wajahnya penuh tanda tanya menatap Glenn.

“Ini sepupunya Alfred,” jawab Jendral Rodius.

Lagi-lagi Pangeran Charlie mengerutkan dahi. “Alfred pernah bilang kalau dia tak punya sepupu dan dia memakai pakaiannya Alfred. Anda tentunya tidak sedang berbohong dengan saya kan?”

Jendral Rodius meringis. “Ya, dia memang bukan sepupunya Alfred.”

Pangeran Charlie kelihatan tertarik dengan raut wajah Jendral Rodius yang tiba-tiba berubah. “Wow, lalu siapa? Apa yang membuat Anda membawanya kemari?”

“Saya dibawa kemari untuk memeriksa keadaan Pangeran Louis,” Glenn buka mulut. Tak ada gunanya mengarang kebohongan disaat seperti ini.

Pangeran Charlie menaikan alisnya. “Ayah sedang berbicara dengan Perdana Menteri dan sepertinya akan memakan waktu lama,” matanya beralih pada Jendral Rodius. “Dan Tabib Istana tak akan senang jika ada orang yang masih muda tiba-tiba menggantikannya.”

“Yang Mulia, saya hanya ingin dia memeriksa keadaan Yang Mulia Louis mengingat keadaan Pangeran Louis tidak berubah sejak dulu.”

“Apa ini karena Anda tak suka saya jadi Putra Mahkota?” kata Pangeran Charlie. “Saya cuma bercanda.” Dan dia tertawa. “Baiklah, ayo kita sama-sama ke kamarnya Kakak. Lagipula aku sudah bosan melihatnya terbaring disana terus. Tahun-tahun belakangan kami selalu bermain pedang, rasanya sedih sekali. Oh, iya, siapa tadi namamu?”

“Glenn Haistings,” Glenn membungkuk.

Pangeran Charlie menjentikan jarinya. “Kau Tabib yang diceritakan Alfred! Yang dia katakan memang benar, kau jauh lebih tampan dari yang aku bayangkan. Berapa usiamu?”

“Enam belas tahun, Yang Mulia.”

“Aku delapan belas tahun. Namaku Charlie bukan Yang Mulia, panggil Charlie saja kalau kau nyaman,” kata Pangeran Charlie meneuk-nepuk bahu Glenn. “Kurasa aku akan menyukaimu.”

***

Raja Joseph kaget melihat kedatangan Pangeran Charlie, Jendral Rodius dan pemuda tampan yang tak dia kenal tiba-tiba muncul ke kamar Pangeran Louis. Hari ini setelah rapat yang sengaja dia hentikan, dia segera menjenguk Putra Sulungnya beserta dengan Tabib Istana dan beberapa Menteri. Mereka bertiga membungkuk.

“Anda bilang kalau Raja sedang rapat,” gerutu Jendral Rodius dari sudut bibirnya.

“Tadi, saat aku meninggalkan mereka berdua di kamar Ayah dua jam lalu,” balas Pangeran Charlie dengan nada berbisik. “Ayahanda! Aku tak menyangka Ayah ada disini! Jendral Rodius tadi mencari Ayah!”

“Sahabat, ada perlu apa kau mencariku?” kata Raja Joseph melemparkan senyumannya pada Jendral Rodius tanpa beranjak dari tempatnya.

“Ada sesuatu yang ingin saya usulkan pada Anda, sesuatu yang mungkin tak akan disukai oleh Tabib Istana,” Jendral Rodius melirik Tabib Istana yang ada disamping tempat tidur. Sang Tabib mengerutkan dahinya.

“Apa itu?” kata Raja Joseph. Dia sepertinya tak fokus dengan perkataan Jendral Rodius, tangannya memegang tangan Pangeran Louis yang kelihatan lemah.

“Pemuda yang ada disamping saya ini, mengerti tentang pengobatan—”

Seakan bisa membaca perkataan Jendral Rodius, Tabib Istana buka mulut, “Bisa pengobatan? Tentunya Jendral, kau tak bermaksud agar bocah kurang pengalaman itu memeriksa Pangeran Louis kan? Pangeran harus ditangani dengan orang yang profesional.”

“Ya,” Raja Joseph menjawab, “Itu benar, Sahabat. Putraku harus diobati dengan orang yang profesional.”

“Anda salah, Yang Mulia,” Glenn tiba-tiba berbicara.

Penolakannya yang tiba-tiba membuat salah seorang Menteri angkat bicara, “Lancang sekali!” dan diikuti oleh persetujuan yang lain.

“Yang dibutuhkan oleh seorang pasien bukan tabib profesional, melainkan orang yang benar dalam menghadapi penyakitnya,” Glenn melanjutkan dengan nada pelan yang membuat isi ruangan itu kembali heboh.

