RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Ocepa Kingdom Eps 2

Dua

Tabib Glenn bangun dengan mimpi buruk yang sama pagi ini bahkan sebelum ayam berkokok. Langit masih gelap ketika dia melihat kearah jendela yang ada disamping tempat tidurnya. Pantas saja dia merasa kedinginan. Rupanya jendela kamarnya belum ditutup.

Keringatnya bercucuran ke dahi. Dia menyekanya dengan lengan bajunya. Merasa percuma untuk tidur karena matanya tidak mengantuk dan badannya terasa sakit, Glenn memutuskan untuk menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya.

Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman, mengikat dahinya dengan ikat kepala dan mengambil pedangnya yang ada di bawah tempat tidurnya. Mungkin aneh sekali, dia tak pernah menunjukan pedang itu sebelumnya, tapi ada orang yang dapat mengetahui kemampuannya.

Glenn menghela napas. Mungkin lebih baik dia gerak badan dulu, siapa tahu sakit di kepalanya lebih cepat sembuh daripada memkirkan mimpi yang tidak keruan. Dia berjalan turun dari kamarnya. Langkah kakinya seringan angin dan tidak menimbulkan suara sehingga tidak membangunkan anjing penjaga yang ada di depan pintu kamarnya.

Angin subuh menyentuh lembut kulitnya dan rasanya lebih nyaman jika dia berada di luar. Dia berjalan menuruni bukit. Seperti yang sudah dia ketahui, tak ada orang yang muncul ketika subuh menjelang. Semua orang sedang tidur lelap, tidak seperti dirinya.

Akhirnya dia sampai di lapangan berumput yang biasa dia gunakan untuk berlatih pedang sendirian. Mungkinkah sang Jendral melihatnya berlatih disini? Kalau begitu darimana dia mengawasi sampai tidak diketahui olehnya?

Ah, disana rupanya.

Glenn akhirnya menangkap tempat yang mungkin. Di atas bukit. Matahari muncul dari posisi itu, Glenn luput melihatnya. Lain kali dia harus berhati-hati. Glenn mengambil napas dan melakukan sedikit gerakan terhadap pergelangan tangannya. Setelah dia siap, dia kembali menarik pedangnya dari sarung.

Pedangnya berdesir. Suara yang sangat dia suka. Rasanya jauh lebih damai daripada menghadapi keluhan dari penduduk. Ini adalah hiburan untuknya.

“Kau akan kembali, setelah kau siap.”

“Aku tak mau kembali.”

“Kau harus kembali. Negeri ini membutuhkanmu.”

Suara-suara itu begitu dekat di telinganya.

“Pangeran Christian… aku akan datang…” gumamnya.

***

Alfred tahu kalau dia salah dalam masalah ini. Dia memang orang yang keras kepala, mudah marah dan tak suka ditentang. Tapi bukan berarti dia orang yang tidak mau minta maaf karena kata-katanya yang kasar. Pembicaraannya dengan Pangeran Charlie sedikit membuka matanya untuk melihat lebih jelas kalau dia masih banyak kekurangan. Ayahnya sudah lama melihat itu, tapi Alfred tidak mau mengakui. Pernyataan Ayahnya membuatnya sebal. Karena itu ia ingin melihat seperti apa orang yang sangat dikagumi Ayahnya itu dan kali ini dia merasa kalah.

Pagi ini dia pergi diam-diam untuk bertemu Tabib Muda itu lagi. Hendak berargumentasi kalau pernyataan Ayahnya salah. Namun saat dia melihat gerakan pedang Pemuda itu, seketika dia tak mampu berkata apa-apa.

Terpesona.

Permainan pedang Pemuda itu luar biasa. Gerakannya perlahan, tangkas dan tegas. Suara pedangnya berdesir dalam keheningan. Tubuhnya bergerak seluwes angin, ringan dan terkendali, seperti melodi.

Itu cuma jurus pedang dasar yang biasa digunakan dan sudah sering dia lihat dalam setiap pertandingan bahkan dia sudah bosan mempelajarinya. Namun, saat melihat pemuda itu berlatih dengan pedang yang berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari pagi, Alfred tahu kalau pemuda itu bukan orang biasa.

Inilah alasan kekaguman Ayahnya. Entah kenapa dia merasa kalah dan malu. Hanya dengan gerakan sederhana, Glenn mampu membuktikan kalau dia seorang kesatria tangguh dan tak terkalahkan, bukannya dengan gerakan pedang yang super sulit.

“Apa yang kau lakukan disini?” kata Glenn. Dia memantulkan cahaya mentari dari pedangnya yang berkilat tepat ke wajah Alfred.

