RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Ocepa Kingdom Eps 1

Satu

Jendral Perang Rodius Aldianivus terkagum-kagum melihat gerakan pedang dari salah satu anak laki-laki yang berlatih sendirian di lapangan rumput sebuah pemukiman pertanian. Gerakan tangannya sangat lincah, terlihat perkasa dan memesona. Ini pertama kalinya ada seseorang yang bisa membuatnya terpaku beberapa saat.

“Siapa anak itu?” dia bertanya pada salah satu prajurit berkuda.

“Dia Putra dari salah satu Petani miskin di daerah ini.”

Jendral Rodius tersenyum ketika melihat si pemuda memberikan gerakan menusuk yang tajam. “Aku ingin bertamu ke rumahnya.”

***

“Tidak biasanya ada seseorang yang bisa membuat Ayah terkesan sampai-sampai berniat bertamu ke rumahnya,” Putra Jendral Rodius, Alfred Antixius Aldianivus berkomentar pedas ketika mereka bersama-sama menuju rumah pemuda yang tadi siang diceritakan Ayahnya padanya. “Bahkan aku pun tak pernah Ayah puji. Dia bahkan orang miskin, Ayah dan aku yakin kemampuannya berpedang tidak lebih tinggi dariku.”

“Aku tak pernah menyuruhmu ikut kan?” kata Jendral Rodius jengkel.

“Aku cuma mau tahu seperti apa wajah orang yang membuat Ayah terkesan,” kata Alfred.

“Ah, kalau begitu kau cuma iri kalau dia mendapat perhatian dariku.”

Alfred tidak membalas. Ayahnya memang sulit dilawan.

Mereka akhirnya sampai disebuah rumah kecil dengan lapangan besar yang kumuh. Ada atap-atap kecil yang dijadikan lumbung dan tempat ternak sapi. Kelihatannya semua dijadikan satu. Dan masalahnya disana bau sekali.

Alfred menutup hidungnya. Ini pertama kalinya dalam hidupnya dia menginjakan kaki ke rumah yang sejelek ini.

Lampu di gubuk itu menyala temaram. Salah satu prajurit mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa Jendral Rodius datang. Tak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka dan seorang laki-laki yang cukup tua dengan wajah tegas menatap mereka beberapa saat dengan dahi mengerut.

“Ada apa ya?” katanya heran.

“Selamat malam,” kata Jendral Rodius sopan. “Saya Rodius Aldianivus, Jendral Ocepa. Saya datang untuk bertamu.”

Laki-laki tua itu mengerutkan dahinya. “Sepertinya Anda salah tempat. Disini bukan tempat yang pantas untuk menjamu bangsawan seperti Anda. Kami sama sekali tak punya apa-apa.”

Anehnya, Rodius masih bisa tersenyum. “Saya kemari karena terkesan dengan kemampuan pemuda yang tinggal di rumah Anda.”

“Ha?” laki-laki tua itu mengerutkan dahi. “Disini tak ada siapa-siapa. Hanya saya sendiri. Saya juga tak punya anak.”

“Tolong jangan berbohong. Tadi siang saya melihat pemuda berambut coklat memainkan pedang dengan sangat tangkas di halaman pertanian Anda.”

Laki-laki tua itu menelan ludah. “Ada perlu apa dengan Tuan Muda kami?”

“Kami cuma ingin bertemu dengannya,” jawab Alfred cepat. “Lagipula, kami juga tak terlalu berniat mengambil apapun dari rumah yang tak ada isinya begini. Disini seperti sampah.”

“Alfred!” Jendral Rodius menegurnya dengan tatapan menyuruhnya untuk diam.

“Tidak ada yang meminta kalian datang kemari.”

Ada suara dari belakang. Seseorang baru saja masuk melewati pagar yang dipenuhi dengan prajurit bertombak. Jendral Rodius tersenyum melihat pemuda yang dicarinya sudah muncul.