“Siapa pemuda ini, Jendral? Beraninya dia berbicara dengan Raja!”

“Kalau begitu saya ingin bertanya,” Glenn tetap bicara tanpa mempedulikan perkataan para Menteri itu. “Apakah Ibu Anda Yang Mulia, adalah seorang Profesional yang tahu apa yang dibutuhkan anaknya saat dia sakit, lapar dan lelah?”

Dalam sekejap, ruangan itu kembali hening. Raja Joseph akhirnya mampu mengalihkan pandangannya dari Pangeran Louis dan menatap Glenn. Dia terkesan pada Pemuda itu. Pemuda itu mengatakan hal yang benar. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hal itu? Selama ini dia selalu terfokus pada pendapat orang ahli tanpa memikirkan apapun.

“Jika Anda mengizinkan, saya hanya ingin memeriksa kondisi Pangeran Louis, Yang Mulia. Anda boleh mengusir saya setelah itu.” Glenn membungkuk rendah dengan gaya bangsawan terhormat.

Raja Joseph menatap Jendral Rodius yang balas tersenyum padanya.

“Kurasa tak ada salahnya mendengar hasil analisamu, Tabib Muda,” Raja Joseph berdiri dari sisi Pangeran Louis.

Glenn berjalan perlahan dan duduk disamping Pangeran Louis dan tersenyum kecil. “Maaf, Yang Mulia,” katanya sambil menyentuh telapak tangan Pangeran Louis yang dingin dan pucat. Glenn memperhatikan ujung-ujung kukunya yang membiru. Dia memeriksa nadinya yang berdenyut sangat lambat, lalu memperhatikan wajah Pangeran Louis yang pucat pasi dan bibirnya menguning dan matanya berair dengan sudut-sudutnya memerah dan pupil mata yang tidak focus.

Ah, sudah kuduga, batin Glenn.

“Tanganmu sangat hangat, siapa namamu?” kata Pangeran Louis perlahan seperti berbisik seolah-olah dia susah untuk berbicara.

“Panggil saja Glenn, Yang Mulia,” Glenn tersenyum menghangatkan dan memeriksa perut kanan Pangeran Louis. “Anda belum makan, Yang Mulia.”

“Ah… aku tak berselera,” gumam Pangeran Louis.

“Anda bisa makan bubur rumput laut jika Anda mau. Rasanya enak dan saya yakin Anda pasti suka.” Kata Glenn lagi, kali ini dia memeriksa pergelangan kaki Pangeran Louis dengan perlahan. “Apa Anda bisa merasakan sakit disini?” katanya menekan telapak kakinya.

“Tidak.”

“Disini?”

“Ah! Ya, sakit!” Pangeran Louis mengerang ketika Glenn memegang jari-jarinya. Teriakan Pangeran membuat Tabib Istana kaget.

“Kau menyakiti Pangeran!” katanya. “Jangan periksa lagi!”

“Bukannya saya bermaksud tidak sopan, tapi jika pasien tidak merasakan sakit, tentunya dia tidak butuh Tabib,” kata Glenn tenang dan membuat Tabib Istana terdiam seribu bahasa lagi. “Pangeran, saya ingin memeriksa punggung Anda, tidak keberatan kalau baju Anda saya buka kan?”

“Kelewatan! Tidak ada yang boleh melihat kulit keluarga Raja!” kata salah seorang Menteri.

Seakan tidak mendengar protesan, Glenn melanjutkan pembicaraan sambil menggulung lengan bajunya. “Saya rasa kalau punggung Anda pasti membiru, Pangeran. Saya cuma ingin memastikan supaya saya tak salah mengambil keputusan.”

“Ya… boleh. Tapi aku tak punya tenaga saat ini.”

“Akan saya bantu,” kata Glenn.

Jendral Rodius kali ini terkagum-kagum melihat cara Glenn bekerja. Pemuda itu sangat cekatan walaupun terlihat tenang. Tak ada yang bisa melawannya. Dengan mudahnya dia sudah mendudukan Pangeran Louis, yang terbaring selama beberapa tahun ini, tanpa adanya keluhan kesakitan dari Pangeran dan tangannya menelusuri punggung Pangeran Louis. Dan benar yang dia katakan, punggung sang Pangeran benar-benar membiru.

“Apakah Anda keberatan kalau saya sedikit meregangkan tulang punggung Anda, Pangeran?” kata Glenn meregangkan tangannya.

“Tidak, apakah rasanya akan sakit?”

“Sedikit. Saya yakin Anda masih bisa menahannya.” Kata Glenn, dia menekan barisan tulang punggung sang Pangeran. Wajah sang Pangeran meringis, dia kelihatan sakit, tapi dia tidak mengeluarkan suara.