“Aku—” Alfred tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk meminta maaf. Sesuatu dalam dirinya menuntutnya untuk diam dan tak mau kalah. “Hanya sedang jalan-jalan. Kau sendiri? Bermain pedang pagi-pagi begini.”

Glenn mengerutkan dahinya. Dia cepat-cepat menyarungkan kembali pedangnya dan berbalik menuruni bukit, sama sekali tak mau menjawab pertanyaan Alfred. Alfred mengejarnya. Dia hampir tergelincir karena rumput di bukit masih basah dengan embun pagi.

“Tunggu! Tunggu sebentar, Tabib Glenn.”

Glenn memilih untuk tidak mendengarkannya.

“Tunggu aku bilang! Aku ini bangsawan!” Alfred berteriak kesal. Dia tidak memperhatikan langkahnya dan pada akhirnya jatuh tergelincir sampai ke kaki bukit, melewati Glenn yang sempat berhenti. Pemandangan yang memalukan.

“Berhentilah menyebut dirimu bangsawan,” ucap Glenn pelan. Dia membantu Alfred berdiri. Alfred mengerang memegangi kakinya yang terasa nyeri. “Kau memang bangsawan yang patut dikasihani.” Gumamnya lagi membungkukan badannya. “Naik.”

“Apa? Buat apa?” Alfred memelototi punggung Glenn.

“Kau tak akan bisa jalan dengan kaki yang terkilir. Gubukku cukup jauh dari sini. Naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu.”

“Aku tak sudi digendong rakyat jelata!”

“Gengsimu benar-benar menyedihkan,” Glenn geleng-geleng kepala. “Terserah padamu. Jika kau mampu berjalan sendirian, aku tak keberatan.” Glenn menegakkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Alfred—yang menganga tak percaya.

“Beraninya dia—” Alfred hendak mengumpat. “Tunggu! Hei! Baiklah kau menang! Bawa aku ke tempat busukmu itu dan obati lukaku ini!”

Glenn berhenti melangkah. Dia memutar bola matanya. Sesungguhnya dia sama sekali tak senang dengan perkataan Alfred barusan. Tidak sopan. Sangat tidak sopan. Namun kebaikan hatinya menang kali ini, maka dia pun berbalik dan kembali menyodorkan punggungnya.

Kali ini Pemuda Bangsawan itu tidak menolak lagi. Dia melingkarkan tangannya ke leher Glenn dan Glenn pun mengangkatnya melewati lapangan rumput. Glenn tahu bahwa Alfred tidak suka padanya, telihat jelas namun Glenn juga tak mau direpoti rasa bersalah atau sejenisnya agar pemuda itu mau menjadi lebih manis.

“Tuan Muda—kenapa dengan anak bangsawan ini?” Aleph menyambut mereka di depan gerbang dan terlihat panik saat melihat Glenn muncul sambil membawa orang di punggungnya.

“Dia cuma luka kecil. Terkilir.” Glenn berbicara dengan pelan. Dia menurunkan Alfred ketempat terdekat lalu menunduk untuk melihat luka Alfred. Dia menggulung celana Alfred dan melihat kakinya. Pergelangan kakinya membiru dan sedikit bengkak.

“Saya akan ambilkan minyak,” tanpa disuruh Aleph sudah pergi ke luar rumah.

Glenn menggulung lengan bajunya dan memegang kaki Alfred. Pemuda itu diam saja sejak Glenn membawanya bahkan dia tidak berkata apa-apa saat Glenn memegang kakinya.

“Kakimu tidak apa-apa. Kau cuma butuh dua hari tidak terlalu banyak bergerak dan pijatan ringan pada saraf yang tepat,” kata Glenn memijat kaki Alfred secara perlahan. “Hanya uratnya yang sedikit membengkak.” Glenn melanjutkan untuk mencairkan suasana beku di ruangan itu.

“Ini minyaknya, Tuan Muda.” Aleph memberikan mangkok kecil pada Glenn.

“Paman, hari ini aku akan ke kota. Jadi katakan pada penduduk bahwa aku akan buka saat matahari ada di atas kepala.”

“Buat apa Anda ke kota, Tuan Muda?”

“Mengantar Tuan Muda Bangsawan kita pulang ke rumahnya.”

“Maaf?” Alfred akhirnya buka mulut. “Apa yang barusan kau katakan?”

“Mengantarmu pulang, Tuan Muda.” Glenn mengulang dengan nada sabar. Dia tetap mengerjakan tugasnya tanpa terganggu dengan perkataan Alfred.

“Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas perhatianmu.”

“Kurasa kakimu tak akan tahan jika kau berjalan sendirian menuju kota. Lagipula, kau tak bawa kuda.”

Alfred ingin membalasnya. Namun dia tak punya kata-kata yang tepat untuk membalas. Perkataan Glenn benar. Dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, dengan mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya, Alfred menurut ketika dia didudukan di belakang kuda hitam milik Glenn.