Dia pemuda bertubuh tinggi yang langsing dengan tubuh yang atletis dan tegap. Matanya berwarna biru safir. Rambutnya coklat panjang menutupi dahi dan telinganya. Ada ikat kepala putih terlilit di kepalanya. Wajahnya tampan. Bibirnya mungil dan merah. Ditubuhnya terlilit pakaian biasa yang bersih, sama seperti pakaian yang tadi dilihat oleh Jendral Rodius. Dilihat dari penampilannya yang sangat berkharisma, Rodius memberikan nilai plus lagi.

“Siapa kalian? Ada perlu apa mencariku?” kata Pemuda itu.

Alfred tampak tak senang ketika Pemuda itu terlihat tak sopan kepadanya. “Kau cuma rakyat jelata! Kau tak tahu kalau kami bangsawan?”

“Oh? Bangsawan?” dia melirik Alfred. “Kalian salah tempat untuk mencari tempat menginap. Disini sama sekali tak ada tempat untuk menampung orang kaya.” Kali ini dia melirik Jendral Rodius.

“Tuan, mereka datang untuk bertamu,” kata laki-laki tua yang sedari tadi berdiri di depan pintu. “Kata Tuan ini, dia sangat terkesan dengan kemampuan berpedang Anda.”

Pemuda berambut coklat itu menatap Jendral Rodius. Selama beberapa detik dia diam sampai kemudian dia menatap laki-laki tua itu dan berkata, “Siapkan tempat bagi mereka, Paman. Aku ke kamar dulu, ada yang harus kubereskan. Tidak keberatan kalau aku tinggal sejenak?”

“Tentu saja tidak. Aku sama sekali tak keberatan jika kau benar-benar menepati janjimu itu,” kata Jendral Rodius.

“Kalau begitu, lewat sini, Tuan,” kata laki-laki tua itu saat dia bertemu pandang dengan mata Pemuda itu. Dia mengulurkan tangannya sejenak dan menyuruh Jendral Rodius beserta anaknya untuk masuk terlebih dahulu.

Ini diluar dugaan Alfred. Tempat itu tak seburuk perkiraannya. Ruangan itu begitu rapi, sederhana dan berkesan. Setidaknya lebih baik daripada diluar dan anehnya tempat itu wangi. Wangi Lavender.

“Silakan duduk, Tuan. Maaf kalau tempatnya jelek,” laki-laki tua itu memberikan kursi kayu yang diberikan alas kain pada mereka berdua. “Anda mau minum apa?” kelihatannya laki-laki tua itu menjadi lebih ramah ketika pemuda itu memerintahnya untuk menjamu mereka dengan baik.

“Ah, tidak perlu. Kalau boleh saya tahu, Tuan. Siapa nama Anda?” Jendral Rodius kelihatan sangat sopan ketika menanyakan itu.

“Saya Aleph Moccabilly,” jawab laki-laki tua itu membungkuk rendah.

“Tuan Moccabilly punya hubungan apa dengan Pemuda itu? Sepertinya Anda sangat menghormatinya,” kata Jendral Rodius lagi.

“Semua orang di kampung ini sangat menghormati Tuan Muda saya, Tuan. Dia pemuda yang luar biasa. Banyak sekali gadis yang menyukainya,” kata laki-laki tua itu. Matanya berbinar. Dia sepertinya sangat bangga dengan Tuan Mudanya. Jendral Rodius tidak perlu bertanya kenapa karena laki-laki itu sudah melanjutkan dengan nada menggebu-gebu.

“Tuan Muda saya adalah seorang Tabib, Tuan. Dia sangat hebat dan dermawan. Tidak pernah sekalipun dia meminta bayaran dengan penduduk. Dia juga sangat baik dan perhatian pada anak-anak. Dia juga mengajari penduduk kami membaca sehingga hampir delapan puluh persen penduduk desa ini sudah bisa membaca, Tuan.”

Jendral Rodius mengangguk-angguk untuk menanggapi cerita Aleph Moccabilly. Pantas saja desa itu sedikit lebih baik daripada desa lain, rupanya ada seorang pahlawan ditempat ini.