“Hentikan! Apa kau tak melihat kalau Pangeran kesakitan?” si Tabib Istana yang tak tahan lagi segera kesamping tempat tidur dan menarik Glenn. “Kau bisa membuat punggungnya patah!”

Glenn menghela napas. Seluruh tubuh Pangeran Louis berkeringat dan napasnya ngos-ngosan menahan rasa sakit. Glenn bangkit dan memakaikan pakaian Pangeran Louis kembali, lalu menidurkannya dengan bantal yang menahan punggungnya.

“Apa Anda sudah merasa nyaman, Pangeran?”

Pangeran Louis mengangguk perlahan.

Glenn mencuci tangannya dan dengan perlahan kembali ke sisi Jendral Rodius. Raja Joseph yang sedaritadi diam, menatap Glenn. Dia belum pernah melihat cara pengobatan seperti itu sebelumnya. Biasanya Tabib Istana hanya memeriksa denyut nadinya saja lalu mengatakan penyakitnya. Jujur saja, hal itu membuatnya terkesan.

“Lalu, Pangeran Louis sakit apa?” kata Raja Joseph pada akhirnya.

“Keracunan makanan,” jawab Glenn tanpa ragu.

Jawaban yang tak terduga. Si Tabib mendengus dengan nada meremehkan. “Pangeran memang keracunan makanan. Boleh juga anak sepertimu bisa tahu.”

“Dan Pangeran semakin keracunan dengan obat yang Anda berikan,” Glenn melanjutkan. Pangeran Charlie menahan napas.

“Apa maksudmu?” kata Raja Joseph.

Glenn menghela napas. “Pangeran apa Anda pernah memakan moonseed?”

Moonseed?” Pangeran Louis mengerutkan dahi.

“Buah bulat seperti anggur yang warnanya merah.”

“Ah, ya. Kalau tak salah sejak aku makan itu, tubuhku jadi seperti ini. Jadi itu bukan anggur?” Louis menatap Tabib Istana yang gelagapan.

“Seperti yang sudah saya duga. Untung saja saat itu Anda bisa ditangani kalau tidak Anda pasti sudah mati. Moonsheet sangat berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah besar,” Glenn menatap Tabib Istana. “Dan sepertinya Anda ditangani secara berlebihan, jika saja Anda saat itu Anda dibiarkan minum susu dan bukannya diberikan obat jenis tertentu, Anda tak akan dalam keadaan seperti ini.”

“Jadi maksudmu aku salah memberikan obat?” tantang Tabib Istana.

“Ya,” jawaban yang cepat dan tegas. “Dan Anda memperparah keadaan Pangeran dengan membiarkannya terkurung di kamar tanpa sinar matahari dan tidak bergerak sedikitpun dari atas tempat tidurnya sampai membuat otot-otot kakinya kaku dan punggungnya menegang. Jika ini terus dibiarkan, Pangeran bisa lumpuh selamanya dan jika Anda masih memberikan obat yang sama, Pangeran bisa mati dalam hitungan bulan.”

Raja Joseph memberikan tatapan berang pada Tabib Istana yang diam terpaku. “Lalu, apa kau punya obat untuk menyembuhkan Pangeran?”

“Saran saya, untuk saat ini biarkan Pangeran makan bubur rumput laut. Pencernaan Pangeran sidikit bermasalah. Setidaknya biarkan Pangeran berjemur dibawah sinar matahari kurang lebih dua jam sejak jam enam. Embun pagi sangat bagus untuknya. Untuk mengusir kebosanan, Pangeran dapat berjalan-jalan ke taman tanpa alas kaki, itu baik untuk perderan darahnya. Mengenai obat untuk diminum Pangeran, Yang Mulia, saya butuh waktu untuk membuatnya.”

“Kenapa? Ada masalah dengan obatnya? Aku akan bayar berapapun jika kau takut tidak dibayar!” kata Raja Joseph.

“Bukan begitu, Yang Mulia. Obat Pangeran Louis ada didasar lautan dan itu butuh waktu untuk mengambilnya,” jawab Glenn dengan nada rendah.

***

“Kau sangat keren!” Pangeran Charlie menepuk punggung Glenn sambil tersenyum senang. “Anda pasti bangga sekali, Jendral. Dia membuat Tabib Istana tak berkutik. Sudah lama aku tidak menyukainya.”

Glenn berhenti ketika seorang Pemuda berdiri di depan mereka. Pemuda itu memiliki rambut coklat yang menutupi dahinya. Wajahnya tampan dengan mata coklat gelap dan kulit pucat. Pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi. Selama beberapa detik suasana dilorong itu membeku, sampai kemudian Glenn membungkuk rendah dan kembali berjalan.

Jendral Rodius dan Pangeran Charlie mengerutkan dahi. Ada yang aneh.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.