“Aku tak menyangka akan berdiri sederajat dengan kaum rendahan,” gumam Alfred kesal.

“Berbahagialah, Tuan Muda sebab kau menemukan kaum rendahan sebaik aku yang tak begitu mengambil hati perkataanmu yang menjengkelkan,” kata Glenn dengan nada datar, “Kita pergi, Nheo! Hea!”

Kuda itu melompat ke atas dengan teriakan yang keras. Alfred sedkit kaget dan dengan cepat memegang pinggang Glenn. Hampir saja dia jatuh. Alfred tak punya waktu untuk menggerutu karena Nheo sudah melesat membawa mereka melintasi rerumputan.

***

Alfred dapat melihat api kemarahan yang berkobar dari balik punggung Ayahnya. Anaknya menghilang sejak kemarin malam dan pulang dengan kaki terkilir dan diantar dengan seorang Tabib Muda yang baru dikenalnya kemarin, benar-benar memalukan.

Glenn memberi hormat kecil pada Jendral Rodius.

“Apa dia menyusahkanmu?” kata Jendral Rodius melirik anaknya dengan sebal.

Glenn tersenyum kecil. “Sebenarnya dia adalah Pemuda yang manis jika ditangani dengan orang yang tepat.”

“Ah, begitu rupanya,” Jendral Rodius seperti merasakan ada tongkat baja yang menghantam perutnya “Kurasa aku tak mendidiknya dengan baik.”

“Dia hanya butuh perhatian ekstra dari Anda,” kata Glenn lagi. Alfred menganga.

Beraninya dia berkata seperti itu pada Ayahku!

Nyonya Aldianivus menggigit bibirnya dengan sebal. Menurutnya Pemuda yang ada dihadapannya sangat tidak sopan. Tidak tahukah dia kalau dia berhadapan dengan siapa? Namun saat Jendral Rodius tersenyum, Nyonya Aldianivus tak bisa berbuat apa-apa.

“Apakah hari ini Anda punya waktu bebas, Tabib Glenn?” Jendral Rodius berbicara dengan nada sopan yang membuat para pelayannya saling lirik. Kesopanan itu biasanya hanya ditujukan pada Raja Joseph.

“Saya punya waktu bebas sampai siang nanti, Jendral. Tapi saya saat ini belum berminat menjadi Kesatria jika itu pembicaraan kita saat ini.”

Ah, pemuda ini… penjagaan dirinya tak mudah ditembus, dia sudah bisa membaca pikiranku, batin Jendral Rodius. Dia benar-benar Pemuda cerdas.

“Saya ingin Anda ikut dengan saya ke istana. Saya ingin Anda melihat kondisi Pangeran Louis.” Tiba-tiba saja dia mengeluarkan kalimat yang mengejutkan.

“Saya rasa Tabib Istana tak akan senang melihat kehadiran saya yang tiba-tiba,” Glenn menolak dengan nada halus. Saat ini dia belum siap ke istana.

“Ah, dia akan senang, apalagi jika saya bilang kalau Anda berhasil membuat seorang anak kecil yang digigit ular bisa hidup sampai saat ini.”

Glenn tahu kalau dia tak bisa membatah dalam kondisi begini. Jendral Rodius benar-benar tahu bagaimana cara membawa dia ke istana. Dia tak punya pilihan.

“Tapi, Jendral, seperti yang Anda tahu, tidak boleh sembarang orang menyentuh tubuh keluarga kerajaan,” kata Glenn lagi.

“Hal itu digampangkan saja, Tabib Glenn. Aku akan bilang kalau kau adalah keponakanku yang tinggal jauh dari Ocepa dan saat ini sedang liburan. Kau punya kemampuan dalam mengobati orang dan belum ada yang bisa mengalahkanmu.”

“Itu terlalu berlebihan,” kata Glenn lagi.

“Ayah, apa-apaan ini?” Alfred berbisik sebal pada Ayahnya. “Dia mana mungkin diizinkan masuk ke kamar Pangeran Louis semudah itu.”

“Aku akan pikirkan caranya,” kata Jendral Rodius enteng. “Saat ini aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Pangeran Louis, Pemuda itu sudah terlalu lama tidur di atas tempat tidur.” Dia menatap mata Glenn.

Glenn menyerah. “Saya akan ikut dengan Anda, Jendral.”

Jendral Rodius tersenyum. Dia tahu kalau Glenn tak akan bisa membiarkan orang sakit begitu saja. Kebaikan hatinya begitu besar. “Pinjamkan pakaianmu, Alfred.”

Alfred melotot. “Apa?”

“Kau tentunya tak pelit pada sepupumu kan?”

Alfred memaki dalam hati. Sial.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.