“Tuan Muda kami datang ke desa sekitar dua tahun lalu. Dia sudah menarik perhatian. Anda tahu sendiri kan kalau wajahnya itu sangat tampan. Awalnya dia tak bisa bergaul dan dimusuhi oleh warga. Namun saat itu ada seorang anak perempuan yang digigit ular dan dia berhasil menyembuhkan anak perempuan itu. Sejak saat itu sikap penduduk di desa ini berubah seratus delapan puluh derajat pada Tuan Muda kami. Kami menjadi sangat baik pada Tuan Muda dan Tuan Muda juga membalas kebaikan kami dengan memberikan kami pengobatan gratis, pendidikan gratis, memberikan kami pengajaran tentang cocok tanam dan bahkan menjadi pelindung desa ini, Tuan.”

“Pelindung desa?” Alfred mengerutkan dahi.

“Iya. Sebelum kedatangan Tuan Muda ke desa kami, banyak perampok luar yang datang ke desa dan mencuri hasil panen bahkan anak perempuan kami. Kami sudah melapor pada pihak keamanan negeri ini dan membawa masalah ini sampai ke pihak istana tapi tidak ada respon. Kabarnya prajurit juga takut pada perampok itu. Apalagi mereka juga sadis dan suka membunuh. Namun, Tuan Muda kami berhasil mengusir mereka dari desa seorang diri. Kejadiannya begitu cepat dan luar biasa.

Tuan Muda kami berjalan ke depan Bos Perampok dan bertanya mereka mau apa. Dan saat mereka berniat mencuri, Tuan Muda kami mengambil pedangnya dan melawan mereka semua seorang diri. Kami pikir dia akan kalah waktu itu, tapi ternyata tidak. Dengan cepat dia berhasil membuat bos perampok itu tak berkutik dan membuat perjanjian di atas kertas kalau mereka tak akan berani mengusik desa kami, kalau tidak mereka akan dalam bahaya. Saat itu benar-benar hebat!”

“Ya, Tuan Muda Tuan benar-benar sangat hebat dan pemberani. Apakah karena itu Anda tinggal bersamanya?”

“Itu…” Aleph menjadi sedih. “Putraku meninggal karena wabah dan terlambat diobati walaupun Tuan Muda sudah berusaha dan tidak tidur selama tiga malam. Untuk membalas jasanya aku meminta tinggal padanya dan mengabdi padanya. Dia menolak.”

“Lalu kenapa sekarang Anda tinggal dengannya?” Alfred mengerutkan dahi.

“Rumahku dibakar habis oleh para perampok itu dan aku sama sekali tak punya apa-apa. Jadi Tuan Muda mengangkat kami sebagai orang tuanya.”

“Tuan Muda Anda benar-benar berhati malaikat,” kata Jendral Rodius. Kelihatannya aku tidak salah pilih orang untuk masalah ini.

Pintu rumah itu terbuka. Si Tuan Muda masuk bersama dengan anak perempuan yang membawa-bawa poci kecil di tangannya. Dia tidak melihat Jendral Rodius dan Alfred dan berbicara seolah-olah mereka tidak ada disana.

“Nanti katakan pada Ibumu untuk memberikannya banyak minum daun teh,” katanya melewati ruangan dan membuka lemari kayu disudut ruangan. “Berikan pocinya. Lalu katakan pada Ayahmu untuk merebus isi poci ini ya? Dalam dua jam demam Kakakmu akan sembuh. Katakan padanya jika isi pocinya sudah habis, Kakakmu dibawa kemari lagi untuk diperiksa. Kau bisa mengerti kan?” dia melanjutkan sambil mengisi poci itu dengan berkerat-kerat akar kering dan daun tak jelas.

Anak perempuan itu mengangguk dengan mata berbinar ketika dia memberikan poci itu padanya.

“Terima kasih, Tabib Glenn, nanti aku akan datang lagi untuk membalas jasa Anda,” Anak perempuan itu menatap mata sang Tabib yang tersenyum padanya.

“Tidak perlu. Kau belajar saja yang baik,” kata Pemuda itu mengacak rambut anak kecil itu. Dia berbalik pada Aleph. “Paman, tolong antar nona kecil ini.”

“Baik, Tuan Muda,” Aleph buru-buru bangkit dan menggiring gadis kecil itu keluar dari rumahnya.

Pemuda itu menatap Alfred dan Jendral Rodius bergantian. Dia duduk menghadapi mereka dan membuka pembicaraan, “Namaku Glenn Haistings. Maaf tidak dapat menyambut Anda berdua di gubuk saya yang kecil.”

Alfred sedikit kaget melihat perubahan aura dari Glenn secara tiba-tiba. Dia tampak lebih berkharisma daripada bersama anak-anak itu. Jendral Rodius tersenyum senang.

“Aku Jendral Ocepa, Rodius. Panggil begitu saja. Dan ini putraku, Alfred.”

Alfred tidak mengatakan apa-apa.

“Kami kesini karena aku begitu berkesan dengan kemampuan berpedangmu.”

Glenn tersenyum kecil.

“Jendral, saya seorang Tabib, bukan seorang Kesatria.”

“Ah, jangan merendah, saya sudah banyak mendengar kehebatan Anda di desa ini. Tuan Aleph baru saja menceritakan semua kebaikan hati Anda padanya dan kepada penduduk desa ini.”

Glenn menghela napas. “Apa yang Anda inginkan dari saya?”

“Well, langsung saja, ini sebenarnya masalah yang cukup penting,” kata Jendral Rodius dengan nada dalam. “Seperti yang sudah kita ketahui, Negara kita sedang dalam masa sulit, apalagi saat ini Putra Mahkota juga mengalami banyak masalah. Anda pasti sudah mendengar gosip tentang perebutan tahta kekuasaan kan?”

Glenn tidak menjawab. Dia memilih diam. Ada masalah dan itu bukan masalah yang gampang. Dia tahu itu.

“Ayah, jangan menceritakan masalah di istana pada orang awam!” Alfred menatap Ayahnya dengan marah. “Mana dia tahu tentang masalah istana.”

“Aku tahu apa yang aku bicarakan, Alfred. Aku yang punya urusan dengannya bukan kau, jadi kau duduk saja dengan tenang dan dengarkan.” Jendral Rodius melirik Alfred dan berbicara dengan nada penuh ancaman.

“Saya belum bisa menangkap maksud Anda,” Glenn buka mulut.

“Saya ingin Anda menjadi Kesatria Putra Mahkota, Pangeran Charlie Antonius.”

Perkataan Jendral Rodius membuat suasana di ruangan itu menjadi panas. Alfred berdiri dengan cepat dan terlihat marah. Dia menatap Ayahnya dengan tatapan tak percaya dan berbicara dengan nada tinggi. “Ayah, apa-apan ini?”

“Alfred, berapa kali harus kukatakan kepadamu kalau ini urusanku,” kata Jendral Rodius mulai jengkel dengan tingkah Alfred.

“Ini bukan urusanmu saja!” Alfred menggertakan giginya. “Apa kau lupa kalau aku adalah kesatria Pangeran Charlie? Kenapa kau tiba-tiba menyuruh seorang rakyat jelata menjadi kesatria bagi seorang calon raja?”

“Alfred, duduk! Kita bicarakan ini di rumah,” kata Jendral Rodius.

“Aku tak mau! Jelaskan padaku apa maksudmu!” Alfred menatap marah pada Ayahnya lalu pada Glenn. “Aku tak tahu seberapa hebat Tabib Glenn ini sampai membuatmu begitu menginginkannya menjadi kesatria Pangeran Charlie, tapi sepertinya kau lupa kalau Pangeran Charlie itu sahabatku dan dia yang meminta aku jadi kesatrianya!”

“Alfred, akan kujelaskan kalau kita ada di rumah,” Jendral Rodius menghela napas.

“Kenapa Pangeran Charlie tiba-tiba menjadi Putra Mahkota? Bukannya Pangeran Louis adalah Putra Mahkota Ocepa?”

Glenn tiba-tiba buka mulut dan itu menghentikan pertengkaran antara Jendral Rodius dan Alfred untuk sementara.

“Ya, memang.” Jendral Rodius memutuskan untuk menyawab pertanyaan Glenn. “Namun saat ini Putra Mahkota tak bisa memimpin. Dia sakit keras dan saat ini penyakitnya belum dapat disembuhkan oleh Tabib Istana. Pangeran Kedua, Pangeran Willy saat ini diasingkan ke Pulau Selatan karena melakukan kesalahan besar. Itu sebabnya kedudukan Putra Mahkota saat ini diberikan kepada Pangeran Ketiga, Pangeran Charlie.”

“Kalau bisa aku tahu, Putra Mahkota sakit apa? Mungkin aku bisa membantu.”

“Mungkin saja, tapi Tabib Istana bukanlah orang yang suka mengalah, lagipula Istana punya peraturan sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat menyentuh tubuh keluarga Raja kecuali pihak bagsawan yang sudah mendapat ijin resmi.”

Glenn kembali berpikir. Apakah ini ada hubungannya dengan perebutan kekuasaan? Siapa yang merencanakan?

“Maaf mengecewakan Anda, Jendral, tapi sepertinya saya tak bisa mengambil posisi sebagai Kesatria Putra Mahkota.”

Alfred kelihatan lega, tapi Jenderal Rodius kelihatan tak puas.

“Kenapa?”

“Ini masalah perebutan kekuasaan. Saya cuma orang biasa, bukan bangwasan. Namun jika Anda meminta saya untuk mengobati orang, maka saya akan membantu.” kata Glenn pelan.

Jendral Rodius kelihatan kecewa. “Apa kau takut?”

“Masalah ini bukan masalah yang gampang.” Glenn mengutarakan pendapatnya. “Setiap orang bisa menjadi binatang hanya karena dibutakan oleh kekuasaan, saya tak ingin melihat itu. Saya tak ingin terseret menjadi bagian dari orang-orang yang dibutakan oleh kekuasaan dan uang. Hidup dengan cara seperti ini sudah cukup bagi saya.”

Lagi-lagi Jendral Rodius terkesan. “Kau punya prinsip hidup yang tinggi. Siapa yang mengajarimu?”

“Pengalamanlah yang mengajari manusia, Jendral.”

Jawaban yang sangat luar biasa. Jendral Rodius menyerah.

“Baiklah. Jika itu keputusan yang sudah kau ambil, aku tak punya hak untuk memaksamu. Sayang sekali, padahal kupikir kau dapat membantu. Sulit sekali menemukan orang hebat yang dapat dipercaya dalam masa kristis begini. Namun, jika aku membutuhkanmu sebagai Tabib, kau mau datang ke istana kan? Aku akan coba bertanya pada Raja siapa tahu kau dapat mengobati penyakit apa yang menimpa Pangeran Louis.”

“Aku akan datang.”

Jendral Rodius bangkit dari tempatnya. Glenn mengantarkan mereka ke depan pintu rumahnya. Sebelum Jendral Rodius pergi, dia berbalik lagi dan menyerahkan sebuah bandul emas berikatkan benang merah pada Glenn.

“Ini untukmu. Jika kau berubah pikiran dan membutuhkan sesuatu, kau boleh datang ke istana.”

Glenn menerima benda itu dan mengamatinya. Bandul emas yang dililit dengan naga perak. Lambang Negara Ocepa.

***

Pangeran Charlie memiliki rambut emas panjang yang selalu diikat rapi. Dia punya wajah tampan yang selalu menarik perhatian para putri manapun. Perkataannya selalu manis dan menyanjung orang, sangat berbeda dengan Pangeran Willy yang sombong dan cuek. Dia tidak secerdas Pangeran Louis tapi selalu dapat mengambil hati rakyat karena dia baik hati.

“Wajahmu tidak cerah sepeti biasa, Sahabat. Ada sesuatu yang membuatmu gusar?” kata Pangeran Charlie saat melihat Alfred masuk kedalam kamarnya. Pangeran Charlie memakai mahkotanya yang kecil di dahi dan kembali memperhatikan wajah Alfred yang ditekuk. “Ada masalah di istana?”

“Sebenarnya lebih banyak masalah di rumahku,” jawab Alfred duduk di salah satu kursi lembut. Dia melipat kakinya dan memperhatikan Pangeran Charlie yang sibuk menata rambutnya. “Kau mau pergi?”

“Ayah memintaku untuk datang ke Pesta Menteri Pertahanan. Aku sudah menolak tapi katanya itu bagus untukku.”

Alfred kembali memerhatikan penampilan dari Pangeran Charlie. Dia memakai pakaian kerajaan berwarna biru dengan sepatu panjang tanpa tumit. “Apa menurutmu kau tidak terlalu biasa? Kau itu Pangeran yang sudah jadi Putra Mahkota. Kau bahkan memakai mahkota biasa.”

Pangeran Charlie menghembuskan napas. Dia berbalik dari cermin perak dan mengecak pinggang. “Lalu aku harus bagaimana? Mendandani wajahku kayak merak? Kau tahu aku tak suka datang ke pesta. Tempat itu membuatku sesak napas padahal masih banyak rakyat yang kurang makan. Aku heran kenapa para bangsawan lebih suka menghabiskan uangnya cuma untuk pesata daripada membantu orang miskin.”

...Setiap orang bisa menjadi binatang hanya karena dibutakan oleh kekuasaan, saya tak ingin melihat itu. Saya tak ingin terseret menjadi bagian dari orang-orang yang dibutakan oleh kekuasaan dan uang...

Alfred jadi mengingat kata-kata Glenn.

“Masih ada ya Pangeran sepertimu, yang lebih suka berlama-lama pada rakyat miskin daripada berpesta.” Alfred geleng-geleng kepala.

“Yang Mulia Raja mendidikku untuk jadi seperti itu. Mementingkan rakyat, mendengarkan perkataan rakyat, dan bla bla. Walaupun kupingku panas mendengar perkataannya tapi kata-katanya memang benar.” Pangeran Charlie meniru Raja Joseph setelah itu tertawa geli.

“Menurutmu aku sombong?”

Pertanyaan itu mengagetkan Pangeran Charlie.

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?”

Alfred menghela napas. “Sore ini Ayahku membandingkanku dengan seorang tabib rakyat jelata dan mengatakan kalau aku tak ada apa-apanya dibandingkan dia dan juga bilang kalau anak itu jelas lebih hebat dariku. Tak ada yang bisa dibanggakan dariku kecuali kesombonganku.”

Tangan Pangeran Charlie yang hendak menukar mahkotanya dengan yang lebih kecil berhenti di udara. “Jendral Rodius berlebihan, tapi aku mengakui kalau yang dia katakan memang benar.”

Alfred menatapnya. “Jadi menurutmu aku benar-benar sombong?”

“Sedikit.”

“Apa maksudnya dengan sedikit?”

Pangeran Charlie mengerutkan dahinya ketika melihat dirinya di depan cermin tanpa mahkota. “Begini lebih bagus. Kupikir aku tak perlu memakai mahkota cuma untuk membuktikan bahwa aku anak Raja. Semua orang sudah tahu kalau aku Putra Mahkota negeri ini.”

“Sombong,” gerutu Alfred.

“Itu maksudku,” kata Pangeran Charlie menjentikan jari. “Kau selalu saja membesar-besarkan nama Jendral Rodius dan berulang kali mengatakan kalau kau adalah bangsawan. Lalu apa? Apa itu membanggakanmu? Walaupun kau ini hebat tapi jika kau cuma membanggakan apa yang kau miliki maka semua orang akan mengatakan bahwa kau sombong, tak heran Jendral Rodius berkata begitu.”

“Maksudnya sekarang aku harus rendah diri seperti dirimu begitu?”

“Tidak ada salahnya jika begitu kan?”

“Huh.”

Tidak ada yang bisa diandalkan darimu kecuali kesombonganmu. Kau tak lihat bahwa Pemuda itu lebih baik darimu? Kau bukan apa-apa.

Kurasa memang benar, Ayah... aku bukan apa-apa...

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.